Aarav menatap Evelyn. Wanita itu baru saja mengganti bajunya. Ia sengaja mengajak wanita itu untuk beralih ke hotel yang lainnya. Ia tidak mau berada dalam satu hotel dengan keluarga ataupun Serena. Berada dalam acara tersebut membuatnya muak. Pernikahan itu juga membuatnya muak. Dan Serena... Entah berapa lama wanita itu bersembunyi dibalik kepolosannya. Aarav bahkan tidak menyangka ada manusia selicik itu hanya karena uang.
"Sayang..." panggil Evelyn.Aarav yang tadinya duduk di lantai sembari menegak wine-nya, kini menatap sesosok tubuh seksi yang dibalut pakaian minim itu dengan pandangan tajam."Malam ini... Kau tidak mau bersenang-senang denganku?" tawar Evelyn dengan suara manja. Wanita itu bergelayut di tubuh Aarav. Mengajaknya bercinta.Namun Aarav menggeleng. Ia mengibaskan tangan Evelyn. "Tidak untuk malam ini dan seterusnya..." serunya parau.Hal tersebut membuat Evelyn mendesah. "Ya ampun, kau masih marah soal hal itu?" tanya Evelyn.Aarav menarik napas panjang sebelum memutuskan untuk menyesap wine mahalnya lagi. "Kau pikir mudah bagiku menerima pernikahan dengan wanita udik sepertinya?"Evelyn kini ikut menuangkan wine pada gelas tingginya. Lalu ia ikut menyesapnya bersama dengan Aarav. "Aku tahu... Tapi itu adalah perintah ibumu, kan? Dan kau tidak pernah bisa melawan wanita tua itu, Rav!""Ini semua gara-gara kau!" seru Aarav dengan nada tajam. "Seandainya kau mau menikah denganku lebih cepat, semua hal ini tidak akan terjadi. Tapi kau malah egois dengan memikirkan dirimu sendiri!"Evelyn menggeleng. "Jangan bicara hal keji itu padaku, Rav! Kau tahu betapa berharganya karirku untuk diriku! Kau tidak tahu berapa lama aku berusaha hingga ada di titik ini!" gumamnya.Aarav berdecih. "Dan aku tidak berarti bagimu, begitu?""Bukan begitu!!" sergah Evelyn cepat. Wanita itu mengumpulkan semua kalimat yang selama ini ia tahan. "Kau tidak tahu betapa besar obsesiku untuk menjadi model papan atas. Dan aku sangat senang saat mendapatkan kontrak. Aku tidak bisa merelakan semuanya dengan menikah denganmu... Setidaknya, tidak untuk sekarang..." ucap Evelyn dengan nada menggebu. Bayangan jika ia baru saja mendapatkan kontrak yang akan membawa namanya menjadi model internasional membuatnya menolak ketika sang kekasih yang sudah ia pacari selama dua tahun lamanya itu melamarnya.Aarav menyandarkan tubuhnya pada pilar. "Memangnya kenapa kau terobsesi sekalu menjadi seorang model? Memangnya aku tidak cukup kaya untuk membuatmu bahagia?"Evelyn tahu betul jika takaran kekayaan Aarav bukanlah salah satu yang membuatnya menolak lamaran itu. Pasalnya, Aarav bukanlah pria biasa yang tidak sanggup menghidupinya sehingga ia harus berusaha bekerja sendiri. Malahan sebaliknya. Tapi Evelyn ingin menunjukkan dirinya pada dunia bahwa ia pantas diakui, bukan hanya sebagai isteri dari seorang Aarav, tapi sebagai model yang namanya sudah dikenal dikancah internasional.Katakan ia egois dan ambisius. Tapi begitulah faktanya. Ia tidak ingin hanya mengandalkan orang lain untuk mewujudkan mimpinya. Namun ia ingin berdiri di atas kakinya sendiri."Bukan begitu... Tapi aku memang tidak bisa mengingkari perjanjian dalam kontrak yang sudah kutandatangani. Bahwa aku tidak boleh menikah sebelum kontraknya berakhir. Seharusnya... Kau menungguku, Rav... Ini adalah jalanku untuk