"Zahra kenapa kok makanannya enggak habis hm?" Tanya Fatih sambil meletakkan sepotong pizza lagi ke piring Zahra. Fatih memang sudah pulang dari luar negeri, dan dirinya langsung bertandang ke rumah Bani.
"Makan lagi sayang, nih tambah lagi" ucap Fatih. Zahra hanya menggelengkan kepalanya. "Zahra udah kenyang om" tolak Zahra lembut. Zahra lalu menatap ke arah bunda yang tengah menyuapi adiknya. "Bun, aku pamit masuk dulu ya" ucapnya kepada sang bunda, lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan Fatih, Ana dan juga Athar yang menatap punggung Zahra dengan tatapan yang sulit di artikan. Tidak lama Bani yang dari toilet menghampiri dan langsung bergabung bersama dengan mereka. "Zahra-nya kemana? Belum pulang dari kampus?" Tanya Bani. "Zahra di kamarnya. Baru juga pulang dari kampus, entah kenapa, makan juga enggak habis" sahut Ana sedikit risau dengan tingkah Zahra yang tiba-tiba aneh. "Pasti ini gara-gara kamu kan Fatih, his kamu sih buat anak gadis saya badmood saja" seru Bani menatap sinis ke arah Fatih. Fatih memutar bola matanya jengah. Lalu beranjak dari duduknya "Nggak ya, jangan asal nuduh kamu" sahutnya. Lalu Fatih menatap ke arah Athar yang sudah selesai makan pizza nya. " Thar, main sama om yuk," ajaknya dan langsung mendapatkan anggukan dari Athar. Fatih langsung pergi dengan Athar meninggalkan Ana dan juga Bani. "Mas ini, enggak enak sama pak Fatih, kalau dia tersinggung gimana?" Seru Ana dengan bibir yang mengerucut sebal. Bani berdecak. "Enggak lah sayang, dia mana tersinggung. Kamu juga tau, mas udah biasa sama Fatih berdebat." Sahut Bani santai, bahkan tangannya sibuk meraih gagang gelas yang berisi kopi hangat yang telah di buat oleh istrinya tadi, lalu menyesapnya perlahan. Ana hanya mengedikkan bahunya acuh, "Yaudah mas makan, habis itu temenin pak Fatih, kasihan dia jauh-jauh dari Sydney berkunjung kemari, malah di cuekin" ucap Ana, dan Bani menganggukkan kepalanya. "Siap bu bos" Ana tersenyum tipis melihat tingkah suaminya itu. • • • Di dalam kamarnya, Zahra berulang kali tersenyum miris, meratapi takdirnya. Dirinya sering sekali menolak banyak pria, namun sekalinya jatuh cinta, Zahra malah menoreh luka yang sangat mendalam. Zahra harus di patahkan oleh sebuah kenyataan yang sangat menyakitkan. Air matanya yang sedari tadi di tahan olehnya tidak mampu dirinya tahan lagi. Di dalam kamarnya yang gelap ini, hanya ada cahaya lampu tidur saja, Zahra terisak tanpa suara. Dirinya benar-benar harus melupakan cintanya. Pria yang sudah lama di kagumi secara diam-diam olehnya itu. Cinta yang selama ini dirinya pendam, untuk seseorang yang tidak pernah dirinya gapai sampai kapanpun. Karena takdir, bahwa pria yang di cintai olehnya sudah mempunyai istri. Dan Zahra tidak akan pernah mau merebut suami orang ataupun merusak rumah tangga orang sekalipun ada harapan.. Biarlah, perasaan itu perlahan hilang, walaupun sangat sulit bagi Zahra, karena ini kali pertama bagi dirinya merasakan jatuh cinta. Namun Zahra akan selalu berdoa, semoga saja dirinya dapat menghilangkan rasa cinta yang ada di dalam hatinya untuk pria itu. Zahra menarik selimut yang ada di bawah, hingga menutup ke lehernya, Zahra mulai memejamkan kedua bola matanya yang sudah sembab. "Semoga, aku bisa