Share

Ternyata, Dia Tidak Seburuk Itu

Mata Aruna memandang pembantu dengan tidak mengerti. "Senin dan kamis?"

Pembantu tersenyum. "Benar sekali, Nyonya."

"Selain hari itu, kalian tidak akan makan bersama. Meja makan ini adalah tempat pertemuan nanti."

Aruna memandang meja yang ada di hadapannya, kemudian sempat menyeringai. Yuksel sedang bermain dengannya. Bukan hanya tidak ingin menampakan batang hidung pada Aruna.

Bahkan jadwal makan saja diatur dan tidak disampaikan sendiri.

"Lantas di mana tuan Yuksel?"

"Tuan sedang bekerja, Nyonya."

Aruna mengangguk mengerti. Jadi, untuk hari ini sampai lusa, Aruna tidak akan menatap atau bertemu dengan Yuksel. Karena pria itu tidak akan pulang ke rumah ini.

Aruna mulai memahami, semenjak tinggal di sini. Yuksel hanya datang pada hari tertentu dan memperlakukan Aruna selayaknya wanita selingkuhan.

***

"Nyonya sepertinya merasa bosan."

Yuksel menyibak halaman dokumen dengan mata menatap lekat. Namun, mendadak perhatian teralihkan setelah mendengarnya. Yuksel mengangkat pandangan dan menemukan pembantu berdiri dengan tegak.

"Di rumah ada taman, alat musik dan wahana permainan. Untuk alasan apa dia merasa bosan?"

Pembantu menatap sang tuan. "Nyonya bukanlah anak remaja, Tuan. Hiburan sejenis itu tidak membuatnya senang."

Jemari Yuksel mengetuk meja. "Jadi, menurutmu aku harus membawanya keluar? Membiarkan Adrian menemukannya, begitu?"

Yuksel mendapat berita dari anak buah, bahwa Adrian mengerahkan beberapa orang untuk mencari keberadaan wanita itu. Sejujurnya Yuksel bingung, Adrian terlihat cinta mati pada Aruna. Namun, kenapa malah menolak anak di kandungan? Itu terlalu janggal.

"Bahan makanan di rumah juga sedikit menipis."

Mata Yuksel melirik lagi. "Kamu menyuruh aku dan Aruna berbelanja?"

"Ah bukan seperti itu, Tuan. Saya hanya memberi usul, bagaimana jika nyonya ikut dengan saya?"

Yuksel menutup dokumen, meletakkan di atas meja. "Sore ini aku akan pulang, membawanya pergi cari angin."

"Itu kan yang kamu inginkan?"

Pembantu langsung tersenyum begitu mendengar keputusan dari Yuksel.

"Saya akan kembali dan sampaikan pada nyonya."

Pembantu itu pamit pergi dan berjalan dengan bibir tersenyum sepanjang lorong. Kemudian berakhir di pintu belakang dan langsung memasuki area rumah yang Aruna tinggali.

Aruna yang sedang melipat baju di kamarnya, melirik saat pintu kamar diketuk. Sebelum Aruna beranjak ke sana, pembantu langsung masuk dan menampilkan wajah yang ceria.

"Bantu Nyonya berpakaian."

"Eh, ini ada apa?" Aruna nampak bingung.

Pembantu mendekatinya dan tersenyum senang. "Tuan akan pulang dan membawa Nyonya jalan-jalan keluar."

Aruna mengerutkan dahinya. Pria semacam Yuksel? Mengajaknya jalan. Itu hal yang mustahil menurut Aruna.

"Aku rasa tidak perlu memakai baju itu kan? Hanya stelan biasa saja cukup," Aruna mulai menawar.

Lembayung sore di atas langit, mengikuti langkah kaki Yuksel yang memasuki pekarangan rumah berlantai dua ini. Namun, mata langsung menemukan Aruna yang menyambut di depan pintu.

Mata Yuksel menyipit, merasa salah melihat. Aruna tidak akan mungkin memakai dress terbuka itu, apalagi berdiri canggung hanya untuk menunggu kepulangan Yuksel.

Namun, Yuksel menyeringai begitu tahu kalau dia tidak sedang berkhayal.

"Apa pembantu yang membuat kamu seperti ini?"

Aruna cemberut. "Saya terpaksa karena dipaksa, bahkan berdiri di sini juga."

Yuksel mengangguk setuju. Orang keras kepala macam Aruna tidak akan mau melakukannya secara sukarela.

"Jadi ... kita akan ke mana?" tanya Aruna nampak tertarik.

