Rembulan merangkak, malam kian bertambah malam. Dua insan anak manusia berjalan di bawah pekatnya malam. Sedari tadi keduanya hanya menyusuri jalanan desa, tanpa arah tanpa tujuan. Mulut terkatup sempurna. Baik Ahava maupun Tuan Dirgantara sama sekali tidak membuka suara sekedar membahas tujuan selanjutnya. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesekali suara burung gagak mengisi kesunyian malam, menjadikan sunyi malam kian mencekam.
Tuan Dirgantara meringis. Luka sayatan di area perutnya kian terasa nyeri akibat dibawa berjalan sedari tadi. Menunduk dan memegangi area perut yang terasa kian sakit, Tuan Dirgantara hampir saja limbung akibat tidak kuasa menahan rasa sakit. "Astaga, Tuan!" pekik Ahava. Ahava menahan lengan Tuan Dirgantara. Susah payah Ahava membawa tubuh kekar dan berat itu ke trotoar. Mendudukkannya di sana. "Maafkan aku, Tuan. Aku hampir saja lupa kalau kamu sedang terluka. Pasti sangat sakit ya dibawa berjalan sedari tadi?""Sudah tahu tanya," ketus Tuan Dirgantara."Darahnya sudah merembes, Tuan. Ini harus dibawa ke rumah sakit," panik Ahava. "Pinjam ponselmu!""A-aku tidak mempunyai ponsel, Tuan."Kalau saja tidak sedang menahan rasa sakit, pastilah Tuan Dirgantara marah besar. Menahan gemuruh di dalam dada, menjambak rambutnya sendiri akibat frustasi, Tuan Dirgantara hanya bisa mengumpat di dalam batinnya. Tuan Dirgantara sama sekali tidak habis pikir, bagaimana bisa di zaman secanggih ini masih ada orang yang tidak memiliki ponsel. Kalau sudah seperti ini harus bagaimana? Padahal ponsel tersebut akan Tuan Dirgantara gunakan untuk meminta bantuan kepada orang-orangnya. Sementara Tuan Dirgantara dan Ahava merenungi nasib mereka, di balik pohon seberang jalan terdapat seorang lelaki yang tengah memata-matai sepasang suami istri baru tersebut. "Nyonya, Tuan Dirgantara diarak warga dan dipaksa menikahi gadis yang menolongnya.""Ha ha ha... Bagus. Berita yang membahagiakan.""Oh ya, Nyonya, Tuan Dirgantara sepertinya sudah terkulai lemas. Dari tadi beliau berjalan dengan menahan rasa sakit akibat luka sayatan itu.""Sekarang kamu tolong dia. Berikan bantuan untuknya!""Siap, Nyonya, laksanakan."Lelaki dengan hodie berwarna hitam berlari menuju tempat di mana mobilnya terparkir. Menghidupkan mesin dan menjalankan kemudi. Melihat mobil sedan melintas ke arah mereka, netra Ahava tampak berbinar. Secercah harapan muncul. Ahava melambaikan tangannya. Berharap mobil tersebut berhenti dan memberikan pertolongan. "Ada yang bisa dibantu, Nona?" tanya seorang lelaki dari dalam mobil dan membuka setengah kaca mobilnya. "Suami saya sedang terluka. Saya minta tolong antarkan kami ke rumah sakit ya," pinta Ahava. "Baik, silakan masuk!" ucapnya seraya membuka pintu mobil. Ahava tergopoh menghampiri Tuan Dirgantara. Tanpa sadar senyuman menghiasi wajah cantiknya. Sebentar lagi suaminya itu akan mendapatkan pertolongan. Perasaan Ahava menjadi lega karenanya. "Ayo, kita harus ke rumah sakit!"Meraih tangan kokoh Tuan Dirgantara, Ahava hendak memapah Tuan Dirgantara. "Lepas! Aku bisa jalan sendiri," sentak