Share

7. Kepulangan Yuze

Author: Donat Mblondo
last update Last Updated: 2025-08-18 11:08:26

Sore itu, sinar matahari menyusup lembut ke halaman luas keluarga Qin. Angin membawa aroma bunga kamelia bercampur tanah basah. Para pelayan sibuk menyiangi taman, tapi pandangan mereka selalu curi-curi ke arah teras, tempat Madam Qin duduk santai di kursi rotan.

“Anli,” panggil Madam Qin dengan suara tenang penuh wibawa. “Temani aku berjalan-jalan di taman. Kakiku sedang kaku, aku butuh seseorang yang menuntun.”

Sekejap, bisikan sinis terdengar di antara pelayan.

 “Dia? Menuntun? Ha ha ha, buta menuntun buta?”

 “Madam pasti bercanda. Jangan-jangan beliau sengaja mau mempermalukannya.”

 “Kalau dia tersandung bunga, ayo kita lihat wajahnya jatuh ke tanah.”

Anli berdiri, menunduk hormat, lalu berjalan mendekat. Ia menyentuh punggung tangan Madam Qin dengan lembut. “Mari, Nenek,” ucapnya tenang, seolah benar-benar yakin bisa membawa wanita tua itu berkeliling.

Langkah mereka mulai menyusuri jalan setapak yang berkelok di antara pepohonan bonsai. Batu pijakan tidak rata, ada akar-akar kecil menyembul dari tanah, bahkan seekor kucing liar tiba-tiba melintas. Pelayan yang mengintip dari jauh hampir menahan tawa, menunggu Anli salah langkah.

Tapi anehnya, Anli selalu bisa menyesuaikan langkah dengan cepat. Ketika Madam Qin hampir terpeleset di akar, Anli lebih dulu menarik tangannya dengan gerakan tepat. Saat seekor kucing lewat, ia menggeser tubuh Madam sedikit ke samping, seolah ia benar-benar melihat jalannya.

Madam Qin menahan senyum. Ia melirik sekilas ke wajah tenang Anli. 'Dia tidak sekadar buta biasa. Instingnya sangat terlatih… bahkan aku merasa lebih aman dipegang olehnya daripada pelayan-pelayanku sendiri.'

Di belakang, para pelayan yang mengintip mulai gusar.

 “Bagaimana mungkin… dia tidak tersandung sama sekali!”

 “Mustahil, aku yang normal saja sering keseleo di jalan itu!”

 “Perempuan itu… apa sebenarnya?”

Sementara itu, Anli hanya tersenyum samar, seolah berjalan di taman itu bukan beban, melainkan tarian yang sudah ia hafalkan sejak lama.

Langkah mereka terhenti di sebuah gazebo kecil di tengah taman. Madam Qin duduk perlahan di kursi rotan, tongkat peraknya disandarkan ke meja. Matanya menyipit, menatap hamparan semak teh yang tumbuh rapi di sisi taman. Aroma daunnya terbawa angin sore, segar dan menenangkan.

“Anli,” suara Madam Qin pelan dan jelas. “Apakah kamu tahu pohon apa itu?” Tangannya yang berurat menunjuk samar ke semak teh yang bergoyang halus diterpa angin.

Para pelayan yang mengintip dari balik pagar hampir terpingkal.

 “Ha ha ha! Ditanya tanaman, padahal dia buta!”

 “Paling jawabnya cuma rumput atau bunga liar.”

 “Lihat deh, ini saatnya ketahuan kalau dia nggak pantes di sini.”

Namun, Anli justru melangkah mendekat, ujung jarinya menyentuh daun-daun muda itu dengan hati-hati. Ia mengusap pelan, lalu mendekatkan tangannya ke hidung, menghirup aromanya. Senyum samar terbit di wajahnya.

“Daun teh hijau,” ucapnya mantap. “Ukurannya kecil, pipih, dan tipis seperti kertas. Aromanya segar, agak manis… kemungkinan varietas Longjing. Dipetiknya pasti saat pucuk masih muda.”

