Wajah Masam
Aku menyerahkan ponsel yang sudah ketemu itu, mengulurkan tangan dengan wajah masam. Tidak mengucapkan apapun, hanya diam seribu bahasa."Terimakasih mah," ucap mas Hanung. Aku hanya mengangguk, anggukan kecil, lalu segera bergegas menuju ke arah putra keduaku.Mas Hanung membawa tasnya, tas persegi berwarna coklat tua, terbuat dari kulit asli, cukup mewah. Dia terlihat menyapa Bintang dan Adam, mengecup dahi keduanya.Aku melirik ke arahnya, lalu mencium tangannya, mungkin dia sudah tidak lagi peka, ataupun ingat, bahwa ada seonggok daging hidup yang ingin juga mendapat sapaan yang sama, berupa kecupan. Ah, sudahlah, sepertinya keromantisan bukan hal yang penting lagi."Aku berangkat dulu mah, nanti sore ada rapat, mungkin aku pulang malam," ucapnya. Mas Hanung bersiap keluar, aku hendak mengikutinya, namun dia memberi isyarat larangan."Kau lanjutkan saja, aku bisa sendiri," ucap mas Hanung seraya tersenyum."Assalamualaikum," salam mas Adam."Waalaikumsallam," jawab salamku, mau tidak mau aku harus menjawab, tidak lagi bisa mengunci bibir sebagai isyarat kesal.Aku melihat mas Hanung berjalan keluar, lalu masuk ke dalam mobil, tanpa melihat ke belakang. Bergegas pergi, meninggalkan rumahnya, istrinya juga anak anaknya untuk bekerja mencari nafkah."Din din," terdengar suara klakson mobil jemputan Adam. Aku segera membereskan tas dan bekal yang harus Adam bawa."Adam, nanti sekolahnya yang bagus ya, anak bunda," ucapku seraya memberi kecupan pada kening Adam.Adam meraih tanganku, menciumnya, lalu bergegas masuk ke dalam mobil jemputan sekolah. Aku menghela nafas lega, putra pertamaku sudah menuju ke sekolah, lalu aku segera masuk ke dalam rumah dan membantu putra keduaku menyeleseikan sarapannya.Bintang masih dengan tenangnya duduk di dalam baby walker tanpa roda, sambil sibuk mengunyah finger foodnya berupa wortel rebus. Dia dikelilingi dengan segala macam mainan yang mencuri perhatiannya.Apa dia akan melompat? tidak, dia masih dalam usia yang tidak mungkin hal itu terjadi, apalagi aku menengoknya setiap sekian menit atau bahkan detik.Aku membiarkannya, mungkin dia masih ingin menikmati makanannya. Aku menuju ke arah kaca besar yang ada di ruang tengah. Berdiri di depan kaca, melihat penampakan yang muncul.Wah, di sana ada wanita sedikit berisi, dengan daster corak batik berwarna biru. Rambutnya hanya diikat seadanya, dan wajahnya terlihat alami, hanya diguyur air wudhu subuh tadi.Aku melihat wajahnya, belum terlalu banyak keriput, tapi kusam tidak terawat. Beberapa bekas jerawat di beberapa titik, juga noda hitam akibat sunar matahari.Aku melihat rambutnya, sungguh sangat berantakan, ada sedikit rambut putih di sana, mana sempat mengecat rambut, aku lebih memilih untuk membiarkannya. Ya, wanita yang terlihat dikaca adalah diriku, diriku yang sekarang."Buruk rupa? benarkah?" ucapku dalam hati."Aku hanya perlu luluran, creambath, hair spa, hair tonic, blow, kemudian face scrub, face mask, make up, terus manicure, padicure, wah," gumamku seraya membayangkan betapa nikmatnya itu semua, sesuatu yang sudah tidak pernah aku lakukan tuju tahun terakhir ini.Tiba tiba angan anganku dibuyarkan oleh suara tangis Bintang."Bintang," ucapku gugup. Aku segera mendekat ke arah Bintang."Bintang," ucapku lembut. Rupanya dia menangis karna wortelnya jatuh ke lantai."Jatuh ya, ini mama kasih yang baru," ucapku seraya mengambil wortel rebut baru di mangkuknya.Aku menghela nafas panjang, sepertinya sudah tidak ada harapan lagi untukku membenahi diri. Tapi, kenapa sekejam itu, haruskah si buruk rupa? seingatku, dulu suamiku menamaiku istriku di ponselnya. Apa semuanya sudah berubah? aku tidak ingin memikirkan hal yang tidak tidak. Mungkin suamiku hanya ingin bercanda, membuat lelucon dan sejenisnya, namun