LOGINSuara berisik yang mengganggu membuat Kevin yang tengah tertidur terbangun. Ia melirik ke kamar mandi dan melihat Anya baru keluar dari sana dengan wajah yang tampak pucat.
Meskipun begitu ia memilih untuk kembali melanjutkan tidurnya, namun sentuhan lembut di lengannya membuatnya berdecak dan kembali membuka matanya. “Mas, kepalaku pusing. Bisa tolong pijat kepalaku sebentar. Aku juga muntah-muntah sejak tadi,” adu Anya dengan rengekan manja. “Tinggal minum obat kalau pusing, kenapa manja sekali!” Anya tampak terkejut dengan bentakan suaminya.”Mas, aku sedang hamil.” “Lalu, aku harus memanjakanmu begitu karna hamil?” Kevin memilih kembali tidur dan mengeratkan selimut di tubuhnya. Anya terdiam sambil menahan pedih dalam benaknya. Ia bangkit dan melangkah keluar sambil memegangi perutnya yang masih terasa bergejolak. “Kenapa Mas Kevin masih kasar padaku? Apa kehamilan ini tidak membuatnya bahagia?” gumamnya pilu. Anya berusaha menenangkan perasaannya dan segera melakukan kegiatan dapur sebelum pukul tujuh pagi untuk sarapan suaminya. Ia pun juga harus berangkat bekerja. Anya memasak bahan-bahan makanan yang tersisa di kulkas. Ia tidak sempat belanja kemarin. Ditengah-tengah memasaknya beberapa kali Anya muntah. Tubuhnya lemas sekali bahkan ia ingin menunda memasak, tapi melihat suaminya yang keluar dari kamar ia mengurungkan niatnya. “Buatkan kopi,” perintah Kevin sambil melangkah melewati Anya, tanpa memperhatikan kondisi perempuan itu yang tak baik-baik saja. Anya menghela napas berat dan segera membuatkan kopi. Sesekali matanya melirik suaminya yang lebih asyik memainkan ponselnya daripada memperhatikan dirinya yang sekarang tengah hamil muda. “Mas, nanti setelah pulang kerja antarkan aku ke rumah sakit, ya?” ucap Anya sambil meletakkan secangkir kopi di atas meja. Kevin melirik istrinya dengan tatapan jengkel.”Memangnya kamu tidak bisa pergi sendiri ke sana?” “Mas, aku kan sedang hamil. Aku ingin melihat perkembangan kehamilan pertamaku.” “Ya sudah, berangkat sendiri. Kamu punya kaki Anya, bukan perempuan cacat!” Hati Anya bergemuruh panas dengan bentakan suaminya, tak ada kelembutan sedikitpun meskipun ia sekarang sedang mengandung.”Apa kehamilanku ini tidak cukup membuatmu bahagia? Setidaknya aku bisa memberikan anak.” Kevin meletakkan dengan kasar ponselnya hingga membuat perempuan itu terkejut. “Oh, jadi kamu merasa sudah hebat karna hamil, begitu? Kamu berharap aku balas budi?” Kevin bangkit dari kursi sambil menggebrak meja, yang membuat Anya terkesiap. “Bukan begitu maksudku, Mas.” “Lalu apa, Anya? Ah, aku sudahlah, kamu membuat pagiku buruk!” Kevin beranjak dari ruangan tersebut. Anya yang hendak mengejar suaminya seketika mengurung niatnya ketika suaminya membanting pintu kamar dengan keras. Kedua tangannya saling bertautan melihat kemarahan yang tak terduga. Ia menghela napas panjang, menatap kosong sambil mengusap perutnya. Di dalam kamar Kevin segera mengenakan pakaian kerjanya dan hanya mencuci wajahnya, lalu keluar dari kamar. Melihat suaminya kembali muncul Anya segera menghampiri. “Mas, aku sudah menyiapkan sarapan_” “Tidak usah! Aku sarapan di luar!” “Mas, tolong jangan marah seperti ini.” Anya berusaha menahan kepergian suaminya yang dipenuhi kemarahan. Kevin menghempas tangan perempuan itu tanpa perasaan.”Seharusnya kamu bisa jadi istri yang mandiri dan tidak sedikit-sedikit minta bantuan suami! Bukan berarti karna hamil kamu jadi manja seperti ini!” Anya memejamkan matanya sejenak mendengar segala perkataan menyakitkan. Kevin berlalu keluar dari rumah, tak ada perubahan sedikitpun dari sikap suaminya. Pukul setengah sembilan pagi, Anya baru berangkat bekerja. Perempuan itu