Share

Seratus Juta Rupiah

Ratih baru sampai di rumah, jamu yang dijual juga sudah habis. Dia sengaja lewat pintu samping karena tahu ada tamu yang bertandang ke rumahnya.

Setelah meletakkan rinjing dan mencuci kaki serta tangan, barulah Ratih ke kamar, inginnya, tapi karena letak kamar yang memungkinkan bisa melihat siapa tamunya, Ratih pun ikut bergabung di ruang tamu.

“Mas Prapto,” sapanya sambil ikut duduk di sebelah ibunya.

Ibu Ratih menelan ludah. “Kamu sudah pulang? Kapan?” Itu adalah pertanyaan konyol, tapi ibunya Ratih tetap menanyakan ke putrinya.

“Barusan, Bu. Mas Prapto, kenapa ke sini?” Ditolehnya Prapto, “Kemarin kan belum memesan jamu, Ibu pasti belum membuatkannya, iya kan, Bu?” Ratih tersenyum sambil menoleh ke ibunya lagi, ternyata jamu ibunya kemarin menyelamatkan hidupnya.

Ibu Ratih pun tersenyum masam, menarik tangan putrinya agar tak berkata sembarangan, “Nduk, Tuan Prapto—“

“Aku ke sini untuk menikahimu.” Prapto memotong ucapan ibunya Ratih, terlalu lama jika membiarkan perempuan tua itu basa basi, meski dengan putrinya sendiri.

Mata Ratih membola, candaan macam apa ini?

Seringai yang memenuhi wajah Prapto tidaklah menyeramkan, dia tak takut sedikit pun. Ratih tak ingin menjawab. Dia lebih memilih untuk menoleh ke ibunya, dan saat ibunya mengangguk dengan wajah serius serta setengah ketakutan, barulah Ratih menelan ludah. Tak ada yang bisa dia katakan untuk membela dirinya atau  berlari dari perkara ini.

“Semua istriku tidak ada yang haid, kurasa kamu sudah tahu kenapa aku malah menikahimu. Itu karena kamu yang berjanji akan memberiku seorang anak jika ke tiga istriku tak ada yang subur, kan? Apa kamu melupakan janjimu sendiri?” Prapto terkekeh. Dia sangat suka dengan wajah pucat Ratih.

“Kami akan membayar kelancangan putri kami, Tuan Prapto.” Bapak Ratih kini berbicara. Pria tua itu tak sudi jika putrinya dijadikan istri ke-4 dari blantik kejam seperti Prapto.

Mendengar itu, Prapto terkekeh. “Dengan apa? Kebun tebu milikmu yang disewa pabrik gula yang belum waktunya panen itu? Kamu juga sakit tidak bisa berjalan begitu, siapa yang akan percaya dan memberikan pinjaman kalau kamu mau membayarnya dengan uang hasil berhutang?”

Bapak Ratih memejamkan mata. Keadaannya saat ini memang tak memungkinkan. Sudah lebih dari dua tahun dirinya hanya berbaring di ranjang seperti bunga ranjang, hidupnya tak berguna, hanya bisa merepotkan istri dan juga putrinya saja.

“Kami akan menjual tanah kami, Tuan Prapto. Berapa uang yang harus kami berikan agar hutang Ratih lunas?” Kali ini, ibunya Ratih yang bertanya. Dia juga tak akan tega membiarkan Ratih tinggal dengan tiga istri tua Prapto. Akan jadi apa putrinya nanti?

Ratih pun tak buang waktu. Dia segera berlutut di kaki Prapto.

“Apa kiranya yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahanku, Tuan Prapto?” tanyanya sambil menangis.

Prapto terkekeh kembali, menyandarkan punggung karena dia pun juga lelah menunggu Ratih sedari tadi. Bahkan, dia sampai habis dua gelas teh manis aroma melati yang dibuat oleh Ibu dari perempuan ini.

“Aku tak pernah meminta apa pun. Aku hanya menagih apa yang sudah kamu katakan kemarin!” Prapto menarik dagu Ratih agar menatapnya dan tidak menunduk seolah dia saja yang jahat di sini, “kamu mengatakan kamu sendiri akan memberiku anak dari rahimmu kalau istriku tidak bisa hamil. Sekarang, kalau aku menagihnya apa aku yang salah?”

Entah mengapa, Prapto menikmati tangisan di wajah Ratih sekarang. Di sisi lain, ibu dan bapak Ratih hanya bisa saling melempar pandang. Prapto memang sudah mengatakan maksud dan tujuan saat pertama datang ke rumah ini tadi.  Orang tua Ratih pun sudah menolak dengan cara sopan sampai kasar karena tak kuat membayangkan apa yang akan terjadi jika hal itu benar-benar terjadi pada putrinya.

“Jamu Ibuku memang tidak manjur, Mas Prapto.” Ratih mengakui kesalahan sambil menangis lalu berkata, “Aku akan membayarnya dengan uangku dan uang orang tuaku. Berapa totalnya, Mas Prapto?”

Biar saja setelah ini jamunya tak laku lagi bila Prapto menyebarkan pengakuannya ke seluruh kampung. Yang penting, dia tidak ingin menjadi Istri ke-4 Tuan Tanah ini.