Mata Yuksel melirik istri yang nampak sangat cantik. Aruna yang merasa ditatap terlalu serius, membuatnya segera menutupi belahan dada yang hampir terekspos oleh dress ini.

"Kamu adalah nyonya di rumah ini," ujar Yuksel sembari melepas jas, "kamu berhak menolak jika tidak suka."

Aruna melirik pundaknya yang jadi terasa hangat karena jas Yuksel. Tatapan Yuksel cukup lapar, padahal hanya melihat bagian yang sewajarnya terekspos. Bagaimana jadinya, jika Yuksel juga menemukan seluruh tubuh Aruna tanpa berbalut busana.

Mungkin dia akan menggila. Memikirkan hal itu, Yuksel tersenyum sinis. Dia bukan seorang maniak, tapi melihat tubuh Aruna rasanya beda cerita.

"Ayo," ajak Yuksel berjalan lebih dulu.

Pembantu nampak gembira menyaksikan dari balkon rumah, kedua majikan yang berjalan bersama keluar dari rumah.

"Akhirnya Tuan mau menikah juga."

Yuksel mengemudi sendiri dan Aruna duduk di sisi suaminya. Memandang keluar jalan dengan begitu serius. Yuksel sesekali melirik wajah Aruna yang lebih santai ketimbang hari pertama menikah.

"Bagaimana ayahmu? Kamu sudah bertanya masalah hari itu?"

Ekspresi Aruna langsung berubah, bahkan tidak ingin melirik ke arah Yuksel. Hal itu membuat dia menyeringai.

"Ingatlah, Aruna. Kamu menikah dan datang ke hidupku untuk memberiku informasi."

Mendengar hal itu, Aruna menoleh. "Saya belum mendapat informasi apa pun."

Yuksel melirik. "Kamu tidak dapat atau justru tidak mengabari ayahmu?"

Atmosfer di dalam mobil sore itu berubah serius. Yuksel merasa kesal, karena telah memasang aplikasi pengintai di ponsel Aruna. Namun, dia tidak mendapatkan apa pun sampai hari ini.

"Lupakan, hari ini kita akan berbaur dengan masyarakat. Jangan tunjukkan seolah kita pasangan yang saling memanfaatkan."

Aruna melirik suaminya. Popularitas pria ini jauh lebih besar ketimbang Adrian. Kesalahan secuil saja akan menjadi berita utama di banyak siaran televisi. Aruna telah memasuki kandang macan.

Yuksel membawa Aruna ke supermarket dan mereka berdua sedang memilih bahan makanan. Yuksel bertugas mendorong troli dan mengikuti ke mana pun istri pergi.

"Pilih bahan yang biasa kamu makan," ujar Yuksel memberi tahu.

"Lalu bagaimana denganmu? Selera orang kan berbeda."

Yuksel menatap serius. Suami yang hanya akan makan delapan kali dalam sebulan, rupanya sedang diutamakan. Pandangan Yuksel beralih pada tumpukan bahan di dalam troli.

"Seleraku sama denganmu."

"Benarkah? Baguslah."

Aruna kembali memilih bahan lain. Yuksel melirik punggung Aruna yang pergi ke sana-sini dan mengambil bahan tanpa keraguan. Wanita secantik dan seceria Aruna, masih tidak diinginkan oleh Adrian.

Aroma daging yang di panggang, membuat Aruna menoleh dan langsung menutup mulutnya.

"Tahan dirimu, Aruna," gumamnya pelan.

Yuksel adalah orang terkenal, jika ketahuan menikahi wanita yang telah hamil. Bukan hanya martabat suaminya saja yang hancur, tapi juga masa depan Aruna. Kampus akan mendepaknya jika tahu kenyataan ini.

Aruna sedikit terkejut dengan tangan yang melingkar di pinggangnya. Begitu menoleh, Aruna dapati Yuksel sedang meliriknya.

"Kenapa berhenti? Kamu merasa tidak enak badan."

Berusaha Aruna mengatur napasnya. "Hanya mual sedikit."

Yuksel melirik sekitar. Selain banyak orang, beberapa pegawai juga memasak produk untuk dicicipi secara gratis. Aroma makanan yang menyengat, tentu saja mempengaruhi ibu yang sedang hamil muda.

"Kita beli yang ada saja, ayo ke kasir," ajak Yuksel.

Aruna menurut, berjalan bersama ke sana. Meski mata melirik ke arah suaminya yang ternyata tidak seburuk perkiraannya.

Yuksel melirik. "Kenapa melihat begitu? Kamu minta dicium?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status