“Tau apa lo soal kebahagiaan Alda?!” Napas Ardian memburu. Ia tatap Aksa dengan tatapan berkilat tajam. Aksa tersenyum remeh. “Perlu gue perjelas? Hidupnya sekarang semakin runyam setelah nikah sama lo.” Pemuda itu mendekat. Menepuk-nepuk pelan pundak Ardian. “Udahlah, serahin aja Alda sama gue. Gue masih mau kok meski dia udah jadi janda.” “BAJINGAN!!” Tanpa babibu, begitu saja Ardian melayangkan tinjunya ke wajah Aksa. “Dengar, sampai mati pun gue nggak akan serahin Alda sama manusia berwatak setan kayak lo!!” Aksa terkekeh. Ia usap ujung bibirnya yang mengeluarkan darah. “Fine kalau gitu. Gue akan rebut dia dari lo. Pake cara apapun itu.” BUGH! Sekali lagi Ardian melayangkan tinjunya. “Jangan berani sentuh istri gue! Atau lo rasain sendiri akibatnya!” ujarnya penuh peringatan. “Liat, lo ini pemarah. Alda akan hidup sengsara sama lo.” Geram, sekali lagi Ardian melayangkan tinjunya. Tak segan menendang pemuda yang berstatus sebagai kakaknya itu hingga tersungkur
Sore itu, langit berwarna jingga pudar. Di taman belakang rumah mewah tiga lantai itu, dua pria dewasa berdiri dan saling tatap dalam diam yang menegangkan. Mereka adalah Ardian dan Aksa.“Langsung to the point!” Ardian memandang Aksa lurus. Sungguh tak minat sekali berbicara dengan kakaknya itu. Jika bukan karena sang bunda yang meminta ia dan Alda datang ke rumah ini, ia pasti tidak akan datang selagi Aksa ada di sana.“Lepaskan Alda!” pinta Aksa. Ia menatap Ardian tak kalah dingin.Ardian berdecih, tingkah kakaknya ini sangatlah memalukan. Dulu, segalanya sudah ia relakan. Ia selalu mengalah dari Aksa. Namun, semakin ke sini tingkah kakaknya itu semakin kelewatan.“Alda bukan barang yang bisa dimiliki, ditukar, dan diminta seenak jidat!!”Di depan Ardian, Aksa tersenyum meremehkan. Netranya menatap pemuda itu tak bersahabat.“Dia nggak pantas sama lo!”Ardian tersenyum miring. “Terus, lo kira lo yang lebih pantas?” tanyanya sarkas. “Hanya orang bodoh yang akan bilang kalo Alda pant
“Sudah ada informasi mengenai adik kamu?” Perempuan yang sedang duduk di sofa itu lantas berbalik. Sang mama yang barusan menanyainya. Diana Ariska lebih tepatnya.“Belum ada info sama sekali, Ma.” Diana yang sudah duduk di samping putrinya lantas menghela. Sudah sekian tahun ia mencari putrinya yang hilang. Namun hingga kini tak kunjung ditemukan.Clarissa Ayudia, ia menghilang usai Diana mengajaknya berkunjung ke rumah sang nenek. Saat itu, di tengah perjalanan pulang ke rumah, beberapa orang datang menghadang mobil mereka dan mengambil Clarissa yang masih berusia satu bulan.“Ada apa, Pak?” tanya Diana saat pak Roni--supir pribadi keluarganya-- tiba-tiba menghentikan mobil secara mendadak.“Ada beberapa orang yang mencegat perjalanan kita, Nyonya.”Belum sempat Diana menyahut, seseorang tiba-tiba mengetuk kaca mobil dengan brutal. “BUKA KACA MOBILNYA!!”“Jangan turun, Pak. Bahaya!” cegah Diana kala pak Roni ingin turun. “Biar saya telpon--”Terlambat, ponsel Diana yang sebelumnya
"Tante Elya ngomong apa aja tadi?" Ardian menghampiri Alda yang sudah sibuk dengan ponselnya. Seolah tak pernah terjadi apa-apa, ucapan Elya padanya dianggap angin lalu."Kepo deh." Gadis itu berbalik. Terkikik geli ketika Ardian memasang wajah masam."Tapi, dia nggak ngapa-ngapain kamu, kan?" Di detik yang sama, raut Ardian berubah khawatir."Nggak kok. Jangan khawatir berlebihan gitu deh. Aku nggak apa-apa."Ardian menghela. Kini beralih mendekati istrinya dan duduk di sisi gadis itu. "Alda, mungkin setelah ini akan ada banyak penolakan dari keluarga saya untuk kamu. Beberapa dari mereka hanya memandang seseorang dari segi harta. Mereka juga suka blak-blakan dan nggak bisa menjaga perasaan orang lain." Ardian menjeda."Saya harap, sikap buruk dan penolakan itu nggak akan membuat kamu mencari-cari alasan untuk bisa segera lepas dari saya."Alda tertawa. "Sepertinya, Kakak terlalu takut aku tinggalkan, ya?""Saya serius!"Kontan gadis itu menutup mulutnya dengan tangan. Tatapan Ardi
"Udah sehat?" Ardian menyambut Alda di dapur dengan senyuman. Meja makan kini sudah penuh dengan makanan. Tentu saja pemuda itu yang memasaknya.Alda mengangguk. Ia lalu menarik kursi di hadapan Ardian. "Udah mendingan. Kan, dirawat sama dokter pribadi." Gadis itu terkikik geli. Sengaja mengerlingkan mata dengan tatapan genit.Ardian geleng kepala. Sudah tak heran dengan tingkah istrinya yang selalu di luar prediksi BMKG. Ia bahkan sampai berpikir jika sehari saja Alda berubah menjadi kalem, mungkin dunia akan segera kiamat."Kakak nggak masuk kantor?" tanya gadis itu heran. Jam digital di dinding dapur sudah menunjukkan pukul 07.35. Biasanya, di waktu seperti ini, Ardian sudah mengenakan setelan rapi dan siap berangkat. Tapi pagi ini, ia masih terlihat santai dengan celemek yang melekat di tubuhnya.Ardian menghela napas. Begitu saja tangannya terulur untuk mengecek suhu tubuh Alda. "Nih, ini aja masih panas. Mana bisa saya main pergi gitu aja?""Aku udah nggak apa-apa, kok. Bentar
"Hatchim!"Ardian mendekati Alda yang sudah meringkuk di balik selimut tebalnya usai melaksanakan shalat isya. Menerobos hujan ketika pulang kuliah sore tadi ternyata baru berefek sekarang. Gadis itu jadi bersin-bersin."Hatchim!""Lain kali, kalo kehujanan neduh dulu. Jangan diterobos aja itu hujan. Udah tau kamu gampang flu, gampang masuk angin, masih aja nekat!"Di balik selimut tebal itu, Alda mengelap hidungnya dengan tissue. Kali ini sudah tidak peduli lagi dengan omelan Ardian. Kepalanya yang pening dan badannya yang terasa lemas membuatnya tak berdaya untuk membalas omelan sang suami.Ardian menghela. Sorot matanya memperlihatkan kekhawatiran ketika tangannya menyentuh dahi Alda. "Panas banget."Ia segera beranjak. Masih sempat mengusap lembut rambut sang istri sebelum berlalu.Sekitar lima menit, Ardian akhirnya kembali dengan nampan berisi makanan. Kebetulan Alda belum makan. "Makan dulu. Habis itu istirahat," ujarnya usai memasang plester demam di dahi gadis itu."Aku nggak