Sanyangnya, Prapto justru mengerutkan kening. Dia terlihat tak percaya pengakuan Ratih, “Benarkah itu? Kau harus membayar 100 juta jika jamu ibumu tak manjur”

Meski Ratih menoleh, Prapto tetap membuang muka. Dia justru menoleh ke ibunya Ratih, “Buatkan aku jamu yang sama dengan jamu yang diberikan Ratih kemarin. Kalau Ibu berani membodohiku, aku akan meratakan rumah ini.”

Prapto akan membuktikan sendiri! Setelah melihat reaksi Ratih yang ketakutan, Prapto makin yakin kalau ada yang tidak beres meski belum dia temukan di sisi yang mana.

Ibunya Ratih pun segera berdiri, ke dapur untuk membuatkan jamu agar diminum Ratih. Itu adalah ramuan yang sama untuk mengetes kesuburan bagi perempuan. Mencampurkan bunga kenanga, kunyit, gambir, dan juga daun luntas serta sirih merah, ibunya Ratih tak tahu apa yang dia pertaruhkan. Hanya saja, dia tahu bahwa dirinya tak mungkin menghindar atau bahkan pergi dari permainan Prapto yang kejam.

“Jangan, Bu! Jangan, Bu! Ratih gak mau, jangan, Bu!” Ratih segera berdiri, menyudahi aksinya menyembah Prapto karena tak menghasilkan apa pun.

Perempuan itu berganti dengan berlari mendekati ibunya, berniat menyembah ibunya agar berhenti sekarang, tapi apa? Cengkeraman di tangannya membuatnya tak akan pernah sampai di tempat ibunya. Ratih hanya bisa menggeleng, air matanya sudah memenuhi seluruh wajah. Jika bercermin, mungkin sudah tak karuhan penampilannya saat ini.

Prapto terus mengeratkan cengkeraman di pergelangan tangan Ratih, “Apa yang kamu takutkan, Ratih?” menyeringai, kalau jamu yang diminumkan ibunya Ratih tidak berhasil di diri Ratih, mungkin Prapto akan membantai semua anggota keluarga ini. Gelengan yang Ratih pamerkan, semakin membuat Prapto tertawa, ketakutan dan ke tidak berdayaan, itu adalah hal yang paling Prapto sukai di dunia ini.

“Ini, Tuan Prapto.” Ibu Ratih ke luar dari dapur, membawa segelas jamu yang baru saja dia ramu.

“Tidak, Ibu!” tolak Ratih lantang, dia tak menyangka ibunya benar-benar membuatkan jamu yang berarti menyerahkan dirinya ke blantik kejam ini.

Prapto menoleh ke kusir yang juga ikut masuk, mengangguk sekali, dan segera mengambil gelas berisi jamu itu setelah kusirnya memegangi tangan Ratih agar tidak banyak bergerak dan memudahkannya untuk menyuapi Ratih dengan jamu itu.

“Tidak, Ibu. Tuan Prapto, jangan, jangan, hm—akh! Jang—uhuk, uhuk, uhuk!” Ratih terbatuk setelah meneguk jamu itu dengan paksa. Prapto menekan rahangnya, membuat Ratih tak bisa menolak jamu itu. Cairan itu belepotan ke seluruh tubuh bagian atas di depan, tapi lebih dari itu, hampir sebagian besar masuk melalui tenggorokan dan mengisi lambungnya.

“Lepas!” Prapto memerintah ke kusirnya, kembali duduk di kursinya dengan Ratih yang tetap terduduk di lantai.

Ratih segera berlari ke belakang, dia akan melogok mulutnya dan memuntahkan jamu yang baru saja dia minum. Sangat dalam, dia memuntah tanpa mengeluarkan apa pun, membuatnya semakin kesakitan dan berakhir dengan tangisannya lagi.

“Hahahaha. Lakukan sesukamu, Ratih. Kita lihat siapa di sini yang akan terbongkar kebusukannya, berdoa saja kalau jamu itu memang tidak manjur, dan aku akan mendapatkan 100 juta darimu, itu cukup untuk membeli dokar lagi karena dokar yang ini sudah tidak nyaman dudukannya.” Prapto yang tadi mengikuti ke mana perginya Ratih, berbalik, dia ke kursinya lagi. Prapto tak akan pergi selangkah pun sebelum mengetahui apa reaksi dari jamu yang baru saja diminum Ratih.

Ratih terus menangis. Jarik yang dia kenakan, di bagian bawahnya, telah basah oleh air kamar mandi. Namun, Ratih tetap tak pergi. Penyesalan membuatnya sangat bersedih, apa yang akan terjadi setelah ini andai dia harus membayar semua ucapannya dengan uang 100 juta atau bahkan seorang bayi? Hanya membayangkannya saja rasanya tidaklah kuat.

Ibunya Ratih mendekat, membantu putrinya berdiri. “Maafkan Biyung, Sayang. Semua sudah terjadi, kita serahkan saja ke Yang Maha Kuasa. Dengan apa kita membayar perbuatanmu nanti? Ibu dan bapak akan melakukan yang terbaik untuk putrinya, jangan menangis, ya?” ucap sang Ibu terus memeluk Ratih hingga pakaiannya pun ikut terasa basah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ar_key
kasihan Ratih ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status