menjadi model. Tinggal selangkah lagi. Dan setelah itu aku akan menjadi milikmu seutuhnya.""Aku menunggumu, Eve. Aku bahkan selalu menunggumu. Tapi siapa yang akan tahu jika jalang kecil itu tiba-tiba naik ke atas ranjangku dan membuat salah paham yang besar?" gumam Aarav. Matanya nyalang ketika mengingat kejadian dimana ia dipermalukan di depan banyak orang.Rasa malu yang ditanggungnya pun berujung pada satu kondisi di mana ia harus menikahi Serena. Jika tidak, semua aset perusahaan yang ia miliki akan musnah dalam waktu singkat. Dan Aarav yang sudah membangun bisnisnya mulai dari nol tidak akan membiarkan itu terjadi. Yang artinya, dengan sangat terpaksa ia setuju untuk menikah dengan Serena."Kalau begitu apa yang harus kita lakukan? Semuanya sudah terlanjur. Bahkan saat ini kau sudah resmi menjadi suaminya..."Aarav mendesah. Ia memijat pangkal hidungnya yang mendadak berdenyut ngilu. Menciptakan rasa pening yang membuatnya harus mengernyitkan dahi. "Berapa lama lagi kontrak modelmu akan berakhir?""Dalam tiga bulan. Kenapa?"Aarav mengangguk singkat. "Kalau begitu aku akan menceraikan Serena setelah tiga bulan dan menikah denganmu setelah kontrakmu berakhir..."Senyum Evelyn kemudian terbit juga. Ia kembali bergelayut manja pada lengan pria itu. "Sungguh? Kau tidak bohong?!""Kapan aku bohong padamu?!"Evelyn nyaris berteriak saking girangnya. "Bagus, aku akan menjadi model internasional dalam waktu dekat, dan kita akan menikah. Bagus sekali... Aku akan mendapatkan semua yang kumau."Aarav bergumam. "Benar, kita hanya perlu menunggu selama tiga bulan...""Tapi selama tiga bulan kedepan. Apa yang akan kau lakukan pada Serena? Jangan-jangan nanti kau akan jatuh cinta padanya. Bukannya dia termasuk wanita yang cantik?"Aarav berdecih. Ia tertawa sumbang. "Dalam tiga bulan ini aku akan membuatnya merasa seperti hidup di neraka. Dan kalau kau bertanya apakah aku akan jatuh cinta padanya atau tidak, jawabannya adalah tidak. Aku tidak akan jatuh cinta pada wanita kelas bawah sepertinya. Lagipula aku sudah tahu betapa murah tubuhnya. Dia bahkan sangat memalukan dan menjijikkan..."Jawaban itu membuat Evelyn bahagia juga. Artinya, Aarav tidak akan jatuh cinta pada wanita itu. Dan Serena bukanlah lawan yang sepadan dengannya untuk mendapatkan hati Aarav. Pria itu secara tidak langsung sudah mengatakan jika ia hanya jatuh cinta pada Evelyn. Tidak ada lagi.Evelyn lantas membuka tabletnya. Ia berusaha mengalihkan obrolan dengan melakukan aktivitas membaca berita. Namun matanya melebar kaget ketika membaca judul sebuah artikel. "Pengusaha Dominic Grup Menikah dengan Gadis Biasa."Judul artikel itu sangat jelas. Bahkan beritanya sudah dimuat beberapa jam saja setelah pesta pernikahan usai. Evelyn tersenyum miring. Lalu menunjukkan berita tersebut pada Aarav. "Lihat! Berita tentang pernikahanmu sudah dimuat dalam berita online. Kau trending karena menikahi gadis biasa."Aarav menyesap winenya tidak peduli. "Berita tidak bermutu!" komentarnya.Evelyn lantas membuka berita tersebut. Ia cukup kaget ketika melihat foto Serena sedang memeluk Tante Tania yang notabene adalah ibu Aarav. Sepertinya hubungan keduanya sangat akrab. Mau tidak mau Evelyn iri juga. Sejak berpacaran dengan Aarav ia selalu berusaha mengakrabkan diri dengan wanita tua itu. Sayangnya, Tante