“Aku kayaknya butuh waktu untuk mikir,” putus Lalita akhirnya.
Untungnya, Brian mengangguk pelan “Pikirin baik-baik,” ucapnya lembut. “Sekarang kita ke psikiater dulu.”
“Untuk apa?” protes Lalita.
“Buat buktiin kamu waras. Kalau kamu mau Om Hadi percaya, kamu harus kasih bukti.”
Saat Lalita mencoba mencerna, Brian sudah menekan nomor Hadi dan menyalakan loudspeaker, serta menyuruhnya diam.
“Halo, Om.”
“Ya Brian, gimana Lita?”
“Aku udah ngomong sama Lita. Aku bawa dia periksa ya, Om. Nanti hasilnya aku kasih.”
Dari seberang, Hadi tampak kesal. “Gak usah repot-repot, Brian. Biar Om aja. Om harus didik dia. Dia udah terlalu Om manja. Kali ini Om harus tegas. Sebentar lagi dia jadi istri orang. Kerja gak bisa, nabung gak bisa, sekarang malah sakit. Bisa-bisa calon suaminya kabur.”
Lalita menahan isak tangisnya.
Kata-kata ayahnya seperti tusukan pisau yang menghujam dadanya.
Menyadari itu, Brian langsung merespons cepat, “Gapapa, Om. Aku sekalian ke rumah sakit, mau tebus obat Papa. Jadi sekalian bawa Lita periksa. Gak repot sama sekali.”
“Ya udah.” Hadi menghela napas. “Tolong titip Lita. Oh, iya. Boleh kasih HP kamu ke dia? Om mau ngomong.”
Brian menyerahkan ponselnya ke Lalita. Suara ayahnya terdengar tajam.
“Lita… Dengerin papa baik-baik… Papa anggap gak denger omongan kamu tentang Citra dan Aldo tadi. Papa juga gak akan cerita ke mereka. Bisa sakit hati mereka denger tuduhan gak berdasar kamu itu. Sekarang ikut Brian, jangan nyusahin. Nurut!”
Lalita menunduk. Tak ada lagi kata-kata yang tersisa. Ia hanya menyerahkan ponsel itu kembali dan duduk diam di samping kursi kemudi.
Tak lama, keduanya pun tiba di rumah sakit dan Brian segera memberi instruksi pada Lalita.
“Habis dari psikiater, kamu cek lab untuk racun, ya."
“Bukannya aku udah terbukti aman?” Lalita menoleh dengan pandangan ragu. "Kurasa, lebih baik, kita investigasi dulu supaya ada bukti untuk diberikan ke Papa?"
"Urusan investigasi, orang-orangku yang lagi kerjain," jawab Brian santai.
Lalita tak menyangka Brian bukan lagi bocah kecil yang suka bermain di sungai ataupun remaja puber yang selalu berganti pacar setiap semester.
Dia adalah orang dewasa matang, salah satu pewaris Grup Wiguna.
Konglomerat yang memiliki banyak lini bisnis, termasuk rumah sakit tempat mereka berdiri sekarang.
Tunggu….
“Aku baru kepikiran, kenapa kamu kerja di kantor papaku?”
Brian tersenyum. “Aku bisa belajar banyak lini bisnis sekaligus kalau jadi konsultan. Papa udah setuju dan titip aku ke Om Hadi. Yah, pada dasarnya memang capable jadi bisa naik jabatan secepet ini, deh,” ujarnya menyombongkan diri.
Lalita hanya menatap Brian illfeel meski dia tahu bahwa Brian memang memiliki kemampuan.
"Oke kalau gitu. Makasih, Brian."
Dan begitulah….
Lalita hanya bisa menurut sepanjang hari.
Ia menjalani serangkaian konsultasi dan pemeriksaan laboratorium nyaris seharian penuh. "Aku kabarin kalau hasilnya udah keluar nanti. Sekarang kamu istirahat," ucap Brian setelah mereka sampai di apartemen Lalita.“Tapi… Kamu yakin pulang ke sini? Kamu bisa tinggal di salah satu apartemen punyaku,” tanya Brian lagi.
“Gapapa. Justru akan aneh kalau aku tiba-tiba pindah tempat tinggal.”
“Yakin?”
Lalita hanya mengangguk, “Yakin. Aku gak akan kenapa-napa. Maaf ngerepotin, ya.”
“Santai, toh demi calon istri sendiri.”
