Share

Lima Ratus Juta

Karena tidak mendapat jawaban dari pertanyaannya, membuat Ara terus menatap pada foto dirinya dan  sang ayah, yang diambil beberapa tahun silam. Sebelum sang ibu membawanya pergi menjauh dari sang ayah, tanpa alasan apa pun.

Dan dari saat itu Ara kehilangan sosok seorang ayah yang sangat dicintainya, apa lagi saat itu sang ayah‐lah yang selalu berada di sampingnya dua puluh empat jam, karena sang ibu sibuk bekerja.

Bulir air mata jatuh membasahi kedua pipi Ara, air mata kerinduan untuk sang ayah yang sangat disayanginya.

Melihat Ara menangis, kakek Janned yang sudah duduk dipinggiran tempat tidur, mengulurkan tangannya, lalu menghampus air mata yang membasahi kedua pipi Ara.

Membuat Ara segera menoleh pada kakek Janned, lalu menjauhkan tangannya.

"Dimana ayah?" tanyanya.

"Aku akan membawa kamu menemui ayahmu," kata kakek Janned, yang harus menunjukkan dimana orang yang sangat berjasa dalam hidupnya, kini berada.

"Aku mau menemui ayah sekarang juga," Ara coba untuk turun dari tempat tidur, tapi tertahan karena area sinsitifnya malah tambah perih saat bergerak.

"Kamu istirahat dulu, aku pasti akan mengajak kamu mengunjungi Hardi,"

Ara semakin percaya jika pria tersebut mengenal sang ayah, setelah kakek Janned menyebut nama ayahnya.

Sekarang kakek Janned beranjak dari duduknya, dengan tatapan tidak terlepas dari Ara.

Dan kakek Janned yakin, jika gadis yang sedang ditatapnya adalah gadis yang sangat baik, dan tak salah dirinya menjodohkan Joan dengannya.

"Anggap saja ini rumah kamu sendiri, dan jika kamu ingin sesuatu. Bilang saja sama dia," kakek Janned menunjuk pada bibi Miu yang masih setia berdiri disisi tempat tidur.

Sebelum pergi dari kamar tersebut, terlebih dahulu kakek Janned menatap pada bibi Miu. "Mi, jaga dia baik-baik."

"Baik Tuan," ujar Bibi Miu yang memang tahu, sang majikan sudah sangat lama mencari gadis yang masih berada diatas kasur sambil mengamati foto yang ada ditangannya.

Kemudian bibi Miu menatap pada Ara. "Nona Ara, jika Nona membutuhkan sesuatu katakan padamu."

Ara tidak menanggapi ucapan bibi Miu, yang ada mengalihkan tatapannya pada wanita paruh baya tersebut.

"Apa anda juga mengenal ayahku?"

Senyum terukir dari kedua sudut bibit bibi Miu. "Panggil saja aku bibi, Nona."

Ara hanya menganggukkan kepalanya.

"Tentu saja aku sangat mengenal Hardi ayah Nona, orang yang sangat baik dan juga pekerja keras, meskipun kerja kerasnya terlambat, karena orang yang dicintainya pergi tanpa sepengetahuannya."

Ara memicingkan matanya mendengar apa yang bibi Miu katakan. "Pergi tanpa sepengetahuannya?" tanya Ara menyimak ucapan dari bibi Miu.

"Iya, dulu Hardi pernah bercerita, saat ia belum bekerja setelah di phk masal. Dan hanya sang yang istri bekerja. Tiba-tiba ia ditinggal sang istri, bukan hanya itu saja. Putri yang sangat di sayanginya juga di bawa pergi. Tapi ia tetap bekerja keras untuk mengumpulkan uang dan mencari keberadaan orang yang sangat dia sayangi dan juga cintai." Bibi Miu mengingat apa yang perah Hardi ceritakan ketika baru bekerja dengan kakek Janned.

Ara mendengar cerita bibi Miu, dan langsung mengambil kesimpulan. Jika malam itu sang ibu membawanya pergi karena sang ayah belum mendapat pekerjaan.

