**“Hanya luka seperti ini nggak perlu ke dokter segala kok, Tuan. Saya kan bukan seorang model seperti Mbak Rachel. Nggak masalah kalau saya punya sedikit bekas luka.”William mengernyit. Tampak tidak setuju, namun tidak berkata apapun. Arah pandangnya kembali jatuh kepada kaki Binar. Menatap ruam kemerahan yang menodai permukaan kulit putih itu.“Aku hanya memastikan kamu baik-baik saja. Karena kamu sekarang nggak hidup sendirian.”“Ah ….” Binar menelan saliva. Ia merasa tertampar dengan kalimat terakhir suaminya itu. Benar sekali, yang William khawatirkan sebenarnya adalah calon bayi dalam perutnya, bukannya Binar sendiri. “Jangan khawatir. Dia terlindungi dengan sempurna di dalam sini, Tuan.”William mengangguk sembari bangun dan menegakkan tubuh. Pandangannya yang kembali datar bahkan cenderung dingin, sama sekali berbeda dengan beberapa detik yang lalu. “Ya sudah kalau kamu baik-baik saja. Tolong lebih hati-hati lain kali. Seperti yang kamu ketahui, penampilan memang sangat pent
**“Nyonya! Nyonya Binar pingsan di ruang tengah!”Rachel baru saja menyeruput Earl Grey Tea dari cangkirnya saat seorang perempuan muda pegawai rumah menghampirinya dengan tergopoh-gopoh.“Pingsan?” Dahi Rachel berkerut. “Tapi dia baru saja mengucapkan selamat pagi kepadaku.”“Kami menemukannya di ruang tengah. Apakah harus panggil dokter, Nyonya? Ataukah harus menunggu Tuan datang?”Rachel terhenyak, sadar bahwa tidak akan bagus jika William melihat keadaan ini. Ia menggeleng sesaat. “Kalian bawa ke mana dia?”“Ke kamar, Nyonya. Haruskah menelepon dokter sekarang?”“Biar aku sajalah yang telepon dokter. Kamu bisa kembali ke belakang, aku akan lihat dia ke kamar.”Pegawai perempuan itu mengangguk dengan hormat sebelum undur diri kembali ke belakang. Meninggalkan Rachel sendirian yang berdecih kesal sembari berdiri dengan malas. “Kenapa lagi sih itu orang? Drama banget perasaan. Baru juga hamil, sudah bikin gara-gara saja kerjaannya.”Perempuan rupawan itu menyeret langkah malas-malas
**“Binar? Kamu apa kabar, Nak? Kamu baik-baik saja, kan?”Mendengar pertanyaan seperti itu, Binar justru hampir menangis lagi. Tentu saja ia tidak baik-baik saja saat ini. Tapi apakah ia bisa mengatakan semua itu kepada ayah yang sangat disayanginya? Tentu saja tidak, sebab sudah pasti sang ayah akan khawatir.“Aku baik-baik saja, Ayah ….” Sembari menghela napas, Binar menjawab. “Aku kangen, pengen ketemu Ayah. Aku akan minta izin sama Tuan William untuk pulang sebentar ke rumah buat ketemu sama Ayah hari ini.”Hening sejenak, Binar menyeka air mata yang sudah menggenang di sudut matanya. Ia menahan diri sekuat tenaga agar isak tangisnya tidak sampai lolos dan terdengar hingga ke seberang. Namun agaknya sang Ayah tetap bisa merasakan hal itu.“Kamu yakin baik-baik saja? Jangan memaksa pergi kalau suami kamu nggak kasih izin, ya?”“Dia akan mengizinkanku, Ayah tenang saja.”Binar diam lagi. Sejujurnya ia juga tidak tahu apakah sang suami akan mengizinkannya keluar atau tidak. Namun me
**Sampai juga, akhirnya.Rumah itu masih sama seperti dua bulan yang lalu, ketika Binar meninggalkannya untuk menikah dan hidup sebagai istri kedua seorang bos muda tampan yang sudah menyelamatkan hidup keluarganya dari kebangkrutan.Terpaksa menerima keadaan, meski kala itu semalaman penuh Binar menangis, bahkan berniat kabur dari rumah –walau akhirnya tidak jadi ia lakukan. Statusnya sebagai anak tiri di rumah ini mengharuskannya mengalah dengan semua keputusan kedua orang tuanya, termasuk menjadi pengantin kedua putra satu-satunya keluarga Aarav. William Aarav diharuskan memiliki penerus yang tidak bisa diberikan oleh Rachel Aluna, maka kedua orang tua Binar yang notabene memiliki banyak hutang budi kepada keluarga Aarav, menyerahkan putri sulung mereka untuk membantu.“Kamu melamun lagi? Sebenarnya memang benar-benar mau ketemu ayahmu atau nggak, sih?”Terkesiap, Binar buru-buru menoleh kepada sang suami. Ia terkejut sendiri saat menyadari bahwa mobil William sudah berhenti dari
**Pukul sembilan malam tepat, mobil hitam William kembali berhenti di halaman rumah orang tua Binar. Binar yang sebelumnya menghabiskan waktu sembari bercengkerama bersama ayahnya, beranjak dengan berat hati. Ia tidak ingin meninggalkan rumah, sesungguhnya. Namun, mana bisa begitu, kan?“Aku pulang dulu, Ayah,” pamitnya sembari mencium punggung tangan Rudy. Yang bersangkutan pun tampak berat melepas putrinya kembali, namun seperti halnya Binar, Rudy juga tidak bisa melakukan apapun.“Tuan William, apakah nggak mau masuk dulu?” Di luar dugaan, Vidia melesat keluar dari kamarnya dan menyapa William dengan gembira kala melihat pria itu datang. “Tuan William sudah makan malam? Mari, masuk dulu.”William mengangguk kecil, kentara sekali terpaksa mengulas senyum. “Sudah, terima kasih. Saya hanya akan menjemput Binar kembali.”“Ah, saya harap dia nggak merepotkan anda di sana, Tuan. Binar tuh kan banyak maunya, ya. Nggak kebayang kalau sedang hamil seperti ini, pastinya ngidam ini itu juga.
