Satu tangan Luciano tiba-tiba menelusup ke bawah lehernya, supaya bisa dijadikan bantalan. Kemudian satu tangan lainnya menarik pinggangnya sampai menempel ke dada pria itu.“Hanya malam ini,” ucap Luciano.Lagi-lagi pria itu berhasil membuatnya tersenyum. Karissa tak menjawab. Dia bergerak sedikit untuk membetulkan posisinya, lalu menempatkan telapak tangan Luciano di perut buncitnya.Refleks telapak itu mengusap pelan beberapa kali.“Besok akhir minggu, aku ajarkan kamu menembak. Coba konsultasikan dengan dokter kandungan,” kata pria yang mulai memejamkan matanya.“Untuk apa?”Tak ada jawaban.Sampai detik berikutnya Karissa bisa mendengar suara napas teratur di atas kepalanya. Elusan di perut juga berhenti. Pertanda Luciano akhirnya terlelap.Ketika Karissa juga makin mengantuk, ponsel yang sejak siang dia abaikan nampak bergetar di nakas samping ranjang. Karena posisinya dekat, wanita itu sedikit memajukan tubuhnya untuk mengambil benda pipih itu.Ada satu pesan dari Shiena. Sebua
“Bukankah ini memang konsekuensi karena berani menyentuh Tuan King Wilbert?” Damian menatap mata Jacob yang tengah berapi-api dengan tenang.“Meski aku sudah melakukan perhitungan dengan matang, ini pertanda, kalau memang benteng pertahanan penjaramu yang terlalu lemah.”Jacob menyipitkan mata. Langkahnya pelan saat dia mendekat membawa tekanan yang mencekik seluruh ruangan."Perhitungan matang, katamu?"Nada suaranya meninggi sedikit. "Kekacauan ini sama sekali tidak mencerminkan perhitungan, Damian! Yang aku lihat, hanya ketidakmampuan mengendalikan situasi."“Kau –“ Jacob mencengkeram krah kemeja pria yang tingginya sejajar dengannya. “Kau telah aku percayakan menjaga markas selama aku pergi. Rupanya kamu tidak memiliki kemampuan apapun!”Tanpa melepas cengkeramannya, Jacob tersenyum miring penuh ejekan. “Pantas saja sejak dulu kamu diasingkan oleh keluargamu. Ternyata memang kembaran Luciano sebodoh ini!”Damian melepas cengkeraman Jacob tanpa terlihat kasar. Bibirnya tersenyum tip
“Wajahnya mengingatkanku pada Eleanor,” gumam Carmela ketika melihat sebuah figura kecil yang tersusun rapi di ruang tengah mansion milik keluarga Luther. Lalu dia bandingkan pada wajah perempuan yang pagi tadi bertengkar dengan Aubrie di rumah sakit.Wanita paruh baya itu adalah ibu kandung Jacob. Carmela lebih sering tinggal di luar negeri, berpindah tempat untuk bersenang-senang. Kali ini dia pulang ke Inggris untuk melakukan pemeriksaan kesehatannya secara rutin dengan dokter khusus yang biasa mengurusnya.“Ada hal penting?” Suara bariton dari pintu membuat Carmela menoleh.Wanita itu mendekat sembari merentangkan tangan pada putra tunggalnya lalu memeluk rindu. Di kecupnya pipi kanan dan kiri, tak peduli dengan ekspresi datar Jacob.“Bulu jambangmu nampak lebat. Sibuk sekali?” tanyanya peduli.Jacob melepas kedua tangan Carmela lalu dia duduk di sebuah sofa dengan ukiran kayu jati. “Katakan, aku sedang banyak kerjaan.”Carmela menghela napas panjang melihat putranya yang nampak t
