Badai terbangun. Ia langsung melirik jam di tangannya yang menunjukkan pukul empat pagi. Ia melihat Allura masih tertidur pulas. Badai hendak keluar ruangan dan pergi untuk membelikan beberapa roti untuk Allura. Badai pikir kalau Allura mungkin bosan dengan masakan rumah sakit. Ia pun pergi dan menyuruh seorang perawat untuk menjaga Allura selagi ia pergi. Sebelum benar-benar pergi, tentu saja Badai membersihkan dirinya terlebih dahulu.
Badai pergi ke swalayan dekat rumah sakit. Ia tidak perlu menggunakan mobilnya untuk sampai di swalayan itu. Hitung-hitung olahraga pagi dan menikmati sunrise yang indah. Sesekali Badai mengambil beberapa gambar langit yang mulai menguning itu. Hobi memotretnya tidak akan diam saja jika melihat pemandangan seindah itu. Apa lagi dengan keahlian fotografernya Badai bisa mengambil foto yang sangat memukau.
Setelah membeli beberapa roti dan juz, Badai langsung memberikannya pada
Dear Diary ....Aku tidak tahu tentang perasaanku sendiri. Aku merasa benar-benar sudah jatuhhati padanya. Tetapi aku tidak yakin akan itu. Aku takut ... takut jika cintaku akan bertepuk sebelah tangan lagi. Takut kisah cintaku kali ini pun akan gagal. Benarkah ini semua takdirku?Parahnya sekarang aku mencintai seorang lelaki yang sudah memiliki istri. Kau tahu? Dia sangat mencintai istrinya itu. Dia begitu cemasnya untuk menemukan istrinya. Ia bahkan tidak peduli akan makanan maupun wakti istirahatnya. Dan bodohnya aku, aku mengingatkan dan menemaninya layaknya seorang istri. Bahkan aku selalu memasakkan makanan untuknya beberapa hari terakhir ini.Jujur saja aku senang bisa bersamanya. Namun, aku pun merasa khawatir akan kepergian Mbak Allura. Mungkinkah ini bagian dari rencananya? Pergi selamanya tanpa berpamitan? Lalu Mas Rayan akan semakin dekat denganku dan menikah denganku? Astaga, pikiranku memang sudah gila. Tetapi kenapa ak
Rayan membukakan pintu mobil untuk Allura. Sedangkan Safiya hanya melihat kejadian itu dengan perasaan campur aduk. Rayan dan Allura duduk di bangku depan. Sedangkan Safiya di belakang. Melihat pasangan suami istri itu pasti membuatnya merasa tidak nyaman. Apa lagi suasana menjadi canggung karena tidak ada yang memulai percakapan sama sekali. Rayan tampak serius menyetir dan tidak berniat mengatakan apa pun. Sedangkan Allura dan Safiya sama-sama tidak tahu apa yang harus mereka katakan. Kejadian yang terjadi terakhir kali membuat mereka bertiga menjadi enggan untuk bicara. Takut salah bicara lalu memicu perdebatan maupun kejadian yang tidak diinginkan. Setelah melewati waktu yang terasa sangat lambat, sampailah mereka bertiga di tempat tujuan. Masih dengan hal yang sama, Rayan membukakan pintu untuk Allura dan membantunya berjalan masuk ke dalam rumah. Rayan kembali keluar untuk memarkirkan mobilnya. Ia lupa kalau masih ada mobil
Hari-hari yang menegangkan telah berlalu. Rayan dan Allura kembali menjalani hari-hari sebagai suami istri dengan bahagia. Mereka berdua sudah melupakan semua masalah yang sudah terjadi. Saling memaafkan dan kembali beraktifitas dengan penuh cinta. Rayan semakin perhatian pada istrinya, begitu pun Allura yang semakin mencintai Rayan. Tidak hanya itu, mereka berdua pun kembali memperbaiki pribadi masing-masing sebagai umat islam. Seperti pagi buta tadi, Allura membangunkan Rayan untuk sholat subuh berjamaah.Allura terbangun seperti biasa setiap jam tiga pagi. Wanita itu memang rutin bangun tanpa menggunakan alarm. Mungkin Allah memang sangat menyayanginya sehingga Allura selalu dibangunkan sebelum adzan subuh berkumandang."Sayang ... bangun, sebentar lagi azdan subuh." Allura menepuk lembut pundak suaminya. Ia mengalihkan tangannya untuk menyisir rambut Rayan menggunakan jemarinya."Mmm," gumam Rayan.