melangkah terseok-seok dan hampir jatuh ketika turun dari angkutan umum. Ia berjalan setengah berlari memasuki area perusahaan dan berpapasan dengan satpam yang berjaga di sana. “Kenapa datangnya terlambat?” tegur satpam itu. “Anu… saya ada urusan, Pak.” Hanya jawaban itu yang bisa Anya katakan sebelum melanjutkan kembali langkahnya yang tergesa-gesa. Langkah Anya terlalu terburu-buru saat memasuki bangunan perusahaan hingga ia tidak memperhatikan jalan. Tubuhnya hampir terjengkang ketika bahunya menabrak seseorang. Sambil meringis, ia mengusap kening yang terasa ngilu, lalu perlahan mendongak. Matanya melebar melihat sosok sang presdir yang menatap tajam padanya. Tubuhnya tanpa sadar gemetar ketakutan dengan kedua tangan terkepal. Rayden melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.”Kamu baru datang di jam di mana semua orang sudah bekerja?” desisnya tajam. Anya tak menjawab apapun selain menundukkan kepalanya. Matanya melirik tipis pada sekitarnya, di mana beberapa karyawan yang lewat menatap ke arahnya seakan ia akan habis di tangan laki-laki itu. Rayden sedikit mendekat, suaranya merendah, namun justru terasa semakin menusuk.“Saya tidak senang dengan pekerja yang datang terlambat… dan pembohong.” Bisikan itu meluncur dingin, tepat di telinga Anya. Tubuh perempuan itu semakin menegang. Bahkan ia paham maksud dari kalimat terakhir yang dilontarkan.Suara berisik yang mengganggu membuat Kevin yang tengah tertidur terbangun. Ia melirik ke kamar mandi dan melihat Anya baru keluar dari sana dengan wajah yang tampak pucat.Meskipun begitu ia memilih untuk kembali melanjutkan tidurnya, namun sentuhan lembut di lengannya membuatnya berdecak dan kembali membuka matanya.“Mas, kepalaku pusing. Bisa tolong pijat kepalaku sebentar. Aku juga muntah-muntah sejak tadi,” adu Anya dengan rengekan manja.“Tinggal minum obat kalau pusing, kenapa manja sekali!” Anya tampak terkejut dengan bentakan suaminya.”Mas, aku sedang hamil.”“Lalu, aku harus memanjakanmu begitu karna hamil?”Kevin memilih kembali tidur dan mengeratkan selimut di tubuhnya. Anya terdiam sambil menahan pedih dalam benaknya. Ia bangkit dan melangkah keluar sambil memegangi perutnya yang masih terasa bergejolak.“Kenapa Mas Kevin masih kasar padaku? Apa kehamilan ini tidak membuatnya bahagia?” gumamnya pilu. Anya berusaha menenangkan perasaannya dan segera melakukan kegiatan da
“Mas Kevin.” Suara Anya terdengar lirih dan hampir tak terdengar. Senyuman getir terbit di bibirnya yang pucat.“Aku datang ke sini bukan untuk pulang,” ucap Kevin sambil melangkah masuk ke dalam rumah. Ia meletakkan map di tangannya ke meja.“Kamu harus tanda tangani surat cerai ini agar perceraian kita cepat diproses,” tekannya.“Mas… berapa kali aku bilang, aku tidak mau cerai. Mas, kan, tahu, aku hanya punya kamu. Aku tidak punya siapa-siapa selain Mas.”“Aku tidak peduli. Kamu tidak bisa memberikan apa yang aku inginkan, jadi lebih baik kita cerai. Ibuku pun mendukung keputusanku ini.”Anya tertunduk, tangannya menyentuh perutnya dan sesuatu terbesit dalam pikirannya.“Kalau aku bisa hamil, apa Mas tidak akan menceraikanku?” tanya Anya dengan suara gemetar.Kevin tersenyum meremehkan.”Yakin bisa hamil?”Anya berbalik dan melangkah masuk ke dalam toilet membuat Kevin mengernyit keningnya. Tidak lama perempuan itu kembali dan menyodorkan dua benda pipih yang dengan ragu Kevin ambi
