"Utang untuk biaya pengobatan ayahmu sangat besar. Aku tidak sanggup bayar, jadi sebagai anak, kamu harus membayarnya!"
Anna menatap panik ibu tirinya sambil berusaha melepaskan cengkeraman yang begitu kuat di tangannya.
Namun, ibunya tidak peduli meski Anna sudah meringis kesakitan, dan terus menyeretnya menyusuri lorong hotel yang sepi.
Sejak kecil, Annalise Lindsey tumbuh bersama mendiang ayahnya, sebelum sang ayah menikah lagi dengan janda anak satu.
Tiga tahun lalu, sang ayah mengidap kanker usus yang mengharuskannya menjalani pengobatan hingga menghabiskan banyak biaya, meski akhirnya tujuh hari lalu sang ayah meninggal.
"Ta-tapi kenapa di sini, Bu?"
"Tidak usah banyak tanya! Ada pria yang mau membayarmu, jadi lakukan saja tugasmu di dalam sana!"
Anna membelalak, benar-benar tidak menyangka ibu tirinya akan menjualnya.
Belum juga Anna membantah, dia sudah didorong masuk ke dalam sebuah kamar. Pintu langsung tertutup rapat.
"Bu, buka pintunya!" Anna mencoba menarik pintu itu agar terbuka, tapi tidak berhasil. Pintu itu ditahan dari luar.
Anna panik dan takut. Dia terus menggedor pintu, berharap ibunya berbelas kasih. Tapi pintu itu tetap bergeming.
Saat Anna masih berusaha membuka pintu, tiba-tiba terdengar suara pria dari arah belakang punggungnya.
"Wah, ternyata kamu memang punya tubuh yang bagus. Aku jadi tidak sabar mencicipimu."
Anna membalikkan badan. Dia melihat pria tua berbadan gempal menatap rakus padanya.
"Aku mau keluar dari sini," ucap Anna dengan bibir bergetar.
"Kenapa terburu-buru, Nona?" tanya pria tua itu seraya melangkah maju menghampiri Anna.
Anna benar-benar ketakutan. Napasnya memburu dengan sekujur tubuh yang terasa kebas.
Kenapa ibunya memperlakukannya seperti ini, sedangkan Anna selalu menuruti semua perintah wanita itu?
"Ayo, tidak perlu malu-malu. Nanti kamu bisa pulang dengan uang banyak kalau aku puas."
Pria itu tiba-tiba menarik tangan Anna, membawanya ke arah ranjang.
Anna berusaha melepas genggaman tangan pria itu dengan tenaga yang tidak seberapa.
"Kamu masih suci, kan? Kalau benar, aku akan membayarmu dua kali lipat."
Bola mata Anna membulat sempurna. "Tidak!" Anna menarik kasar tangannya dari genggaman pria itu hingga akhirnya terlepas.
Pria itu menoleh dengan tatapan tak senang. "Wanita itu sudah mendapat uang muka, kamu berani menolakku, hah?!" hardiknya marah.
"Aku bukan barang yang bisa dijual seenaknya," ucap Anna.
Plak!
"Miskin saja banyak bicara," kata pria itu sembari tersenyum miring saat melihat Anna terkejut.
Anna memegangi pipi yang terasa panas. Saat dirinya belum merespon perbuatan pria itu, tangannya sudah kembali ditarik lalu tubuhnya didorong hingga jatuh ke ranjang.
“Akh!” pekik Anna tak berdaya. Tubuhnya terasa sakit diperlakukan dengan kasar.
Pria itu lantas melepas sabuk celananya. Sepasang matanya menjelajahi tubuh Anna sambil menjilat bibir.
Anna gemetar di bawah tatapan pria itu, merasa takut sekaligus jijik. Apalagi pria di depannya kini tampak melepas pakaian.
Dia bangun untuk kabur, tetapi pria itu lebih kuat dan bergerak lebih cepat. Anna terkurung di bawah tubuh gempal pria itu.
"Aku suka wanita pemberontak sepertimu. Rasanya aku semakin tertantang," desisnya tepat di atas wajah Anna. "Mari kita lihat, sampai mana kamu bisa bertahan, hm...”
Anna melihat tatapan lapar pria itu. Ekspresi wajahnya seolah ingin melahap Anna, membuat gadis itu seketika merasa mual.
