“Cepat masuk! Hujan akan bertambah deras.”
Suara berat seorang pria berjas hitam memecah kesunyian jalan kecil yang berlumpur.Anli berdiri di tengah jalan itu, rambut panjangnya basah menempel di wajah. Mata pucatnya hanya mampu menangkap siluet abu-abu samar. Ia menunduk sedikit, meraba tanah dengan ujung sepatu sebelum melangkah. Butiran hujan menetes di pipinya, dingin tapi tidak membuatnya gentar.
Langkahnya terlatih. Bertahun-tahun lalu, seseorang pernah menanamkan satu hal dalam dirinya: mata bukanlah satu-satunya cara untuk melihat dunia. Sejak itu, ia terbiasa membaca arah lewat suara, mengukur jarak lewat hembusan angin, dan menjaga keseimbangan meski penglihatannya terbatas.
Di lehernya tergantung liontin perak kusam berbentuk oval, dengan ukiran satu kata: Anli. Liontin itu satu-satunya petunjuk asal-usulnya, ketika tujuh tahun silam sepasang pemulung menemukannya di tepi Sungai Beishan. Saat itu, kepalanya berlumuran darah, penglihatannya rusak, dan ingatannya hilang.
Pasangan tua itu tidak punya apa-apa kecuali tangan yang kasar dan bubur tipis yang mereka bagi setiap pagi. Namun mereka merawatnya, memeluknya ketika mimpi buruk menghampiri, dan menyebutnya dengan nama yang tertulis di liontin.
Sayang, kemiskinan selalu lebih kuat daripada rasa kasih. Hutang menumpuk, penagih datang silih berganti. Hingga pada akhirnya, keputusan pahit diambil: menjual Anli.
Pagi itu, gerimis turun lembut. Anli berdiri di ambang pintu gubuk reyot, menggenggam botol kecil berisi salep herbal yang ia buat sendiri. Jemarinya mengenali daun-daun kering dari tekstur dan aroma, meski ia tak lagi ingat siapa yang pernah mengajarinya. Yang tersisa hanyalah bayangan samar seorang perempuan dengan suara lembut yang dulu menyebutkan nama-nama tanaman di telinganya.
“Akan ada yang memberimu makan di sana,” suara bapak angkatnya bergetar di antara batuk tua.
“Dan atap yang tak bocor,” sambung istrinya. Jemari keriputnya mengusap liontin Anli, seolah ingin meninggalkan kehangatan terakhir.
Anli mengangguk tenang. “Kalian sudah memberiku tujuh tahun hidup. Itu lebih dari cukup.”
Tidak ada air mata, hanya suara lirih yang membuat dada mereka terasa sesak.Ia melangkah ke tanah becek. Di belakangnya, pasangan tua itu hanya bisa berdiri mematung, terlalu berat untuk mendekat, terlalu sakit untuk melepas.
Pintu mobil hitam terbuka. Pria berjas hitam tadi memegang payung besar, suaranya tegas: “Cepatlah. Hujannya semakin deras.”
Anli meraba tepian pintu mobil dengan hati-hati. Dari kejauhan, ia masih mendengar napas berat bapak angkatnya, dan isakan yang ditahan oleh ibu angkatnya. Liontin di leher terasa dingin menempel di kulit, jemarinya mengepalinya kuat-kuat. Itulah satu-satunya yang bisa ia bawa: aroma bubur jagung, suara batuk parau, dan hangatnya selendang yang dulu selalu dibetulkan dengan kasih.
Mobil bergerak, menelan bayangan gubuk reyot itu ke dalam kabut hujan.
---Malam sebelumnya, hujan juga turun. Gubuk reyot itu diterangi lampu minyak yang redup, cahayanya berkelip tiap kali angin menyusup dari celah papan.
Bapak angkat Anli duduk di kursi reyot, jemarinya yang kasar menggenggam amplop tebal. Tangannya bergetar, entah karena usia, entah karena beratnya isi amplop itu.
Di hadapannya berdiri seorang pria muda, jas hitam licin menempel rapi, sepatu berkilau tanpa setitik lumpur. Tatapannya tajam, dingin, tidak menyisakan ruang bagi belas kasihan. Qin Yuze.
“Seratus juta yuan.” Suaranya datar, setenang malam yang dingin. “Anggap lunas semua hutang kalian. Setelah ini, kalian tak punya urusan lagi dengannya.”
