"Mbak bisa ceritain Weni kenapa selama ini?" tanyaku pelan.
"Kamu pikir saja sendiri. Apa yang kamu lakukan kemarin sampai hari ini, pasti kamu akan menyesal."
Mbak Linda meninggalkanku sendirian di ruang dapur. Apakah benar yang Mbak Linda katakan? Selama ini Weni menderita?
Ah, tidak mungkin. Weni itu di rumah hanya menjaga Vino, juga Rea—anak pertamaku yang sekarang kelas tiga SD.
Mama yang sering melakukan pekerjaan rumah. Aku menggelengkan kepala, beranjak dari duduk. Tidak peduli lagi, Weni tidak pantas mendapatkan belas kasihanku.
***
"Mama kok belum pulang-pulang, Pa? Udah tiga hari, Rea juga tiga hari gak sekolah. Rea gak mau sekolah, kalau Mama belum pulang."
Hampir setiap hari Rea merengek. Weni benar-benar menyebalkan, dia yang menanamkan manjanya Rea ini. Membuat susah saja.
"Rea makan, habis itu berangkat sekolah." Aku hanya mengatakan itu, kembali fokus menatap layar ponsel.
"Mama mana, Pa?"
Pertanyaan itu lagi. Tiga hari setelah Weni pergi, semuanya kacau. Rea sering menangis, Vino ikutan juga. Membuat pusing.
"Mama kamu udah meninggal. Nanti, Papa cari yang baru. Rea makan dulu."
Aku melirik Mama, menghela napas pelan. Tidak nafsu makan lagi aku kalau begini. Rumah kotor, mainan di mana-mana.
Akhirnya, setelah dibujuk, Rea mau makan juga. Ini sudah pukul tujuh pagi, Rea terlambat sekolah.
"Mama minta uang, Ndre. Buat beli keperluan rumah."
Aku mengernyit. Baru juga satu minggu lalu memberi Mama uang. Itu uang gajiku, banyak sekali. Masa sudah habis saja, sih?
"Andre gak megang uang, Ma. Kan, sebagian besar gaji Andre, Mama yang pegang. Sebagian lagi Weni. Itu pun, Weni megangnya sedikit. Mama yang paling banyak."
"Perhitungan banget, sih, Ndre. Ini buat rumah juga, lho. Kalau gak, kamu bayar pembantu aja. Biar ada yang bersih-bersih."
"Bukannya Mama selalu bersih-bersih?" Aku agak aneh dengan perkataan Mama.
Selama ini Mama yang selalu bersih-bersih, lalu kenapa sekarang Mama baru mengeluh?
"Terus, Mama mau ngurusin anak kamu, ngurusin rumah juga gitu? Memangnya Mama pembantu di sini?"
Aku terdiam. Benar juga kata Mama. Dulu, Weni pernah meminta bayar pembantu saja, tapi uangnya sayang. Lebih baik ditabung. Lagi pula, Weni bisa bersih-bersih rumah.
Sekarang? Kasian Mama kalau kerepotan di rumah. Aku mengangguk, menyetujui permintaan Mama.
"Aku berangkat kerja dulu, Ma. Ayo, Rea."
Sebelum berangkat, aku sempat menatap Vino. Mencium keningnya. Ah, aku jadi merindukan Weni.
Baru ditinggal tiga hari saja, semuanya kacau. Kemeja untuk ke kantor kusut semua. Celana apalagi.
Biasanya, Weni yang memakaikan dasi. Sekarang? Bentuknya kacau kalau aku yang memakai sendiri.
Aku sepertinya tidak bisa apa-apa tanpa Weni.
"Mau apa kamu datang kesini?"
Setelah mengantar Rea, aku sempat datang ke rumah Mbak Linda dulu. Hari ini, aku tidak ingin ke kantor. Pikiranku masih penuh soal Weni.
"Sabar, Sayang. Jangan marah-marah terus. Gak baik."
Kak Anton—Suami Mbak Linda yang sedang memakai sepatu menegur Mbakku. Rumah mereka memang tidak besar, tapi penuh dengan tanaman. Sejuk.
Aku menyalimi Kak Anton, kemudian Mbak Linda—yang tampak jutek sekali membalas uluran tanganku.
"Aku ngangkat kue dulu, Mas."