Tuan Dirgantara. Mau tidak mau, Ahava terpaksa melepaskan tangan kokoh Tuan Dirgantara. Ahava berjalan di belakang suaminya persis. Layaknya seorang ibu yang menjaga putranya ketika sedang latihan berjalan. "Apa saya boleh meminjam ponselmu?" tanya Tuan Dirgantara pada lelaki yang menolongnya. "Boleh, Tuan. Ini!""Hallo, Max. Cepat susul aku ke internasional hospital!""Siapa yang sakit, Tuan?" tanya Max."Jangan banyak tanya. Cepat ke rumah sakit sekarang!"Tut... Tut... "Hallo, Tuan... Arghhh, sial! Selalu saja begitu," gerutu Max.Tuan Dirgantara dibawa ke recovery room. Luka sayatannya ternyata cukup dalam dan mengharuskan adanya jahitan untuk menutupnya. Dada naik turun, napas tidak beraturan. Max berlarian ke ruang operasi. Didapatinya seorang lelaki dan perempuan di depan ruangan itu. "Apa benar Tuan Dirgantara di dalam?" tanya Max."Ya," balas lelaki hodie hitam. "Kamu siapa?" tanya Max kepadanya. "Saya yang menolongnya.""Oh, terima kasih banyak sudah menolong Tuan Dirgantara.""Sama-sama, Tuan.""Kalau kamu?" tanya Max memindai wajah cantik Ahava. Tergugu, Ahava sendiri bingung harus berkata apa. Hendak mengatakan bahwa dia istri dari Tuan Dirgantara, tetapi takut tidak diakui oleh suaminya sendiri. "Dia istrinya," balas lelaki hodie hitam. Max tertawa sumbang. "Ha ha ha... Jangan bercanda kamu.""Saya sedang tidak melawak, Tuan," kesal lelaki hodie hitam. "Tahu dari mana kamu kalau dia istri Tuan Dirgantara?" tanya Max menyelidik. "Tadi, Nona ini yang mengatakannya sendiri."Max menepiskan tangan ke udara. "Halah... Zaman sekarang banyak yang mengaku-aku. Lagipula, wanita mana yang tidak mau bersanding dengan Tuanku.""Siapa yang mengaku-aku, Max?"Suara lantang Nyonya Esme menarik atensi ketiganya, terlebih Ahava. Menoleh ke sumber suara, Ahava memandangi wanita paruh baya dengan penampilan glamour itu. "Wanita ini, Nyonya." Max menunjuk Ahava. Selama beberapa detik, kedua sorot mata mereka saling bertemu di satu garis lurus. Ahava bisa merasakan betapa tajam sorot mata wanita paruh baya di hadapannya ini. Tidak kuat ditatap sedemikian lekat, Ahava mengalihkan pandang. Nyonya Esme masih betah memandangi Ahava. Memindai penampilan Ahava dari atas ke bawah. Tanpa Ahava ketahui, Nyonya Esme memulas senyum samar di bibir bergincu merahnya. "Benarkah kamu istri dari putraku?" tanya Nyonya Esme. Menundukkan kepala, Ahava mengangguk samar. Tidak berani Ahava menjawab dengan gamblang. Ketakutan teramat besar sedang menyertainya. Bagaimana kalau keluarga besar Tuan Dirgantara tidak dapat menerima dirinya?"Ayo ikut aku!"Nyonya Esme menarik pergelangan tangan Ahava. Membawanya ikut serta ke ruang dokter kandungan. "Mengapa kita ke sini, Nyonya?" tanya Ahava heran. "Sudah ikut saja. Jangan banyak bicara!" ketus Nyonya Esme. Setelah melakukan pemeriksaan, senyum Nyonya Esme terus terkembang. Hatinya begitu berbunga mengetahui rahim Ahava dalam keadaan sehat dan siap untuk dibuahi. "Kamu harus cepat hamil. Aku sudah tidak sabar untuk menimang cucu," ucap Nyonya Esme. 