“Biarin aja, Sa. Dia sudah berlaku kurang baik sebagai tenaga medis!” ucap Shiena tajam melihat Hannah memohon di kaki Karissa.Sejujurnya Shiena juga kaget bukan main melihat berita yang beredar sejak tengah malam. Dia sampai coba menghubungi Karissa tapi tidak aktif nomor sahabatnya itu.Kini, bukan hanya Hannah. Sophie dan Anna juga melakukan hal yang sama. Mereka memohon supaya Karissa memaafkannya.“A-Aku tidak tau sama sekali. Damian tidak mengatakan apa-apa padaku.” Karissa mundur dua langkah supaya Hanna melepas pelukan di kakinya.Shiena mendekat, melipat kedua tangan di depan dadanya sambil memperhatikan wajah-wajah pembuat onar itu. “Saat kalian melakukan kejahatan dengan fitnah-fitnah jahat kalian, apa tidak berpikir kalau kejadian ini akan kalian alami, hm? Sekalipun Karissa bukan istri pemilik rumah sakit ini, karma itu tidak akan salah orang!”Wajah Hannah sudah basah. Dia abaikan ucapan Shiena lalu fokus pada Karissa. “Karissa, kita rekan sesama tenaga medis. Kamu tahu
“Damian, jawab jujur. Luciano itu siapa?”Satu pertanyaan langsung Luciano terima ketika dia baru saja masuk ke dalam ruangan. Dilihatnya Karissa mengangkat sebuah berkas, menunjukkan lembar tanda tangan ke arahnya.Mata tajam pria itu menatap sesaat, lalu beralih pada wajah serius Karissa. Dia belum menjawab, dan justru berjalan santai sambil melepas satu kancing jas hitamnya.“Ini logo kepala serigala, sama seperti tato di perutmu.” Kini dia sedikit kasar meletakkan berkas di meja.Luciano mengambil berkas, lalu melihat apa yang ada di sana. Ini adalah berkas laporan Klan Blackwood. Siapa sangka Karissa datang dan melihatnya.“Apa yang kamu pikirkan.” Damian menutup lembaran tanda tangan kemudian maju menarik tangan Karissa untuk berdiri di depannya.“Kamu anak buah Luciano?” tebak Karissa siap-siap kecewa kalau memang benar suaminya ikut jadi bawahan si mafia itu.“Anak buah Luciano?” Pria itu tersenyum samar. “Wajah sepertiku apakah pantas menjadi anak buah orang lain?”Karissa me
“Sayang ... please, stop!”Permintaan Karissa tidak Luciano penuhi. Pria itu justru tersenyum puas melihat istrinya yang kelelahan sampai tubuh mereka penuh dengan keringat.Hingga langit sudah menggelap, kegiatan tak terduga itu akhirnya selesai.“Mau makan di rumah atau di resto?” tanya Luciano setelah dia berhasil memakaikan Karissa baju dan beralih mengancing kemeja putihnya sendiri.“Menurutmu, dengan penampilanku yang seperti ini masih ada nafsu bertemu dengan orang lain?” jawab Karissa masih tegeletak lesu di sandaran sofa.Pria itu terkekeh ringan lalu membungkuk untuk mengecup perut buncit istrinya. “Jelas sekali dia anakku. Sangat kuat dan bisa diajak bekerjasama.”Karissa berdecih lalu memejamkan matanya yang mengantuk dan lelah. Jadi dia pasrah saja ketika Luciano menyelimutinya dengan jas lalu mengangkat tubuhnya untuk digendong.Kantor sudah sepi. Hanya ada security yang berjaga. Ketika keduanya sampai di lantai dasar, seorang penjaga datang mendekat dan membungkuk sopan
“Damian, kamu benar-benar akan menikah dengan wanita itu?”Sudah lebih dari tiga tahun, tapi Damian ingat sekali tangisan Emma ketika mendengar kabar pernikahan tunangannya bersama wanita lain.“Kau janji akan berjuang, Damian. Kau janji akan menikahiku setelah hukuman pengasinganmu berakhir. Tapi kenapa kamu justru jatuh cinta pada gadis di sana?!”Damian menarik Emma ke dalam pelukannya, membiarkan wanita itu menangis. Dua tahun Damian dihukum oleh Hector. Dia diasingkan ke sebuah pedesaan di negara Inggris. Emma sebagai tunangannya tentu tetap setia menunggu Damian untuk kembali ke Italia.Meski tanpa restu karena Emma hanyalah anak dari pengawal keluarga Wilbert, tapi Damian terus berjanji akan memperjuangkan hubungan mereka nanti. Siapa sangka, kabar rencana pernikahan yang Emma dengar dari orang lain membuatnya hancur.“Maaf,” lirih Damian sambil terus mengusap punggung Emma yang masih bergetar.“Lalu bagaimana dengan anak di perutku ini?”Damian terkesiap mendengar pengakuan Em
