Malam masih sunyi saat mereka berdiri lama dalam pelukan itu. Di luar, laut berkilau dalam bayangan bulan, sementara angin menyapu tirai lembut di balik jendela balkon.Meri mengangkat wajahnya perlahan. Tatapan mereka bertemu—tak ada kata, hanya napas yang tenang dan mata yang penuh arti. Dalam sorot mata Adrian, ia menemukan sesuatu yang sulit dijelaskan: harapan... dan ketakutan akan kehilangan.Ia menyentuh pipinya dengan lembut. "Bolehkah... malam ini, tak ada yang lain kecuali kita?"Adrian tidak menjawab dengan kata. Ia hanya mencium keningnya pelan—dan dunia pun seakan ikut hening.Ia menuntunnya ke ranjang, gerakannya pelan, seolah tiap langkah adalah perayaan atas waktu yang masih mereka miliki. Gaun Meri jatuh ke lantai, tak bersuara. Kulitnya menggigil, bukan karena dingin, tapi karena sentuhan Adrian terasa lebih hangat dari api, lebih hidup dari sihir.Ia menatap tubuhnya sejenak, bukan dengan nafsu, tapi dengan rasa kagum dan lembut yang nyaris menyakitkan. Lalu bibirny
Adrian menyalakan mesin mobil sport klasik warna abu-abu gelap, lalu menoleh ke arah Meri yang duduk di sampingnya. “Kau yakin mau keliling tanpa arah, pakai mobil ini?” tanyanya dengan senyum kecil, tangan sudah siap di persneling.Meri menatap ke luar kaca jendela, memandangi langit cerah yang hampir tanpa awan. Ia mengenakan gaun santai berwarna lembut, rambut diikat rendah, dan satu hal yang tidak pernah ketinggalan akhir-akhir ini—botol kecil Tenang Vale yang terselip di tas kanvasnya.“Aku nggak peduli mau ke mana,” katanya sambil tersenyum, “asal sama kamu.”Adrian tertawa pelan, lalu menurunkan kacamata hitamnya. “Kalau begitu, mari kita hilang sebentar dari dunia.”Mobil melaju, membawa mereka menjauh dari segalanya yang berat. Hari itu, dunia serasa ikut melunak. Tak ada deadline, tak ada kutukan, tak ada pengkhianatan. Hanya angin yang menyusup lewat jendela, dan lagu-lagu lawas yang diputar Adrian dari playlist miliknya—campuran jazz, rock lembut, dan instrumental klasik y
Sinar matahari pagi menembus tirai tipis ruang tamu penthouse, menciptakan semburat keemasan di lantai marmer. Meri berdiri di dapur, masih mengenakan pakaian tidurnya, rambutnya digelung asal. Tangannya sibuk memecahkan telur ke dalam mangkuk kecil sambil sesekali mengintip ke arah pemanggang roti.Adrian masih tidur. Ia sudah tahu itu—karena tadi sempat memandangi wajah pria itu dalam diam, cukup lama, cukup dalam, sebelum ia bangkit dari ranjang. Meri tahu, pagi seperti ini… mungkin tidak akan ada lagi.Ia menaruh dua lembar roti ke dalam toaster, lalu memutar knop pemanggang. Aroma kopi sudah memenuhi ruangan, panas dan pahit, seperti kenyataan yang terus menekan dadanya."Kamu nggak bisa terus pura-pura ini normal, Meri," bisik hatinya, tapi ia tetap memaksa bibirnya tersenyum kecil.Piring-piring mulai tertata. Telur setengah matang, saus, irisan alpukat, dua gelas jus jeruk. Ia duduk sejenak di stool dapur, memandang hasil kreasinya.“Pagi-pagi rajin banget, kamu ngapain…”Suar
Malam sudah turun saat mereka tiba di manor. Lampu-lampu taman menyala temaram, menyambut langkah mereka berdua yang hening tapi saling menggenggam erat.Adrian membuka pintu utama dan membiarkan Meri masuk lebih dulu. Hawa rumah besar itu terasa lebih hangat dari biasanya—entah karena sistem pemanas atau karena Nenek Montclair kini kembali, berbaring di kamarnya dengan nyaman, dikelilingi staf yang siaga.Meri memutuskan untuk menginap di sana. Ia berkata alasannya karena ingin memastikan nenek benar-benar pulih, tapi sebenarnya... ia hanya ingin merasakan rumah ini seutuhnya. Sekali lagi. Untuk terakhir kalinya—jika memang itu yang harus terjadi.Setelah memastikan Nenek Montclair benar-benar stabil, Meri kembali ke penthouse keesokan harinya. Angin malam membawa aroma asin dari laut. Gemuruh ombak samar terdengar dari kejauhan, seperti bisikan waktu yang tak bisa dihentikan.Meri berdiri di balkon penthouse, berbalut kaus tipis dan celana tidur longgar. Kedua tangannya menggenggam
Koridor rumah sakit berbau antiseptik dan terlalu terang. Meri berjalan cepat menyusuri lorong Unit Gawat Darurat, seolah langkahnya tak cukup cepat untuk mengejar detak jantungnya sendiri.Di depan ruang observasi, Adrian berdiri dengan kedua tangan terlipat, wajahnya pucat dan mata sembab. Saat melihat Meri, ekspresinya mencair sedikit, tapi kecemasan tak hilang dari sorotnya.“Meri.”“Di mana dia?” suara Meri tercekat.Adrian menunjuk ke balik tirai kaca. Di dalam ruangan, Nenek Montclair terbaring dengan selang infus di tangan dan monitor detak jantung di sisinya. Matanya terpejam. Terlihat rapuh—terlalu rapuh dibanding biasanya.“Kata dokter, dia sempat kehilangan kesadaran beberapa menit. Gula darahnya turun drastis. Tapi... sekarang sudah stabil.”Meri menempelkan tangannya ke kaca, lalu menoleh ke Adrian. “Dia akan baik-baik saja, kan?”Adrian mengangguk pelan, tapi tak menjawab langsung. “Dia tadi manggil namamu. Bahkan pas di ambulans. Kayak... dia tahu kamu harus ada di san
Meri tidak menjawab. Tangannya mengepal di sisi gaunnya. Matanya menatap lurus ke wajah Julian, dingin dan penuh waspada.Julian tersenyum miring. “Kutukan itu tidak hilang hanya karena kalian saling cinta, Meri. Ini bukan dongeng.”“Dan kamu pikir dengan menakutiku, aku akan lari?” suara Meri tajam tapi pelan.“Aku tidak menakutimu.” Julian melangkah mendekat, setengah berbisik. “Aku memberimu pilihan. Satu yang... manusiawi.”Ia berhenti hanya beberapa langkah dari Meri. “Kau tahu sendiri sekarang, kan? Bahkan sihirmu tidak bisa menyelamatkannya saat kutukan itu aktif. Dan itu... bukan kejadian terakhir, kalau kau tetap di sisinya.”Meri menahan napas.“Aku tahu siapa kamu,” lanjut Julian, suaranya nyaris lembut. “Marigold Vale. Cucu dari Rose. Darah keluarga yang sama yang menentang perjanjian ulang dulu... dan orangtuamu dibunuh karena itu. Dan, ngomong-ngomong… ternyata kita juga sepupu ya. Dunia memang sempit.”Dia mencondongkan tubuh. “Apa kamu pikir nenekmu menyembunyikan semu