'Apa itu artinya, Nyonya ini menerimaku sebagai menantunya?' batin Ahava.Ahava dan Nyonya Esme kembali ke recovery room. Operasi Tuan Dirgantara sudah selesai dilakukan. Pintu terbuka, dokter yang baru saja menangani Tuan Dirgantara keluar dari sana. "Bagaimana keadaan putraku, Dok?" tanya Nyonya Esme. "Kondisi Tuan Dirgantara sudah membaik, Nyonya. Luka sayatan di perutnya sudah kami jahit. Sebentar lagi perawat akan memindahkan beliau ke ruang perawatan.""Ya, terima kasih.""Sama-sama, Nyonya Esme. Kalau begitu saya permisi dulu."Perasaan penuh kelegaan memenuhi rongga dada. Penuh syukur Ahava ucapkan pada Tuhan, karena telah berbaik hati memberikan pertolongan kepada suaminya. Tuan Dirgantara terbaring di atas brankar. Dua orang perawat mendorongnya, membawa Tuan Dirgantara ke ruang perawatan. "Kejarlah suamimu, dampingi dia!" perintah Nyonya Esme. Menganggukkan kepala, Ahava berlari kecil guna menyejajarkan langkah kakinya dengan ranjang dorong tersebut. Setelah memastikan berbagai macam alat medis terpasang sempurna, perawat membungkukkan badan menghadap Nyonya Esme. "Kalau sudah tidak ada yang diperlukan, kami pamit undur diri, Nyonya," ucap salah seorang perawat. "Ya, terima kasih," balas Nyonya Esme. Sisa obat bius nampaknya mulai hilang. Kesadaran Tuan Dirgantara berangsur kembali. Kedua kelopak matanya perlahan terbuka. Menyesuaikan cahaya di sekitarnya. "Bagaimana ceritanya bisa seperti ini, Tuan?" tanya Max begitu sang juragan sadarkan diri. "Diamlah, Max! Putraku butuh istirahat. Tidak bisakah pertanyaanmu itu disimpan untuk besok saja?" kesal Nyonya Esme. Max menundukkan kepala. "Maafkan saya, Nyonya," ungkapnya penuh penyesalan. Saat Max hendak undur diri, Tuan Dirgantara membuka suara. "Aku dirampok, Max," cerita Tuan Dirgantara. Max berbalik arah. Memandang sang juragan dengan sorot mata penuh kekhawatiran. "Hah? Di mana, Tuan?""Di jalanan desa tempat aku melakukan peninjauan tanah untuk pembangunan hotel baru.""Maafkan saya, Tuan. Seharusnya saya mengawal Tuan. Mungkin ini semua tidak akan terjadi," sesal Max. "Sudahlah, Max. Lagipula kamu juga disibukkan dengan urusan lain."Saat Max hendak menanyakan status Ahava, Renata dan Olivia masuk ke dalam ruang perawatan. Keduanya berhambur memeluk tubuh Tuan Dirgantara secara bersamaan. "Sayang, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa bisa berakhir di rumah sakit seperti ini?" tanya Renata penuh kekhawatiran. Belum sempat Tuan Dirgantara menjawab pertanyaan Renata, Olivia sudah lebih dulu membingkai wajah tampan suaminya itu. Memalingkannya agar tidak bersitatap dengan Renata. Sontak, atensi Tuan Dirgantara hanya tertuju pada Olivia."Kamu tidak apakan, Baby? Mana saja yang sakit? Biar aku usap ya supaya cepat sembuh," ucap Olivia. "Aku tidak apa-apa," balas Tuan Dirgantara datar. "Re..." panggil Tuan Dirgantara. Meraih jemari lentik Renata, Tuan Dirgantara menelusupkan jemari kokohnya di sana. Membuat kedua jemari itu bertautan. "Peluk aku sekali lagi, Sayang. Yang tadi tidak berasa," manja Tuan Dirgantara. Renata tidak sungkan memeluk tubuh kekar suaminya dan memamerkan kemesraan mereka di depan banyak orang. Sementara Olivia, mundur perlahan. Sadar bahwa bukan dirinya yang diinginkan oleh Tuan Dirgantara. Olivia melirik sekilas ke arah Max dan mencebikkan bibirnya. Ahava sendiri masih tidak paham dengan situasi yang terjadi. 