Mbak Linda masuk ke dalam rumah. Aku menghela napas pelan, menyenderkan punggung ke sandaran kursi.
"Gimana rasanya ditinggal istri selamanya, Ndre?"
Mendengar pertanyaan itu, aku langsung menoleh. Menatap Kak Anton.
"Pusing, Kak."
Kak Anton langsung tertawa. Dia menepuk pundakku.
"Kamu tahu, beberapa hari sebelum Weni meninggal, istri kamu sering banget datang kesini. Curhat sama Linda."
"Serius, Kak? Mereka ngomongin apa?"
"Gak tau kalau ngomongin apa. Tapi istri kamu sering banget nangis. Kakak gak tau permasalahannya apa, tapi kamu bisa cerita ke Kakak."
Aku menerawang sejenak. Tidak ada kesalahan yang aku lakukan sepertinya. Tapi kenapa dengan Weni?
Entahlah, Weni memang berubah sekali. Dia bukan Weni yang aku kenal.
"Gak ada kesalahan apa-apa, Kak. Aku rasa, Weni hanya pura-pura untuk dapetin belas kasihannya Mbak Linda. Sampai Mbak Linda nampar aku kemarin."
"Serius kamu bilang begitu?" tanya Kak Anton seolah tidak percaya dengan apa yang aku katakan.
Memang benar. Weni itu membesar-besarkan masalah saja. Jangan-jangan, dia ingin mengambil hati Mbak Linda.
Dasar menyebalkan. Sudah tidak ada saja, dia semakin menyebalkan.
"Tapi, Kakak dengar kemarin, bukan Weni yang punya masalah sama kamu. Tapi Mama."
Ada apa lagi dengan Mama? Kenapa semua orang seolah menyalahkan Mama?
"Mama gak punya masalah sama Weni, Kak. Yang punya masalah itu, si Weni."
"Hati kamu udah mati kayaknya, Ndre."
Kami menoleh ke Mbak Linda yang membawa dua gelas cangkir. Waktu meletakkan minumanku, wajah Mbak Linda judes sekali.
"Kalau nurutin kemauan, Mbak bakalan nampar kamu lagi," kata Mbak Linda ketus.
"Sayang." Kak Anton menarik tangan Mbak Linda, menggelengkan kepala.
"Anak keras kepala. Gimana selama tiga hari terakhir? Rumah kacau? Berantakan semua? Anak-anak kamu gimana? Nangis terus?"
Aku terdiam. Kenapa semua yang Mbak Linda sebutkan terjadi? Padahal, aku tidak menceritakan keadaan rumah ke siapa pun.
Bagaimana caranya Mbak Linda bisa tahu?
"Kamu dengar, ya. Kalau itu semua terjadi, berarti Weni punya peran penting di rumah kamu. Bukan hanya Mama."
Benarkah? Aku menggelengkan kepala. Tidak percaya dengan perkataan Mbak Linda.
"Terserah kamu. Sana, pulang! Kesini malah buat emosi. Gak ada gunanya kamu curhat sama Kak Anton, kamu tadi. Percuma!"
Mbak Linda melemparku dengan tutup cangkir.
Entah kenapa, Mbak Linda malah memihak pada Weni. Ini benar-benar aneh.
Aku masuk ke dalam mobil. Rencananya hari ini, aku mau jalan-jalan saja. Menenangkan pikiran.
Saat sampai di dekat jembatan, aku berhenti. Mataku menyipit, ketika melihat seorang wanita yang aku kenali. Weni?
Benarkah dia Weni? Tapi bukannya Weni sudah meninggal? Dan jelas-jelas, aku menguburkannya sendiri.
Ah, pikirkan itu nanti. Bergegas aku turun dari mobil. Mendekati wanita yang memakai hijab itu. Beberapa detik, aku menangkap tangannya.
Mata kami saling bertemu beberapa detik. Ya, dia istriku. Dia Weni. Aku tidak salah, apalagi berhalusinasi. Weni belum meninggal, dia masih hidup. Ada denyutan nyeri di dadaku. Melihat wajah pucat itu, semakin pucat melihatku.
Ada luka di sana. Ada rahasia yang terpendam. Dia berusaha melepaskan genggaman tanganku.
"LEPAS! LEPASKAN AKU!" Dia memberontak. Berteriak kalap.