Masih dengan keadaan memar di wajah sebelah kiri --karena pukulan Rayan yang membabi buta-- Badai pergi menemui pamannya. Dia harus tahu bagaimana kondisi Allura saat ini. Apa wanita itu masih bisa bertahan. Berapa kemungkinan waktu untuk Allura bisa berada di dunia ini. Sungguh, jika mengingat keputusan bodoh Allura --menurut Badai-- dia sangat kesal. Apalagi laki-laki yang dicintai oleh Allura sangat tidak pantas mendapatkan pengorbanan sebesar itu. Lagi-lagi, ini menurut Badai.Dengan napas memburu, Badai mengetuk pintu ruangan pamannya.Tok tok tok!"Masuk!" Terdengar jawaban dari dalam sana. Badai menghela napas sebelum memutar kenop lalu mendorong benda yang terbuat dari kayu itu."Badai?" Dokter Albert cukup terkejut melihat keponakannya. Bukan karena Badai tak pernah menemuinya --justru sebaliknya-- melainkan sesuatu yang baru di wajah Badai mencuri perhatiannya. "Kenapa dengan wajahmu? Kau berkelahi?" Dokter Albert lan
Pulang dari pemotretan yang sama sekali tidak menghasilkan apa pun, Badai tidak langsung ke apartemennya, dia justru pergi ke klub malam untuk menghilangkan pikiran tentang Allura yang terus mengisi kepalanya.Kebetulan tadi ---Ibnu--- sahabat karibnya menghubungi, Badai segera membawa mobilnya untuk membelah jalanan malam Jakarta.Suara dentuman musik yang memekakkan telinga mengisi seluruh ruangan itu. Lampu kerlap-kerlip seakan menambah semaraknya malam. Semakin waktu menuju pagi, semakin meriah pula keadaannya, orang-orang yang terbiasa bergumul dalam kepenatan hidup seakan memenuhi tempat itu hanya untuk sekedar menenangkan pikiran. Termasuk Badai. Dia menatap lega saat melihat Ibnu datang lebih dulu darinya, hingga ia langsung menghampirinya."Bro! Sudah lama?!" tanyanya sambil memukul pelan punggung Ibnu dengan suara yang cukup keras.Ibnu menoleh sebentar lalu tersenyum dan menyambut uluran tangan Badai."Belum l
Karena Ibnu tahu Badai sudah sangat mabuk, dia memutuskan berhenti minum saat kesadarannya masih ada. Karena itu, ketika Badai sudah benar-benar teler, dia membawa temannya itu untuk pulang. Mencari kunci mobil Badai, Ibnu segera mengambil alih kendaraan beroda empat itu. Dia sengaja menelepon sopir bayaran untuk mengantar mobilnya sendiri ke rumahnya. Dalam perjalanan pulang, dia melihat Badai setengah tidur. Jalanan malam cukup lengang hingga tak ada kendala berarti untuk mereka segera sampai di apartemen milik Badai. Namun, saat memasuki apartemen itu, Badai menolak saat Ibnu hendak memapahnya ke dalam kamar, dia meminta duduk di sofa ruang tamu saja. Maka dengan baik hatinya, Ibnu melakukan itu. Dia juga segera mengambilkan Badai air putih di dapur. Sayangnya, saat dia kembali Badai tengah sibuk mengotak-atik ponselnya hingga mengabaikan Ibnu. Entah apa yang tengah dia lakukan, yang pasti Ibnu pikir Badai sudah baik-baik saja. "Badai
Allura baru saja mengantar suaminya ke depan rumah untuk berangkat kerja setelah menyiapkan serta menemaninya sarapan. Sebagai istri yang baik, dia memeluk serta mencium punggung tangan Rayan hingga membuat suaminya memberikan kecupan sayang di dahinya. "Mas, berangkat dulu ya, Sayang?" Allura mengangguk lalu melambaikan tangan saat mobil Rayan membawanya meninggalkan pekarangan rumah mereka. Dengan wajah sendu, Allura memasuki rumah kembali. Lalu dia mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang, tapi notifikasi yang ia lihat pertama kali adalah pesan dari Badai. Allura mengernyit, namun dia mencoba untuk membukanya. Terdapat banyak sekali permintaan maaf dari Badai yang mengatakan bahwa laki-laki itu tidak bermaksud apa pun dengan mengirimkan chat serta voice note. Semalam dia sedang mabuk hingga mengirim pesan tidak jelas. Yang membuat Allura tiba-tiba tersenyum adalah, penjelasan Badai yang mengatakan jika
Setelah makan siang bersama, Allura mengajak Safiya untuk salat dzuhur di masjid yang tak jauh dari kafe. Karena Safiya memang belum sempat melakukan kewajibannya sebagai umat muslim itu, dia mengangguk setuju. Saat ini sepertinya dia memang butuh mengadu pada sang pemilik hati agar hatinya yang sedang dilema saat ini menemukan titik terang. Duduk bersimpuh di atas sajadah dengan mukena yang selalu dia bawa dalam tasnya, Safiya meminta pada pemilik hati agar bisa mengatakan kejujuran pada Allura. Meskipun semua ini terjadi atas permintaan wanita itu sendiri, namun, hati Safiya adalah miliknya. Jadi, dia yang sudah lancang jatuh hati pada Rayan merasa bersalah pada Allura. Seusai berdo'a, Safiya menoleh pada Allura yang juga sudah melakukan hal yang sama. Wanita itu bahkan menyeka air matanya lalu membalas tatapan Safiya. Sontak saja, Safiya bersimpuh di lutut Allura sambil menangis. Dia tak peduli jika jama'ah lain di ma