Share

Istri Buta 100 Juta Tak Tertandingi
Istri Buta 100 Juta Tak Tertandingi
Author: Donat Mblondo

1. Transaksi

Author: Donat Mblondo
last update Last Updated: 2025-08-13 13:56:51

"Cepat masuk! Hujan akan bertambah deras," suara berat seorang pria berjas hitam memecah keheningan.

Anli berdiri di tengah jalan kecil yang berlumpur, matanya yang pucat memantulkan kilatan abu-abu samar. Itulah batas pandangannya, siluet buram yang tak punya warna. Ia menunduk sedikit, meraba jalan dengan ujung sepatu sebelum melangkah. Butiran air terjatuh menetes di pipinya, membasahi rambut panjang yang digelung seadanya.

Ia tidak tersandung. Langkahnya terlatih. Dulu, bertahun-tahun lalu, ada seseorang yang menanamkan dalam dirinya bahwa mata bukan satu-satunya cara untuk melihat dunia. Bahkan ketika tubuhnya terluka, ia tahu bagaimana menjaga keseimbangan, membaca arah angin, dan mengandalkan suara.

Di lehernya tergantung sebuah liontin kecil dari perak kusam, berbentuk oval dengan ukiran satu kata: Anli. Itulah satu-satunya petunjuk tentang identitasnya ketika sepasang suami istri tua menemukannya tujuh tahun lalu, tergeletak di tepi sungai Beishan dengan kepala berlumuran darah. Hal inilah yang membuat mata gadis itu rusak dan ingatannya terhapus.

Keduanya adalah pemulung, hidup dari sisa-sisa yang ditinggalkan orang lain. Meski sering kekurangan makan, mereka memberi gadis itu tempat berteduh di gubuk reyot, membagi semangkuk bubur tipis, dan memeluknya ketika mimpi buruk datang di malam-malam musim dingin.

Namun kemiskinan selalu lebih kuat daripada rasa iba. Hutang menumpuk, dan jalan keluarnya adalah menjual gadis itu. Anli tahu. Baginya, keputusan itu bukan pengkhianatan. Hanya kenyataan pahit yang tak bisa diubah.

Pagi itu, gerimis pelan. Anli berdiri di ambang pintu gubuk, memegang botol kecil berisi salep herbal beraroma pahit-manis. Satu-satunya benda yang ia buat dengan tangannya sendiri dari daun-daun kering yang ia kenali lewat sentuhan dan bau. Ia bahkan tak ingat siapa yang mengajarinya, hanya samar-samar merasakan bayangan tangan halus seorang perempuan dan suara lembut yang membisikkan nama-nama tanaman di telinganya.

“Akan ada yang memberimu makan di sana,” suara bapak angkatnya serak, bergetar di antara batuknya yang tua.

“Dan atap yang tak bocor,” sambung istrinya, mencoba tersenyum meski matanya sembab. Jemari keriputnya meraih liontin di leher Anli, mengusapnya seolah ingin menanamkan kehangatan terakhir.

Anli mengangguk pelan. “Kalian sudah memberiku tujuh tahun hidup. Itu lebih dari cukup,” ucapnya lirih. Tidak ada air mata. Hanya suara yang tenang, tapi menyimpan berat yang membuat dada mereka sesak.

Ia melangkah menuju tanah becek menyerap jejak kakinya. Di belakang, mereka berdiri mematung, terlalu berat untuk mendekat, terlalu sakit untuk melihatnya pergi.

Guyuran rintik air dari langit mulai deras ketika pintu mobil terbuka. Seorang pria berjas hitam berdiri di sampingnya, memegang payung besar yang sama sekali tak melindungi tanah di bawahnya dari genangan.

“Ayo! Hujannya semakin deras!” suaranya datar, tak memberi ruang untuk penolakan.

