Share

Kamu Sanggup Bersaing Dengannya?

Jemari Yuksel menyentuh dagu Aruna, dia tahu tubuh istri bergetar, antara menahan rasa takut juga amarah. Namun, Yuksel tidak ingin berhenti.

Wajah mendekat dan ingin mengobrak-abrik mulut Aruna dengan lidahnya. Namun, tangan Aruna mendorong pundak Yuksel.

"Anda jangan lupa, saya bukan hanya seorang istri. Saya juga seorang ibu yang sedang hamil muda."

Mendengar perkataan itu. Yuksel mendapati mata Aruna yang nampak penuh tekad. Cara terbaik untuk menghindari malam pertama dengan suami, hanyalah anak di kandungannya.

Yuksel tersenyum sinis, kemudian mulai bangkit dari tubuh Aruna. Jantungnya berdetak sangat kencang, tak pernah terpikir olehnya untuk berbagi kehangatan tubuh dengan Yuksel.

"Jadi, kamu sedang menegaskan bahwa kamu tidak boleh disentuh?"

Aruna mulai terduduk di ranjang, mata menyorot sengit ke arah Yuksel. Meski secara hukum status pria ini adalah suami baginya. Namun, menurut Aruna mereka hanyalah dua orang yang saling memanfaatkan.

"Pada trimester pertama, lebih baik menundanya," ujar Aruna sembari membenarkan penampilannya.

Yuksel tetap berdiri di sisi ranjang. Mata membingkai wajah istri yang seperti benci disentuh. Bibir menyeringai, dia melangkah ke arah meja kerja dan meraih sebatang rokok serta pemantiknya.

"Anda akan merokok di sini?" tanya Aruna lebih serius.

Saat ini, dirinya sedang mengandung. Sangat tidak baik jika menghirup asap rokok secara langsung. Yuksel melirik Aruna yang hanya berani bicara, jika itu berkaitan dengan anak di kandungan dan keluarga.

"Aku bukan seorang pembunuh, Aruna."

Setelah mengatakan itu, Yuksel berjalan ke arah balkon kamar dan keluar. Aruna memandang suaminya menyender pada pintu balkon, asap rokok mulai menyebar terbawa angin malam.

Lagi, pria tersebut memilih membelakangi dan hanya menunjukkan punggung pada Aruna. Tentu membuat Aruna hanya bisa menduga, ekspresi apa yang sedang dibuat oleh Yuksel setelah mendapat penolakan darinya.

Rasa ingin muntah mendadak singgah. Hingga Aruna terburu turun dari ranjang dan sedikit berlari ke kamar mandi. Sudut mata Yuksel melirik karena mendengar dengan jelas situasi Aruna di dalam.

"Terakhir kali dia juga muntah, apa hamil selalu merepotkan," gumam Yuksel pelan.

Yuksel mengakhiri merokok. Kaki melangkah masuk dengan memiliki tujuan, dia membuka pintu kamar mandi dan meletakkan tisu di sisi Aruna.

"Keluarlah jika sudah selesai."

Aruna melirik suaminya yang langsung keluar lagi. Lantas, pandangan terjatuh pada tisu yang baru saja diberikan.

***

Pada tengah malam, semua orang tertidur di balik selimut mereka. Adrian justru berdiam diri di dalam mobil van, dengan mata dan tangan fokus pada ponsel.

"Kenapa kamu masih tidak menghubungi aku, Aruna?"

Harus ada yang dijelaskan dari mulut wanita itu. Terlebih maksud Aruna mendekati Adrian, tapi malah menikahi Yuksel, selaku paman bagi pria tersebut. Adrian memejamkan mata dengan tangan mencengkram ponsel erat.

Pintu mobil mendadak terbuka. Adrian terburu membuka mata dan bibir langsung tersenyum senang, menemukan asisten telah datang.

"Bagaimana? Apa kamu sudah temukan keberadaan pamanku ada di mana?"

Mata Adrian memandang dengan penuh harap. Namun, menatap kepala yang menggeleng ini. Tangan Adrian langsung mengepal dengan sangat erat, kesal karena tidak berhasil menemukan Aruna.

"Dasar tidak becus! Mencari satu orang saja tidak bisa!"

Adrian marah besar, selain itu melempar apa pun yang ada di hadapan mata. Asisten yang seorang wanita hanya bisa menutup mata dengan takut.

"Sialan! Berani sekali dia menikahi kekasihku!"

