Perjalanan panjang berakhir di depan rumah besar bercat putih, berdiri angkuh di tengah taman yang begitu rapi seakan setiap helai rumputnya diukur dengan penggaris. Udara di sini berbeda, tak ada bau sampah atau lumpur, hanya aroma bunga bercampur besi basah dari pagar tinggi.
Di teras, seorang pria muda menunggu. Tubuh tegap dalam balutan jas hitam, rahang tegas, dan sorot mata yang menusuk. Bahkan dari pandangan buramnya, Anli tahu itu bukan tatapan ramah. Qin Yuze. Pewaris tunggal Keluarga Qin, klan politik paling berpengaruh setelah istana kerajaan. Ayahnya, Qin Haoran, menjabat sebagai penasehat utama raja. Ibunya, Madam Li Xiumei, berasal dari dinasti farmasi yang menguasai separuh pasokan obat di dunia. Keluarga Qin tidak sekadar kaya, mereka mengendalikan arah negeri.
Dan Yuze, satu-satunya anak keluarga itu, sudah lama dikenal publik memiliki seorang kekasih cantik dari keluarga terpandang. Mereka sering menghiasi pesta amal dan sampul majalah, senyumnya memikat gosip bahwa pernikahan megah tinggal menunggu tanggal. Namun hari ini, di hadapannya hanya ada seorang gadis asing yang bahkan tak mampu melihat wajahnya dengan jelas.
Yuze berdiri tanpa bergerak ketika Anli turun dari mobil, tatapannya dingin seolah menilai barang titipan. Hujan membasahi ujung jasnya, tapi ia tidak bergeming. Anli melangkah tegas di atas kerikil tajam, lalu menunduk sedikit sebagai tanda hormat. Tidak ada sambutan, tidak ada kata hangat, hanya satu lirikan singkat dan gerakan tangan ke arah pintu.
“Masuk!” ucapnya pendek.
Bagi Anli, suara itu lebih dingin daripada hujan yang merembes ke kulitnya, dingin yang menandai awal pernikahan mereka.
Pernikahan itu digelar dengan segala kemegahan yang bisa dibeli dengan uang. Aula keluarga Qin dipenuhi lampu kristal bergemerlap, denting gelas sampanye, dan senyum basa-basi para tamu kehormatan. Bunga putih memenuhi ruangan, harum namun terasa asing bagi Anli yang hanya bisa merasakan keramaian lewat bisik-bisik dan langkah kaki di sekelilingnya.
Anli mengenakan gaun pengantin sederhana, jauh lebih sederhana dibandingkan gaun para sosialita yang pernah ia dengar dari radio tua di rumah angkatnya. Tirai tipis menutupi wajahnya, tapi ia tahu semua mata sedang menilai, membandingkan dirinya dengan kekasih Yuze yang biasanya mendampingi sang pewaris dalam pesta-pesta. Gadis buta ini, siapa pun dia, jelas bukan mempelai yang diharapkan publik.
Yuze berdiri di sampingnya dengan wajah tak terbaca. Senyum kecil muncul hanya ketika kamera media mengarah, lalu lenyap begitu blitz padam. Baginya, pesta ini hanya kewajiban, sandiwara untuk neneknya yang duduk di kursi utama dengan mata berkaca-kaca. Di saat semua orang menunggu momen romantis, Yuze hanya menyentuhkan bibirnya sebentar ke dahi Anli. Ciuman yang hambar, sekadar formalitas.
Tepuk tangan menggema, musik mengalun, dan pesta pun berlanjut. Namun di hati Anli, keheningan lebih keras daripada keramaian.
Musik waltz mengalun lembut di aula, lampu kristal berkilauan memantulkan cahaya ke gaun pengantin Anli. Para tamu berdiri di sekeliling, menyampaikan ucapan selamat. Blitz kamera media terus menyambar, menangkap setiap senyum yang tersungging.
Yuze menggenggam lengan Anli, bibirnya melengkung tipis dalam senyum palsu. Dari samping, ia berbisik pelan namun tegas, “Tersenyumlah! Semua orang memperhatikan.”
Anli menarik napas, menahan getir, lalu menoleh sedikit ke arah suara. Senyum samar terbit di bibirnya, cukup untuk mengelabui pandangan tamu.Madam Qin berjalan perlahan menghampiri, didampingi tongkat berlapis perak. Tatapan tuanya penuh air mata kebahagiaan. “Ah, cucuku… akhirnya, kamu menikahi seorang gadis.” Tangannya yang keriput menyentuh pipi Anli dengan lembut, lalu beralih menggenggam jari-jari kaku Yuze. “Jaga dia baik-baik, Yuze. Dia sekarang istrimu.”
