Beranda / Romansa / Istri Buat Om Duda / Bab 7 Keraguan Lintang

Share

Bab 7 Keraguan Lintang

last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-19 13:28:58

Lintang membuka mata perlahan, silau cahaya pagi menerobos masuk melalui tirai kamarnya yang tidak tertutup sempurna. Ia menggapai ponsel di meja samping tempat tidur. Pukul 6:30. Masih ada waktu sebelum harus bersiap ke kantor.

Jarinya mengusap layar, membuka galeri foto. Berhenti pada satu gambar yang diambil dua malam lalu. Foto dirinya, Arya, dan Kayla, berpose di depan meja makan penuh sisa-sisa nasi goreng dan telur mata sapi. Wajah mereka berseri-seri, Kayla di tengah dengan senyum lebar, sementara tangan Arya melingkar lembut di pinggang Lintang.

Lintang tersenyum, tapi senyum itu perlahan memudar. Ia teringat apa yang terjadi setelah foto itu diambil. Setelah Kayla tertidur. Ciuman itu. Ciuman lembut di teras belakang rumah Arya, di bawah langit berbintang.

Ciuman itu seharusnya membuatnya bahagia. Tapi kenapa sekarang, saat sendirian di kamarnya yang sepi, ia justru merasa... takut?

Ponselnya berdering. Pesan dari Arya: "Pagi, Lin. Mimpi indah? 😊"

Lintang memandangi pesan itu lama. Jarinya bergetar di atas keyboard.

"Pagi juga. Iya, tidurku nyenyak. Kamu?"

Singkat, tanpa emoji. Lintang menghela napas. Kenapa ia jadi seperti ini? Bukankah ia yang selama ini menginginkan kedekatan, kehangatan, dan mungkin... cinta?

Tapi cinta dengan seorang duda? Dengan anak? Lintang bangkit, berjalan mondar-mandir di kamar. Pikirannya kacau.

Di kantor, Lintang memaksakan senyum saat menyapa rekan-rekannya. Ia masih dipuji atas kesuksesan rapat strategi kemarin. Tapi semua pujian itu terasa hambar. Ia terus memikirkan Arya dan Kayla. Terus menimbang-nimbang.

Saat makan siang, Dewi, sahabatnya sejak kuliah, menyadari ada yang tidak beres. "Lin, kamu kenapa? Bukannya harusnya lagi happy? Rapat kemarin kan sukses besar."

Lintang memainkan sedotan jus apelnya. "Dewi... kalau kamu jatuh cinta sama duda, gimana?"

Dewi tersedak roti lapis tunanya. "Hah? Kamu... sama Arya?"

Lintang mengangguk pelan. Dewi tahu tentang Arya. Lintang sering cerita, meski belum pernah mengaku ada perasaan khusus.

"Terus masalahnya apa? Arya kan baik. Mapan. Ganteng lagi," Dewi mengerling.

"Tapi dia duda, Wi. Punya anak. Kayla..." Lintang menatap kosong ke luar jendela kafe. "Aku... aku takut nggak bisa jadi ibu yang baik."

Dewi meraih tangan Lintang. "Lin, kamu itu wanita terhebat yang pernah aku kenal. Kamu pikir kenapa kamu bisa jadi manajer termuda? Karena kamu nggak pernah nyerah. Kamu selalu belajar."

"Tapi ini beda, Wi. Ini anak manusia. Kalau aku salah..."

"Kamu nggak akan salah," Dewi memotong tegas. "Aku lihat gimana kamu sama Kayla. Kamu sayang dia. Dan dia sayang kamu. Itu yang penting."

Lintang terdiam. Ia teringat senyum Kayla saat menerima buku "Putri dan Naga". Teringat tawa renyahnya saat memotong daun bawang untuk nasi goreng. Dan kata-katanya, "Tante kan udah jadi bagian dari keluarga kita."

Keluarga. Kata yang dulu terasa asing bagi Lintang. Dulu, karirnya adalah segalanya. Tapi sekarang...

"Wi, aku... aku rasa aku cinta sama Arya."

Dewi tersenyum lebar. "Nah, akhirnya ngaku juga. Terus?"

"Tapi aku takut," Lintang berbisik. "Kalau nanti nggak berhasil... Kalau nanti aku menyakiti Kayla..."