Aku tersentak. Mata Weni berkaca-kaca. Dia masih berteriak histeris. Memukul-mukul ke depan dengan tangannya yang bebas.
Namun, ada banyak pertanyaan di kepalaku. Siapa yang aku kuburkan kemarin? Lalu kenapa sekarang Weni seperti ini? Ada apa denganmu, Wen?
***
Jangan lupa like dan komen, yaa. Maaf, ya, agak terlambat. Rencananya pagi habis sahur. Eh, malah ada urusan. Yang belum subscribe, langsung subscribe, yaa.
"Maafkan Andre. Selama ini, Andre menghindar dari Mama. Andre salah, Ma. Maafkan Andre."Dulu, aku benar-benar menyayangi Mama. Menjaga pola makannya, semua aku jaga.Karena ada amanat dari Papa, tapi semenjak Mama memanfaatkan semuanya dariku, aku tidak lagi percaya pada Mama.Ah, apakah sekarang waktunya penyesalan? Atau saatnya memperbaiki semuanya?Aku mencium tangan Mama berkali-kali. Sedangkan Weni mengusap punggungku, berusaha menenangkan."Jangan teriak-teriak, Ndre." Mbak Linda menegurkuAstaga. Aku menutup mulut. Menatap Mama yang tampak payah. Sepertinya, rasa sakit itu terasa sekali."Mimpi apa Mama tadi malam, kamu bisa adadi sini hari ini, Ndre."Kami semua menoleh ke Mama. Wajah Mama terlihat tirus, sangat berbeda dari empat tahun yang lalu.Ini kegagalanku selanjutnya. Setelah Weni dan menegur Mama dulu. Ini juga yang menyakitkan bagiku."Semua karena Mbak Linda, Ma." Pandanganku juga beralih ke Weni. "Dan istri Andre, Weni.""Iya, Ndre. Mama tahu. Mama menyesal sudah
"Mas, ayo." Aku mengangguk, mengambil alih koper yang dibawa Weni. Kemudian mengunci pintu rumah. "Kebiasaan, deh. Aku mau bawa kopernya gak boleh.""Gak boleh, dong. Nanti kamu kecapekan.""Udah kayak pengantin baru aja, nih."Eh? Kami berdua kompak menoleh ke depan. Mbak Linda melipat tangannya di depan dada, tersenyum. "Mbak. Apa kabar?" Weni langsung menyalami Mbak Linda. Kami memang jarang bertemu dengan Mbak Linda dan Kak Anton. Ada banyak alasannya, salah satunya adalah pekerjaan aku dan Kak Anton. Rencananya, aku dan Weni akan liburan sekarang. Rea sudah di dalam mobil. Menunggu kami berangkat saja. "Eh, mana Rea cantik?" tanya Mbak Linda sambil menoleh ke mobil. "Di dalam mobil sama Putra, Mbak. Mana Kak Anton?" tanyaku sambil merangkul pinggang Weni. Putra adalah bayiku dulu. Sekarang, dia sudah empat tahun. Nah, selama empat tahun terakhir, aku memutuskan pindah ke rumah yang lebih luas. Dua tahun aku ditugaskan ke luar kota, mengajak Rea dan Putra. Sekarang, sud
"Sstt...."Aku menoleh ke Kak Anton yang baru saja memberikan kode. Dia menggelengkan kepala. "Kamu mau Rea keluar dari tempat ini dengan selamat, kan?" bisiknya. "Iyalah. Bisa dibawain pemukul aku kalau Rea gak keluar dengan selamat dari tempat ini."Pastinya. Bang Wira tidak akan terima, kalau Rea keluar tidak utuh dari tempat ini. "Maka nya, diam."Kami masih diam di tempat. Bersembunyi. Aku mengikuti perkataan Kak Anton. Benar katanya, aku tidak mungkin membiarkan anakku dalam bahaya. Entah apa yang akan dilakukan oleh Ayna. Kenapa dia sampai menculik Rea?"Kita mulai penyergapan." Kak Anton memberikan penutup mulut, membuatku mengernyit. Untuk apa?"Cepetan ambil." Kak Anton menatapku gemas. "Buat apa, Kak?""Kamu mau ikutan diculik kayak Rea? Lihat itu, banyak orang yang menjaga Rea. Bukan hanya wanita itu."Buru-buru aku mengambil penutup wajah yang diberikan oleh Kak Anton, kemudian memakainya. "Udah siap belum?""Udah.""Ayo, kita serbu sekarang."Aku dan Kak Anton ber