Madam Qin sempat terdiam, lalu tatapannya melembut. “Kamu tahu hanya dengan sentuhan dan bau?” tanyanya, suaranya kini lebih hangat.

Bisikan di balik pagar makin heboh.

 “Apa?! Kok bisa?”

 “Dia bohong kali!”

 “Tapi… Madam Qin malah terlihat senang, celaka!”

Anli menoleh sedikit, wajahnya teduh. “Seseorang… sering mengajarkanku membedakan tanaman. Katanya, kalau mata tertutup, hidung dan jari akan jadi mata kedua. Teh… salah satu yang paling sering dia ajarkan.”

Kata-kata itu meluncur begitu saja, namun dadanya sedikit bergetar. Ingatan samar melintas, tangan hangat seseorang pernah menggenggam jemarinya, membimbingnya meraba daun teh muda sambil tertawa pelan. Wajahnya buram, suaranya pun samar, tapi rasa lembut itu masih tertinggal jelas di hati.

Madam Qin menatapnya lama, lalu tersenyum tipis penuh arti. 'Gadis ini… ada sesuatu di balik dirinya.'

Sementara itu, para pelayan hanya bisa menggertakkan gigi, menahan panas hati.

 “Dasar perempuan aneh! Kok bisa lolos lagi sih?!”

 “Kalau Madam Qin makin suka padanya, tamatlah riwayat kita.”

Anli, seolah tahu dirinya tengah jadi bahan gunjingan, hanya menunduk sopan sambil tersenyum samar. 'Kalian kira, aku akan mudah dipermalukan? Dunia luar sudah lebih kejam daripada ejekan kalian.'

Senja menjelang sore, seketika suara deru mesin mobil terdengar dari kejauhan. Sedan hitam keluarga Qin meluncur masuk melewati gerbang besar, berhenti di pelataran dengan hentakan rem yang kasar. Para pelayan buru-buru berbaris rapi, menunduk, wajah mereka mendadak penuh hormat, kontras dengan ejekan yang barusan mereka lemparkan pada Anli.

Qin Yuze turun dengan langkah panjang, jas tergantung di lengannya, dasi longgar, wajahnya menampakkan lelah bercampur kesal. Begitu kakinya menyentuh marmer halaman, atmosfer rumah seolah berubah tegang.

Madam Qin masih duduk di gazebo, ditemani Anli yang berdiri tenang di sampingnya. Angin sore mengibaskan helai rambut hitam gadis itu, membuat sosoknya tampak teduh di bawah cahaya jingga. Saat Yuze mendongak, matanya langsung jatuh pada pemandangan itu. Neneknya yang tampak bahagia, dan di sebelahnya perempuan buta yang ia anggap hanya budak, berdiri anggun seolah menjadi pelindung.

Alis Yuze berkerut tajam. Ia berjalan mendekat, suaranya terdengar datar namun mengandung duri.

 “Sepertinya nenek menemukan hiburan baru selama saya pergi.”

Madam Qin melirik cucunya, senyum tipis terbit di bibirnya. “Kau pulang, Yuze. Lihatlah, istrimu ini justru membuatku berjalan-jalan sore dengan tenang. Tidak seperti pelayanmu yang sering membuatku jengkel.”

Kata-kata itu bagai cambuk bagi para pelayan yang berdiri menunduk, wajah mereka merah padam menahan rasa malu. Namun bagi Yuze, justru terasa menohok. Rahangnya mengeras, sorot matanya beralih ke Anli, dingin dan penuh tuduhan.

Anli, meski samar hanya bisa menangkap garis besar wajahnya, menunduk sopan. Senyum tipisnya tetap terjaga, seakan ucapan kasar atau tatapan tajam itu hanyalah angin lalu.

'Biar kau menatapku seperti apa pun, Qin Yuze, aku tidak akan goyah,' batinnya tenang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Izzan yusuf
bukan ceritanyg biasa tp sangat menarik hati untuk lanjut membacanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ternyata Aku Seorang Putri Kerajaan   175.