Anli meraih pintu dengan hati-hati, jarinya meraba tepian logam yang dingin. Di balik rintikan air deras yang meredam dunia, ia masih bisa mendengar suara napas orang tua angkatnya dari kejauhan. Berat, terputus-putus, seperti sedang menahan sesuatu yang tak boleh pecah.

Liontin di lehernya terasa dingin, menempel di kulit lembab. Jemarinya mengepal di atasnya, untuk mengunci semua yang pernah ia miliki di tempat itu: aroma bubur jagung di pagi hari, suara batuk bapak angkatnya, dan sentuhan lembut ibu angkatnya saat membetulkan selendang di bahunya. Semua itu akan ia tinggalkan, bukan karena mau, tapi karena hidup memaksanya berjalan.

Mobil melaju pelan di jalan licin. Dari jendela, ia menangkap siluet samar gubuk reyot itu untuk terakhir kalinya, lalu kabut hujan menelannya.

Kilatan lampu kota menyapu wajah Anli ketika mobil melaju menembus malam. Suara mesin yang stabil seperti detak waktu yang membawa dirinya jauh dari satu dunia ke dunia lain. Tapi di kepalanya, potongan suara yang ia dengar malam sebelumnya masih bergema.

Malam itu, hujan juga turun. Di dalam gubuk reyot, hanya ada cahaya redup dari lampu minyak yang berkelip setiap kali angin menyusup dari celah papan. Bapak angkatnya duduk di kursi, tangan kasarnya menggenggam amplop tebal. Jemarinya bergetar, entah karena usia atau karena beban uang di tangannya. Di seberangnya, seorang pria muda berdiri dengan jas hitam licin, rapi tanpa setitik pun debu. Qin Yuze.

“Seratus juta yuan,” ucapnya dingin sedingin suasana malam itu. “Anggap lunas semua hutang kalian. Setelah malam ini, kalian tak punya urusan lagi dengannya.”

Bapak angkat Anli menelan ludah, matanya mencari wajah istrinya yang duduk di sudut, memeluk lutut erat-erat. “Tuan Qin… dia anak yang baik. Dia bisa bekerja. Tidak perlu—”

“Kalau bisa bekerja, dia sudah melunasi hutang kalian sendiri,” potong Yuze, nadanya tetap datar, seperti sedang membacakan laporan cuaca. “Aku tidak tertarik pada pekerjaannya. Aku hanya butuh status pernikahan untuk menghentikan ocehan Nenek.”

Kalimat itu jatuh seperti batu ke lantai kayu, dingin dan berat, tanpa sedikit pun rasa bersalah.

Ibu angkat Anli mendongak, matanya berkaca-kaca. “Dia… buta, Tuan Qin.”

“Aku tahu,” jawab Yuze singkat. Tatapannya tidak goyah. “Justru itu membuatnya sempurna. Dia tidak akan menghalangi hidupku. Tidak akan menuntut cintaku. Dan yang terpenting—” bibirnya bergerak sedikit, “—tidak akan menimbulkan skandal.”

Ia tidak menunggu reaksi. Hanya melirik jam di pergelangan tangannya, lalu menambahkan, “Besok pagi, sopirku akan datang menjemput. Pastikan dia siap.”

Suara langkah kakinya menghilang di luar gubuk, berganti dengan raungan mesin mobil yang cepat menghilang dalam hujan.

Di sudut gelap ruangan, Anli duduk diam. Ia tak pernah melihat jelas wajah Yuze, hanya siluet tegap dan suara yang menusuk tanpa emosi. Tapi ia mendengar setiap kata. Dan di tengah dinginnya malam, ia tahu satu hal: lelaki itu tidak membelinya untuk dicintai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Buta 100 Juta Tak Tertandingi   10. Jebakan pertama

