Sumi dan Prapto se-dokar, mereka akan ke pasar, “Kenapa Ratih pulang? Dia tidak tahan menjadi babu di sini?”Prapto terkekeh, “Tidak, dia hanya pamit ke ibu dan bapak. Kamu sudah mencatat semua yang harus kita beli?”Sumi mengangguk, dia memang akan belanja untuk keperluan putranya, Prapto mengajak syukuran minggu depan.Ratih... turun dari dokar. Dia ingin segera pamit dan kembali agar tetap bisa melihat putranya nanti malam, tapi Bima malah menyambutnya di teras. “Kamu di sini?” tanya Ratih. Bapak dan ibunya juga ikut menyambut, sepertinya Bima bertamu tadi.“Iya, biasanya tiga hari ibumu menyewa cokar kami, hari ini malah tidak ada pekerja yang datang. Kupikir kamu sakit atau apa pun. Dari mana?” tanya Bima setelah ibu dan bapak Ratih masuk rumah.“Aku dari rumah mas Prapto, kami—““Kau kembali padanya? Setelah semua ini?” Bima menyela ucapan Ratih yang belum selesai, “Setelah semua harga dirimu diinjak-injak? Apa yang kamu harapkan dari kang Prapto, Ratih?” Bima tidak terima.Rati
Ratih diam sepanjang perjalanan. Bibirnya tertutup rapat. Sebuah kalimat yang terlalu lama ingin dia dengar dan kini semua seolah terlalu terlambat.“Ndoro Ratih.” Panggil pekerja pria yang mengusiri dokar Ratih.Ratih tersadar dari lamunan. Hampir senja saat dia sampai rumah besar ini, tanpa dia sangka, semua perjalanan datang terlalu cepat, “Tolong, bawakan ini, Pak.” Pintanya karena semua baju itu terlalu banyak. Dia sendiri juga membawa satu buntalan cukup besar, berjalan pelan menuju ke kamar yang kini ditinggali putranya. Ada kamar kecil di sana, dulu itu kamar Siti, dan sekarang dialah yang harus tinggal di sana.“Kamu lama sekali?” Sumi yang tahu Ratih sudah kembali, segera datang, putranya yang dia gendong tak mau diam dari tadi, dan dia tak peduli dengan Ratih yang mungkin lelah, segera menyerahkan putranya yang rewel itu.“Inggih, Mbak Sumi. Ibu sama bapak mengajak makan dulu tadi.” Dusta Ratih, dia menimang putranya, seperti memiliki sihir, putranya malah tersenyum sambil
***Ratih kaget. Segera bangun untuk duduk saat merasakan tubuhnya terguncang cukup keras.“Kau tidur di sini semalaman?” tanya Sumi. Dia baru saja bangun, berniat memandikan putranya sebelum sarapan dimulai.Ratih mengangguk, “Aku hanya menjaganya dengan baik.”Sumi mengangguk, “Mandilah. Aku tidak mau putraku dirawat oleh orang yang kotor.”Ratih pun segera beranjak ke kamarnya. Semalam dia memang tak berniat pergi. Setelah ketahuan Prapto dan tak ada sepatah kata pun, Ratih semakin enggan meninggalkan putranya di sini sendiri. Ratih mandi dengan cepat, kembali ke kamar putranya, ternyata Sumi baru saja selesai memandikan, “Butuh sesuatu?” tanya Ratih.Sumi menggeleng, “Bantu saja pelayan di dapur. Sebentar lagi kita sarapan. Banyak pekerjaan hari ini, Iis dan Fitri akan ke sini, apa kau lupa?”Ratih tersenyum, “Tidak, Mbak.” Ratih mengekor Sumi, membiarkan Sumi menuju ke kamar Prapto, sedangkan dirinya ke dapur untuk melihat persiapan sarapan. Setelah semuanya siap, “Biar aku saja
Bima semakin tak suka. Toh! Anak Ratih sudah dia gendong, Bima semakin tak segan mengambil belati yang dia simpan di lipatan jarit yang dia kenakan. Menghunus dengan pasti ke perut Sumi, “Seperti itu juga sakit yang dirasakan Ratih.” Mata Bima merah menyala, dia puas setelah membalaskan dendam Ratih.Tubuh Sumi kaku, dia tak berani bergerak, rasanya sangat luar biasa perutnya ini.“Mbak Sumi!” Ratih mendorong Bima, tak peduli dengan putranya karena yakin Bima menggendongnya erat, tapi Sumi? “Mbak Sumi? Mbak Sumi?” memeluk Sumi erat, dibantu untuk duduk di jalan. Orang juga mulai berkerumun dan Ratih semakin ketakutan.Sumi terus menekan perutnya, “Jaga putraku, Ratih.”Ratih menggeleng, “Jangan berkata apa pun lagi, Mbak.” Ratih menggeletakkan Sumi di tanah, “Bantu aku!” teriaknya ke semua orang. Saat semua orang menggendong Sumi, Ratih mendekat ke Bima dan meminta putranya, “Jangan pernah kau berani mendekatiku lagi.” Peringatkan itu sangat keras, dia juga mengacungkan telunjuk ke Bi