Pintu van terbuka dan Lusi mendapati tisu terlempar keluar mobil. Adrian nampak kesal setengah mati, namun memilih mendengkus dan menghentikan melampiaskan emosi. Lusi memandang asisten yang nampak ketakutan.

"Kamu keluar dan belilah minuman untuk Adrian," pinta Lusi.

"Baik."

Lusi memungut tisu dan memasuki mobil, tak lupa juga menutup pintu. Kembali, Lusi membereskan barang-barang yang Adrian lempar dan meletakkan kembali ke tempatnya.

"Kenapa kamu mengamuk sampai seperti ini?" tanya Lusi membuat Adrian menoleh.

"Kakak tanya kenapa? Anak baru itu mencari keberadaan pamanku saja tidak becus."

Lusi berhenti memungut barang, wanita tersebut mengangkat pandangan pada Adrian yang nampak kesal. "Jadi, kamu seperti ini karena ingin menemukan pamanmu."

Adrian menarik napas. Hanya dengan menemukan Yuksel, maka termasuk Aruna juga bisa ditemukan. Meski Adrian tidak membicarakan lebih detail, Lusi sudah paham bagaimana jalan pikiran artis ini.

"Kamu seorang publik figur," ujar Lusi.

"Aku tahu itu, Kak. Jangan mengingatkan terus."

"Maka kamu juga harus tahu, bahwa pamanmu lebih mempengaruhi dunia politik, pemasaran dan termasuk entertainment."

Lusi menarik napas. "Tidak peduli secinta apa kamu dengan Aruna, sekarang dia sudah jadi istri pamanmu. Kamu sanggup bersaing dengannya?"

Adrian langsung memejamkan mata mendengar ucapan Lusi. Jika itu orang lain, mungkin Adrian akan memarahi habis-habisan.

Posisi Adrian di dalam keluarga Pradipta hanyalah generasi kedua, sementara Yuksel dari generasi pertama yang menerima segala hormat dan perhatian. Bahkan keluarga yang lain pun tunduk pada pria itu.

"Aku bisa membujuk Aruna untuk meninggalkan pamanku, aku tahu dia mencintaiku."

Lusi menarik napas. Pemikiran Adrian selalu saja positif. Sementara wanita itu tahu dengan jelas, bahwa Aruna tidak akan memilih yang terburuk jika ada pria terbaik di negeri ini. Namun, Lusi juga tidak bisa terang-terangan mengatakan Adrian orang yang buruk.

"Kakak akan membantu aku bertemu Aruna, kan?" tanya Adrian memandang penuh harap.

"Fokus saja pada album baru kamu. Soal rekaman tadi, bisakah kamu tidak menentang--"

"Aku tidak ingin membahas pekerjaan, Kak," potong Adrian sembari memejamkan mata.

Lusi menghela napas. "Kenapa kamu sangat keras kepala?"

Adrian menatap Lusi dengan raut sedih. "Mendadak, aku jadi tidak ingin sukses, Kak. Karena kesuksesan itu membuatku kehilangan dirinya."

***

Jemari Aruna mengganti chanel televisi. Namun, hampir semuanya memberitakan Adrian yang berdiri terpaku memandang pernikahannya dengan Yuksel. Aruna mendadak sedih melihatnya.

"Dia jelas terkejut," gumam Aruna.

Aruna memejamkan matanya sejenak. Hampir satu minggu ini, Adrian tidak mendapat kabar apa pun darinya. Sekalinya tahu, Aruna sudah jadi istri orang.

"Bukan aku yang meninggalkan kamu, Adrian. Tapi, kamu yang tidak menginginkan anak ini dan diriku."

Pintu kamar diketuk, membuat Aruna terburu mengusap air matanya. Kepala menoleh dan menemukan pembantu tersenyum manis ke arahnya.

"Sudah waktunya sarapan, Nyonya."

Aruna mematikan televisi saat pembantu melirik ke elektronik gepeng itu. Lantas, mulai menuruni sofa dan berjalan dipandu oleh pembantu ke ruang makan.

Pandangan Aruna mencari sosok Yuksel yang tidak dirinya lihat semenjak membawanya ke rumah besar ini.

"Tuan Yuksel apakah tidak ikut sarapan?" tanya Aruna penasaran.

Pembantu sempat melirik atas panggilan darinya terhadap Yuksel. Berusaha bersikap biasa, karena tidak boleh mencampuri urusan majikan.

"Tuan Yuksel, meminta saya menyampaikan pada Nyonya. Pada hari senin dan kamis, kalian akan makan malam bersama."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status