"Hah?! Gila kali, ya. Uang segitu banyak dari mana?" Tidak bisakah orang ini berpikir panjang? Kenapa dia malah mau memelorotiku. "Ini siapa, sih? Kenapa ngancam-ngancam?" tanyaku kesal. "Selain tidak pintar, kamu juga lambat berpikir, ya."Mendengar itu, wajahku memerah. Orang ini, membuatku marah saja. Dasar menyebalkan. "Anak kamu ada di tangan saya. Saya tunggu satu kali dua puluh empat jam. Atau anak ini, tidak akan pernah selamat."Aku mengembuskan napas pelan. Diam beberapa saat. Baiklah, aku akan menghubungi Kak Anton. Bertanya bagaimana baiknya. Baru saja menyalakan ponsel, Kak Anton sudah menghubungi duluan. Aku menggeser tombol berwarna hijau. "Halo, Ndre. Kamu dimana? Udah ketemu belum sama Rea?""Belum, Kak, tapi—""Astaga, kemana anak itu. Kenapa gak ketemu juga?""Ada yang nelepon Andre, Kak. Ada suara Rea juga, tapi dia minta tembusan lima ratus juta."Kak Anton diam sejenak di sana. "Posisi dimana, Ndre? Mbak sama Kakak kesana sekarang.""Masih di depan rumah,
"Yaudah, Mbak matiin teleponnya. Kamu pikirin baik-baik lagi, Ndre. Jangan sampai menyesal."Aku memalingkan wajah, kemudian kembali fokus menyetir. "Kenapa kamu sekarang jadi tidak mau membela Mama, Mas?""Pertanyaan apa itu, Wen?" tanyaku pelan. "Udah keliatan banget, Mas. Kamu berusaha menghindar dari Mama."Mendengar pertanyaan itu, aku tertawa. "Aku cuma gak mau ribut samakamu lagi. Hanya gara-gara Mama.""Tapi gak kayak gitu juga, Mas. Itu namanya kamu durhaka sama Mama. Itu gak baik.""Wen, udahlah. Jangan bersikap baik lagi sama Mama. Kamu udah disakitin, masih aja bela Mama.""Mas, selama itu kewajiban Weni sebagai istri buat ngingatin kamu, apa salahnya? Aku memang mau keadilan, tapi gak gini caranya."Aku menghentikan laju mobil di pinggir jalan, menatap Weni lembut."Mulai sekarang, kamu tenang aja. Aku bakalan selalu ada. Kehidupan kita bakalan tanpa Mama atau orang lain."***"Selamat datang di rumah kita yang baru." Aku membukakan pintu mobil untuk Weni. "Makasih, Ma
"Kamu lebih percaya sama rekaman pembohong itu, Ndre? Kamu gak percaya sama aku?"Mendengar itu, aku tertawa. Siapa yang mau percaya padanya, kalau dia saja pembohong?Ah, aku paling tidak suka dengab orang pembohong. "Kamu mau memilikiku, Ay?!" tanya pelan, tapi tegas."Ndre." Dia memasang wajah memohon. "Gak capek dramanya, Ay? Gak puas kamu mau hancurin rumah tanggaku? Belum puas kamu, hah?!" Wajahku memerah, sejak tadi menahan marah. Weni memegang tanganku. Saat aku menoleh, dia menggelengkan kepala. "Kamu tidak akan mengotori tangan kamu sendiri, kan, Mas?" biskk Weni. Ah, benar juga. Aku tidak akan pernah mengotori tanganku sendiri. Baiklah. Jaga sikap. "Kamu tahu, Ay. Orang yang mengganggu hidupku tidak akan pernah tenang. Walaupun Mama yang mengusuli itu, tapi kamu berperan penting di sini.""Lho, kok cuma aku? Harusnya Mama kamu juga ditangkap. Aku gak mau masuk penjara sendiri, Ndre."Aku mengabaikan perkataan Ayna. Dia harus tahu, kalau aku marah bagaimana. "Sini." A