Ia bukan wanita panggilan! Dia tidak mau menyerahkan mahkotanya begitu saja pada pria hidung belang ini!
"Kamu pasti akan menyukainya, Sayang," kata pria itu sembari menarik kasar baju yang dipakai Anna hingga bagian dada bajunya robek.
“Hentikan!”
Anna sangat syok. Tubuhnya gemetar hebat. Ia menelengkan wajah saat pria itu hendak menciumnya. Sekuat tenaga ia berusaha melawan meski kedua tangannya dicengkeram kuat di atas kepala.
"Tidak! Lepaskan aku!"
Anna terus memberontak, membuat pria di atas tubuhnya malah semakin ganas ingin menyentuh tubuhnya.
Saat itu, satu tangannya terlepas dari cengkeraman, Anna mencoba menggapai ke nakas dan berhasil meraih vas bunga. Dia langsung menghantamkan vas itu ke kepala pria hidung belang itu.
"Arghh! Sialan kamu!" pekik pria itu.
Anna segera bangun saat melihat pria itu kesakitan. Sambil memegangi baju bagian depannya yang terbuka, Anna berusaha kabur dari kamar itu. Beruntungnya, pintu kamar itu bisa dibuka.
"Mau ke mana kamu?!" teriak pria itu sambil memegangi kepalanya yang berdarah.
Anna berlari menuju lift. Napasnya tersengal saat ia menekan tombol lift berkali-kali.
"Jangan lari!"
Anna menoleh dan melihat pria tadi ternyata mengejarnya. Anna semakin panik dan terus menekan tombol lift agar pintunya mau terbuka.
Jangan sampai pria itu menangkapnya!
Saat pintu lift terbuka, Anna melihat seorang pria berwajah dingin berdiri menatapnya tajam.
Dia menoleh ke belakang, melihat pria tua tadi semakin dekat, membuat Anna panik.
"Tuan, tolong aku!"
Terima kasih sudah mengikuti kisah Anna dan Kai sampai selesai. Dukungan kalian selama ini, sangat berarti bagi saya. Jika kalian ingin membaca buku-buku dari saya yang lain, kalian bisa mengunjungi profil saya. Nantikan juga buku baru karya saya yang lain. Terima kasih banyak sekali lagi. Sampai ketemu di buku selanjutnya :-)
Keesokan harinya. Alex baru saja bangun tapi tidak mendapati Rania di ranjang, Alex lantas bangun karena menebak istrinya pasti sedang sibuk di dapur.Saat Alex akan keluar dari kamar, dia melihat pintu kamar mandi terbuka, ternyata Rania baru saja di kamar mandi.Rania berdiri di ambang pintu dengan satu tangan disembunyikan di belakang punggung, lalu dia berjalan mendekat ke Alex.“Ada apa?” tanya Alex saat melihat tatapan Rania yang berbeda.“Tidak ada apa-apa,” jawab Rania.“Baiklah kalau begitu,” ucap Alex, “aku mandi dulu,” kata Alex lalu melangkah menuju kamar mandi.“Lex.” Rania memanggil sambil membalikkan badan ke arah Alex.Rania menatap Alex yang berhenti melangkah, lalu membalikkan badan ke arahnya.“Ada apa?” tanya Alex.Rania tersenyum, lalu mengeluarkan tangan yang sejak tadi disembunyikannya di belakang pinggang.“Aku hamil,” ucap Rania sambil memperlihatkan alat penguji kehamilan yang memiliki tanda plus.Alex terkejut sampai bergeming menatap Rania yang terus tersen
Setelah mendapat izin untuk bepergian, akhirnya Anna mengajak Rendra untuk menjenguk kakek buyutnya.Anna dan Kai baru saja turun dari pesawat. Anna menggendong Rendra, sedangkan Kai yang membawa koper mereka.“Kata Rania, nanti ada sopir Kakek yang menjemput kita,” ucap Anna sambil melangkah menuju pintu keluar bandara.Kai mengedarkan bandara, mencari sopir Abraham, sampai akhirnya dia melihat seorang pria berkemeja hitam mendekat sambil tersenyum ramah ke arah Kai dan Rania.“Siang Nona, Tuan.” Pria itu langsung mengambil alih koper dari tangan Kai. “Mari, mobilnya sudah siap di depan,” ucapnya lagi.Anna dan Kai pergi ke mobil, lalu mereka menuju ke rumah Abraham.Sepanjang perjalanan, Anna memandangi jalanan yang mereka lewati. Dulu dia ke sana untuk mendapat pengakuan, sekarang dia ke sana karena dirindukan.Setelah beberapa saat perjalanan, akhirnya mereka sampai di rumah Abraham. Saat tiba di sana, para pelayan sudah menyambut mereka di depan, bahkan Abraham dan Rania juga ada