Bapak angkat Anli menelan ludah, menoleh ke istrinya yang duduk di sudut, memeluk lutut erat-erat. “Tuan Qin… dia anak yang baik. Dia bisa bekerja. Tidak perlu—”
“Kalau bisa bekerja, sudah dari dulu ia melunasi hutang kalian sendiri,” potong Yuze. Nadanya tetap datar, seolah sedang membacakan laporan. “Aku tidak peduli kemampuannya. Yang kubutuhkan hanyalah status pernikahan untuk menenangkan Nenek.”
Kalimat itu jatuh seperti batu ke lantai kayu, dingin, berat, tanpa rasa bersalah.
Ibu angkat Anli menegakkan tubuhnya, mata berkaca-kaca. “Tapi dia… buta, Tuan Qin.”
“Aku tahu.” Tatapan Yuze tidak bergeser. “Justru karena itu dia sempurna. Dia tidak akan menuntut. Tidak akan ikut campur. Dan yang terpenting…” sudut bibirnya bergerak tipis, “dia tidak akan membuat skandal.”
Ia menurunkan pandangan ke jam tangannya, lalu menambahkan singkat, “Besok pagi, sopirku datang. Pastikan dia siap.”
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah pergi. Suara hujan menelan deru mesin mobilnya yang menjauh.
---Di sudut ruangan, Anli duduk diam. Ia tak pernah melihat jelas wajah pria itu, hanya siluet tegap dan suara yang menusuk tanpa emosi. Namun ia mendengar setiap kata.
Dan di tengah dinginnya malam, satu hal ia pahami: lelaki itu tidak membelinya untuk dicintai.
Seluruh ruangan terdiam.Dan Lin Qianyi, yang berdiri di antara kerumunan membeku total.Mulutnya sedikit terbuka, matanya melebar tak percaya.Dia… tabib itu? Wanita buta itu?Senyumnya yang sempurna retak seketika.Zhenrui menatap sekilas ke arahnya dari atas panggung. Tatapan dingin yang hanya berlangsung sepersekian detik, tapi cukup untuk membuat darah Qianyi membeku.Anli menunduk pelan memberi hormat.Suara lembutnya menggema ke seluruh aula.“Aku Yan Anli… kembali ke rumah.”Dan di bawah tatapan ribuan mata, Lin Qianyi sadar seluruh permainan yang ia susun selama bertahun-tahun baru saja hancur di depan matanya.Tepuk tangan menggema riuh di seluruh ruangan, mengisi udara dengan decak kagum dan kekagetan yang belum sepenuhnya dipahami para bangsawan. Nama Yan Anli kini bergema di antara pilar-pilar marmer istana, nama yang tujuh tahun lalu hanya tinggal legenda.Di tengah lautan orang yang bertepuk tangan berdiri Lin Qianyi. Senyumnya merekah anggun, gerakannya terukur. Dari l
Suasana masih senyap setelah kepergian Lin Qianyi. Sisa amarahnya masih terasa di udara, kipas yang tadi dihentakkan bahkan masih tergeletak di meja, terbuka seperti bekas luka.Anli tetap duduk tegak di kursinya, senyumnya samar, anggun tanpa berlebihan. Meilin berdiri di sampingnya, masih menatap kagum seolah baru saja menyaksikan seseorang memenangkan pertempuran tanpa perlu menggerakkan pedang.Pintu besar berderit.Langkah tegas terdengar masuk. Sepatu kulit menghentak lantai marmer, mantap dan teratur. Semua pelayan segera menunduk.Zhenrui.Raja muda itu berjalan masuk dengan aura dingin yang langsung menekan seisi aula. Tatapannya tajam menyapu ruangan, lalu berhenti pada sosok Anli yang duduk tenang, kontras dengan meja di sampingnya yang berantakan oleh amukan Qianyi.Alisnya sedikit terangkat.“Apa yang baru saja terjadi di sini?” suaranya berat, dalam, membuat semua orang menahan napas.Meilin refleks menunduk lebih dalam, tak berani menjawab. Pelayan lain pun terdiam, tak