“Damian, aku dengar ponselku berbunyi.”Suara Karissa terdengar di punggung Luciano, membuat pria berkemeja hitam itu melirik tipis.“Aku sedang menunggu chat dari Shiena, katanya – akh!”Belum sampai dia menyentuh benda pipih yang tergeletak di meja, Karissa memekik karena Luciano tiba-tiba menembak ponselnya.“Damian, apa yang kamu lakukan?!” teriaknya sedikit syok.“Aku lihat ada lalat hijau di sana,” jawab Luciano santai meletakkan pistol di box khusus.Karissa masih tak percaya. Alat komunikasi yang sudah lama menemani hari-harinya itu bisa-bisanya dimusnahkan karena lalat. “Lalat? Mana ada lalat! Kalau iya, tidak seharusnya –““Kita pergi membeli ponsel terbaru yang kamu inginkan.”Karissa menatap punggung Luciano yang menjauh dengan tajam juga dada naik turun karena emosi.“Kau tidak tau, aku sedang menunggu kabar dari Shiena! Aku juga harus menghubungi Daddy! Damiaaaan! Kenapa kamu masih suka bertindak seenaknya sendiriiii!” teriak Karissa sampai menghentakkan kakinya berulang
“Apa di wilayah ini, kalian yakin Luciano tidak akan menemukan kita?” tanya Karissa pada pengawal saat mereka baru saja keluar dari rumah sakit.“Kami sudah menyisir wilayah, tidak ada yang mencurigakan. Karena di sini jarang ada pendatang, jadi kami bisa memantau lebih mudah wajah orang-orang baru,” jawab pengawal yang duduk di depan.Karissa mengangguk lalu menatap ke jendela kaca. Tempat yang dia tinggali memang tidak terlalu ramai dan tenang.“Bawa aku ke rumah Nyonya Wendy,” titah Karissa.Dua pengawal itu tidak melarang. Sebab selama beberapa kali pertemuan tidak ada yang mencurigakan.Selama perjalanan, Karissa diam. Ada cahaya lain saat dia mengingat wajah Allerick, bayi asing yang dia beri ASI selama beberapa kali pertemuan. Dan dua hari ini tidak bertemu, rasa rindu di hati Karissa membuncah.“Kalian membawa stok ASI yang aku perintahkan?” Karissa baru ingat, selama dua hari tak sempat bertemu, ASI di rumah jadi utuh dan makin menumpuk.“Iya, ada di bagasi, Nyonya.”Jawaban
“Air susu ibu?” Shiena mengerutkan keningnya sambil memperhatikan air berwarna putih kental di botol bayi.Martha terkesiap, dia lupa kalau Shiena belum tau apapun dan wanita itu adalah dokter. Jadi bisa langsung paham jenis susu apa yang ada di dalam botol.“Dia menyewa ibu susu?” tanya gadis itu lagi.Sedangkan di sana juga ada Luciano yang pagi itu sedang memastikan anaknya aman sebelum dirinya berangkat ke Inggris. Pria yang semula sedang membungkuk, memainkan tangan bayinya di dalam box bayi, dia langsung menoleh.“Martha?” Suara bariton yang memanggil wanita paruh baya itu membuat jantung Martha berdegup kencang.“Ampuun! Tuan!”Martha seketika berlutut, takut Luciano salah paham. Shiena langsung mundur dan terkejut. Dan Luciano menegakkan tubuhnya, memperhatikan pelayan yang paling dia percaya itu.“Maafkan saya yang begitu lancang mengambil keputusan sendiri, Tuan!”“Ada apa?”Martha mendongak, sementara tangannya meremas baju pelayan yang dia pakai. “Tuan muda mengalami Biliru