"Lin," Dewi menatap serius, "hidup itu nggak ada jaminan. Tapi kita nggak bisa diem aja gara-gara takut. Cinta itu perlu keberanian."

Sore itu, Lintang duduk di mobilnya di parkiran kantor. Ponselnya bergetar. Pesan dari Arya: "Kayla nanya, kapan Tante Lintang main lagi. Dia kangen."

Hati Lintang mencelos. Ia memejamkan mata, teringat malam di teras belakang. Ciuman itu. Lembut, tapi penuh janji. Janji akan hari-hari cerah, tawa Kayla, dan... keluarga.

Tapi bagaimana jika ia gagal? Bagaimana jika, seperti orang tuanya dulu, ia dan Arya berakhir dengan pertengkaran dan air mata? Bagaimana jika Kayla harus melihat itu semua?

Lintang teringat album foto lama di apartemennya. Album berisi foto-foto masa kecilnya. Foto-foto di mana ia tersenyum lebar, diapit kedua orang tuanya. Sebelum perceraian itu. Sebelum ia bersumpah untuk tidak pernah jatuh cinta, untuk tidak pernah membuat seorang anak merasakan apa yang ia rasakan.

Tapi kemudian ia teringat kata-kata ibunya, setahun sebelum ibunya meninggal karena kanker. "Lintang, Ibu menyesal. Bukan karena bercerai dengan ayahmu. Tapi karena membiarkan kamu berpikir bahwa cinta itu hanya menyakitkan. Cinta itu indah, Nak. Berani mencinta lagi. Demi Ibu."

Air mata Lintang menetes. Ia meraih ponselnya, mengetik pesan untuk Arya:

"Aku juga kangen kalian. Besok Sabtu, aku ke sana ya. Kita piknik di taman kota. Bawa bekal nasi goreng?"

Balasan Arya datang nyaris seketika: "Tentu! Kayla sudah loncat-loncat senang. Dan Lin... terima kasih. Untuk berani mencoba."

Lintang tersenyum di antara air mata. Berani mencoba. Ya, mungkin itu yang ia butuhkan sekarang. Keberanian untuk membuka hati, untuk mengambil risiko, untuk percaya bahwa kadang, cinta bisa datang dalam bentuk seorang duda tampan dan putri kecilnya yang ceria.

Ia menyalakan mesin mobil. Besok Sabtu. Besok, ia akan melangkah maju. Bukan sebagai Lintang si wanita karir yang takut terluka, tapi sebagai Lintang yang berani mencinta. Lintang yang mungkin, suatu hari nanti, akan dipanggil "Mama" oleh seorang gadis kecil bernama Kayla.

Dan mungkin, hanya mungkin, kali ini cinta tidak akan menyakitkan. Kali ini, cinta akan terasa seperti piknik di taman kota, nasi goreng hangat, dan janji akan keluarga yang utuh.

(◕‿◕)

Malam itu, Lintang tidak bisa tidur. Ia terus membolak-balik tubuhnya di tempat tidur, pikirannya berkecamuk. Keputusan untuk piknik besok dengan Arya dan Kayla terasa benar, tapi juga menakutkan. Seolah dengan menerima ajakan itu, ia telah membuka pintu menuju sesuatu yang lebih besar, lebih serius.

Akhirnya, frustasi, Lintang bangkit. Ia berjalan ke arah rak buku di sudut kamar. Tangannya menyusuri deretan novel dan buku bisnis, berhenti pada sebuah album tua. Album yang sama yang tadi siang membuatnya teringat akan janji pada ibunya untuk berani mencintai lagi.

Lintang membawa album itu ke tempat tidur, membukanya perlahan. Halaman pertama: foto kelulusan SD-nya. Ia tersenyum melihat dirinya yang kecil, memegang piala dan sertifikat, diapit ayah dan ibunya yang tersenyum bangga. Tapi senyum itu memudar saat ia ingat, dua bulan setelah foto itu diambil, pertengkaran hebat pertama terjadi.