    Pagi itu, udara di rumah Qin terasa berat. Di ruang makan besar, aroma teh melati bercampur dengan bisik-bisik pelayan. Semua tampak sibuk, tapi tatapan mereka sesekali melirik kursi kosong di samping Madam Qin, kursi yang kini diperuntukkan bagi Anli.“Dia gadis buta, tapi Madam memperlakukannya seperti putri sendiri,” bisik seorang pelayan dengan nada iri.“Kalau terus begini, kita bisa tersingkir,” sahut yang lain.Cuihua, pelayan muda yang licik, menyeringai tipis. ‘Kalau Madam begitu menyukainya, aku hanya perlu menunjukkan kelemahannya. Setelah itu, Madam akan sadar kalau si buta ini tak pantas tinggal di rumah besar ini.’Tak lama, Anli masuk dengan langkah ringan. Gaun sederhana warna biru pucat membalut tubuhnya, rambut hitamnya digelung rapi. Meski matanya kosong, gerakannya tidak canggung. Ia menunduk hormat pada Madam Qin.“Selamat pagi, Nenek.”Madam Qin tersenyum, menepuk kursi di sampingnya. “Duduklah, Anli. Sarapanlah bersamaku.”Ucapan itu membuat udara di ruang makan

  • Istri Buta 100 Juta Tak Tertandingi   9. Mengobrol dengan nenek

    Madam Qin menatap gadis di depannya dengan sorot mata yang tak mudah ditebak.“Anli, kau tahu? Banyak orang di rumah ini memandangmu sebelah mata. Tapi malam ini… kau justru membuatku penasaran.”Anli menunduk sopan, jemarinya terlipat rapi di pangkuan.“Saya hanya berusaha sebatas kemampuan saya, Nenek. Tidak lebih dari itu.”Madam Qin menyipitkan mata, senyumnya penuh arti. Dalam hati ia bergumam, "bukan sekadar gadis buta yang dijodohkan demi kepentingan. Ada sesuatu yang lebih dalam di balik dirinya."Sementara itu, dari kejauhan di lorong, Haoran dan Xiumei masih berdiri sejenak. Keduanya bertukar pandang, masing-masing dengan pikiran berbeda. Haoran mengerutkan kening, Xiumei menggertakkan gigi halus.“Kalau ibumu makin terikat pada gadis itu,” bisik Xiumei dengan lirih, “bisa jadi justru kita yang kesulitan nanti.”Haoran hanya menatap pintu tertutup itu dengan mata tajam.Ruang samping itu sunyi, hanya diterangi lampu gantung dengan cahaya kekuningan yang lembut. Aroma herbal

  • Istri Buta 100 Juta Tak Tertandingi   8. Makan malam

    Malam itu, ruang makan utama keluarga Qin diterangi cahaya lampu kristal yang hangat. Aroma masakan tradisional bercampur wangi herbal memenuhi udara. Madam Qin duduk di kursi utamanya, sementara Anli berada di sisi kanan, tenang meski sorot mata para pelayan menusuk penuh iri.Tak lama, langkah berat terdengar dari koridor. Qin Haoran, ayah Yuze, memasuki ruangan dengan jubah pejabat berwarna gelap. Wajahnya penuh wibawa, sorot matanya tajam seperti sedang menilai keadaan. Di sampingnya, Li Xiumei berjalan anggun dengan gaun elegan berwarna ungu gelap, rambutnya disanggul rapi dengan hiasan giok.Yuze berdiri kaku menyambut, tapi Anli hanya menunduk sopan.Haoran duduk dengan gerakan penuh percaya diri, suaranya tenang namun mengandung tekanan. “Ibu tampak lebih segar hari ini. Rupanya ada yang membuat sore Anda menyenangkan.” Tatapannya sekilas mengarah ke Anli, meneliti tanpa ekspresi.Madam Qin tersenyum samar. “Benar. Anli menuntunku berjalan-jalan di taman. Dia jauh lebih bisa d