'Mengapa dua wanita ini memeluk suamiku? Siapakah mereka sebenarnya?'"Ehm..." Nyonya Esme berdehem. "Sepertinya kalian berdua terlalu nyaman berpelukan sampai tidak sadar bahwa ada banyak orang di sini," sindir Nyonya Esme. Dengan terpaksa, Renata melepaskan pelukannya. Sadar bahwa Nyonya Esme sangat tidak menyukainya. Apalagi, saat sedang bermesraan dengan Tuan Dirgantara seperti ini. "Siapa namamu?" tanya Nyonya Esme berbisik."Ahava, Nyonya," balas Ahava tidak kalah lirih. "Ya, Ava. Sana, peluk suamimu itu!" perintah Nyonya Esme. "Ta-tapi, Nyonya," ucap Ahava ragu. "Renata, menyingkir kamu!" sentak Nyonya Esme. Mendorong tubuh Renata agar menjauh dari Tuan Dirgantara. "Ma!" peringat Tuan Dirgantara. Sangat tidak suka dengan perlakuan sang mama terhadap istri pertamanya. "Jangan lupakan istri barumu, Dirgantara. Dia juga harus kamu sayangi. Jangan hanya mengumbar kemesraan dengan Renata saja.""Maksud Mama, Olivia? Bukankah tadi dia juga sudah memeluk Mas Dirga?" cicit Renata. Nyonya Esme terbahak. Entah mengapa ucapan Renata menggelitik sanubarinya. "Ha ha ha... Olivia dan kamu itu istri lama. Kalian berdua sudah kadaluarsa tahu," ejek Nyonya Esme. "Ma, sudahlah. Jangan membuat keributan di rumah sakit!" peringat Tuan Dirgantara."Ayo, Ava, ke sini!" perintah Nyonya Esme. Menunduk dan terus menunduk, Ahava berjalan perlahan menuju tempat pembaringan Tuan Dirgantara. Mematung dan berdiam diri di sisi brankar. Rasa canggung menelusup ke dalam hatinya. Tidak mungkin juga Ahava langsung memeluk Tuan Dirgantara seperti yang baru saja dilakukan oleh Renata dan Olivia. Bisa-bisa Tuan Dirgantara akan memaki-maki dirinya habis-habisan.Cukup lama Ahava bergeming, membuat Nyonya Esme kesal saja. Mendekati Ahava, Nyonya Esme mendorong tubuh mungil itu hingga menubruk dan menindih tubuh Tuan Dirgantara. Sejenak, keduanya saling bersitatap. Entah mengapa, ada letupan kecil yang menyelinap di hati Ahava. Lalu, keduanya saling membuang pandang. "Mama apa-apaan sih? Sakit tahu," sembur Tuan Dirgantara. "Makannya dipeluk istrimu itu. Jangan hanya didiamkan saja. Kamu juga, Ava. Jangan kaku-kaku begitulah sama suami sendiri," omel Nyonya Esme. "Istri? Maksud, Mama?" tanya Renata memperjelas. Nyonya Esme merangkul tubuh mungil Ahava. Menunjukkan kedekatannya dengan istri baru putranya. "Perkenalkan, dia Ahava. Istri baru Dirgantara," ucap Nyonya Esme. Sontak, Renata dan Olivia terlonjak. Netra keduanya terbelalak. Menyangkal bahwa yang dikatakan mertuanya itu tidak benar. "Jangan bercanda, Ma!" ucap Olivia. "Siapa yang bercanda, hah? Status Ahava sama seperti kalian. Dia istri Dirgantara," jelas Nyonya Esme. Mendengar ucapan Nyonya Esme, dada Renata dan Olivia menjadi sesak. Tidak hanya mereka berdua, Ahava pun merasakan sesak memenuhi rongga dada, membuat napasnya tersengal. 