"Ck! Aku pergi dulu. Thanks, Brian."
Lalita tak ingin berlama-lama mendengar bualan Brian. Wanita itu langsung keluar dan mobil dan meninggalkannya.
Hanya saja, saat Lalita membuka pintu apartemennya, dua sosok yang paling ingin ia hindari kini duduk di sofa: Aldo dan Citra!
"Kak Lita, aku kangen!" sapa Citra penuh keramahan palsu, "kok kakak kayak lihat hantu sih?"
Lalita menarik napas dan memaksa dirinya untuk tersenyum.
Akting, Lalita. Akting.
"Hahahaha,” tawa Lalita, “aku kaget karena gak nyangka kalian datang. Aku baru pulang dari Bandung, capek banget habis... cafe hopping," bohongnya enteng.
Citra menatap curiga. "Tapi tumben gak bawa oleh-oleh?"
"Kalian kan sering banget ke Bandung, ngapain juga bawa oleh-oleh? Nanti pas aku ke Korea bulan depan, kubawain, ya,” jawab Lalita bercanda. “Pasir Jeju, mungkin?"
Citra tertawa kecil. “Oke. Ditunggu sama kerang-kerangnya.”
Sementara itu, Aldo mendekat lalu memeluknya. "Kamu capek, ya? Istirahat gih.”
Sial!
Lalita ingin muntah. Tapi ia hanya membenamkan wajahnya di dada pria itu agar tak curiga.
"Aku istirahat dulu ya. Kalian kerja lagi?" tanya Lalita basa-basi.
"Iya, Sayang. Minggu depan ada tender soalnya," jawab Aldo, "Oh iya, minum dulu teh ini baru tidur."
Lalita menatap nanar gelas itu.
Teh lemon hangat yang mungkin mengandung racun. Haruskah ia meminumnya?
Suara Brian lirih ketika mulai menceritakan awal mula kisahnya dengan Lalita—pertemuan kembali yang tak disangka, pernikahan kontrak demi keuntungan, hingga campur tangan Sabrina yang akhirnya memisahkan mereka.Matanya basah, setiap kata keluar dengan getir.Jujur saja Brian malu pada dirinya sendiri saat ini. Seharusnya ia tetap berjuang.Akan tetapi, Brian takut. Ia mengakui dirinya pengecut.Pria itu tak bisa lanjut berjuang di mana nyawa Hadi menjadi taruhannya. “Om… Saya… saya bener-bener terbiasa sama Lita yang ada di hidup saya. Saya suka saat sampe di rumah, ada Lita yang sambut saya. Apa saya bisa pulang ke rumah yang udah gak ada dia?”Brian berhenti sejenak, menelan sesak di dada. “Kalau Lita sakit, saya juga sakit, Om. Selama ini saya benci kalah. Tapi… saya lebih rela kalah, biar Lita gak sakit. Saya gak sanggup lihat dia sedih.”Meski matanya sudah di ujung mata, tak ada air mata yang mengalir di wajah Brian. Sungguh
“Kamu tuh ya, Citra! Bisa diem gak? Bantah aja mulu! Iya, iya, Mama cariin jalan keluarnya!” teriak Wita jengkel.Suara Wita memenuhi ruangan, seakan ikut memantul dari dinding yang jadi saksi pertengkaran mereka.Berhari-hari mendengar ocehan Citra membuat kepala Wita mendidih.“Cari kerja sana! Nyusahin aja di rumah!”Citra terdiam, bibirnya mengerucut.“Ck… terlalu dimanja emang…” gumam Wita, meski nada suaranya tak setajam tadi.Ruangan pun larut dalam keheningan. Hanya terdengar detak jam dinding yang menyiksa.Wita bersandar, matanya menerawang. Kata-kata Citra tadi menggema lagi di benaknya.Ia akhirnya meraih ponsel, berharap menemukan jawaban. Sudah beberapa hari ini Fuad tak memberi kabar.Dengan jari gemetar, ia mengetik pesan.[Sayang, kamu gak ke sini?]Namun, layar tetap sepi. Tidak ada balasan, bahkan tanda online pun tak munc
