Bram bermaksud menghampirinya, tatkala sedikit lagi akan sampai seorang lelaki mendekati wanita itu kemudian melampirkan jaket ke tubuhnya."Ibu kenapa keluar nggak pakai baju tebal, nanti masuk angin!" kata lelaki yang memakaikan jaket tersebut. "Sebentar aja, Pak! Ibu ingin cari udara segar, bosan di dalam terus," jawabnya. "Ya sudah, ayok kita masuk!" Keduanya beranjak pergi dan Bram terkejut saat wajah wanita itu menoleh ke samping. "Fatma?" gumam Bram terhenyak. Walaupun sudah lewat dua puluh tahun, Bram yakin kalo wanita yang barusan dilihatnya itu Fatma. Wajah yang sedikit menua itu masih tersisa kenangan yang tidak mungkin dilupakannya. Kedua pasangan suami istri itu hanya melewati Bram tanpa mengenalnya. Saat tubuh wanita itu bersisian jalan dengan Bram, mata keduanya sempat bersitatap. Lalu senyum mengangguk diterima Bram darinya. "Fatma!" panggil Bram setelah beberapa langkah. Sepasang suami istri itu menghentikan langkah karena ada yang memanggil. Keduanya menoleh
Fatma menyunggingkan senyum manis dan mengambil ponsel di saku bajunya. Bram memperhatikan sembari tangannya meraba-raba di tubuh wanita di sampingnya. "Ini Mas!" tunjuk Fatma memberi ponselnya pada Bram yang terkejut setengah mati. "Dia?" "Iya, Mas! Ini anak kita, kenapa terkejut begitu?" Bram menggeleng. "Bukan apa-apa, hanya nggak nyangka sudah sebesar ini!" Bagaimana Bram tidak kaget, foto yang ditunjukkan Fatma sebagai anaknya ternyata adalah Melisa. Pelakor dalam rumah tangga Nuraini, dia masih belum percaya. Apa mungkin Melisa anaknya dengan Fatma tapi kan dia sudah menikah lagi. "Benar ini anakku?" tanya Bram sekali lagi. "Benar, Mas! Kasihan anak itu dari kecil sudah kehilangan Mas, kehilangan ayahnya," jawab Fatma sedih. "Tapi kamu kan sudah menikah lagi, apa Melisa bukan anak suamimu?" Bram masih meragukannya. Sebelum kertas perjanjian itu ditemukan dia tidak akan mengaku. "Melisa anakmu kamu, Mas! Dia ingin sekali ketemu kamu, kasihan dia Mas. Hidupnya selama ini
"Saya sarankan berhati-hati dengan Fatma, Bu! Apalagi anaknya Melisa itu, dia menipu suaminya dengan kehamilannya. Padahal anak yang dikandungnya itu bukan anak suaminya," jelas Tono mengingatkan. "Lalu anak siapa?" Lagi-lagi Ranti mendapatkan kejutan. "Anak hasil perk*saan pacarnya dulu." "Apa? Benarkah itu?" "Benar, Bu! Pacarnya melarikan diri karena tidak mau bertanggung jawab. Karena itu saat Melisa mendapatkan Fahri, dia mengaku itu anaknya." Ranti mengangguk walaupun lelaki yang meneleponnya tidak bisa melihat. Kini dia sudah tau semua kebusukan Fatma dan anaknya. Wanita itu akan bekerja diam-diam untuk menyingkirkan mantan pembantunya seperti dulu. Sedangkan Tono memberitahu Ranti semua ini selain karena bencinya pada mantan istrinya itu. Dia ingin Fatma merasakan akibat dari perbuatannya. Selama ini Tono selalu sabar, dia lah yang mengangkat derajat kehidupan Fatma. Saat itu Fatma yang sedang mengandung ingin bunuh diri. Karena kasihan dengan keadaannya, dia pun menikah
Nuraini bangun keesok paginya tidak mendapati suaminya di ranjang. Di periksanya kamar mandi barangkali suaminya ada, nihil. Dia pun bergegas turun dari lantai atas menuju dapur hingga seluruh ruangan dijelajahi tapi Fahri tetap tidak ada. Wanita itu mendengkus kesal, ingatannya kembali saat pulang dari Bali suaminya kukuh bertemu Melisa. Pasti Fahri masih betah bersama istri keduanya. [Mas, kamu nggak pulang? Apa kamu nggak kerja?] Bunyi pesan yang Nuraini kirim. Tidak lama pesannya terbalas, Nuraini mengerutkan dahinya kala membaca balasan. Alih-alih Fahri yang membalas melainkan Melisa. [Apa urusanmu? Mas fahri sudah beberapa hari denganmu, kini giliranku Mbak! Suami kita belum bangun, kecapekan tadi malam bertempur denganku] ditambah emot mengejek. [Oh ya, bukankah kamu juga menyusul ke Bali dan kalian juga bertemu diam-diam] [Jangan fitnah kamu, Mbak! Ngapain aku nyusul ke Bali, aku menunggu di rumah] [Aku ada buktinya kok, berupa foto kamu dan juga Mas Fahri yang bilang.