'Jadi, mereka berdua istri Tuan Dirgantara? Lalu, aku?' batin Ahava kalang kabut. Memandang nanar Nyonya Esme, Ahava memberanikan diri bertanya. "Ja-jadi, aku... aku... Istri ketiga dari Tuan Dirgantara, Nyonya?""Bagaimana Mas, apa sudah dapat rumahnya?" tanya Renata pada sambungan telepon. "Ya, aku juga sudah menyelesaikan pembayarannya. Kamu tinggal tandatangani saja akta jual belinya.""Aaaa... Thank u, Sayangku... Kamu memang terbaik." Sorak riang Renata. "Besok mau temani aku ke sana?" tanyanya kemudian. "Ke sanalah sendiri, Re. Pekerjaanku tidak bisa ditinggal.""Baiklah... Baiklah... Aku tidak akan memaksamu, Sayang.""Sudah ya, aku kerja dulu.""Hm... Byee, Sayangku..."Tersenyum kecut, Tuan Dirgantara merasa tak ubahnya seperti seekor rubah licik. "Sorry, Re. Caraku mungkin memang terlalu licik dan kamu akan kecewa kalau tahu, tapi aku tidak punya cara lain lagi."***"Hai, Re... Lama tidak bertemu ya?" sapa Antony ramah. "Iya juga ya... Aku baru tahu loh kalau seorang CEO sepertimu turun langsung mengurusi customernya.""Spesial karena kamu istri temanku."Setelah 30 menit berkendara, akhirnya keduanya sampai di rumah baru Renata. "Nah, ini dia rumahnya. Apa kamu suka?"Renata
"Liv, tolong tanda tangani berkas ini!""Apa itu, Baby?""Lembar persetujuan untuk mengesahkan pernikahanku dengan Ava," jawab Tuan Dirgantara terlampau jujur. "Kenapa harus disahkan segala? Kamu mencintainya?" selidik Olivia. Tuan Dirgantara menggaruk tengkuknya, merasa salah tingkah seketika. Lantas, dia segera menguasai keadaan. "Bukan itu. Aku sudah terlanjur berjanji dengan Mama."Olivia mengetuk-ketukkan telunjuk di dagunya. Menimbang baik dan buruknya bila memberi persetujuan. "Apa yang akan kudapat kalau menyetujuinya?" tanya Olivia mencoba bernegosiasi. "Apa saja yang kau mau akan kukabulkan, Baby."Nah, ini yang Olivia suka dari suaminya. Kalau begini kan tidak ada yang dirugikan, win win solution istilahnya. "Baiklah, berhubung kita tidak lagi tinggal di mansion, jadi aku minta dibelikan rumah dua lantai. Ingat, atas namaku!""Oh ya, aku juga tidak mau kalau nantinya rumah itu ditinggali oleh kedua istrimu yang lain.""Oke. Apapun untukmu, Baby."Benar bukan pemikiran
"Di depan ada ribut-ribut ya?" kepo salah seorang pelayan. "Emm... Tuan dan Nyonya besar sedang terlibat pertengkaran," balas pelayan lainnya. "Hah, yang benar?" ucapnya tak percaya. "Lihat saja sendiri kalau tidak percaya.""Nggak ah, sayang nyawaku. Bisa digorok sama Nyonya besar nanti kalau ketahuan kepo.""Tahu nggak apa penyebabnya?" ujarnya mulai julid. "Apa memangnya?""Nona Ava.""Hust... Jangan ngawur kalau bicara! Bisa kena hukum kamu kalau Nyonya besar tahu.""Serius, aku ndak bohong. Ini semua memang karena Nona Ava. Sebelum Nona ada di sini, apa pernah Tuan dan Nyonya besar bertengkar sampai melibatkan bodyguard? Endak to? Palingan juga adu mulut aja," ucapnya sembari melirik sana sini, takut ada yang mendengar ucapannya. Mendengar kasak-kusuk dari beberapa pelayan, Ahava menjalankan laju kursi rodanya. Menatap nanar pertengkaran ibu dan anak itu dari kaca jendela kamarnya. Netra Ahava memanas. Merasa sedih sekaligus teramat kecewa pada diri sendiri. Karenanya, hubun