Masih teringat di memori Ara, sebelum sang ibu membawanya pergi. Terjadi keributan antara kedua orang tuanya itu.

Apa mungkin keributan itu terjadi karena sang ayah belum mendapat pekerjaan? Itu yang sekarang Ara pikirkan.

"Bibi tahu dimana ayah berada?"

Bibi Miu menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan dari Ara.

"Di mana ayah sekarang?" tanya Ara lagi, yang ingin segera betemu dengan sang ayah yang sangat ia rindukan.

"Seperti yang Tuan tadi katakan, dia akan membawa kamu menemui ayahmu. Yang terpenting kamu istirahat dulu," ujar Bibi Miu, yang tidak akan mengatakan dimana Hardi sekarang yang sudah hidup tenang.

Sementara itu, setelah keluar dari dalam kamar tempat Ara berada, Kakek Janned segera melangkahkan kakinya menuju kamar sebelah. Di mana kamar Joan, sang cucu, berada.

Asap rokok memenuhi kamar tersebut, membuat Kakek Janned segera menyalakan penyedot asap yang terdapat di kamar sang cucu.

Setelahnya, Kakek Janned mendekati Joan yang sedang duduk di sofa.

"Teruskan saja, racuni tubuhmu itu dengan asap beracun!" Kakek Janned menyindir sang cucu yang susah diberi tahu tentang bahaya rokok.

Namun, tidak pernah sekali pun Joan menghiraukan apa yang sang kakek katakan.

Yang ada ia semakin candu, apalagi setelah sang kekasih memutuskan pergi.

"Kakek ingin bicara–”

"Aku sudah menyiapkan uang yang cukup banyak untuk gadis itu, Kakek tenang saja,” potong Joan tepat setelah sang kakek duduk di hadapannya. “Aku yakin dengan uang yang cukup banyak, gadis itu akan diam dan tidak bisa berbuat apa-apa."

Kakek Janned berdecak. "Memang orang butuh uang, tapi ada hal yang tidak bisa kamu bayar dengan uang!" 

Ucapan sang kakek membuat senyum sinis tersungging dari sebelah sudut bibir Joan. Pria itu menatap kakeknya.

"Sudahlah. Kek. Memangnya aku bisa apa lagi selain memberinya uang?” balas Joan dengan nada datar. “Menikahinya? Jangan bercanda."

Kakek Janned diam. Beliau belum mengatakan jika ia ingin sang cucu bertanggung jawab dengan menikahi Ara. Bukan karena Joan sudah mengambil kesucian Ara, tapi juga karena Ara sebenarnya adalah gadis yang sudah Kakek Janned jodohkan untuk menjadi istri Joan.

Sudah sejak lama.

Namun, Joan justru melanjutkan, "Di luar sana banyak gadis yang menjual keperawanannya hanya demi barang yang mereka inginkan. Lima ratus juta pasti cukup untuknya."

"Tapi tidak semua gadis sama Jo."

Joan mendengus. "Apa yang membedakan gadis itu dengan gadis lain?"

"Lebih baik kamu menikahi gadis itu secepatnya." Akhirnya kakek Janned mengatakan apa yang ingin dirinya katakan pada sang cucu.

Joan tampak kesal. “Kakek tidak mendengar omonganku barusan?” tukas pria itu.

"Ini perintah!" Kakek Janned berucap tegas. “Kamu harus menikahi gadis itu jika kamu tidak ingin pergi dari sini tanpa membawa apa pun!”

Rahang Joan mengeras. 

Sempat, Joan ingin angkat kaki. Kakeknya tidak tahu kalau Joan sebenarnya punya bisnis lain, sekalipun ilegal. Jadi, ia tidak akan kekurangan sekalipun ia pergi dari sini.

Namun, kenapa justru Joan yang harus pergi!?

Jujur, ia tidak paham dengan perintah sang kakek. Apa yang sudah dikatakan oleh gadis asing itu hingga sang kakek memaksanya seperti ini?

Ck. Sepertinya ia harus membuat perhitungan lebih lanjut dengan gadis itu.

“Baik. Aku akan menikahinya.” Joan memutuskan.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status