Halaman berikutnya, foto ulang tahunnya yang ke-15. Hanya ada ibunya di sana. Ayahnya sudah pergi, memilih keluarga barunya di luar kota. Lintang ingat, malam itu ia bersumpah tidak akan pernah jatuh cinta. Tidak akan pernah membiarkan seorang pria membuatnya merasa ditinggalkan seperti ibunya.

Lintang membalik halaman demi halaman. Foto-foto kelulusannya, wisudanya, bahkan pesta untuk jabatan manajernya. Semuanya hanya ada ibunya. Tapi di setiap foto, senyum ibunya tak pernah pudar. Meski sendiri, meski mungkin hatinya masih terluka, ibunya tetap tersenyum. Untuk Lintang.

"Ibu," bisik Lintang, jarinya menyusuri wajah ibunya di foto terakhir, diambil sebulan sebelum ibunya meninggal. "Aku takut, Bu. Bagaimana kalau aku juga ditinggalkan? Bagaimana kalau aku juga menyakiti Kayla, seperti Ayah menyakitiku?"

Seolah menjawab, ponselnya bergetar. Lintang mengambilnya, mengira pesan dari Arya. Tapi bukan. Itu notifikasi dari aplikasi jurnal digital yang ia gunakan. "Pengingat: 2 tahun yang lalu hari ini, Anda menulis..."

Penasaran, Lintang membuka aplikasi itu. Entri yang muncul membuatnya tercekat:

"10 Juni 2022. Ibu pergi hari ini. Tapi sebelumnya, ia memintaku berjanji. 'Berani mencinta lagi,' katanya. Aku tidak mengerti, Bu. Bukankah cinta itu yang membuatmu terluka? Yang membuatku terluka? Tapi Ibu bilang, 'Cinta bukan hanya tentang dipilih, Lintang. Tapi juga tentang memilih. Memilih untuk tetap mencintai meski sakit. Memilih untuk membuka hati lagi. Karena kadang, cinta datang dengan cara yang tak terduga.'"

Air mata Lintang menetes. Ia teringat hari itu, hari terakhir ibunya. Bagaimana di tengah rasa sakitnya, ibunya masih memikirkan kebahagiaan Lintang. Masih percaya pada cinta.

Lintang meraih ponselnya lagi, membuka galeri. Ada foto yang ia ambil diam-diam minggu lalu. Arya dan Kayla di taman bermain, duduk di ayunan. Arya mendorong ayunan Kayla pelan-pelan, wajahnya serius tapi matanya berbinar. Dan Kayla, tertawa lepas, rambutnya berkibar tertiup angin.

"Memilih untuk tetap mencintai," Lintang berbisik, mengulang kata-kata ibunya. Ia sadar sekarang. Arya memilih untuk tetap mencintai Kayla meski pernikahannya hancur. Dan mungkin, mungkin Arya juga memilih untuk membuka hatinya lagi, untuk Lintang.

Dan Lintang? Ia telah memilih untuk datang ke piknik besok. Untuk membawa nasi goreng. Untuk mencoba, meski takut.

Tiba-tiba, Lintang teringat sesuatu. Ia melompat dari tempat tidur, menuju dapur. Di sana, di rak paling atas, tersembunyi di belakang toples-toples bumbu, ada sebuah buku. Buku resep peninggalan ibunya.

Lintang membuka buku itu, halaman-halamannya menguning dan agak rapuh. Tapi resep nasi goreng ibunya masih terbaca jelas. Dengan tulisan tangan ibunya di tepi halaman: "Resep cinta. Buatlah dengan sepenuh hati."

Lintang tersenyum. Besok, ia akan membuat nasi goreng ini. Bukan hanya untuk Arya dan Kayla, tapi juga untuk dirinya sendiri. Sebagai pengingat bahwa ia, Lintang, putri dari seorang wanita yang tetap percaya cinta meski terluka, kini berani memilih. Memilih untuk mencoba. Memilih untuk mencintai.

Ia kembali ke kamar, memeluk album fotonya erat-erat. "Ibu," bisiknya, "besok aku akan membuktikan. Aku akan berani seperti Ibu. Aku akan mencintai lagi."

Malam itu, Lintang akhirnya bisa tidur. Dan ia bermimpi. Mimpi tentang piknik di taman, tawa Kayla, senyum Arya, dan aroma nasi goreng. Mimpi tentang keluarga. Mimpi tentang cinta yang datang dengan cara yang tak terduga.