  • Istri Buta 100 Juta Tak Tertandingi   7. Kepulangan Yuze

    Sore itu, sinar matahari menyusup lembut ke halaman luas keluarga Qin. Angin membawa aroma bunga kamelia bercampur tanah basah. Para pelayan sibuk menyiangi taman, tapi pandangan mereka selalu curi-curi ke arah teras, tempat Madam Qin duduk santai di kursi rotan.“Anli,” panggil Madam Qin dengan suara tenang penuh wibawa. “Temani aku berjalan-jalan di taman. Kakiku sedang kaku, aku butuh seseorang yang menuntun.”Sekejap, bisikan sinis terdengar di antara pelayan. “Dia? Menuntun? Ha ha ha, buta menuntun buta?” “Madam pasti bercanda. Jangan-jangan beliau sengaja mau mempermalukannya.” “Kalau dia tersandung bunga, ayo kita lihat wajahnya jatuh ke tanah.”Anli berdiri, menunduk hormat, lalu berjalan mendekat. Ia menyentuh punggung tangan Madam Qin dengan lembut. “Mari, Nenek,” ucapnya tenang, seolah benar-benar yakin bisa membawa wanita tua itu berkeliling.Langkah mereka mulai menyusuri jalan setapak yang berkelok di antara pepohonan bonsai. Batu pijakan tidak rata, ada akar-akar kec

  • Istri Buta 100 Juta Tak Tertandingi   6. Ujian Madam Qin

    Suara tumpahan air barusan masih terngiang di koridor. Pelayan-pelayan yang sengaja menjatuhkan ember itu buru-buru menunduk, menahan tawa saat melihat gaun sederhana Anli basah sebagian. Tapi lagi-lagi, bukannya jatuh atau panik, gadis itu justru bergerak lincah, menapak lantai licin dengan keseimbangan mengejutkan.“Terima kasih… sudah ‘membersihkan’ jalannya untukku,” kata Anli datar, sambil meremas ujung bajunya yang basah. Senyum tipis muncul, seolah ia tahu betul semua ini bukan kecelakaan.Para pelayan langsung terdiam, muka mereka memerah karena kesal yang tak tersalurkan.Di lantai atas, mata Madam Qin menyipit, mengikuti setiap gerakan Anli. Ada cahaya berbeda di tatapannya, bukan iba, bukan juga kasihan, melainkan ketertarikan.“Hmm…” gumamnya pelan. “Dia tidak sekadar tahan banting… gadis ini tahu cara menjaga martabatnya.”Sorenya, tanpa peringatan, sebuah pesan turun dari kamar Madam Qin:Nyonya muda diundang minum teh sore bersama Madam Qin.Kabar itu menyebar cepat, me

  • Istri Buta 100 Juta Tak Tertandingi   5. Wk wk wk

    Setelah kejadian pot bunga itu, pelayan-pelayan hanya bisa berdiri kaku. Anli melanjutkan langkahnya tanpa tergesa, tubuhnya luwes, seakan setapak berbatu yang tidak rata sama sekali bukan ancaman. Sesekali ia menengadah, menikmati sinar matahari yang menembus kabut buram di matanya.“Terima kasih sudah menyingkirkan potnya,” ucapnya tenang tanpa menoleh. Nada suaranya ringan, tapi cukup untuk membuat kedua pelayan itu pucat karena merasa ketahuan.Mereka saling pandang, lalu pura-pura membungkuk. “Ya… ya, Nyonya,” sahut salah satunya terbata. Tapi begitu Anli menjauh, salah satu dari mereka mendesis pelan. “Sial, kenapa gadis buta bisa bergerak seperti itu…”Di beranda atas, Madam Qin masih berdiri diam, sorot matanya tajam meski diselimuti keriput usia. Ia menyaksikan segalanya, termasuk ekspresi licik para pelayan tadi. Tongkat peraknya mengetuk lantai sekali, menciptakan bunyi yang bergema pelan.Namun, alih-alih menegur, Madam Qin hanya berbalik perlahan. Senyum samar masih menem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status