jujur rasanya cukup sakit.Mungkin, istri istri yang lain mendapat nama My wife, cintaku, istriku, kekasihku, mama anak anak, mama yang diikuti nama anaknya, atau yang lainnya. Atau mungkin nama yang lebih romantis, seperti belahan jiwaku, separuh nafasku, wah, sepertinya hanya ada di dunia drama percintaan yang ada di televisi.Sekali lagi aku menghela nafas panjang. Apa aku harus membenci suamiku? oh, tidak mungkin, aku akan menyimpan ini di dalam hati, dia laki laki yang bertanggung jawab, mau menafkahi keluarga juga setia, lalu untuk apa aku membuat gara gara hanya karna nama itu, ya, aku harus bisa menahan diri, demi kebaikan rumah tangga.***Di kantor, Hanung terlihat menyapa beberapa rekan kerjanya. Di ujung jalan terlihat Tania, staff yang juga bekerja di bagian keuangan. Janda tanpa anak, ceritanya dia harus bercerai karna suaminya lebih memilih bekerja di luar negeri, tidak ingin memiliki ikatan apapun, atau lebih tepatnya meninggalkan tanggung jawab apapun.Tania, wanita muda berumur kurang dari tiga puluh tahun. Mungkin usianya sekitar dua puluh tuju tahun. Postur tubuh tinggi semampai, kulit putih bersih, rambut panjang terurai, lurus hitam berkilap.Dia juga masuk dalam salah satu karyawan dengan kecantikan yang luar biasa, menjadi icon dari perusahaan kosmetik tempat mereka bekerja. Icon pekerja dengan ketrampilan dan juga visual yang memadai."Selamat pagi Hanung," sapa Tania."Hai Tania, selamat pagi," balas Hanung."Kau sudah sarapan?" tanya Tania."Hmmm, belum, apa kamu akan mengajakku sarapan?" tanya Hanung dengan mata sedikit menggoda."Tentu saja, boleh, aku kira kamu sudah sarapan, istrimu ibu rumah tangga, pasti akan selalu menyiapkan makanan enak untukmu," ucap Tania."Istriku? wah dia sibuk dengan anak anaknya, dia mungkin sudah melupakan aku," ucap Hanung seraya tersenyum."Wah, begitu rupanya," ucap Tania yang juga membalas senyuman itu.Hanung dan Tania berjalan beriringan menuju ke arah ruang kerja mereka. Sesekali mereka terlihat tertawa kecil, mungkin saling melontarkan candaan atau cerita cerita lucu.Benarkah Hanung belum sarapan? jika waktu ditarik mundur ke belakang, sebelum berdiri di depan cermin, Hanung sempat menggigit hingga tiga perempat bagian sandwich isi buatan istrinya, juga segelas susu hangat. Itu sarapan yang sebenarnya sudah cukup istimewa, karna dibuat sejak pagi oleh istrinya, yang bangun sebelum ayam jantan berkokok, menyiapkan tiga menu yang berbeda untuk keluarganya.Apa mungkin Hanung yang seperti sosok suami ideal, setia dan begitu baik di rumah, berbanding terbalik ketika dia ada di kantor? wah, itu sungguh sangat jauh dari perkiraan, apa jadinya jika sang istri tahu, masihkah memaklumi.****Di rumah.Aku membersihkan meja makan, membersihkan sisa sisa sarapan suami juga kedua anakku. Aku menyambar seperempat sandwich isi sisa sarapan suamiku. Sayang jika dibuang, itu semua dibuat dengan cinta juga dibeli dengan uang yang didapat dengan tidak mudah.Ikan sapu sapu, ya, aku menjadi ikan sapu sapu yang melahap habis setiap sisa sisa makanan yang masih bisa dimakan. Tidak peduli lagi dengan berat badan, namun biasanya aku tidak lagi sarapn di piring utuh ketika merasa perutku sudah penuh. Yang terpenting, suami dan anak anakku sudah sarapan, mereka harus memulai hari dengan bahagia, dengan perut yang terisi kenyang.Berhenti MenangisAku menggendong Bintang, berusaha untuk menidurkannya karna pekerjaan rumah sudah menunggu. Menjadi pendongeng ulung, juga penyanyi berbakat. Aku menceritakan banyak hal, sambil mengelusnya yang mulai terlelap di pelukanku. Menyanyikan lagu dari yang sederhana hingga yang penuh makna karna aku pengarangnya sendiri, ya begitulah.Aku kembali berdiri di depan kaca, sembari menggoyang goyangkan badan, berharap Bintang segera terlelap. Aku melihat ke arah diriku, bukanlah aku seburuk itu? rupanya aku belum bisa melupakan peristiwa tadi pagi. Tiba tiba air mataku menetes, dari ujung mata terdalam. Air mata yang penuh dengan arti, penuh dengan perasaan yang mendalam.Aku mengusap air mata itu, mendongak ke atas, berharap gravitasi akan mengembalikan air mata itu ke tempat semula.“Tidak, aku tidak seburuk itu, dulu bahkan menikahiku karna tergila gila,” gumamku dalam hati.Aku mengingat masa itu, aku dan mas Hanung sekolah di SMA yang sama, lalu bersekolah di universitas y