Anli sendiri hanya menundukkan kepala sedikit. Suaranya tenang, ringan, tanpa beban. “Saya hanya melakukan kewajiban saya, Nona Lin. Tidak lebih, tidak kurang.”Qianyi tersenyum tipis, tapi sorot matanya menusuk. Ia mendekat satu langkah, suara merendah seolah ingin berbisik namun cukup keras untuk terdengar semua orang di ruangan. “Kau beruntung. Bisa dekat dengan istana, meski hanya lewat jalan memalukan… menjadi istri dari seorang terdakwa. Ah, tapi tak masalah. Setidaknya masih bisa disebut istri Qin, bukan?”Meilin spontan mengangkat kepala, matanya melebar. “Beraninya dia—” bisiknya pada diri sendiri, tapi terhenti melihat tangan Anli bergerak tenang.Anli menoleh sedikit, wajahnya tetap anggun meski pucat. Senyum samar muncul di bibirnya, lembut tapi terasa menusuk. “Memang benar. Status saya… hanya seorang istri Qin. Tapi ada satu hal yang membedakan kita, Nona Lin.”Qianyi mengerjap, alisnya berkerut. “Apa maksudmu?”Anli mengangkat dagunya pelan, meski matanya kosong, suar
Anli duduk tenang di sofa, kedua tangannya bertumpu rapi di pangkuan. Wajahnya pucat namun tegak, seperti seseorang yang sudah tahu akhir dari sebuah babak panjang. “Sudah waktunya,” ucapnya pelan, tapi nada itu membawa ketegasan yang membuat ruangan bergetar halus.Pintu berderit keras saat para pengawal istana menerobos masuk. Baju zirah mereka berkilat, tombak terangkat, aura kekuasaan menekan seisi ruang tamu.“Tuan Muda Qin Yuze! Nyonya Qin Xiumei! Atas perintah Yang Mulia Raja Muda, seluruh keluarga Qin ditangkap sebagai tersangka dalam tragedi tujuh tahun silam!”Kata-kata itu jatuh bagai palu godam.Xiumei yang baru turun dari tangga terhuyung, wajahnya pucat pasi. “Apa…? Tidak… ini pasti salah! Bagaimana mungkin…”Yuze berdiri kaku, wajahnya campur aduk antara marah, takut, dan tidak percaya. “Kalian berani menyentuh keluarga Qin di rumah ini?!” suaranya bergetar, lebih terdengar seperti raungan ketakutan ketimbang ancaman.Dua pengawal melangkah cepat, lalu menunduk hormat k
Anli duduk di sofa empuk ruang tamu, tubuhnya agak condong ke belakang. Wajahnya pucat tapi tenang, sorot matanya kosong karena gelap, namun sikapnya tetap tegak dan terjaga.Sementara itu, Yuze berdiri di depannya, hanya berjarak beberapa langkah. Tubuhnya membungkuk sedikit ke arah Anli, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, urat di lehernya menegang. Napasnya memburu, dada naik-turun cepat, membuat jas hitamnya tampak ketat menahan emosi.Keduanya saling berhadapan dalam diam. Jarak mereka dekat, tapi terasa seperti dipisahkan dinding tinggi.Dia tetap tenang, seolah tak terguncang. Yuze berdiri di hadapannya, tubuh besar itu seperti bayangan gelap yang menekan ruang tamu.Perlahan wanita itu menegakkan tubuhnya, jemarinya berhenti mengusap pergelangan tangan. Suaranya keluar tenang, tanpa bergetar sedikit pun.“Tuan Muda Qin…” ucapnya formal, bukan dengan panggilan pribadi. “Pernikahan kita bukanlah ikatan yang lahir dari cinta, melainkan dari transaksi.”Kata-kata itu menampar
Pintu besi ruang interogasi berderit terbuka. Udara dingin lorong istana langsung menyambut.Haoran melangkah keluar dengan langkah sedikit goyah. Wajahnya pucat, pundaknya merosot, seolah baru saja habis diguncang badai. Tatapannya kosong, seperti orang yang kehilangan pijakan.Dua pengawal langsung mengapitnya, membawa kembali ke aula resmi. Setiap langkahnya menggema, terdengar seperti ketukan vonis di lorong panjang itu.Di dalam aula, Lin Qianyi masih menunggu. Duduk anggun di kursi rendah, dengan tablet yang sudah tertutup rapi di pangkuannya. Begitu pintu terbuka dan Haoran masuk, senyumnya perlahan terbit. Senyum puas, seperti pemburu yang yakin jeratnya sudah mengikat rapat mangsa.Sorot matanya singgah ke wajah Haoran.Pucat, lemah, tak berdaya.Qianyi menunduk sedikit, pura-pura sopan, padahal dalam hati ia hampir tertawa.Haoran tidak menoleh ke arahnya. Ia hanya menunduk, mengikuti pengawal menuju kursi kayu di sisi ruangan. Tangannya bergetar halus di pangkuannya, tapi i