Share

BAB 2 Wajah Masam

Wajah Masam

Aku menyerahkan ponsel yang sudah ketemu itu, mengulurkan tangan dengan wajah masam. Tidak mengucapkan apapun, hanya diam seribu bahasa.

"Terimakasih mah," ucap mas Hanung. Aku hanya mengangguk, anggukan kecil, lalu segera bergegas menuju ke arah putra keduaku.

Mas Hanung membawa tasnya, tas persegi berwarna coklat tua, terbuat dari kulit asli, cukup mewah. Dia terlihat menyapa Bintang dan Adam, mengecup dahi keduanya.

Aku melirik ke arahnya, lalu mencium tangannya, mungkin dia sudah tidak lagi peka, ataupun ingat, bahwa ada seonggok daging hidup yang ingin juga mendapat sapaan yang sama, berupa kecupan. Ah, sudahlah, sepertinya keromantisan bukan hal yang penting lagi.

"Aku berangkat dulu mah, nanti sore ada rapat, mungkin aku pulang malam," ucapnya. Mas Hanung bersiap keluar, aku hendak mengikutinya, namun dia memberi isyarat larangan.

"Kau lanjutkan saja, aku bisa sendiri," ucap mas Hanung seraya tersenyum.

"Assalamualaikum," salam mas Adam.

"Waalaikumsallam," jawab salamku, mau tidak mau aku harus menjawab, tidak lagi bisa mengunci bibir sebagai isyarat kesal.

Aku melihat mas Hanung berjalan keluar, lalu masuk ke dalam mobil, tanpa melihat ke belakang. Bergegas pergi, meninggalkan rumahnya, istrinya juga anak anaknya untuk bekerja mencari nafkah.

"Din din," terdengar suara klakson mobil jemputan Adam. Aku segera membereskan tas dan bekal yang harus Adam bawa.

"Adam, nanti sekolahnya yang bagus ya, anak bunda," ucapku seraya memberi kecupan pada kening Adam.

Adam meraih tanganku, menciumnya, lalu bergegas masuk ke dalam mobil jemputan sekolah. Aku menghela nafas lega, putra pertamaku sudah menuju ke sekolah, lalu aku segera masuk ke dalam rumah dan membantu putra keduaku menyeleseikan sarapannya.

Bintang masih dengan tenangnya duduk di dalam baby walker tanpa roda, sambil sibuk mengunyah finger foodnya berupa wortel rebus. Dia dikelilingi dengan segala macam mainan yang mencuri perhatiannya.

Apa dia akan melompat? tidak, dia masih dalam usia yang tidak mungkin hal itu terjadi, apalagi aku menengoknya setiap sekian menit atau bahkan detik.

Aku membiarkannya, mungkin dia masih ingin menikmati makanannya. Aku menuju ke arah kaca besar yang ada di ruang tengah. Berdiri di depan kaca, melihat penampakan yang muncul.

Wah, di sana ada wanita sedikit berisi, dengan daster corak batik berwarna biru. Rambutnya hanya diikat seadanya, dan wajahnya terlihat alami, hanya diguyur air wudhu subuh tadi.

Aku melihat wajahnya, belum terlalu banyak keriput, tapi kusam tidak terawat. Beberapa bekas jerawat di beberapa titik, juga noda hitam akibat sunar matahari.

Aku melihat rambutnya, sungguh sangat berantakan, ada sedikit rambut putih di sana, mana sempat mengecat rambut, aku lebih memilih untuk membiarkannya. Ya, wanita yang terlihat dikaca adalah diriku, diriku yang sekarang.

"Buruk rupa? benarkah?" ucapku dalam hati.

"Aku hanya perlu luluran, creambath, hair spa, hair tonic, blow, kemudian face scrub, face mask, make up, terus manicure, padicure, wah," gumamku seraya membayangkan betapa nikmatnya itu semua, sesuatu yang sudah tidak pernah aku lakukan tuju tahun terakhir ini.

Tiba tiba angan anganku dibuyarkan oleh suara tangis Bintang.

"Bintang," ucapku gugup. Aku segera mendekat ke arah Bintang.

"Bintang," ucapku lembut. Rupanya dia menangis karna wortelnya jatuh ke lantai.

"Jatuh ya, ini mama kasih yang baru," ucapku seraya mengambil wortel rebut baru di mangkuknya.