Seperti ada kilatan petir yang menyambar tepat di depan wajah Karissa, dia tercengang. Lalu tertawa hambar.“Daddy bercanda?”Dilihatnya lagi benda itu, Karissa masih terkekeh lalu berdiri menunjukkan benda di tangannya pada Vincent. “Cerita macam apa ini?”“Kecelakaan itu –“ Vincent kembali bicara.“Kecelakaan yang disengaja itu sebenarnya bukan hanya membunuh Eleanor Luther. Tapi juga membunuh Clayton, ayahmu. Sekaligus Tuan-ku.”Lencana di tangan Karissa pun seketika terjatuh, membentur keramik. Wajahnya mendadak pucat.“Daddy?” Dia nyaris tak bersuara saking terkejutnya.Vincent menggeleng. Dahinya berkerut, menahan rasa sakit di dada karena berkata jujur seperti ini sama saja melepas statusnya sebagai ayah Karissa.“Maaf, Sayang. Maaf aku terlalu lama menyembunyikannya,” jawab Vincent sedikit serak.Dia menarik napas dalam-dalam lalu menyentuh kedua lengan Karissa. Supaya anak itu tau, ada kesungguhan dari sorot matanya itu. “Karissa Asterin. Kamu adalah anak yang mereka titipkan
“Ada apa sebenarnya, Dad? Aku sudah lama diam dengan semua maksud daddy yang selalu menghindar dari Luciano dan keluarganya.”Suara keras Karissa membuat Vincent yang sedang memotong kentang di dapur pun menoleh.“Karissa? Kamu pulang?”Sayangnya peralihan topik yang selalu Vincent hadirkan setiap kali Karissa mempertanyakan tentang masalah itu, kali ini tidak akan mempengaruhi tekad Karissa untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.“Katakan, Dad.” Tangan Karissa sampai mengepal, wajahnya pun mengeras karena menahan rasa ingin tau yang tinggi. Sekaligus kekesalannya karena sikap Vincent yang menyembunyikan soal situasi genting putrinya.“Tidak seharusnya kita bicarakan itu di saat seperti ini, Karissa. Fokus saja pada –““Tapi masalah itu yang membuat Daddy mencegah bayiku untuk di rawat di rumah sakit tengah kota, kan?”Vincent menarik napas panjang. Lalu meletakkan pisau dan melepas kentang di tangannya.“Kau benar ingin tau sekarang?” tanyanya masih lembut.“Jika Daddy tetap di
“Kenapa mansion seluas ini aku belum menemukan foto Karissa? Apa Tuan L—“PRANG!Shiena membeku menutup mulut dengan kedua telapaknya dengan mata melebar. Dia sungguh tak sengaja menyenggol guci yang berada di atas meja.Jantungnya makin berdegup tak karuan ketika keributan itu diikuti dengan suara tangisan bayi di kamar yang pintunya tidak ditutup.“Shiena?” Martha menebak saat dia keluar.Belum sampai gadis itu merespon, kini Luciano yang keluar sambil menggendong bayinya. “Shiena, apa yang kamu lakukan!”“Kamu sudah membuat bayiku –“Tangisan pangeran kecil makin keras setelah mendengar bentakan ayahnya.“Sssshhh ....” Pria itu menoleh pada Martha. “Aku harus bagaimana?” terlihat datar, tapi ada gurat kepanikan sedikit di dahi Luciano.“Mari, Tuan. Biar saya gendong.” Martha mengambil alih bayinya dengan hati-hati. Lalu dia bawa masuk lagi ke kamar untuk diberi susu dalam botol.Sergio dari arah berbeda akhirnya muncul dengan napas terengah. “Ada apa ini?” tanyanya menatap Shiena y
Suara tangisan bayi yang menggema di lorong megah mansion milik Hector membuang Luciano mempercepat langkahnya.Dia memberikan jas kerja pada pelayan yang berdiri di depan pintu. Lalu memasuki kamar bayi yang ada di samping kamar utama.“Dia kenapa?” tanyanya melihat bayinya sedang di gendong oleh Martha.“Tidak tau, Tuan. Sepertinya masuk angin.” Martha sudah khawatir sejak tadi.Luciano mendekat, hendak menggendong. “Anda sudah cuci tangan, Tuan?”Ah, dia lupa. “Aku bahkan belum mengganti bajuku,” jawab Luciano yang selalu patuh dengan segala aturan orang lain jika itu berhubungan dengan putranya.“Hei, tunggu papa. Jangan habiskan dulu suaramu.” Setelah bicara dengan senyuman tipisnya, dia berbalik cepat menuju kamarnya.Martha menatap punggung Luciano dengan bangga. Pria yang dia layani sejak remaja itu, kini sudah menunjukkan perubahan yang sangat besar.Yaitu sang mafia yang terkenal kejam itu rupanya bisa menjadi ayah yang sempurna bagi si bayi.Sementara, di mobil yang baru sa