melupakanmu" • • • • • • Beberapa hari kemudian, hari di lewati oleh Zahra dengan penuh suka dan duka, dirinya berusaha dengan keras melupakan dosennya itu, bahkan Zahra terkesan menghindari dosennya, dan itu semakin membuat Abian penuh tanda tanya dengan sikap Zahra. Hari ini, karena Zahra sangat kelelahan, sebab dirinya kemarin mengajak Athar adiknya ke mall, jadilah paginya Zahra sampai telat bangun, dan alhasil diri nya harus buru-buru pergi ke kampus. Karena pagi-pagi Zahra sudah ada kelas. Mana kelas nya pak Abian lagi. Dosen galaknya itu. Jika telat semenit saja, sudah Zahra pastikan jika dirinya akan di hukum oleh pria itu. "Zahra kamu sarapan dulu sayang" ucap bunda Ana sambil menyuapi Athar makan, ya walaupun Athar itu sudah sekolah 6 SD, tapi manjanya enggak ketulungan, bahkan sangat manja, Bani saja kadang sampai kesal di buatnya. Kadang malam juga Athar tidur bersama sang bunda. Zahra menggelengkan kepalanya, " Bun, aku udah telat." Sahutnya, lalu meraih tangan Ana dan Bani bergantian dan menyalaminya. " Tapi nanti kamu--" "Nanti Zahra sarapan di kantin kampus Bun, Zahra pamit dulu ya Bun, ayah, adek" pamit Zahra. Namun sebelum pergi, tidak lupa zahra mencubit gemas pipi adiknya itu, membuat Athar menggeram kesal. "Kak Zahra!!" Pekik Athar. Zahra terkekeh geli. Lalu berlari keluar dari rumah, menuju mobil. • • • Karena Zahra terburu-buru, jadi Zahra mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, meliuk-liuk di jalanan beraspal itu, sambil melirik ke arah jam tangannya. "Ya ampun udah telat 5 menit lagi, aduh bisa kena hukuman aku sama pak Abian" gerutu Zahra. Namun siapa sangka jika tiba-tiba hujan turun, membuat Zahra menghembuskan nafasnya kasar. "Yah hujan lagi" ucap Zahra. Karena buru-buru dan masih mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, Zahra sampai tidak sadar, ada mobil yang juga melaju cepat dan berlawanan arah dengan dirinya. Zahra yang baru menyadari langsung membanting stir dan..... Brukkkkkkk Kecelakaan itu tidak dapat di hindari. Untung mobil milik Zahra menabrak pohon, dan Zahra masih sadarkan diri. Hanya kepalanya saja yang mengeluarkan sedikit darah. Zahra memegangi kepalanya yang pusing. Tapi dirinya bukan wanita cengeng, Zahra masih bisa menahannya. Zahra buru-buru turun dari dalam mobil, dan melihat mobil milik seseorang yang juga rusak parah, tapi keadaan mobilnya lain, mobil tersebut terbalik. Dan Zahra melihat sekumpulan asap yang mengepul dari mobil tersebut. Melirik ke kanan dan ke kiri, jalanan itu tampak sangat sepi, memang jalanan yang di lalui Zahra itu sepi, itu jalan yang biasa dirinya gunakan kalau buru- buru berangkat ke kampus, dan bisa di pastikan oleh Zahra jika jalanan ini jarang di lalui oleh orang. Dengan langkah yang tertatih, Zahra berjalan menuju ke mobil itu, lalu memekik ketika melihat seorang wanita yang tengah merintih kesakitan, tubuhnya terjepit mobil. Dengan segenap kekuatannya, Zahra memukul dan menarik handle pintu mobil dan langsung membukanya. Wanita itu menatap ke arah Zahra. "Mbak, bertahan ya" ucap Zahra. Wanita itu hanya menganggukkan kepalanya, lalu Zahra menarik wanita itu sekuat tenaganya. "Aaaaaa" "Sssss sakit" "Mbak, sabar ya sebentar lagi" ucap Zahra. Wanita itu teriak kesakitan, Zahra menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Bingung juga, namun Zahra harus mengeluarkan wanita itu, karena asap mobil itu semakin banyak. Tepat setelah Zahra berhasil mengeluarkan wanita tersebut, dan memapahnya menjauh dari mobil, dan saat itu juga mobil tersebut meledak. Buuummmm Zahra sampai memejamkan matanya, dengan jantung yang berdebar menyepat. Sungguh, hal yang sangat mengerikan. Hujan membasahi tubuh keduanya, sampai.. Zahra terpekik, lalu tubuhnya limbung ketika wanita itu sudah jatuh pingsan di dalam rangkulannya.Langkah Delia dan Azzam semakin terseok. Nafasnya berat, dada serasa terbakar karena berlari tanpa henti. Namun setiap kali ia ingin berhenti, teriakan pria di belakang tadi terngiang—“Kami akan menemukanmu… kau akan menyesal dilahirkan!”“Dokter…” Delia membantu menopang tubuh Azzam yang makin lemah. “Kita… mau ke mana? Kita nggak mungkin bertahan kalau terus begini.”Azzam menghela napas panjang, menahan nyeri di perutnya yang terus mengucurkan darah. “Ada… pondok… tua di ujung bukit ini. Kalau kita bisa sampai sana, kita… mungkin bisa bertahan.”Delia menatapnya sekilas, melihat wajah pria itu pucat pasi. Dia sudah kehilangan terlalu banyak darah.“Dokter, kita harus berhenti. Kita cari tempat aman dulu!”Namun Azzam menggeleng lemah. “Kalau kita berhenti di sini… mereka akan menemukan kita.”Delia menggigit bibir, menahan tangis yang hampir pecah. Ia tidak tahu lagi mana yang benar. Ia tidak tahu apakah mereka akan selamat.Langkah demi langkah mereka lanjutkan hingga akhirnya seb
Lantai kayu rumah tua itu berderit pelan di bawah tubuh Delia yang terduduk gemetar. Ia masih bisa merasakan bau besi dari darah Azzam yang menempel di tangannya. Meski ia telah menggosoknya di kain lusuh yang ia temukan di dekat pintu, rasa itu seakan menempel di kulitnya.“Dokter… tolong bertahan,” bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada siapa pun.Napasnya masih terengah, jantungnya seolah memukul tulang rusuk dengan keras. Keringat dingin mengalir dari pelipisnya meski udara di rumah tua itu menusuk dingin. Semua terasa salah. Terlalu sunyi. Bahkan jangkrik pun seakan menolak bersuara.Delia mencoba memfokuskan pandangannya. Rumah ini besar, mungkin bekas villa zaman kolonial. Jendela-jendelanya tinggi, sebagian pecah, sebagian ditutupi kain lusuh yang sudah berdebu. Di sudut ruangan, ada perapian tua yang sudah lama tak digunakan, hanya menyisakan abu hitam mengeras. Bau apek menyeruak, bercampur aroma kayu lapuk.Ia merangkak ke jendela, mencoba mengintip ke
Delia berlari menembus hutan Bukit Melati. Angin menusuk tulangnya, ranting-ranting mencakar kulit, dan tanah licin membuatnya hampir terjatuh beberapa kali. Napasnya terengah, jantungnya berdegup begitu cepat seolah hendak meledak.Di belakang, suara langkah kaki masih terdengar. Mereka mengejarnya."Tolong… Tuhan, tolong aku…" Delia hanya bisa berdoa di antara deru napas dan tangisnya.Tiba-tiba, sebuah tangan menariknya ke samping dengan kasar.“SSSTT!”Delia hendak berteriak, tetapi suara itu menutup mulutnya dengan cepat. Saat ia menoleh, matanya membulat.“Dokter… Azzam?!”Ya. Di hadapannya, sosok pria dengan jas hitam panjang, wajahnya basah oleh keringat dan bercampur lumpur. Namun kali ini ia tidak tampak seperti dokter yang ia kenal—mata Azzam tajam, penuh kewaspadaan, dan tangannya menggenggam pistol kecil berperedam.“Diam,” bisiknya singkat. “Kalau mau hidup, ikut aku.”Delia masih syok. Apa yang dilakukan Azzam di sini? Bagaimana dia bisa tahu?Namun sebelum sempat berta
