Karena tidak mendapat jawaban dari pertanyaannya, membuat Ara terus menatap pada foto dirinya dan sang ayah, yang diambil beberapa tahun silam. Sebelum sang ibu membawanya pergi menjauh dari sang ayah, tanpa alasan apa pun.
Dan dari saat itu Ara kehilangan sosok seorang ayah yang sangat dicintainya, apa lagi saat itu sang ayah‐lah yang selalu berada di sampingnya dua puluh empat jam, karena sang ibu sibuk bekerja.
Bulir air mata jatuh membasahi kedua pipi Ara, air mata kerinduan untuk sang ayah yang sangat disayanginya.
Melihat Ara menangis, kakek Janned yang sudah duduk dipinggiran tempat tidur, mengulurkan tangannya, lalu menghampus air mata yang membasahi kedua pipi Ara.
Membuat Ara segera menoleh pada kakek Janned, lalu menjauhkan tangannya.
"Dimana ayah?" tanyanya.
"Aku akan membawa kamu menemui ayahmu," kata kakek Janned, yang harus menunjukkan dimana orang yang sangat berjasa dalam hidupnya, kini berada.
"Aku mau menemui ayah sekarang juga," Ara coba untuk turun dari tempat tidur, tapi tertahan karena area sinsitifnya malah tambah perih saat bergerak.
"Kamu istirahat dulu, aku pasti akan mengajak kamu mengunjungi Hardi,"
Ara semakin percaya jika pria tersebut mengenal sang ayah, setelah kakek Janned menyebut nama ayahnya.
Sekarang kakek Janned beranjak dari duduknya, dengan tatapan tidak terlepas dari Ara.
Dan kakek Janned yakin, jika gadis yang sedang ditatapnya adalah gadis yang sangat baik, dan tak salah dirinya menjodohkan Joan dengannya.
"Anggap saja ini rumah kamu sendiri, dan jika kamu ingin sesuatu. Bilang saja sama dia," kakek Janned menunjuk pada bibi Miu yang masih setia berdiri disisi tempat tidur.
Sebelum pergi dari kamar tersebut, terlebih dahulu kakek Janned menatap pada bibi Miu. "Mi, jaga dia baik-baik."
"Baik Tuan," ujar Bibi Miu yang memang tahu, sang majikan sudah sangat lama mencari gadis yang masih berada diatas kasur sambil mengamati foto yang ada ditangannya.
Kemudian bibi Miu menatap pada Ara. "Nona Ara, jika Nona membutuhkan sesuatu katakan padamu."
Ara tidak menanggapi ucapan bibi Miu, yang ada mengalihkan tatapannya pada wanita paruh baya tersebut.
"Apa anda juga mengenal ayahku?"
Senyum terukir dari kedua sudut bibit bibi Miu. "Panggil saja aku bibi, Nona."
Ara hanya menganggukkan kepalanya.
"Tentu saja aku sangat mengenal Hardi ayah Nona, orang yang sangat baik dan juga pekerja keras, meskipun kerja kerasnya terlambat, karena orang yang dicintainya pergi tanpa sepengetahuannya."
Ara memicingkan matanya mendengar apa yang bibi Miu katakan. "Pergi tanpa sepengetahuannya?" tanya Ara menyimak ucapan dari bibi Miu.
"Iya, dulu Hardi pernah bercerita, saat ia belum bekerja setelah di phk masal. Dan hanya sang yang istri bekerja. Tiba-tiba ia ditinggal sang istri, bukan hanya itu saja. Putri yang sangat di sayanginya juga di bawa pergi. Tapi ia tetap bekerja keras untuk mengumpulkan uang dan mencari keberadaan orang yang sangat dia sayangi dan juga cintai." Bibi Miu mengingat apa yang perah Hardi ceritakan ketika baru bekerja dengan kakek Janned.
Ara mendengar cerita bibi Miu, dan langsung mengambil kesimpulan. Jika malam itu sang ibu membawanya pergi karena sang ayah belum mendapat pekerjaan.
Masih teringat di memori Ara, sebelum sang ibu membawanya pergi. Terjadi keributan antara kedua orang tuanya itu.
Apa mungkin keributan itu terjadi karena sang ayah belum mendapat pekerjaan? Itu yang sekarang Ara pikirkan.
"Bibi tahu dimana ayah berada?"
Bibi Miu menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan dari Ara.
"Di mana ayah sekarang?" tanya Ara lagi, yang ingin segera betemu dengan sang ayah yang sangat ia rindukan.