Tania sama sekali tidak membuka kesempatan baginya untuk akrab. Dan Serena begitu mudahnya mendapatkan perhatian itu lebih darinya."Eh, Aarav, Lihat! Bukannya ini kalung yang dikenakan ibumu?" Evelyn menunjuk kalung yang kini dipakai Serena. Kalung itu adalah milik Tante Tania yang sejujurnya selama ini selalu dilirik oleh Evelyn. "Kalung itu kan kalung yang dulu sempat kutaksir. Sekarang kenapa Serena yang memakainya?""Entahlah, mungkin ibuku yang memberikannya pada Serena..."Evelyn tersenyum licik. "Kalau begitu, bisakah kau meminta kalung itu dari Serena dan memberikannya untukku?"***Serena baru saja mengecek kembali kondisi Tania dengan memeriksa suhu badannya. Mulai turun. Meskipun belum bisa dikatakan normal, ketika Aarav datang. Pria itu terlihat menghentikan mobilnya di halaman. Tadinya Serena memang sempat melihat Aarav keluar. Tapi ia tidak sempat menanyakan kemana gerangan pria itu pergi. Lagipula kalau dipikir-pikir kenapa ia harus menanyakan hal tersebut pada Aarav? Pria itu pasti akan menghujatnya dengan melabeli Serena sebagai orang yang kepo dan cerewet. Toh, ia bukanlah istri sebenarnya yang harus mengetahui kemana suaminya pergi. Ia hanyalah istri yang tidak dianggap. Lebih tepatnya, istri yang dianggap hanya sebagai pembantu. Jadi, Serena memilih tidak bertanya. Karena... Sepertinya lebih baik memang begitu...Pria itu terdengar membuka pintu dan menghampiri Serena yang sedang menyiapkan air panas untuk mengompres Tania lagi. "Apa yang sedang kau lakukan dengan air panas itu?" tanya pria itu heran ketika melihat Serena menuangkan air panas ke da
Aarav memasuki kelab yang dipenuhi lautan manusia baik sadar maupun dalam keadaan mabuk dengan langkah panjang. Malam minggu begini memang banyak sekali muda-mudi yang menghabiskan waktu mereka dengan dunia malam. Aarav khawatir pada Evelyn yang masih di dalam. Bagaimana bisa manajer wanita itu meninggalkannya sendirian seperti itu?Aarav mulai mencari-cari Evelyn diantara banyaknya orang yang berada dalam ruangan pengap tersebut. Lampu blits menyala-nyala, menyilaukan pandangannya yang berusaha mencari-cari Evelyn. Ditengah usahanya mencari wanita itu, banyak sekali wanita yang melambai padanya. Mereka bahkan melihat kedatangan Aarav dengan pandangan memuja. Mereka mendekati pria itu sembari menawarkan segelas wine. Aarav menggeleng. Dan para wanita itu akhirnya berlalu setelah berdecih kecewa. Tujuannya datang kemari adalah untuk mencari Evelyn. Dan..Itu dia!Sosok wanita cantik terlihat sedang menyilangkan kakinya di sofa VIP. Wanita itu terlihat sedang mengobrol dengan orang la
Serena menyuapi Tania dengan telaten. Ia selalu berusaha mengajak ibunya mengobrol. Dan entah bagaimana, ibunya yang sakit itu terlihat sedikit riang karena menimpali ucapan Serena dengan senyum atau tawa kecil. Aarav menyesal karena mendapati fakta jika ibunya tidak pernah seriang itu ketika mengobrol dengannya. Aarav memang mengakui jika ia adalah anak yang kaku. Kehidupannya selama ini hanya berpusat pada pekerjaan dan pekerjaan saja. Pasti sangat membosankan mengobrol dengannya. Namun Tania seolah mendapatkan teman baru saat bersama Serena. Mereka berdua membicarakan banyak hal seputar makanan. Serena lebih banyak bicara dan menceritakan apa saja. Sementara Tania hanya bisa tersenyum dan memukul menantunya itu dengan sayang sesekali. "Ibu tahu tidak. Terkadang Aarav selalu mendengkur saat tidur. Yah memang tidak setiap malam. Tapi bukankah itu lucu... Hahahha..." ucap Serena pada Tania. Aarav mencoba mengalihkan pandangannya. Mendengar dua orang membicarakan dirinya dengan tawa