Angin malam di Bukit Melati mengamuk, menghantam pepohonan dan membuat ranting-ranting saling beradu menimbulkan bunyi yang menakutkan. Delia berdiri terpaku di ambang pintu, napasnya berat, menatap pria berambut putih keperakan itu. Cahaya lampu redup dari dalam rumah menyorot wajahnya, mempertegas guratan luka panjang di bawah mata kanan—ciri yang disebutkan Bu Rosmi.Dia… pria itu.Pria yang menggendongnya ketika bayi. Pria yang meninggalkannya di panti.Pria yang kini, tanpa ragu, mengaku sebagai ayahnya.Delia menelan ludah, mencoba mengeluarkan kata, namun tenggorokannya terasa terkunci.“Kenapa…” suaranya akhirnya keluar, lirih. “Kenapa kau membuangku?”Pria itu—yang belum menyebutkan namanya—hanya diam sesaat, lalu melangkah masuk ke dalam rumah, seolah mengundang Delia ikut masuk.“Jika kau ingin tahu kebenarannya,” katanya datar, “maka duduklah. Dan jangan lari.”Delia menatap ke arah bukit gelap di belakangnya. Sejenak ia mempertimbangkan untuk pergi—tapi ia tahu, jika ia m
Malam di rumah besar itu kembali sepi, nyaris sunyi, seolah menelan segala getaran emosi yang baru saja meledak beberapa jam sebelumnya. Angin berhembus dari sela-sela dedaunan di halaman, menggesekkan ranting pada kaca jendela kamar Nadira yang kini ditempati Delia. Di luar pagar, sosok misterius itu masih berdiri. Hanya bulan dan bintang yang menjadi saksi bisu keberadaannya. Ia tidak bergerak, hanya menatap... menunggu. Sementara itu di dalam kamar, Delia masih terjaga. Tubuhnya menyandar di kepala ranjang, selimut menutupi kaki hingga ke perut. Mata menatap kosong ke langit-langit kamar yang menyimpan begitu banyak kenangan. Ia membayangkan, mungkin Nadira pernah duduk di tempat yang sama, mungkin pernah menangis, atau tertawa. Tapi kenapa wajahnya begitu identik? Apa ini hanya kemiripan genetik, atau lebih dari itu? Ia mengingat percakapan siang tadi bersama Bu Zahra dan dokter Azzam. Ada banyak hal yang belum terjawab. Dan yang paling membuat pikirannya tak tenang adalah kali
Delia masih terduduk mematung di ujung ranjang kecilnya. Surat yang ditulis tangan itu tergeletak di pangkuannya, kalung emas dengan liontin huruf “N” masih menggantung setengah dari jari-jarinya yang gemetar. Seolah dunia berhenti berdetak, kecuali degup jantungnya sendiri yang terdengar begitu kencang di telinganya.Foto itu... bukan hanya mirip.Itu dirinya.Atau... seseorang yang persis seperti dirinya.Namun lebih dari itu—yang membuat kepalanya seolah mau pecah adalah fakta bahwa tanggal lahir yang tertulis di balik foto itu identik dengan tanggal lahirnya sendiri. 16 Februari 2000.“Ini gak mungkin... Ini pasti cuma... kebetulan?” gumamnya pelan.Tapi suara hatinya membantah keras. Sebab dalam hidupnya yang penuh ketidakpastian, Delia tahu—beberapa hal terlalu tepat untuk sekadar disebut kebetulan.Langkah kaki tergesa terdengar mendekat. Buk Retno menyibakkan tirai kamar dan memandang Delia dengan khawatir. “Kamu belum tidur, Le?”Delia buru-buru menyembunyikan kalung dan sura