Share

Kehilangan

"Aduh!" 

Tangan Qeera memegang perutnya yang tiba-tiba terasa nyeri. Ia terus merintih, Axzel yang berada tak jauh dari tempat Qeera hanya menoleh tanpa menghiraukannya. Dia terlalu disibukkan dengan pekerjaannya

“Kenapa?” tanyanya dengan mata masih terfokus ke laptop yang ada di hadapannya.

“Tidak tahu, tapi perutku sakit sekali.” Qeera mengusap perutnya mencoba meredakan rasa sakitnya. Namun, rasa perih di perutnya tak kunjung hilang. Sejak Axzel tak jadi menemaninya, Qeera tak lagi mau meminta apapun pada Axzel. Hatinya masih sakit karena perbuatan suaminya yang selalu memilih sepupunya. Tapi, kali ini ada yang berbeda. Insting Qeera terasa tidak enak, dia takut akan terjadi sesuatu dengan janin yang ada di kandungannya itu.

“Kak, bisakah hari ini kakak mengantarkanku ke dokter kandungan? Rasa sakit di perutku tak kunjung hilang. Aku khawatir.” Mohonnya dengan bibir meringis menahan rasa nyeri.

"Jangan manja, hari saya ada meeting penting. Jangan berusaha menarik perhatian saya dengan pura-pura sakit!" 

Qeera merasa sedih karena sang suami yang terus menolaknya. Wajahnya semakin pucat menahan sakit, tetapi Axzel tetap tak mempercayainya.

"Kak, tolong, kali ini saja, bawa aku ke Dokter. Aku tidak berpura-pura, aku tidak akan meminta bantuan darimu kalau aku tidak merasa sakit." Qeera hanya bisa memohon sambil menarik lengan suaminya. Axzel yang merasa kesal langsung mendorong Qeera hingga dia hampir terhuyung. Meskipun tidak sampai terjatuh, tenaga Axzel yang kuat tetap mengejutkannya dan membuat perutnya semakin nyeri.

"Tidak bisa! Berapa kali saya katakan sama kamu, hari ini ada meeting penting," ucapnya tajam sambil menatap mata Qeera. 

Axzel mengancingkan pakaiannya lalu mengambil ponsel dan melangkah meninggalkan Qeera menuju pintu. Hari ini ada pertemuan penting dari investor luar negeri. Carl Dominic, pengusaha mobil terbesar di dunia. 

Sejak lama Axzel menjadikan pria itu target untuk menjadi penanam modal perusahaan yang mulai dirinya rintis. Jika gagal, sangat disayangkan. Untuk sebuah janji temu saja sangat sulit, ini karena kebetulan pria itu berlibur dan tertarik dengan bisnisnya sehingga mau menerima proposal yang Axzel ajukan.

"Setiap hari pasti ada saja meeting penting! Apakah Kakak tidak merasa peduli sama sekali terhadap bayi ini? Ini anakmu juga, Kak!” teriaknya histeris. Axzel menggeram marah. Matanya mendelik tajam lalu melangkah tegas mendekati Qeera yang masih duduk di tempat tidur. Tangannya terangkat siap menampar membuat Qeera menutup kepalanya dengan kedua lengannya.

"Banyak wanita hamil di luar sana, tapi tidak ada yang semanja kamu!"

Qeera dikagetkan dengan kalimat menyakitkan yang keluar dari mulut suaminya.

"Gila kamu! Sebetulnya, meeting itu hanya kamu jadikan alasan, kan? Kakak hanya ingin menghabiskan waktu dengan sekretaris dan sepupu Kakak itu, kan?!"

Brak!

Lemparan gawai yang ada di tangan Axzel mengagetkan Qeera. Di saat itu, tatapan mata Axzel terlihat menyeramkan. Qeera takut sang suami akan melakukan sesuatu yang buruk kepadanya.

"Kamu yang gila! Saya tidak pernah selingkuh jika itu yang kamu takutkan!"

"Bohong!" teriak Qeera.

"Kalau kamu tidak percaya, terserah!"

Axzel lalu bergegas pergi meninggalkan istrinya sambal membanting pintu.

Sejak bangun tidur perasaan Qeera gelisah. Hatinya tidak tenang dengan perut yang terasa tidak nyaman. Qeera tidak berharap banyak dari suaminya. Dia hanya ingin sang suami menemani dirinya untuk memeriksa keadaan anak mereka berdua. Sayangnya, lagi-lagi eera harus menerima penolakan dari suaminya.