**“Oh, kamu sudah menikah, ternyata?” Gio bertanya dengan heran. Raut wajahnya berubah setelah mendengar penuturan dari William barusan. “Kenapa aku sama sekali nggak mendengar kabarnya, Binar? Kamu nggak kasih aku undangan?”“Binar memang nggak ingin memberitahu siapapun. Apakah itu sangat mengganggumu?” sahut William dingin, membuat Gio terperangah.“Bukan begitu. Maksudnya–”“Mas Gio, saya harus pergi sekarang karena ini sudah malam. Sampai ketemu lagi ya, Mas.” Terburu-buru Binar memotong sebab merasa atmosfir di sekitar sana menjadi kurang nyaman. Ia agak menarik lengan William untuk masuk ke dalam mobil, agar pria itu tidak terus-terusan bersitatap tajam dengan satu yang lain di hadapannya.Binar sedikitnya menyesal, mengapa harus bertemu dengan Giorgino Gautama, teman sejak kecilnya, pada waktu yang tidak sesuai seperti itu.Mobil kembali melaju, kemudian. Dan masih seperti yang tadi, keheningan melanda dalam kabin. Namun kali ini keheningan itu terasa agak lain, karenanya Bin
**“Ugh!”Rachel seketika melayangkan pandangan tajam ke seberang meja makan pagi ini saat ia sedang sarapan. Kedua alis presisinya menukik tajam, mengawasi perempuan di seberangnya yang sedang menutup mulut dengan telapak tangan.“Kenapa kamu malah diam di situ? Apa kamu nggak lihat, aku sedang sarapan?” Perempuan cantik itu berujar dengan suara penuh amarah. “Nunggu apa? Sana pergi ke toilet! Sial!”Binar bukannya benar-benar muntah. Ia hanya mual karena aroma masakan yang terhidang di atas meja makan pagi ini. Namun dengan kesadaran penuh Binar mengakui, ia sudah menyinggung Rachel karenanya.Perempuan itu terburu-buru berlari ke wastafel di bawah tangga dan membasuh mulut dan wajah di sana. Disaksikan dengan alis terangkat oleh sang suami dari lantai atas.“Kamu baik-baik saja?” William bergegas turun untuk memeriksa keadaan Binar. “Kamu muntah-muntah, ya?”“Ah, nggak kok, Tuan. Saya nggak apa-apa, saya hanya mual.”“Ayo kita kembali ke meja makan dan duduk dulu.”Binar menggeleng
**Tiga orang yang berada di dalam ruangan itu sama-sama terkejut. William, Binar, dan seorang dokter muda yang duduk di balik meja kerja yang ternyata Binar kenal.Giorgino Gautama atau Mas Gio yang semalam.“Binar?” sebut pria itu setelah menyelesaikan keterkejutannya. “Ternyata kamu?”“Mas Gio dokter di sini juga? Kok aku nggak pernah tahu?” Binar bertanya dengan suara penuh kejutan. Pria tampan berjas putih itu tersenyum lebar.“Aku menggantikan dokter Ardi. Biasanya memang jam dinasku malam hari, jadi mungkin kamu nggak pernah lihat. Lagian aku juga masih lumayan baru di sini.”“Ehem ….”Suara deheman mengalihkan fokus Binar dan Gio. William yang bersuara. Wajah pria itu tampak jelas sekali terganggu melihat kedekatan sang istri dengan laki-laki lain.“Apakah kalian mau bernostalgia saja dan nggak jadi periksa?” tanya William tajam.“Ah, maaf, Tuan. Itu karena saya kaget sekali melihat Mas Gio di sini.” Binar menjawab dengan takut-takut, walau ia tidak mengerti mengapa harus takut