    Dua hari sebelum keberangkatan Ling Yue. Ruang bawah tanah itu dipenuhi bau karat dan debu. Cahaya kuning redup lampu generator memantul di dinding beton yang retak, menambah kesan muram tempat persembunyian keluarga Zhao.Zhao Wenchang duduk di kursi besi tua, tongkat hitamnya mengetuk lantai ritmis, irama yang membuat semua orang tegang. Di hadapannya, Zhao Mingde berdiri kaku, tablet besar di tangannya menampilkan rekaman dari pos barat yang baru mereka peroleh lewat jalur gelap.Rekaman itu sempat diputar berulang-ulang.…Yifan muncul dari hutan, menggendong Putri Bai Ling di punggungnya. …Yifan mengangkat tangannya tanpa melawan pengawal Yancheng. …Yifan memberikan kontak pribadinya kepada sang putri. …Dan Putri Bai Ling memintanya dibebaskan.Rekaman berhenti.Keheningan hancur oleh suara tongkat yang menghantam lantai dengan keras.PRANG!“Anak itu…” ucap Wenchang dengan suara yang sangat pelan namun penuh ancaman. “Berani menyentuh garis keluarga.”Lihua, yang duduk di sudu

  • Ternyata Aku Seorang Putri Kerajaan   174.

    Yifan Berdiri Tepat di Depan Ling Yue. Hanya berjarak satu meter. Pemuda itu tidak berani mendekat lebih jauh… karena jantungnya terasa ingin meledak hanya dengan berdiri di sini.“Saya… mendengar Anda akan pulang besok,” katanya pelan.Ling Yue mengangguk. “Ya.”Ada jeda panjang. Yifan menelan ludah, lalu dengan suara yang hampir pecah, ia berkata."Jika saya belum pernah bilang ini dengan benar… maka izinkan saya mengatakannya sekarang.”Ling Yue menatapnya masih dengan mata bening yang sama. “Apa itu?”Yifan menarik napas panjang. “Saya… berterima kasih karena Anda tidak membiarkan mereka menangkap saya. Karena Anda begitu mempercayai saya.”Tatapan Yifan jatuh ke tanah sesaat.“Saya tidak punya apa pun untuk diberikan padam Anda. Tidak punya gelar, tidak punya kedudukan, tidak punya tempat untuk kembali. Tapi, kalau suatu hari nanti…”Ia mengangkat wajah, matanya bergetar.“Anda membutuhkan saya meski hanya sekali… saya akan datang.”Ling Yue tersenyum lembut. “Yifan.”Saat itu… Y

  • Ternyata Aku Seorang Putri Kerajaan   173.

    Siang hari di rung tamu utama. Cahaya matahari menyelinap masuk melalui jendela tinggi, memantulkan kilau lembut di lantai marmer. Para pelayan berdiri berjajar di luar, menjaga suasana formal karena seorang tamu kerajaan hendak bertemu Raja Muda.Ling Yue masuk dengan anggun, mengenakan pakaian sederhana namun tetap elegan. Ai Fen mengikuti di belakangnya seperti bayangan protektif.Zhenrui berdiri di dekat jendela besar, membelakangi mereka, tangan di belakang punggung seperti bi. Tenang, tegas, berwibawa.Tapi begitu Ling Yue mendekat, ia menoleh dan tersenyum tipis.“Yang Mulia Putri Bai Ling. Aku senang melihatmu kembali pulih.”Ling Yue membalas anggukannya. “Terima kasih atas perhatianmu, Yang Mulia Raja Muda.”Ai Fen membungkuk hormat… sementara matanya diam-diam mengamati Zhenrui, seakan menilai apakah pemimpin ini layak dipercaya.Zhenrui mengambil satu map holografik dari meja, menyerahkannya kepada Ling Yue.“Persiapan untuk kepulanganmu sudah selesai. Kapal udara diplomat

  • Ternyata Aku Seorang Putri Kerajaan   172.