Yuze menunduk hormat, suara tenangnya dibuat sehalus mungkin. “Tentu saja, Nenek. Aku akan menjaganya dengan hidupku.” Kata-kata itu keluar lancar, meski hanya demi membuat sang nenek tenang.
Anli merasakan genggaman tangan Yuze semakin erat, bukan karena hangatnya kasih sayang, melainkan tekanan dingin yang membuatnya sadar ini hanyalah sandiwara. Namun ketika ia menoleh samar ke arah Madam Qin, ia mendengar suara lirih sang nenek, “Kau gadis baik… sekarang kau bagian dari keluarga ini.”
Hati Anli sedikit bergetar. Dan di tengah gemerlap pesta, di mana semua orang melihat kebahagiaan palsu, hanya Anli yang benar-benar menyadari, pernikahan ini bukan tentang cinta, melainkan tentang menjaga penampilan. Sebuah permainan agar seorang nenek tua bisa tersenyum bahagia.
Para tamu mulai berdatangan untuk memberi selamat. Senyum manis, jabat tangan, dan ucapan “semoga berbahagia” bergulir satu per satu, tapi semua terasa kosong di telinga Anli. Ia hanya mengangguk sopan, berpegang pada lengan Yuze agar tidak tersesat di tengah keramaian.
Sesekali, ia mendengar bisikan sinis.
“Benarkah gadis buta ini istri pewaris Qin?”
“Kasihan, Nona Lin pasti patah hati.”
Nama kekasih Yuze disebut, membuat dada Anli sesak, meski wajahnya tetap tenang.
Di sisi lain, Yuze tetap memelihara senyum basa-basi, seolah semua berjalan sempurna. Namun, matanya dingin, nyaris menusuk setiap tamu yang terlalu berani berkomentar miring.
Akan tetapi, bagi sang nenek, hari ini adalah hari terindah. Cucunya telah menikah.
Pagi itu, udara di rumah Qin terasa berat. Di ruang makan besar, aroma teh melati bercampur dengan bisik-bisik pelayan. Semua tampak sibuk, tapi tatapan mereka sesekali melirik kursi kosong di samping Madam Qin, kursi yang kini diperuntukkan bagi Anli.“Dia gadis buta, tapi Madam memperlakukannya seperti putri sendiri,” bisik seorang pelayan dengan nada iri.“Kalau terus begini, kita bisa tersingkir,” sahut yang lain.Cuihua, pelayan muda yang licik, menyeringai tipis. ‘Kalau Madam begitu menyukainya, aku hanya perlu menunjukkan kelemahannya. Setelah itu, Madam akan sadar kalau si buta ini tak pantas tinggal di rumah besar ini.’Tak lama, Anli masuk dengan langkah ringan. Gaun sederhana warna biru pucat membalut tubuhnya, rambut hitamnya digelung rapi. Meski matanya kosong, gerakannya tidak canggung. Ia menunduk hormat pada Madam Qin.“Selamat pagi, Nenek.”Madam Qin tersenyum, menepuk kursi di sampingnya. “Duduklah, Anli. Sarapanlah bersamaku.”Ucapan itu membuat udara di ruang makan
Madam Qin menatap gadis di depannya dengan sorot mata yang tak mudah ditebak.“Anli, kau tahu? Banyak orang di rumah ini memandangmu sebelah mata. Tapi malam ini… kau justru membuatku penasaran.”Anli menunduk sopan, jemarinya terlipat rapi di pangkuan.“Saya hanya berusaha sebatas kemampuan saya, Nenek. Tidak lebih dari itu.”Madam Qin menyipitkan mata, senyumnya penuh arti. Dalam hati ia bergumam, "bukan sekadar gadis buta yang dijodohkan demi kepentingan. Ada sesuatu yang lebih dalam di balik dirinya."Sementara itu, dari kejauhan di lorong, Haoran dan Xiumei masih berdiri sejenak. Keduanya bertukar pandang, masing-masing dengan pikiran berbeda. Haoran mengerutkan kening, Xiumei menggertakkan gigi halus.“Kalau ibumu makin terikat pada gadis itu,” bisik Xiumei dengan lirih, “bisa jadi justru kita yang kesulitan nanti.”Haoran hanya menatap pintu tertutup itu dengan mata tajam.Ruang samping itu sunyi, hanya diterangi lampu gantung dengan cahaya kekuningan yang lembut. Aroma herbal
