Share

Pembunuh

Sejak hari itu hubungan Qeera dan Axzel semakin berjarak, apalagi kini mereka pisah kamar. Lebih tepatnya Axzel yang mengusir Qeera dari kamar mereka.

“Kak,” panggil Qeera saat Axzel akan berangkat ke kantor.

Ia telah lama menunggu Axzel supaya mereka bisa bertemu atau bicara. Qeera sedih bukan hanya kehilangan anak, tetapi juga semakin kehilangan suami. Bahkan sekarang setiap malam ia akan bisa terlelap setelah kelelahan menangis dan tidak ada suami yang menenangkannyan karena dia sibuk entah pekerjaan dan Bella, sahabatnya.

“Saya sibuk!”

“Kak! Mau sampai kapan kamu akan seperti ini?!” tanya Qeera emosi.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Bukannya saling menguatkan karena kehilangan anak mereka, Axzel malah semakin menjauhinya. Hatinya sakit dan kecewa, bukan hanya karena kehilangan anak, tetapi juga karena sikap kasar Axzel.

Axzel berbalik. Sekian lama tenang tanpa gangguan Qeera hari ini sang istri menganggu saat emosinya sedang tak baik-baik saja. Semalam Axzel bermimpi bertemu seorang anak perempuan cantik, tetapi anak cantik tersebut marah kepadanya seolah menuduh Axzel yang telah membunuhnya. Hal itu menyebabkan hari ini suasana hati Axzel tak menentu.

“Apa lagi! Kurang jelas saya bilang sibuk!” bentaknya kasar kembali berbalik melanjutkan langkah.

Qeera menahannya, apalagi ia sudah menunggu sangat lama supaya bisa bicara dengan suaminya.

“Kak, sudah tiga bulan kita layaknya musuh. Apa kamu lupa aku ini istrimu?”

“Istri?” tanyanya dengan terkekeh. “Sekarang saya bertanya apa yang sudah kamu lakukan sebagai istri. Menjaga anak saya, tidak bisa. Memuaskan saya, kapan terakhir kamu melayani saya?!”

Axzel tertawa sinis saat Qeera tak bisa menjawab. “Tidak bisa menjawab, kan? Kamu memang tak pantas menjadi menantu keluarga Mahardika. Dasar Bodoh!”

Kepala Qeera di tunjuk sampai terpental ke belakang. Air mata merebak mendapat perlakuan itu. Bukan salah dirinya jatuh dari tangga sampai menyebabkan anak mereka keguguran. Bahkan saat di rumah sakit, saat Qeera begitu membutuhkan suaminya, Qeera kesulitan menghubungi Axzel karena panggilannya terus mendapatkan penolakan.

“Cih, bisanya nangis. Nyesel saya menerima perjodohan denganmu!” Axzel beranjak pergi meninggalkan Qeera yang sudah menangis dan terduduk di tangga. “Ya, Bel. Aku sudah dalam perjalanan.”

Perkataan itu semakin menghancurkan Qeera. Suaminya bisa begitu santai menyapa jalang itu dengan ‘aku’ sedangkan saat bersama Qeera begitu kaku selalu menggunakan ‘saya.’ Untuk memberi Qeera senyuman yang sepantasnya dirinya terima dari Axzel mengingat dirinya istri sah pria itu tidak pernah Qeera dapatkan.

“Haruskah aku tetap bertahan, Tuhan. Pernikahan ini tak akan membawa kebahagiaan untukku. Ke mana aku harus pergi dari sini,” rintihnya sambil menutup wajahnya dengan tangan.

“Nyonya,” panggil Bibi.

Qeera mendongak. Air mata Qeera semakin deras mengalir melihat tatapan mengasihani dari ARTnya. Sakit sekali saat Bibi bisa merasakan rasa sakit yang Qeera rasakan atas ketidakpedulian suaminya. Namun, sebagai suami, Axzel tak pernah peduli akan perasaannya.

Mereka sama-sama kehilangan. Qeera yang lebih merasa kehilangan, tetapi dirinya juga yang di salahkan.

“Yang sabar Nyonya, jangan biarkan wanita itu berhasil menghancurkan rumah tangga kalian.”

“Tidak ada rumah tangga, Bi. Sejak dulu hanya Qeera yang berjuang, Kak Axzel tidak mau, bahkan peduli kepadaku saja tidak.”

Bibi mendekat mengusap bahu Qeera. Rasanya seperti usapan dari seorang Ibu, usapan yang tak pernah Qeera ingat karena ia tidak pernah mengingat seperti apa mendiang ibunya. Mungkin akan sama jika masih hidup. Sayangnya Qeera tidak pernah mengenal mendiang Ibu kandungnya.