"Aku ikut. Aku akan mencoba membantu merawat ibumu!"Untuk sedetik, Aarav merasa ia begitu terpana. Pada kalimat yang diutarakan oleh Serena. Wanita itu terlihat panik meraih tas mungilnya yang kusam. Lalu mengambil jaket yang berada di gantungan dengan kecepatan kilat dan langsung menyusul Aarav. "Aarav, ayo!" ucap Serena ketika Aarav malah bengong sembari menatapnya. Sebenarnya Aarav terpana pada sikap Serena yang langsung berniat ikut ke rumah ibunya tanpa ragu sedikitpun. Ekspresi khawator benar-benar ditunjukkannya sepanjang wanita itu melangkah menuju mobil dan duduk di samping kemudi Aarav. Semua ekspresi dan perilakunya sama sekali tidak luput dari perhatian Aarav. Bagaimana ada seorang wanita manipulatif yang begitu khawatir pada ibunya? Aarav bertanya-tanya apakah itu hanyalah samdiwara? Tapi bagaimana bisa seseorang bisa bersandiwara sehebat itu? Rasanya tidak mungkin. Serena bahkan berulang kali menangkupkan tangannya seolah sedang berdoa untuk kesembuhan ibunya. "Sem
Serena menatap Aarav dengan pandangan membulat. "Katanya kau tidak suka makanan yang kubuat?" Aarav merasa sedikit keceplosan. Ia mengangkat bahunya. "Memang!""Lalu kenapa kau bertanya soal makanan apa yang kumasak?!" Aarav hanya terdiam. Pria itu tidak mengatakan apapun. Ia mulai bingung menyusun kalimat untuk membuat alasan. "Kau mau kupesankan makanan saja?" tanya Serena. Ia bingung dengan pertanyaan Aarav. Karena biasanya pria itu selalu memesan makanan. Namun Aarav menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku ingin menyantap makanan buatanmu malam ini."Serena membulatkan matanya. Menyantap makanan buatannya? Tumben sekali. Biasanya pria borju pemilih ini sangatlah anti terhadap apapun yang Serena buat. Jangankan memakannya, menyentuh saja Aarav seolah haram. Jadi sangatlah beralasan kalau Serena hanya bisa mengangkat alisnya ketika pria itu mengutarakan keinginannya. "Kau yakin?!" tanya Serena lagi. Aarav mengangkat alisnya. "Menurutmu itu hal aneh? Meminta sesuatu pada istrinya
Aarav masuk ke dalam rumahnya. Dan seperti biasa, Serena terlihat menyambutnya dari balik pintu rumah. Meskipun sambutan itu bukanlah sapaan seperti layaknya istri pada suaminya, melainkan hanya senyuman biasa, Aarav tetaplah tidak terbiasa. Sejak kecil ia selalu dibesarkan untuk menjadi seorang pria yang ditakdirkan sendirian. Terlahir dari seorang ibu dan ayah yang selalu sibuk membuatnya merasa kesepian. Ia tidak memiliki saudara. Aarav juga jarang berteman dengan sebayanya saat anak-anak hingga beranjak dewasa. Bukan apa-apa, mereka takut jika berada dalam lingkungan Aarav. Kalaupun ada, anak-anak itu hanya memanfaatkan Aarav untuk kepentingan mereka sendiri. Dulu Aarav pernah memiliki seorang sahabat ketika ia duduk di bangku sekolah atas. Ia temannya itu selalu bersama, bahkan Aarav yang awalnya tidak memiliki kepercayaan diri dalam pertemanan mulai percaya pada sosok sahabat yang selalu di sampingnya. Kehidupan sahabatnya yang miris dan jauh dari kata layak membuat Aarav mem