Keesokan paginya, Lintang bangun dengan tekad baru. Rasa takutnya masih ada, tapi kini ada sesuatu yang lebih kuat. Keberanian. Keberanian yang diwariskan ibunya. Keberanian untuk memilih cinta.

Di dapur, Lintang mulai meracik nasi goreng. Setiap bahan ia pilih dengan hati-hati. Setiap gerakan penggorengan ia lakukan dengan penuh perasaan. Dan saat aroma nasi goreng memenuhi apartemennya, Lintang tahu. Ia siap. Siap untuk piknik. Siap untuk Arya dan Kayla.

(◕‿◕)

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Buat Om Duda   Bab 56

    Sementara karir Lintang melambung tinggi, Arya mulai merasakan keinginan untuk memiliki tantangan baru dalam hidupnya. Setelah bertahun-tahun bekerja di perusahaan konsultan, ia merasa sudah waktunya untuk mencoba sesuatu yang berbeda.Suatu malam, saat anak-anak sudah tidur, Arya membuka pembicaraan dengan Lintang."Sayang," ujarnya, "aku sedang memikirkan sesuatu."Lintang menoleh, penasaran. "Apa itu, Ar?""Aku... aku ingin mencoba memulai bisnis kecil sendiri," Arya mengungkapkan keinginannya.Lintang tersenyum, "Itu ide yang bagus! Bisnis apa yang kamu pikirkan?"Arya menghela napas, "Aku ingin membuka toko buku kecil, dengan kafe di dalamnya. Tempat dimana orang bisa membaca sambil menikmati kopi.""Wah, itu terdengar menarik!" Lintang berseru antusias. "Tapi, apa kamu yakin ingin meninggalkan pekerjaanmu yang sekarang?"Arya mengangguk, "Aku sudah memikirkannya matang-matang. Dengan posisimu sekarang, aku rasa ini saat yang tepat untuk mencoba sesuatu yang baru."Lintang mengge

  • Istri Buat Om Duda   Bab 55

    Lintang menemui Pak Hendra dan menerima tawaran tersebut. Ia memulai perannya sebagai Wakil Direktur Utama dengan semangat baru.Meskipun jadwalnya menjadi lebih padat, Lintang berusaha untuk tetap menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga. Ia selalu menyempatkan diri untuk sarapan bersama dan menghadiri acara-acara penting anak-anaknya.Suatu malam, saat Lintang sedang lembur di kantor, ia mendapat video call dari keluarganya. Mereka menunjukkan makan malam yang sudah mereka siapkan."Kami tahu Mama sedang sibuk, jadi kami buatkan makan malam spesial!" seru Rizki.Lintang tersenyum lebar, merasa beruntung memiliki keluarga yang begitu pengertian.Seiring berjalannya waktu, Lintang semakin mahir mengelola waktunya. Ia bahkan mulai mengajarkan Kayla tentang manajemen waktu dan kepemimpinan, berbagi pengalamannya sebagai wanita karir.Melalui perjuangannya menghadapi krisis dan tantangan barunya sebagai Wakil Direktur Utama, Lintang membuktikan bahwa dengan dukungan keluarga dan teka

  • Istri Buat Om Duda   Bab 54

    "Lintang Menghadapi Krisis Perusahaan" Lintang terbangun lebih awal dari biasanya. Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Sudah seminggu ini perusahaan tempatnya bekerja sebagai Direktur Keuangan menghadapi krisis yang cukup serius.Arya, yang merasakan kegelisahan istrinya, membuka mata. "Ada apa, sayang?" tanyanya lembut.Lintang menghela napas panjang. "Aku khawatir tentang situasi di kantor, Ar. Kita kehilangan beberapa klien besar bulan ini, dan angka penjualan menurun drastis."Arya menggenggam tangan Lintang, memberikan dukungan tanpa kata. "Kamu pasti bisa mengatasinya. Kamu selalu punya solusi untuk setiap masalah."Lintang tersenyum lemah, "Terima kasih, Ar. Aku harap begitu."Saat sarapan, Kayla dan Rizki bisa merasakan ketegangan yang menyelimuti ibu mereka."Mama kenapa?" tanya Rizki polos.Lintang berusaha tersenyum, "Tidak apa-apa, sayang. Mama hanya sedang banyak pikiran tentang pekerjaan."Kayla, yang kini sudah lebih dewasa, mengerti