“Kenapa ya, Bi, nasibku begini. Dari kecil tak pernah disayang Papa dan dibenci istrinya, sekarang setelah menikah. Jangankan bahagia, suami semakin membenci Qeera, begitu juga kakek nenek Kak Axzel. Semua karena Qeera keguguran. Padahal hari itu aku mohon sama Kak Axzel untuk menemani ke Dokter.” Qeera mendongak menatap Bibi. “Dia bahkan mendorongku, Bi.”

Bibi ikut menghela napas mendengar penderitaan nyonya rumah ini. Dia bisa melihat sejak awal bahwa pernikahan ini tidak semestinya sebuah pernikahan.

“Bibi hanya bisa meminta Nyonya bersabar.”

“Tapi aku sudah tidak kuat, Bi. Kak Axzel bahkan tak sadar kedekatannya dengan jalang itu menghancurkan pernikahan kami.”

Bibi tak berani menyahut. Menurut Bibi juga tidak wajar dengan kedekatan mereka. Apalagi Bella bukan gadis yang baik jika tidak ada keluarga Mahardika. Sayangnya tidak ada yang percaya karena Bella begitu dilindungi Axzel dan kedua kakek neneknya.

***

Malam harinya djam tujuh malam Axzel kembali menuruni tangga dengan setelan resmi. Qeera yang sedang makan langsung menyusul.

“Kakak mau kemana?”

“Zel, kamu sudah siap?” tanya sebuah suara memotong jawaban Axzel.

Hati Qeera bergemuruh melihat Bella mengenakan gaun indah berwarna hitam dengan dada dan punggung terbuka memperlihatkan bentuk tubuhnya. Tampak sangat serasi dengan setelan resmi Axzel yang mengenakan jas hitam dengan dalaman kemeja putih serta clana dan sepatu hitam.

Apakah mereka janjian pergi bersama? Dan Bella menyusul menjemput Axzel ke rumahnya?

“Kak,” ucap Qeera lirih karena rasanya lemas sekali untuk bicara ada Bella di depannya yang menampakkan ekspresi puas.

“Saya mau pergi, mungkin tak akan kembali sampai besok.”

Axzel melangkah meninggalkan Qeera.

Cukup. Sudah cukup Qeera bersabar dengan Axzel selama ini. Sejak menikah Qeera tak pernah diajak ke pesta. Dulu karena alasan hamil muda dan membahayakan kandungannya. Pada saat itu kandungannya kurang sehat serta tidak boleh lelah. Namun, sekarang saat tak hamil, apa lagi alas an Axzel tetap tak membawanya mendampinginya malah membawa Bella.

Qeera menusul meninggalkan dapur menuju Axzel ke ruang tamu.

“Kenapa dengan dia bukan denganku,” tunjuk Qeera pada wajah Bella.

Bella yang berdiri tak jauh dari Qeera diam menatapnya dengan polos.

Rasanya Qeera ingin mencabik wajah sok polos wanita itu yang seolah tersenyum mengejek kepadanya. Padahal aslinya wanita yang sangat licik.

“Mungkin istrimu ingin diajak ke pesta Zel. Bukankah tidak pernah pergi bersama istrimu, kamu selalu pergi denganku.”

Kata tidak pernah seolah menekankan kepada Qeera betapa tidak berartinya dirinya bagi Axzel. Selama hampir satu tahun pernikahannya dengan suaminya tidak pernah Axzel menunjukkan Qeera kepada dunianya. Seolah Axzel malu memiliki istri seperti dirinya.

“Kenapa, Kak? Dulu karena aku hamil, sekarang apa lagi alasan kakak tidak ingin membawaku?”

Axzel menatap dingin Qeera. Wajah yang sejak dulu tak pernah menampakkan senyuman sekarang semakin jijik menatap dirinya.

“Karena seorang pembunuh tidak layak untuk saya bawa! Pembunuh sebaiknya di kurung!”

Axzel berbalik menarik Bella meninggalkan Qeera yang langsung terduduk di lantai. Matanya mengikuti suara langkah keduanya meninggalkan rumah.

Pembunuh.

Begitukah pandangan Axzel kepadanya sekarang. Dulu istrinya yang tidak berharga, sekarang pembunuh. Apa yang bisa membuat Qeera bertahan dengan pria yang sudah menganggapnya sebagai pembunuh?

“Tidak ada!”

Qeera mengusap mata mengamati rumah mewah ini yang tidak pernah menjadi rumahnya. Sejak awal Qeera merasa tidak pantas berada di sini. Mungkin memang bukan di sini tempatnya.

Matanya menatap foto pernikahan mereka yang semakin buram dari pandangannya.

Haruskah Qeera bertahan dengan suami yang jelas-jelas sudah tak menganggap keberadaannya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status