Aura dominan selalu menguar di manapun Luciano berada. Pria itu kini ada di Inggris, tetap mengurus perusahaannya, W.B. Corporation yang berpusat di kota London.“Tuan, pesawat jet sudah siap,” lapor Sergio.“Hm,” jawab Luciano yang masih duduk di kursi kekuasaannya sembari membuka berkas terakhir di meja yang harus dia koreksi ulang sebelum ditandatangani.Sergio tak langsung pergi. Padahal seharusnya selesai memberi tugas dan laporan, dia bisa berbalik keluar ruangan.Keberadaan Sergio tentu membuat Luciano melirik tipis.“Kau lupa pintu keluar?” ucapnya kembali fokus pada lembaran kertas di atas meja.“Emh, Tuan. Saya ingin bicara sedikit mengenai mega proyek di Italia,” ucap Sergio hati-hati.Tak ada jawaban. Jadi sang asisten kembali bicara.“Begini, bukankah akan lebih baik jika Anda yang langsung meninjaunya?” tanyanya.“Pekerjaanku di sini lebih banyak,” jawab Luciano datar. Pandangannya bahkan tak beranjak dari dokumen-dokumen itu.Sergio menelan ludah. Ah, dia tau banyak seka
“Nyonya Wendy?” beo Karissa setelah wanita paruh baya itu memperkenalkan diri.Perempuan berbaju lusuh yang baru saja memutar kunci pintu pun menoleh sambil tersenyum.“Iya, Nona,” jawabnya bersamaan dengan bunyi pintu tua yang dibuka. “Silahkan. Maaf jika tempat tinggal ini kurang nyaman untuk Anda.”Rumahnya memang terlihat lama tidak terurus di bagian luar, tapi begitu masuk ruangannya bersih dan tertata. Bahkan box bayi di tengah ruangan terlihat terlalu mewah, cukup kontras dengan perabotan yang sebagian besar sudah reot.“Maaf, saya belum membeli banyak barang. Saya baru pindah ke sini beberapa hari lalu. Jadi masih seadanya.”Tadi saat Karissa menawarkan ASI untuk bayi, Nyonya Wendy begitu sumringah menerima. Karena itu, dia membawa tamu dadakannya ke rumah kontrakan di dekat pasar. Tak jauh dari lokasi pertemuan awal mereka.“Duduk di sini, Nona.” Nyonya Wendy memberi alas kain sutra di atas sofa tua.Dia juga begitu sigap menambahkan bantal untuk memudahkan Karissa saat member
“Nona, jika ada yang Anda butuhkan, kami ada di depan,” ucap pengawal itu setelah mengantar Karissa sampai di rumah sederhana.Sudah minggu Karissa di rumah sakit. Dan Baru hari ini dia diperbolehkan pulang, tapi tidak untuk putrinya. Bayi perempuan itu masih harus mendapat perawatan di NICU.Karissa berjalan lemah memasuki kamarnya. Setelah mandi, dia duduk di kursi depan jendela. Harusnya suasana ini sangat tenang karena Vincent memilih kawasan yang hijau dan sepi.Apalagi musim semi menyapa indah dengan aroma bunga liar bercampur udara segar menyusup lewat jendela yang dibiarkan terbuka. Sayangnya keindahan di sana sangat kontras dengan kondisi hatinya.“Dari dulu aku yang menginginkan perpisahan ini. Tapi kenapa aku yang merasa sakit begini?”Karissa ingat, dia pernah begitu keras meminta cerai. Berharap hidupnya akan lebih baik tanpa sang suami.Tapi sekarang?Dia menoleh, melihat lemari dengan pintu transparan berwarna ungu pastel. Ayahnya merapikan semua baju dan sepatu-sepatu