Satu minggu berlalu. Meski Ahava dan Tuan Dirgantara sering bertemu, lantas tidak menjadikan hubungan keduanya kembali menghangat seperti kala itu. Sampai telur ayam menetas pun hubungan keduanya akan jalan di tempat. Bagaimana tidak, Ahava terlalu acuh, sementara Tuan Dirgantara gengsinya selangit. 'Sialan memang, sudah satu minggu masih betah mendiamkanku. Dia pikir suaminya ini patung hidup apa?' batin Tuan Dirgantara menggerutu. 'Mama mana sih? Mana di sini ada si singa lagi. Males banget dah,' batin Ahava menggerutu. Tanpa sengaja, netra keduanya bertemu di satu garis lurus yang sama. Ahava lekas mengalihkan pandang ke segala arah, begitu pun dengan Tuan Dirgantara. Keduanya sama-sama membisu. Tidak ada satu pun yang berniat memulai obrolan atau sekedar bertegur sapa satu sama lain. Ya begitulah kalau memiliki ego yang sama besarnya. Ceklek! "Kata Dokter, hari ini kamu sudah boleh pulang," ucap Nyonya Esme. "Syukurlah Ma, aku juga sudah bosan di sini," ucap Ahava tampak se
Di luar hujan belum juga reda. Udara dingin kian menusuk kulit. Meski telah memakai selimut, Ahava tetap saja merasa kedinginan. Apalagi pendingin ruangan tetap menyala. Tidurnya yang semula nyenyak menjadi tak enak. Ahava hanya mampu mengeratkan selimunya lebih rapat lagi.Disaat sakit seperti ini, Ahava terkenang akan kedua orangtuanya. Biasanya sang papa akan menjaganya hingga pagi menjelang, sementara sang mama akan membuatkan ramuan tradisional untuknya. Semua kebahagiaan yang Ahava rasakan seakan sirna begitu saja setelah kematian kedua orangtuanya. Anak yang hidup dengan penuh kasih, lantas diterlantarkan begitu saja oleh keluarga besar mereka.Keluarga dari mendiang mamanya sama sekali tidak peduli dengan nasib Ahava. Mereka semua tampak acuh dan hanya sibuk dengan urusan masing-masing. Sedangkan keluarga dari mendiang papanya hanya ada Paman Frank. Paman Frank dan Bibi Belinda dengan senang hati merawat Ahava layaknya anak sendiri. Namun, perlakuan baik mereka berdua hanya
'Bagaimana mungkin Tuan Dirgantara hanya mengambil selimut untuk Nyonya Livia saja, sedangkan Nyonya Renata juga sedang menggigil?' batin Max tidak habis pikir. "Nyonya, saya ambilkan selimut tambahan ya?"Renata menggeleng pelan, menolak perhatian Max. Biarlah dinginnya udara malam menusuk tulang. Ini jauh lebih baik daripada kepedihan yang dia rasakan. "Rapatkan selimutnya atau anda akan kedinginan sepanjang malam, Nyonya!" Max menarik selimut sebatas leher Renata. "Saya berjaga di sofa. Kalau Nyonya butuh apapun bisa panggil saya.""Hmm..." gumam Renata. Olivia memandangi Renata dan Max secara bergantian. "Cih, dasar caper!" gumamnya lirih. "Max, jaga mereka berdua! Aku ke kamar Ava sebentar," bisik Tuan Dirgantara. "Baik, Tuan.""Baby, aku keluar sebentar ya!" pamit Tuan Dirgantara pada Olivia. "Mau ke mana?" tanya Olivia. "Merokok di luar," kilah Tuan Dirgantara. "Ishhh... Ya sudah.""Istirahatlah! Good night..."Tuan Dirgantara mengecup kening Olivia, lalu keluar dari r