“Ndoro Ratih, ndoro Sumi siuman.” Ucap pelayan dari dalam.Kalimat itu lebih menyejukkan dari pada kata lainnya. Ratih tak lagi peduli dengan Prapto dan Bima. Berlari masuk, dia ingin melihat Sumi, dan memastikan sendiri dengan mata kepalanya kalau Sumi baik-baik saja.Prapto menghela napas lalu menoleh ke Bima, “Mungkin memang ada yang salah di antara kita. Benar kata Ratih, tak seharusnya kita bertingkah seperti anak kecil, jadi pulanglah. Kuanggap ulahmu ke istriku hanya kecelakaan. Jangan membuatku semakin marah karena di sini kamulah yang salah, Bima.”Baru saja akan membela diri, Prapto sudah melangkah pergi, Bima pun kembali menutup mulutnya.“Aden Bima, silakan diminum.” Lek Tejo yang paling berani. Dia tahu berkelahi sangat melelahkan, jadi dia membawakan minum untuk Bima, selaku tamu di rumah besar ini.Bima menoleh, “Aku tidak membutuhkannya, Lek Tejo.” Dia juga beranjak mendekati kudanya. Akan pulang saja karena tahu tak berguna di sini.Lek Tejo tersenyum, “Ndoro Ratih su
Baru saja Ratih mendorong pintu dan ingin segera masuk.“Ndoro Ratih, ndoro Iis dan ndoro Fitri sudah datang.”Pelayan datang dan membuatnya terkejut untuk ke dua kalinya, “Aku akan ke luar. Siapkan saja kamar mbak Iis dan mbak Fitri.” Perintah Ratih yang diangguki pelayan itu. Langsung ke depan, tersenyum saat bertemu dengan dua wanita yang lebih hebat darinya, “Mbak Iis, Mbak Fitri, sangat rindu rasanya.” Ratih memeluk keduanya, Fitri tetap hangat, sedangkan Iis lebih ramah dari yang dulu.“Mana mbak Sumi?” tanya Iis.“Mbak Sumi sedang sakit.” Ratih mengajak ke duanya ke kamar Sumi, “Ngapunten, tapi jangan berisik, aku akan menjelaskannya setelah kita ke luar dari kamar mbak Sumi.”Iis dan Fitri saling lempar pandang. Keduanya ingin bertanya, tapi Ratih yang keburu masuk, hanya menyisakan diam. “Mbak Sumi?” Iis lebih terkejut, Sumi perutnya terbuka dengan luka dibubuhi daun berwarna hitam pekat.Sumi tersenyum, dia baru saja menghabiskan bubur yang tak enak itu, “Iis, Fitri, kalian
***Prapto terbangun. Tak menyangka ternyata dia tertidur di kamar putranya, semalam memang putranya agak rewel, mungkin lelah atau bahkan kaget dengan kejadian yang beruntun sejak beberapa hari yang lalu. Dilihatnya Ratih tidur di ranjang yang sama dengannya, Prapto tersenyum, dengan lancang mencuri ciuman di pipi Ratih, baru ke luar setelahnya.Di luar masih gelap. Prapto ingat kalau ingin mengajak Sumi menikmati embun yang belum kering pagi ini. Mungkin di taman samping sambil menunggu matahari bersinar malu, akan menyenangkan, ditambah dengan beberapa obrolan kecil, Prapto pun terkekeh membayangkan semuanya.“Bantu aku.” Prapto mengajak pekerja pria yang sedang sibuk menata bekal untuk dibawa ke kebun. Ke duanya mengangkat kursi panjang, setelah memastikan semua pas di tempat, barulah Prapto masuk. Dia akan membangunkan Sumi dan mengajaknya menunggu pagi.Prapto mengerutkan kening, tak biasa Sumi tidur tanpa lampu, dan kamar ini menjadi terlalu gelap. “Sumi? Kau sudah bangun? Saya
Senyum yang merekah. Tak ada ketakutan sedikit pun di wajah itu. Bukan tangisan lagi, tapi malah liur yang terus menetes disertai dengan isapan di pergelangan tangannya, cukup membuat Prapto kembali terkesima. Wajah yang dulu sangat dia inginkan, apa tega dia membuangnya begitu saja? Prapto pun menangis, dia memeluk putranya erat, “Maafkan Romo, Tole. Maafkan Romomu yang goblok ini. Maafkan Romomu.” Prapto terus menangis, menciumi putranya yang kian tertawa terbahak-bahak.“Tole—“ Ratih terkesiap memandang apa yang ada di kamar Prapto. Suaminya bangun, bercanda dengan putranya setelah sekian lama, Ratih tak ingin mengganggu, hanya diam sambil menyeka air mata haru yang membasahi pipi.“Apa yang kau lakukan di situ?!” bentak Prapto membuat Ratih menjingkat, “Putraku menangis, dia lapar, beri dia susu atau apa pun.” Prapto kembali bermain dengan putranya.Ratih segera duduk di samping putranya yang dipangku Prapto, nasi lembek dan tongkol goreng yang dia bawa, segera dijumput dan disodo