Istri Istri TangguhAku kembali ke rumah, bergegas menidurkan Bintang, dengan segenap kesabaran dan kasih, setelah setengah jam mengoyong ngoyongnya, menyanyikan banyak lagu, akhirnya putra kedua ini tidur.Aku masuk ke dalam kamar tidur milik kedua putraku, dengan sangat pelan dan hati hati, berusaha tidak menimbulkan suara apapun, sedikitpun, aku meletakkannya ke dalam box bayi. "Hust, hust, hust," suara itu terus saja aku ulang ulang. Entahlah dari mana asalnya, seolah seperti mantra, benar atau tidak mengenai efeknya, membuat anak kembali tidur ketika terbangun, aku tetap melakukannya. Anggaplah kebiasaan turun temurun, aku juga melakukan itu. Ya, Bintang sudah tidur. Aku segera menyingsingkan lengan daster, bersiap untuk menghadapi pertempuran yang sebenarnya. "Aku siap," ucapku dalam hati dengan ekspresi yang benar benar menjiwai.Aku berjalan mengendap endap keluar dari kamar Bintang, mengumpulkan semua pakaian kotor dari kamar utama, yang berserakan di mana mana, juga yang
Bu RT Luar BiasaBu RT mulai duduk di sampingku dan bu Anna juga sudah duduk di sofa yang ada di sebelah kanan bu RT.“Bu Hesti, saya akan mengajari mengenai dasar dasar make up, oh iya, bay the way, apa yang membuat bu Hesti tiba tiba ingin merubah penampilan?” tanya bu RT seraya menatapku tajam. Tidak mungkin aku mengatakan bahwa aku ingin merubah penampilan setelah melihat nama kontak di ponsel suamiku, itu terdengar seperti lelucon.“Hmmm, ya sepertinya saya kok sudah mulai tidak menarik lagi,” ucapku lirih.“Tidak menarik? Ah yang benar saja, coba sini saya lihat,” ucap bu RT yang kemudian memegang wajahku. “Rahang tegas, hidung cukup mancung, alis tebal kurang rapi, bulu mata pendek, kusam, ada guratan keriput walau tidak terlalu jelas dan bekas jerawat,” gumam bu RT seraya mengamati wajahku dengan seksama. Bintang yang ada di pangkuanku terlihat mulai berceloteh, serta mengamati ke arah bu Rt, mungkin dia juga ingin ikut berinteraksi.“Ya, sebenarnya bu Hesti ini cantik, memi
BAJU HARAM“Ayo Bintang ikut bude,” ucap bu Anna seraya meraih Bintang yang ada di pangkuanku.“Bintang ikut bude Anna ya,” ucapku pada Bintang. Bersyukur sepertinya Bintang mau dan tidak ada penolakan.“Anak pinter, sayangnya bude Anna,” ucap bu Anna yang cukup luwes menggendong bayi, jelas karena dia sudah berpengalaman dengan tiga orang anak.“Wah Bintang mau sama saya bu Hesti,” lanjut bu Anna seraya melihat ke arahku.“Mungkin karna bayi bisa menilai yang benar benar baik sama dia dan yang pura pura, jadi kalau ketemu sama yang baiknya kayak bu Anna, ya anteng,” ucap bu RT seolah seperti melontarkan pujian.“Ah bu RT ini,” ucap bu Anna seraya tersenyum.“Ayo kita bersiap, saya akan merubah bu Hesti menjadi more beautiful,” ucap bu RT yang kemudian mengeluarkan beberapa perlengkapan make up dari kotak besar yang sepertinya terbuat dari material besi. Box make up yang cukup besar untuk ukuran ibu rumah tangga, karena biasanya kotak penyimpanan make up seperti itu dipakai perias waj