"Seperti yang Tuan tadi katakan, dia akan membawa kamu menemui ayahmu. Yang terpenting kamu istirahat dulu," ujar Bibi Miu, yang tidak akan mengatakan dimana Hardi sekarang yang sudah hidup tenang.
Sementara itu, setelah keluar dari dalam kamar tempat Ara berada, Kakek Janned segera melangkahkan kakinya menuju kamar sebelah. Di mana kamar Joan, sang cucu, berada.
Asap rokok memenuhi kamar tersebut, membuat Kakek Janned segera menyalakan penyedot asap yang terdapat di kamar sang cucu.
Setelahnya, Kakek Janned mendekati Joan yang sedang duduk di sofa.
"Teruskan saja, racuni tubuhmu itu dengan asap beracun!" Kakek Janned menyindir sang cucu yang susah diberi tahu tentang bahaya rokok.
Namun, tidak pernah sekali pun Joan menghiraukan apa yang sang kakek katakan.
Yang ada ia semakin candu, apalagi setelah sang kekasih memutuskan pergi.
"Kakek ingin bicara–”
"Aku sudah menyiapkan uang yang cukup banyak untuk gadis itu, Kakek tenang saja,” potong Joan tepat setelah sang kakek duduk di hadapannya. “Aku yakin dengan uang yang cukup banyak, gadis itu akan diam dan tidak bisa berbuat apa-apa."
Kakek Janned berdecak. "Memang orang butuh uang, tapi ada hal yang tidak bisa kamu bayar dengan uang!"
Ucapan sang kakek membuat senyum sinis tersungging dari sebelah sudut bibir Joan. Pria itu menatap kakeknya.
"Sudahlah. Kek. Memangnya aku bisa apa lagi selain memberinya uang?” balas Joan dengan nada datar. “Menikahinya? Jangan bercanda."
Kakek Janned diam. Beliau belum mengatakan jika ia ingin sang cucu bertanggung jawab dengan menikahi Ara. Bukan karena Joan sudah mengambil kesucian Ara, tapi juga karena Ara sebenarnya adalah gadis yang sudah Kakek Janned jodohkan untuk menjadi istri Joan.
Sudah sejak lama.
Namun, Joan justru melanjutkan, "Di luar sana banyak gadis yang menjual keperawanannya hanya demi barang yang mereka inginkan. Lima ratus juta pasti cukup untuknya."
"Tapi tidak semua gadis sama Jo."
Joan mendengus. "Apa yang membedakan gadis itu dengan gadis lain?"
"Lebih baik kamu menikahi gadis itu secepatnya." Akhirnya kakek Janned mengatakan apa yang ingin dirinya katakan pada sang cucu.
Joan tampak kesal. “Kakek tidak mendengar omonganku barusan?” tukas pria itu.
"Ini perintah!" Kakek Janned berucap tegas. “Kamu harus menikahi gadis itu jika kamu tidak ingin pergi dari sini tanpa membawa apa pun!”
Rahang Joan mengeras.
Sempat, Joan ingin angkat kaki. Kakeknya tidak tahu kalau Joan sebenarnya punya bisnis lain, sekalipun ilegal. Jadi, ia tidak akan kekurangan sekalipun ia pergi dari sini.
Namun, kenapa justru Joan yang harus pergi!?
Jujur, ia tidak paham dengan perintah sang kakek. Apa yang sudah dikatakan oleh gadis asing itu hingga sang kakek memaksanya seperti ini?
Ck. Sepertinya ia harus membuat perhitungan lebih lanjut dengan gadis itu.
“Baik. Aku akan menikahinya.” Joan memutuskan.