    “Tidak apa,” ujarnya datar. Lalu ia memalingkan wajahnya sedikit. “Mengapa kau ada di sini?” tanyanya, suara turun hampir jadi bisikan.Meilin menggenggam kain dengan gugup. “Anda bilang, hari ini latihan diliburkan lagi, tapi saya tetap harus memastikan peralatan siap besok pagi,” katanya lembut. “Saya juga membawa salep baru dari Kakak An. Untuk memar-memar Yang Mulia yang… kadang tidak Anda sadari.”Zhenrui menggigit lidahnya agar tidak memaki dirinya sendiri.'Kenapa dia harus sebaik itu…?'“Aku bisa mengurus diriku sendiri,” jawab Zhenrui sambil berusaha melewati Meilin.Namun…Meilin, yang awalnya ingin memberi jalan, bergerak ke arah yang sama.Zhenrui ke kiri. Meilin ikut ke kiri. Zhenrui ke kanan. Meilin ikut ke kanan. Keduanya berhenti. Keduanya menegang dan salah tingkah.Meilin menunduk cepat. “M—maaf!! Saya… saya tidak sengaja! Saya akan minggir!”Tapi karena terlalu gugup, Meilin malah mundur terlalu cepat dan tersandung sedikit oleh ujung karpet.Refleks, Zhenrui merai

  • Ternyata Aku Seorang Putri Kerajaan   171.

    Matahari pagi menyelinap masuk lewat jendela besar koridor timur, menciptakan garis-garis cahaya di sepanjang lantai marmer. Istana Yancheng terasa hidup kembali prajurit berpatroli, pelayan mondar-mandir, dan aroma bubur ayam dari dapur istana menyebar ke semua paviliun.Semua tampak normal, tenang. Tidak ada yang ganjil, kecuali satu hal:Raja Muda Yancheng secara mencurigakan terus mengubah rutenya agar tidak satu lorong pun berpapasan dengan Meilin.---Pagi di Paviliun Timur...Meilin mengetuk pintu perlahan.“Permisi, Kakak An… saya masuk.”Anli yang sedang bersiap makan sarapan tersenyum.“Pagi, Meilin. Kamu datang terlambat lagi."Meilin langsung pucat. “M-maaf! Saya—”“Aku bercanda,” kata Anli sambil tertawa lembut. “Apa Kakak Rui sudah sarapan?”Meilin menggeleng cepat. “B-belum, saya belum menemui beliau sejak fajar menyingsing”Anli mengerutkan alis. “Tidak biasanya. Biasanya kamu ke ruang kerjanya dulu kan?”Meilin menunduk, pipinya memanas. “Ehm… hari ini saya… diminta un

  • Ternyata Aku Seorang Putri Kerajaan   170.

    Meja panjang dari kayu gelap itu biasanya digunakan untuk menjamu bangsawan tingkat tinggi. Tapi siang ini, hanya ada lima orang di ruangan.Zhenrui, duduk di ujung meja sebagai tuan rumah. Yuze, duduk di sisi kanan, tegang seperti prajurit yang salah baris. Anli, di sisi kiri, tersenyum manis meski buta dan mencium aroma kekacauan. Ling Yue, tamu kehormatan yang baru saja selamat dari pembunuhan. Dan di belakang mereka, dengan wajah merah padam dan tangan gemetar, Meilin, berdiri sebagai pelayan meja.Sebenarnya Anli sudah memaksa Meilin untuk duduk bersama. “Meilin, duduklah! Kamu juga bagian dari keluarga kami.”Namun gadis itu menggeleng cepat seperti burung kecil.“Tidak, Kakak An! Tugas saya… melayani. Itu posisi saya…”Zhenrui yang baru masuk ruangan lalu menambahkan singkat.“Biarkan saja dia berdiri.”Meilin hampir menjatuhkan nampan.Yuze menatap Zhenrui tajam. Anli terkekeh kecil, tahu persis kenapa kakaknya berkata begitu.Ling Yue yang baru duduk, menatap ketiganya dengan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status