Aku menghela nafas panjang, sepertinya sudah tidak ada harapan lagi untukku membenahi diri. Tapi, kenapa sekejam itu, haruskah si buruk rupa? seingatku, dulu suamiku menamaiku istriku di ponselnya. Apa semuanya sudah berubah? aku tidak ingin memikirkan hal yang tidak tidak. Mungkin suamiku hanya ingin bercanda, membuat lelucon dan sejenisnya, namun jujur rasanya cukup sakit.

Mungkin, istri istri yang lain mendapat nama My wife, cintaku, istriku, kekasihku, mama anak anak, mama yang diikuti nama anaknya, atau yang lainnya. Atau mungkin nama yang lebih romantis, seperti belahan jiwaku, separuh nafasku, wah, sepertinya hanya ada di dunia drama percintaan yang ada di televisi.

Sekali lagi aku menghela nafas panjang. Apa aku harus membenci suamiku? oh, tidak mungkin, aku akan menyimpan ini di dalam hati, dia laki laki yang bertanggung jawab, mau menafkahi keluarga juga setia, lalu untuk apa aku membuat gara gara hanya karna nama itu, ya, aku harus bisa menahan diri, demi kebaikan rumah tangga.

***

Di kantor, Hanung terlihat menyapa beberapa rekan kerjanya. Di ujung jalan terlihat Tania, staff yang juga bekerja di bagian keuangan. Janda tanpa anak, ceritanya dia harus bercerai karna suaminya lebih memilih bekerja di luar negeri, tidak ingin memiliki ikatan apapun, atau lebih tepatnya meninggalkan tanggung jawab apapun.

Tania, wanita muda berumur kurang dari tiga puluh tahun. Mungkin usianya sekitar dua puluh tuju tahun. Postur tubuh tinggi semampai, kulit putih bersih, rambut panjang terurai, lurus hitam berkilap.

Dia juga masuk dalam salah satu karyawan dengan kecantikan yang luar biasa, menjadi icon dari perusahaan kosmetik tempat mereka bekerja. Icon pekerja dengan ketrampilan dan juga visual yang memadai.

"Selamat pagi Hanung," sapa Tania.

"Hai Tania, selamat pagi," balas Hanung.

"Kau sudah sarapan?" tanya Tania.

"Hmmm, belum, apa kamu akan mengajakku sarapan?" tanya Hanung dengan mata sedikit menggoda.

"Tentu saja, boleh, aku kira kamu sudah sarapan, istrimu ibu rumah tangga, pasti akan selalu menyiapkan makanan enak untukmu," ucap Tania.

"Istriku? wah dia sibuk dengan anak anaknya, dia mungkin sudah melupakan aku," ucap Hanung seraya tersenyum.

"Wah, begitu rupanya," ucap Tania yang juga membalas senyuman itu.

Hanung dan Tania berjalan beriringan menuju ke arah ruang kerja mereka. Sesekali mereka terlihat tertawa kecil, mungkin saling melontarkan candaan atau cerita cerita lucu.

Benarkah Hanung belum sarapan? jika waktu ditarik mundur ke belakang, sebelum berdiri di depan cermin, Hanung sempat menggigit hingga tiga perempat bagian sandwich isi buatan istrinya, juga segelas susu hangat. Itu sarapan yang sebenarnya sudah cukup istimewa, karna dibuat sejak pagi oleh istrinya, yang bangun sebelum ayam jantan berkokok, menyiapkan tiga menu yang berbeda untuk keluarganya.

Apa mungkin Hanung yang seperti sosok suami ideal, setia dan begitu baik di rumah, berbanding terbalik ketika dia ada di kantor? wah, itu sungguh sangat jauh dari perkiraan, apa jadinya jika sang istri tahu, masihkah memaklumi.

****

Di rumah.

Aku membersihkan meja makan, membersihkan sisa sisa sarapan suami juga kedua anakku. Aku menyambar seperempat sandwich isi sisa sarapan suamiku. Sayang jika dibuang, itu semua dibuat dengan cinta juga dibeli dengan uang yang didapat dengan tidak mudah.

Ikan sapu sapu, ya, aku menjadi ikan sapu sapu yang melahap habis setiap sisa sisa makanan yang masih bisa dimakan. Tidak peduli lagi dengan berat badan, namun biasanya aku tidak lagi sarapn di piring utuh ketika merasa perutku sudah penuh. Yang terpenting, suami dan anak anakku sudah sarapan, mereka harus memulai hari dengan bahagia, dengan perut yang terisi kenyang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status