Malam itu, ruang makan utama keluarga Qin diterangi cahaya lampu kristal yang hangat. Aroma masakan tradisional bercampur wangi herbal memenuhi udara. Madam Qin duduk di kursi utamanya, sementara Anli berada di sisi kanan, tenang meski sorot mata para pelayan menusuk penuh iri.Tak lama, langkah berat terdengar dari koridor. Qin Haoran, ayah Yuze, memasuki ruangan dengan jubah pejabat berwarna gelap. Wajahnya penuh wibawa, sorot matanya tajam seperti sedang menilai keadaan. Di sampingnya, Li Xiumei berjalan anggun dengan gaun elegan berwarna ungu gelap, rambutnya disanggul rapi dengan hiasan giok.Yuze berdiri kaku menyambut, tapi Anli hanya menunduk sopan.Haoran duduk dengan gerakan penuh percaya diri, suaranya tenang namun mengandung tekanan. “Ibu tampak lebih segar hari ini. Rupanya ada yang membuat sore Anda menyenangkan.” Tatapannya sekilas mengarah ke Anli, meneliti tanpa ekspresi.Madam Qin tersenyum samar. “Benar. Anli menuntunku berjalan-jalan di taman. Dia jauh lebih bisa d
Sore itu, sinar matahari menyusup lembut ke halaman luas keluarga Qin. Angin membawa aroma bunga kamelia bercampur tanah basah. Para pelayan sibuk menyiangi taman, tapi pandangan mereka selalu curi-curi ke arah teras, tempat Madam Qin duduk santai di kursi rotan.“Anli,” panggil Madam Qin dengan suara tenang penuh wibawa. “Temani aku berjalan-jalan di taman. Kakiku sedang kaku, aku butuh seseorang yang menuntun.”Sekejap, bisikan sinis terdengar di antara pelayan. “Dia? Menuntun? Ha ha ha, buta menuntun buta?” “Madam pasti bercanda. Jangan-jangan beliau sengaja mau mempermalukannya.” “Kalau dia tersandung bunga, ayo kita lihat wajahnya jatuh ke tanah.”Anli berdiri, menunduk hormat, lalu berjalan mendekat. Ia menyentuh punggung tangan Madam Qin dengan lembut. “Mari, Nenek,” ucapnya tenang, seolah benar-benar yakin bisa membawa wanita tua itu berkeliling.Langkah mereka mulai menyusuri jalan setapak yang berkelok di antara pepohonan bonsai. Batu pijakan tidak rata, ada akar-akar kec
Suara tumpahan air barusan masih terngiang di koridor. Pelayan-pelayan yang sengaja menjatuhkan ember itu buru-buru menunduk, menahan tawa saat melihat gaun sederhana Anli basah sebagian. Tapi lagi-lagi, bukannya jatuh atau panik, gadis itu justru bergerak lincah, menapak lantai licin dengan keseimbangan mengejutkan.“Terima kasih… sudah ‘membersihkan’ jalannya untukku,” kata Anli datar, sambil meremas ujung bajunya yang basah. Senyum tipis muncul, seolah ia tahu betul semua ini bukan kecelakaan.Para pelayan langsung terdiam, muka mereka memerah karena kesal yang tak tersalurkan.Di lantai atas, mata Madam Qin menyipit, mengikuti setiap gerakan Anli. Ada cahaya berbeda di tatapannya, bukan iba, bukan juga kasihan, melainkan ketertarikan.“Hmm…” gumamnya pelan. “Dia tidak sekadar tahan banting… gadis ini tahu cara menjaga martabatnya.”Sorenya, tanpa peringatan, sebuah pesan turun dari kamar Madam Qin:Nyonya muda diundang minum teh sore bersama Madam Qin.Kabar itu menyebar cepat, me
Setelah kejadian pot bunga itu, pelayan-pelayan hanya bisa berdiri kaku. Anli melanjutkan langkahnya tanpa tergesa, tubuhnya luwes, seakan setapak berbatu yang tidak rata sama sekali bukan ancaman. Sesekali ia menengadah, menikmati sinar matahari yang menembus kabut buram di matanya.“Terima kasih sudah menyingkirkan potnya,” ucapnya tenang tanpa menoleh. Nada suaranya ringan, tapi cukup untuk membuat kedua pelayan itu pucat karena merasa ketahuan.Mereka saling pandang, lalu pura-pura membungkuk. “Ya… ya, Nyonya,” sahut salah satunya terbata. Tapi begitu Anli menjauh, salah satu dari mereka mendesis pelan. “Sial, kenapa gadis buta bisa bergerak seperti itu…”Di beranda atas, Madam Qin masih berdiri diam, sorot matanya tajam meski diselimuti keriput usia. Ia menyaksikan segalanya, termasuk ekspresi licik para pelayan tadi. Tongkat peraknya mengetuk lantai sekali, menciptakan bunyi yang bergema pelan.Namun, alih-alih menegur, Madam Qin hanya berbalik perlahan. Senyum samar masih menem