Panggilan dari ART yang menyebutkan makan siang telah siap menyadarkan Qeera jika dirinya telah melamun begitu lama. 

Dengan langkah perlahan, Qeera melangkah menuruni tangga. Sebenarnya sejak mulai mengandung, Qeera meminta pindah kamar di depan. Namun, Axzel menolak, jika dirinya pindah ke bawah, Qeera akan tidur sendiri. Hal itu membuat Qeera mau tak mau tetap naik turun tangga saat kehamilannya semakin mengganggu langkahnya.

Hingga beberapa Langkah sebelum tangga terakhir, kaki Qeera salah menapak sehingga membuatnya terjatuh cukup keras.

Suara tubuhnya bertemu lantai membuat beberapa ART berlari mendekatinya.

"Telpon suami saya, Bi," seru Qeera saat melihat darah mengalir di lantai.

Teriakan panik Bibi adalah hal terakhir yang Qeera dengar sebelum dia kehilangan kesadaran.

*****

"Maaf Nyonya, kondisi kandungan Anda sangat mengkhawatirkan sehingga perlu tindakan medis secepatnya. Adakah yang bisa kami hubungi untuk memintai persetujuan tindakan?"

Qeera menoleh ke kepala ART yang hanya menggeleng. "Tuan Axzel tidak mengangkat teleponnya, Nyonya."

Perutnya yang terasa semakin sakit membuat Qeera tak sabar hingga merebut ponselnya dari tangan ART. Dia mencoba menghubunginya sendiri, namun hasilnya tetap nihil.

"Biarkan saya sendiri yang menandatangani berkasnya, Dok," ucapnya di tengah rasa sakit yang kembali menyerang. 

Dokter menjelaskan, jika benturan tangga sebelumnya menyebabkan pendarahan hebat dan butuh secepatnya di tangani sebelum membahayakan janin dan juga sang ibu. 

Mereka mencoba menghentikan pendarahan, tetapi darah masih terus mengalir dari bagian intim Qeera. Qeera pun segera menandatangani berkas rumah sakit dengan tangan bergetar.

"Selamatkan anak saya, Dok," bisiknya sebelum obat bius menyebabkan dirinya kehilangan kesadaran.

*****

Qeera terbangun di ruangan yang berbeda dengan sebelumnya. Ketika dia menoleh ke sekeliling, dia menemukan Axzel yang menatapnya dingin bersama sepupunya yang tersenyum puas di sampingnya. Tidak hanya itu, kakek dan nenek Axzel juga hadir sambil menatap Qeera seolah dia tersangka.

"Pembunuh! Kamu sudah membunuh anak kita, Qeera!" Tak sempat Qeera mengeluarkan sepatah kata, Axzel sudah menuduhnya.

"Apa maksudmu?!”

“Anak kita tidak bisa terselamatkan dan itu semua karena ulahmu!”

Mendengar perkataan itu, Qeera hanya bisa menangis. Dia tidak mengetahui bahwa anaknya sudah tiada. Selain itu, bukan simpati yang dirinya dapatkan, melainkan caci dan maki dari sang suami.  

“Cicit Mahardika sudah tiada, Qeera. Mengapa kamu tidak bisa sedikit lebih berhati-hati?!”

Qeera semakin merasa bersalah karena kini kakek dan nenek Axzel pun ikut menyalahkannya.

“Ini juga salah kamu, Kak! Kamu lebih mementingkan meeting, kamu juga tidak peduli dengan kehamilanku!”

"Hentikan itu, Qeera! Kamu itu harusnya mengerti kalau Axzel juga bekerja demi kamu dan anakmu! Seharusnya kamu yang bisa lebih peduli terhadap kehamilanmu sendiri!” Qeera tak menyangka kalimat menyakitkan itu keluar dari mulut kakek dan nenek Axzel. Selama ini Qeera selalu menyangka kedua manusia tersebut menyayanginya.

Brak!

Suara pintu terbanting mengangetkan Qeera. Suaminya pergi diikuti dengan kakek dan nenek, meninggalkan Qeera dalam keadaan hati terluka. Ketika dia menyangka semua orang telah pergi, Qeera tersadar bahwa Bella masih berada di dalam ruang rawat inap bersamanya.

“Turut berduka cita ya, Qeera.” Bella mengucapkan kalimat itu bukan dengan ekspresi bela sungkawa, melainkan seringai yang mengganggu untuk Qeera.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status