Kejamnya RealitaAku sudah membersihkan rumah, mengepel, merapikan semua sisi dan menyelesaikan masakan. Kedua anakku juga sudah mandi, sudah wangi, perut mereka juga sudah terisi. Aku bersiap untuk berubah menjadi guru les, ya, Adam selalu belajar minimal setengah jam setiap hari, mengulang apa yang sudah gurunya ajarkan di sekolah. Ah, pelajaran anak TK, masih bisa aku atasilah, mengenal angka, huruf, membaca, berhitung sederhana, bercerita. Mungkin yang sedikit membuatku repot adalah harus membantu Adam belajar juga menenangkan si kecil yang terus saja mengganggu abangnya.Bintang yang duduk di samping Adam terlihat begitu usil, merebut pensil juga menarik buku yang sedang dibaca Adam. Tidak butuh waktu lama, perang pun terjadi, mereka saling berebut, menarik dan akhirnya akan ada yang menangis. Padahal aku sudah menyiapkan perlengkapan tempur yang sama, buku yang sama, walaupun Bintang belum mengerti, aku tetap memberikannya, dibawah pengawasanku. Ah, mungkin bagi anak anak, milik
Nama Itu Sudah BerubahAku menyiapkan makan malam untuk mas Hanung, sepiring nasi, teh hangat, semangkuk garang asem gentong kesukaannya. Aku tahu, walaupun dia kenyang, dia tidak akan bisa menolak jika aku menyuguhkan makanan kesukaannya.Mas Hanung menghampiriku dengan rambut basah acak acakan dan handuk di tangan, mengusap rambutnya yang masih basah karena baru keluar dari kamar mandi.“Wah, aku bisa gemuk mah, ini pasti enak sekali,” ucap mas Hanung dengan mata berbinar.“Tidak apa apa, aku tetap cinta,” ucapku.“Wah tapi tetap saja mah, kan aku kerja di perusahaan kosmetik, tidak mungkin tidak memperhatikan penampilan,” ucap mas Hanung.“Kan papa akunting, bukan karyawan dibagian yang harus tampil dengan visual sempurna, memangnya papah brand ambasador?” ucapku.“Ya, bukan begitu mah, penampilan juga penting,” ucap mas Hanung.“Jadi ini dimakan atau tidak?” ucapku sedikit kesal seraya berdiri, seolah bersiap untuk mengambil piring dan mangkuk yang aku sajikan.“Eh ya iya dong, man
Ritual MalamAku masuk ke dalam kamar, mas Hanung terlihat sudah siap di tempat tidur, dengan senyum genitnya. Entah sudah berapa hari aku tidak melihat senyum itu, ya, karna ini biasanya terjadi sebulan sekali, atau paling sering sebulan dua kali. Maklum lah, keluarga dengan anak dua. Aku tidak menyangka akan melewati malam indah ini, wah istimewa, berkat make up natural yang merubah si buruk rupa menjadi istimewa, oh bukan, yang alami tanpa riasan menjadi luar biasa. Aku tidak menyetujui pendapat itu, aku bukan buruk rupa. Tidak ada wanita yang buruk rupa, semua wanita cantik. Titik, tidak boleh ada koma. Aku mendekat ke arah suamiku, dia terlihat menerimaku dengan begitu banyak cinta. Tangannya terbuka, siap menerimaku. Aku menjatuhkan diri ke pelukan suamiku. Sungguh sangat hangat dan membuat hatiku bahagia.Hatiku bergetar, ritual malam yang begitu penuh gelora akan segera dimulai. Suami ke terlihat mulai memandangku, lalu tersenyum. Apa mungkin dia terpesona? oh, mungkin karna
Aku Benci Dengan CurigakuAku membuka mata, jam menunjukkan pukul empat pagi. Ini hari sabtu, anak anak libur, begitu juga dengan mas Hanung, harusnya aku bisa tidur sedikit lebih lama, namun entah kenapa dentuman keras di hatiku masih terasa dan itu sangat mengganggu tidurku.Aku segera bangkit, mungkin dengan beraktifitas akan mampu memperbaiki suasana hati yang diliputi rasa curiga.“Apa mungkin suamiku memang sudah menganggapku si buruk rupa, karna itu pula dia mencoba memilih wanita lain?” tanyaku dalam hati.“Apa itu mungkin? kita sudah menyepakati mengenai banyak hal, tidak mungkin semudah itu dia berkhianat,” bisikku dalam hati.Aku menyiapkan bahan makanan untuk membuat sarapan, sarapan yang berbeda untuk tiga golongan. Makanan pendamping ASI, anak anak dan dewasa, mereka memiliki selera yang sama. Aku mengambil bahan makanan dari dalam lemari pendingin, membawanya ke dapur, meletakkannya di meja.“Sailor Moon? Hah” gumamku. Aku masih memikirkan itu, pikiran yang sebenarnya ti