Bibi Miu selalu berada di samping Ara, menemani gadis tersebut yang merasa bingung. Bagaimana Ara tidak bingung, baru kali ini ia di perlakuan seperti seorang putri dalam Kerajaan dongeng yang sering ia baca. Membuatnya tidak bisa berkata apa-apa lagi, selain menatap orang-orang berpakaian pelayanan yang didominasi warna putih, keluar masuk ke dalam kamar dimana dirinya. Membawakannya, bukan hanya keperluan sekunder, tapi juga kebutuhan primer yang sering Ara lihat di drama televisi. Dari pakaian, tas, sepatu dan aksesori lainnya yang sama sekali tidak pernah Ara miliki, jangankan memilikinya melihatnya secara langsung pun, Ara belum pernah. Tapi sekarang Ara bisa melihat langsung kebutuhan primer yang begitu banyak di kamar dimana ia berada, yang baru di susun rapi oleh beberapa pelayan. "Nona Ara, ini semua milikmu," kata bibi Miu. Tentu saja Ara yang masih duduk diatas tempat tidur setelah menyelesaikan sarapan, itu pun di layani oleh bibi Miu yang menyuapinya meskipun Ara
Bibi Miu menghampiri kakek Janned di dalam kamar yang selalu ia tempati jika berada di rumah sang cucu, karena memang, kakek Janned sebenarnya tinggal di rumah lainnya.Kakek Janned menoleh pada papa bibi Miu. "Bagaimana Mi, apa Ara sudah lebih tenang?" tanya kakek Janned, pasalnya setelah pulang dari pemakaman beberapa saat lalu, Ara masih bersedih."Syukurlah, gadis itu sudah lebih tenang Tuan."Kakek Janned yang sedang duduk diatas sofa di ruangan tersebut, sekarang beranjak dari duduknya."Dia tidak mengatakan apa pun padamu?""Ara hanya mengatakan ingin pulang, Tuan."Kakek Janned tidak mengatakan apa pun untuk menimpali ucapan bibi miu."Persiapkan acara pernikahan Ara dan Joan!" perintah kakek Janned."Baik Tuan."Kakek Janned masuk ke dalam kamar dimana Ara berada, ingin mengatakan tentang pernikahan.Karena memang kakek Janned belum memberi tahu tentang hal tersebut.Ara yang sedang duduk diatas kasur dengan punggungnya ia sandarkan di sandaran tempat tidur, menoleh pada kake
Ara yang masih setengah sadar, dan nyawanya belum terkumpul karena baru saja terjaga dari tidur nyenyaknya.Hanya menatap pada Joan yang baru saja menariknya hingga turun dari atas tempat tidur, kemudian mendudukkan bokongnya di pinggiran tempat tidur tersebut."Keluar!" perintah Joan dengan kencang, membuat nyawa Ara akhirnya terkumpul sempurna.Kemudian Joan menarik kedua tangan Ara agar beranjak dari duduknya, lalu mendorong tubuhnya dengan kencang.Untung saja tidak membuat Ara jatuh, dan membuatnya hanya menatap pada pria yang sudah resmi menjadi suami."Apa lihat-lihat, hah?! Pergi dari kamarku sekarang juga, dan jangan sampai kamu masuk ke dalam kamarku ini, paham!"Ara yang malas menanggapi sang suami, memilih segera pergi dari dalam kamar tersebut.Namun, baru saja membuka pintu. Joan menghentikan langkahnya."Jangan bilang aku mengusirmu dari kamar ini. Awas saja kalau kamu sampai mengadu pada kakek, aku akan membuat perhitungan denganmu paham!" ancam Joan, yang tidak ingin
Ara yang ketiduran di tempat tidur Joan, setelah suaminya itu meninggalkannya. Segera membuka kedua bola matanya ketika mendengar suara pintu di buka dengan kencang.Dan segera turun dari tempat tidur, ketika melihat Joan masuk ke dalam kamar tersebut.Tautan kening menghiasi wajah Ara, ketika melihat sang suami masuk dengan tubuh di papah oleh Zack."Aku cari obat dulu," kata Zack setelah mendudukkan bokong Joan di pinggiran tempat tidur.Ketika atasan dan juga sahabatnya terluka di salah satu kakinya, setelah tadi melarikan diri dari kejaran musuh Joan.Ara hanya diam mematung melihat Zack yang keluar dari dalam kamar dengan terburu-buru, kemudian menatap pada Joan yang sedang menahan sakit, disalah satu kakinya."Jangan hanya berdiri disitu bodoh! Cepat ambilkan aku minum!" perintah Joan yang sangat haus setelah tadi melarikan diri dari kejaran musuhnya.Bergegas Ara mengambil segelas air putih yang berada diatas meja nakas, lalu mendekati Joan. "Silakan,"Joan mengambil gelas ters