Hari pertunangan Anser dan Queen pun tiba. Mereka melangsungkan pertunangan satu bulan setelah Anna melahirkan.Malam itu di ballroom hotel milik keluarga Kai, sudah ramai dengan para tamu yang datang untuk menyaksikan pertunangan Queen.“Aku tidak menyangka, dari teman sekarang malah jadi adikmu,” ucap Bella sambil menatap Anna.Anna menahan senyum, lalu merangkul pundak Bella.“Tidak masalah, bukankah malah bagus, kita semakin dekat,” balas Anna.Bella terharu, lalu memeluk erat Anna.“Iya, padahal dulu maunya kamu jadi kakakku, ya sudah bukankah tetap saja sama, sama-sama jadi adik,” ucap Bella.Anna tertawa, dia mengangguk-angguk sambil mengusap lengan Bella.Rania datang menggendong Rendra. Bayi itu tumbuh dengan baik, bahkan sekarang semakin gemuk.“Dia rewel, sepertinya mau minum,” kata Rania sambil menyerahkan Rendra ke dalam gendongan Anna.“Kamu lapar ya, Sayang?” Anna menimang Rendra, lalu pamit untuk pergi ke ruangan khusus agar bisa menyusui Rendra.Ballroom itu sudah pen
Malam itu di ruang inap. Hanya ada Kai, Alex, dan Rania yang menemani Anna di rumah sakit. Rania menawarkan diri di sana untuk membantu menjaga Rendra.“Kata Rania, Anna mengalami pendarahan tadi?” tanya Alex.“Ya, sempat membuat semua orang panik,” jawab Kai.Alex mengangguk-angguk kecil.“Syukurlah, setidaknya sekarang dia baik-baik saja,” ucap Alex.Kai mengangguk, lalu menoleh ke Rania yang sedang memberi susu dari botol karena Anna belum bisa mengeluarkan asi.“Apa Rania belum ada tanda-tanda hamil?” tanya Kai.Alex menggeleng.“Belum, tapi aku tidak mau memaksa, apalagi terburu-buru meskipun Kakek sangat berharap Rania hamil dan memberi cicit juga,” jawab Alex, “aku tidak mau dia sedih lagi jika hamil dan teringat pada Abi, putranya yang sudah meninggal.”Kai mengangguk-angguk paham.“Ya, tak perlu merencanakan apa pun, apalagi tentang kehidupan selanjutnya. Bukankah yang terpenting jalani saja, selama kalian bahagia, tidak masalah sama sekali,” ujar Kai.Alex mengangguk mengiyak
Anna akhirnya mulai bangun. Dia menoleh ke kanan dan melihat Stefanie yang sudah tersenyum padanya.“Bagaimana perasaanmu? Mana yang masih sakit?” tanya Stefanie penuh dengan perhatian.Anna melenguh kecil. Dia menggerakkan tubuhnya karena merasa tak nyaman dengan posisi berbaring sekarang.Stefanie langsung sigap berdiri, dia memastikan Anna merasa nyaman, lalu kembali duduk sambil memegang tangan Anna.“Kapan Mama datang?” tanya Anna tak menyangka sang mama sudah ada di sampingnya.“Sudah dari tadi, saat kamu ada di ruang persalinan,” jawab Stefanie.Anna mengangguk kecil.“Di mana bayinya?” tanya Anna dengan suara lemah. Dia mengedarkan pandangan tapi tak mendapati bayi yang baru dilahirkannya tadi.“Masih ada di ruang perawatan bayi. Kai dan Mami Eve ke sana untuk melihatnya. Kamu jangan cemas,” ucap Stefanie penuh dengan kesabaran dan kelembutan.“Bayinya baik-baik saja, kan?” tanya Anna dengan ekspresi cemas.“Iya, baik-baik saja,” jawab Stefanie.Anna bernapas lega sambil memej