“Dengan demikian, sidang dinyatakan selesai.”Dug! Dug! Dug!Palu terakhir menghantam meja, menutup sidang yang melelahkan ini.Fauza pun langsung memeluk Lalita. "Akhirnya lo bebas dari benaluuuuu..."Lalita tersenyum. Perasaannya campur aduk.Di samping itu, ibu dan adik Aldo menyerang Lalita lagi seperti kesetanan.Brian yang sudah menduga itu langsung sigap memegangi mereka dan memanggil petugas."Sialan lo! Sialannn!" teriak ibu Aldo."Aku akan tuntut mereka, biar mereka bertiga bisa reuni di penjara..." gumam Brian.***Suasana rumah sakit masih tetap sama seperti hari-hari biasanya.Di koridor yang sepi, langkah kaki Wita terdengar terburu-buru, tumit sepatunya beradu dengan lantai dingin.Wajahnya pucat, sorot matanya gelisah.Sudah berhari-hari ia menunggu kabar, namun tak juga terdengar berita kematian Hadi.Ia menelan ludah, mengusap tengkuknya yang dibasahi keringat
Andreas berdiri perlahan, menatap lurus ke arah Raka.“Saudara Raka,” ucapnya datar, “Anda tadi menyebutkan bahwa Anda beberapa kali menyaksikan saudari Lalita menekan dan mempermalukan saudara Aldo. Bisa Anda jelaskan, kapan tepatnya peristiwa itu terjadi? Tanggal, tempat, atau setidaknya konteks kejadian?”Raka sedikit tertegun. “Saya… saya tidak ingat tanggal pastinya. Tapi saya yakin sering terjadi.”Andreas mengangguk singkat. “Baik. Jadi Anda tidak bisa memberikan satu pun contoh konkrit dengan waktu dan tempat yang jelas, benar begitu?”Raka mulai gelisah. “Saya… ya, mungkin saya tidak mengingat detailnya, tapi—”Andreas langsung memotong dengan tajam. “Saudara saksi, apakah benar anda adalah rekan kerja Aldo?”Raka terdiam.Meski jawaban dari pertanyaan ini adalah hal yang mudah. Entah mengapa Raka merasa ragu.“Be… Benar. Saya bawahan dari pak Aldo. Apa hubungan pertanyaan ini dengan kesaksian saya?”Andreas tersenyum tipis. “Justru sangat berhubungan. Bagaimana jika anda mem
Andreas kemudian melemparkan pertanyaan pada hadirin yang hadir."Bagaimana menurut hadirin sekalian? Ini sudah sangat jelas adalah penganiayaan. Ini adalah penyerangan..."Hakim mengetukkan palu. “Keberatan dicatat. Silakan lanjutkan, penasihat hukum tergugat.”Fikri menelan salivanya. Tegang.“Klien kami juga berada di bawah tekanan mental yang berat akibat masalah keluarga yang menumpuk. Ia manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan kecil. Tapi apakah pantas kesalahan sesaat itu dijadikan alasan untuk menghancurkan seluruh hidupnya? Apakah pantas seorang pria yang dikenal berbakti pada orang tua dijadikan seolah-olah monster?”Ibunda Aldo yang duduk di kursi pengunjung terisak keras, seakan membenarkan ucapan itu.Cih! Fauza berdecak kesal."Dijadikan seolah-olah monster? Gila ya pengacara ini? Dia memang monster!" gumam Fauza lagi.Akan tetapi, Lalita memegang tangan Fauza pelan, "Sabar, Za. Yang te
Ruang sidang mendadak gempar. Beberapa pengunjung menutup mulut, sebagian lain saling berbisik.Hakim segera mengetukkan palu tiga kali. “Tenang! Hadirin dimohon tenang! Hormati proses persidangan!"Ruang sidang mendadak gempar. Beberapa pengunjung menutup mulut, sebagian lain saling berbisik.Hakim segera mengetukkan palu tiga kali. “Tenang! Jika ada keributan lagi, saya akan mengosongkan ruang sidang!”Andreas maju selangkah, melanjutkan, “Apakah anda yakin dengan apa yang anda lihat saat itu?”Hilda mengangguk mantap. “Saya sangat yakin. Bukan hanya saya, seluruh karyawan yang masuk juga melihat dengan jelas kejadian penyerangan itu.”“Lebih tepatnya bagaimana saudara Aldo menyerang saudari Lalita?” tanya Andreas lagi.“Kau!” ucap Aldo geram dari kursinya.Hilda langsung refleks menutup mata dan sedikit meringkuk. Jelas sekali itu adalah gestur ketakutan.Petugas yang siaga pun refleks menggenggam Aldo dan memaksanya duduk kembali.“Pak Aldo pukul sekaligus tendang bu Lalita. B… Bu