  • Istri Buat Om Duda   Bab 53

    Kayla mengangguk, tersenyum hangat, "Iya, Pa. Aku bersyukur kita semua bisa bersama sekarang."Sementara itu, di meja makan, Rizki sibuk menggambar dengan crayon warna-warninya. Lintang memperhatikan dengan penuh kasih sayang."Nah, sudah selesai!" seru Rizki bangga, mengangkat hasil karyanya.Lintang melihat gambar itu - lima sosok stick figure dengan ukuran berbeda-beda, berdiri bergandengan tangan dengan senyum lebar di wajah mereka."Ini Papa," Rizki menunjuk figur tertinggi, "ini Mama," ia menunjuk figur di sebelahnya, "ini Kak Kayla," figur yang sedikit lebih pendek, "ini aku," figur terkecil, "dan ini..." Rizki terdiam sejenak."Siapa itu, sayang?" tanya Lintang lembut.Rizki tersenyum malu-malu, "Ini adik bayi. Aku ingin punya adik, Ma."Lintang terkejut mendengar ini. Ia memeluk Rizki erat, "Oh, sayang. Kita lihat nanti ya. Yang penting sekarang, kita sudah punya keluarga yang sangat bahagia."Malam itu, setelah anak-anak tidur, Arya dan Lintang berbincang di kamar mereka."K

  • Istri Buat Om Duda   Bab 52

    Pagi itu, rumah keluarga Arya-Lintang dipenuhi kegaduhan yang menyenangkan. Hari ini adalah hari pertama Rizki, putra bungsu mereka yang berusia 6 tahun, masuk Sekolah Dasar."Rizki, ayo cepat makan sarapanmu," ujar Lintang, sambil merapikan dasi seragam putranya.Rizki, dengan mata berbinar penuh semangat, melahap roti isinya dengan cepat. "Sudah, Ma! Aku siap berangkat!"Arya tertawa melihat antusiasme putranya. "Pelan-pelan, jagoan. Kita masih punya waktu."Kayla, yang kini duduk di kelas 2 SMA, turun dari lantai atas dengan tas sekolahnya. "Wah, adikku sudah besar ya," godanya sambil mengacak rambut Rizki."Kak Kayla! Jangan mengacak rambutku," protes Rizki, tapi tetap tersenyum lebar.Lintang memandang ketiga orang yang dicintainya dengan haru. "Baiklah, ayo kita berangkat. Tidak ingin terlambat di hari pertama, kan?"Mereka semua naik ke mobil. Arya menyetir, sesekali melirik ke kursi belakang dimana Rizki duduk dengan gelisah, jemarinya memainkan tali tas barunya."Nervous, nak

  • Istri Buat Om Duda   Bab 51

    Minggu pertama Kayla di SMA berlalu dengan cepat. Setiap hari ia pulang dengan cerita baru, membuat Arya dan Lintang semakin penasaran dengan kehidupan SMA putri mereka.Saat makan malam keluarga, Kayla tiba-tiba berkata, "Pa, Ma, besok ada pertemuan orangtua murid."Arya dan Lintang saling pandang. "Oh ya? Kenapa baru memberitahu sekarang, sayang?" tanya Lintang.Kayla mengangkat bahu, "Maaf, Ma. Aku lupa. Tapi... bisakah kalian datang?""Tentu saja," jawab Arya. "Papa dan Mama akan mengatur jadwal kami."Keesokan harinya, Arya dan Lintang duduk di aula sekolah bersama orangtua murid lainnya. Mereka mendengarkan penjelasan kepala sekolah tentang kurikulum dan kegiatan sekolah.Tiba-tiba, Lintang menyenggol Arya pelan. "Lihat," bisiknya, menunjuk ke arah seorang pria yang duduk beberapa baris di depan mereka. "Bukankah itu ayah Rafi?"Arya memicingkan mata, lalu mengangguk. "Sepertinya iya."Setelah pertemuan selesai, Arya dan Lintang memutuskan untuk mendekati ayah Rafi."Permisi," s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status