Hati Ara langsung luluh mendengar permintaan dari kakek Janned.Membuatnya mengurungkan niat untuk meninggalkan pria kejam yang sudah berstatus sebagai suaminya itu."Aku akan tetap tinggal disini dan menjadi istri untuk selamanya bagi cucu kakek itu." kata Ara."Terima kasih Ra, kakek berharap kamu bisa mengubah keras kepala Joan." tentu saja kakek Janned berharap suatu saat Ara bisa mengubah cucunya itu menjadi pria yang tidak keras kepala lagi.Meskipun Joan bukankah cucu kandungnya, tapi kakek Janned sudah menganggapnya sebagai cucunya sendiri, yang akan menjadi pewaris kekayaannya.Mengingat lagi, kakek Janned tidak memiliki keturunan lagi setelah anak dan juga menantunya yang Joan pikir adalah orang tuanya, telah meninggal dunia karena kecelakaan.Ara menganggukkan kepalanya untuk menimpali ucapan kakek Janned.Dimana pria paruh baya tersebut kini beranjak dari duduknya. "Ra, panggil Joan. Ajak dia sarapan, kakek tunggu kalian berdua di meja makan.""Baik Kek,"Setelah kakek Jan
Bibi Miu segera membawa Ara ke rumah sakit, setelah Joan memanggilnya. Ketika mendapati sang istri tiba-tiba pingsan setelah ia dorong dan mengeluh sakit di bagian perutnya.Tanpa merasa bersalah setelah apa yang terjadi pada Ara, Joan kembali menghisap puntung rokok yang menyala, berharap frustasi yang sedang ia rasakan segera menyingkir.Karena sampai detik ini Joan belum juga menemukan keberadaan Vio, yang seolah hilang di telan bumi. Padahal Joan sudah pergi kesana kemari mencari wanita yang sangat dicintainya."Arrggggg!" Joan memukul meja kaca dihadapannya sampai hancur, dan membuat telapak tangannya terluka. "Vio, kembalilah padaku. Aku tidak bisa hidup tanpamu,"Sementara itu di rumah sakit. Bibi Miu merasa lega setelah Ara ditangani oleh dokter, kini kondisinya baik-baik saja dan sudah sadarkan diri.Ruang perawatan VIP menjadi tempat Ara beristirahat setelah dokter menyuruhnya untuk menjalani rawat inap."Non, apa yang terjadi sebenarnya?" tanya bibi Miu, yang belum mengetah
Ara menitikan air mata dan terus menatap pada Joan, ia tidak percaya pria tersebut menyuruhnya untuk menggugurkan bayi yang ada di dalam rahimnya.Meskipun awalnya Ara sempat berpikir jika Joan tidak mungkin akan menerima bayinya, tapi tidak terlintas sedikitpun di benaknya jika pria tersebut ternyata lebih keji dengan memintanya menggugurkan bayinya."Kamu pikir, dengan kamu menangis akan mengubah keputusanku? Tidak! Keluar dari kamar ini dan segera gugurkan bayimu!""Jahat." ucapan tersebut lolos begitu saja dari bibir Ara.Namun, hanya membuat Joan tersenyum, lalu mendorong tubuh Ara Keluar dari dalam kamarnya. "Pergi dari hadapanku!"Ara yang sudah berada di depan kamar Joan, menatap pintu kamar tersebut yang baru saja di tutup dengan kencang oleh Joan.Tidak, Ara tidak boleh menangis. Membuatnya segera menghapus air mata yang membasahi kedua pipinya.Dan Ara juga tidak boleh bersedih, ada kakek Janned yang selalu mengerti akan dirinya. "Aku harus memberi tahu kakek.""Jika kamu m
Rehan masih tidak percaya, setelah mencari kesana kemari keberadaan sang kekasih setelah kejadian malam itu, dimana ia kehilangan Ara saat di stasiun Bus.Kini ia menemukan keberadaan kekasihnya tersebut, saat Rehan sudah pasrah mencarinya."Kak Rehan." ucap Ara lagi, karena Rehan tidak menimpali ucapannya. Yang ada Rehan terus menatapnya, masih tidak percaya jika gadis yang sekarang sudah berdiri di hadapannya, adalah Ara. "Ara, kamukah ini?" tanyanya."Iya Kak, aku Ara."Rehan segera membawa gadis tersebut ke dalam pelukannya. "Tuhan, terima kasih. Engkau telah mempertemukan aku dengan Ara." ucapnya, dan semakin erat memeluk kekasihnya tersebut."Kak, lepaskan aku." pinta Ara.Bukan hanya ia sulit bernafas, karena Rehan memeluknya begitu erat.Tapi selama menjalin hubungan kekasih dengan Rehan, tidak pernah sekalipun keduanya saling berpelukan. Rehan segera melepas pelukannya ketika mendengar permintaan Ara.Lalu menatap lekat wajah gadis tersebut. "Kamu ke mana saja Ra? Asal kamu