[Mas, nggak usah jemput. Aku udah di rumah] Nuraini mengetik pesan untuk suaminya. Dia juga masih berbaring di tempat tidur karena dirasa badannya jadi tidak enak. Berulang kali juga harus ke kamar mandi, memuntahkan isi perutnya. [Oke, Mas langsung pulang selesai kerja. Apa kamu mau nitip makanan?] balasan Fahri. [Nggak usah, aku nggak selera! Mas pulang aja, aku nggak enak badan] [Kamu sakit, Nur?] Nuraini tidak membalas lagi karena semakin pusing. Ditambah muntah terus membuat tubuhnya lemas. Di rumah sendirian tidak ada yang bisa membantunya mengambil minum. Salahnya sendiri kenapa tadi menolak tawaran Ranti. Fahri yang menunggu balasan istrinya menjadi tidak tenang. Nuraini memang jarang sakit, itupun kalo sakit dia tidak pernah mengeluh. Kali ini dia merasakan ada yang aneh. Tiba-tiba Fahri ingat mertuanya, bukankah tadi mereka pergi bersama. Lelaki itu memutuskan untuk bertanya pada Ranti. [Assalamu'alaikum, Mah! Katanya Nur nggak enak badan, dia sakit apa, Mah?] Tidak
Di tengah menunggu kabar yang tak pasti, Nuraini merenung sembari memikirkan banyak hal. Berulang kali dirinya menghela napas, mencoba mengusir beban yang bergelayut di dadanya. Kehamilan yang sekian tahun dinantikan justru tidak membuatnya bahagia. Jika saja suaminya belum menikahi Melisa, pasti anak yang dikandungnya akan disambut dengan suka cita. Nyatanya dengan hamil ini pun Fahri tetap saja menyamakan anaknya dengan anak Melisa. Salahkah dia bila berharap suaminya hanya memperhatikan dirinya dan calon bayinya. Egoiskah dia bila Fahri harus memilih antara dia dan Melisa. Tapi, semua itu tidak akan terjadi karena Bram sudah mengusir Fahri dari sisi Nuraini dan Bram juga sedang colaps di UGD. "Hai, gimana keadaanmu?" tegur sapa seseorang yang baru masuk menyentak lamunan Nuraini. Kedua netra wanita itu melirik ke arah pintu, tanpa senyum dan tatapan terkejut tampak di wajahnya. "Mas Tommy, kenapa tau aku di sini?" tanyanya dengan sedikit tak enak. Jujur, dia tak mau Tommy meli
"Assalamu'alaikum, maaf Nak! Mama baru datang," ucap Ranti ceria saat memasuki kamar rawat Nuraini. "Nggak apa-apa, Mah! Ada Mas Tommy yang menemani sejak semalam," jawabnya dengan senyum. Ranti celingukan mencari sosok yang dimaksud anaknya. Nuraini yang paham pun berkata," Mas Tommy lagi keluar, katanya dipanggil dokter terkait Papa." "Gimana keadaan Papamu?" Nuraini menggeleng, "Kita tunggu Mas Tommy aja." Wanita muda itu memperhatikan Ranti yang meletakkan tas besar. Itu pasti baju ganti untuk Bram, lalu duduk membuka termos berisi jus yang dibawanya dari rumah. Nuraini menerima gelas yang disodorkan mamanya. "Bagaimana menurutmu?" "Bagaimana apa, Mah?" tanya Nuraini heran. "Ya Tommy itu, Mama tau kalo dia itu cinta sejak lama padamu. Tapi karena kamu lebih memilih Fahri makanya Mama menghormati keputusanmu," jelas Ranti yang membuatnya terkejut. "Ehm, bagaimana ya Mah. Aini dulu hanya menganggapnya sahabat nggak lebih, sekarang pun sama. Aini tau perasaannya tapi nggak b
"Jangan lukai anakmu, anak ini benar anak Fahri tapi anak yang dikandung Melisa bukanlah anak Fahri," jelas Ranti membuat Nuraini dan Tommy kaget. "Lalu anak siapa, Mah?" "Anak yang dikandung Melisa itu anak perkosaan mantan pacarnya dulu!" "Apa, benarkah itu? Mama tau dari mana?" tanya Nuraini tak percaya. Ranti mengangguk menghela napas sebentar. "Saat di Bali itu, setelah Papamu dan Fatma ketahuan sedang bermain di kamar oleh Pak Tono. Seketika itu juga beliau menjatuhkan talak pada wanita yang menggilai Papamu. Setelah itu Pak Tono membeberkan semuanya pada Mama tentang Fatma dan juga Melisa. "Awalnya Mama juga kaget dan nggak ingin mempercayai tapi melihat bagaimana dulu kelakuan Fatma pasti menurun pada anaknya." "Kenapa baru sekarang Mama katakan, setelah Aini berkata akan menceraikan Mas Fahri?" Kini ada sedikit penyesalan dalam hati wanita yang tengah mengandung itu. "Mama rasa pun nggak akan ada pengaruh bila Fahri tau. Dia pasti nggak akan percaya pada ucapan Mama se