Kelopak mata perempuan itu perlahan terbuka, samar-samar ia melihat bayangan dua orang yang tengah memperhatikannya. Begitu matanya terbuka sempurna, ia terkejut melihat dua laki-laki yang menatapnya dengan pandangan yang berbeda. Salah satunya laki-laki yang terakhir kali bersamanya di lift sampai akhirnya ia pingsan.Anya bangun dari pembaringannya di sofa, tapi tubuhnya tidak bisa diajak kompromi. Karna ia merasa lemas dan pusing.Ia kembali menatap laki-laki di hadapannya dan ruangan yang tampak asing baginya. Perlahan ia menundukkan kepalanya, tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Tapi ia ingin keluar dari tempat ini.“Kamu hamil.”Mata Anya membesar dan kembali mendongak menatap laki-laki bermata grey green itu.“Apa Anda sudah merasa gejala kehamilan ini sebelumnya? Atau dari minggu belakangan ini?” tanya laki-laki satunya, yang diyakini seorang dokter yang dipanggil datang ke sini.Anya memegang perutnya dan menggeleng lemah.”Saya tidak hamil.” Suara pelan dan hati-ha
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, Anya datang lebih pagi ke perusahaan besar yang ada di pusat kota. Ia melangkah memasuki area perusahaan dan di sana ia melihat Ayu sudah menunggu dirinya.Ia tersenyum dan semakin mempercepat langkahnya.“Aku kira kamu akan datang lebih lambat dariku,” ucap Anya begitu sampai menghampiri Ayu.“Tentu saja tidak. Aku sengaja berangkat pagi saat tahu kamu hari ini masuk bekerja.”“Setelah ini apakah aku akan langsung melakukan tugasku?”“Tentu saja, biasanya setiap tugas akan diatur oleh leader yang akan mengawasi pekerjaan kita. Kamu tenang saja, pekerjaannya tidak berat.”Anya mengangguk. Mereka berdua pun masuk ke dalam perusahaan yang mulai ramai oleh karyawan yang berdatangan. Ketika Ayu menggiringnya memasuki lobi langkahnya terhenti ketika dua orang laki-laki melewati mereka berdua. Ayu membungkuk singkat pada dua laki-laki itu.Melihat itu, sejenak Anya memandangi wajah dua lelaki itu yang melangkah dengan ekspresi tegas dan datar. Hanya
Satu bulan kemudian…Anya dibuat gelisah dan semakin digantung oleh suaminya sendiri yang jarang pulang ke rumah, bahkan suaminya sudah menghentikan kiriman uang ke rekeningnya. Bagaimana bisa ia memenuhi kebutuhannya bila suaminya sendiri hilang entah ke mana.Untuk kesekian kalinya ia menelpon suaminya yang selalu tidak mengangkat. Ia menggigit ujung jarinya. “Mas, tolong angkat sebentar saja,” gumam Anya lirih.Semuanya sia-sia, beberapa kali ia menelpon, namun telponnya tidak pernah diangkat. Ia duduk di kursi dengan hati yang resah. “Aku harus bagaimana? Kenapa mas Kevin bersikap seperti ini padaku? Apa dia memang tidak ingin bersamamu lagi?”Anya menelungkupkan wajahnya di lipatan tangannya. Antara menangisi nasib dirinya dan sikap suaminya yang kejam.Bahkan uang simpanannya sudah mulai menipis, ia tidak mungkin hanya mengharapkan uang pemberian suaminya yang belum tentu akan memberikan uang bulan ini. Suaminya benar-benar berubah dan tentu setelah berhubungan dengan perempu
Alis laki-laki itu berkerut, tidak mengerti dengan keberanian perempuan di depannya. Namun, sebelum ia memulainya, bibir lembut itu tiba-tiba menyentuh bibirnya lebih dulu. Seketika darahnya berdesir, sensasi panas menjalar cepat ke seluruh tubuhnya.Ia terdiam, menahan gejolak yang mulai menguasai dirinya. Ada pergulatan di matanya antara menolak dan menjauh. Tapi pada akhirnya, godaan itu terlalu kuat. Ia menunduk, membalas kecupan itu dengan dalam, sementara Anya memejamkan mata, membiarkan pikirannya melayang membayangkan suaminya, lah, yang saat ini tengah mencumbu dan mengecupi lehernya.Kedua tangan Anya langsung membuka kancing laki-laki itu yang sibuk mencumbu dadanya. Ada rasa bahagia dalam benaknya seakan ia termakan mentah-mentah dengan halusinasinya sendiri. Ia terlalu merindukan sentuhan suaminya dan kenikmatan seperti ini.Sampai suara desahan keras tidak bisa Anya rendam ketika milik laki-laki itu menembus liangnya, besar dan sangat sesak dalam tubuhnya. Rasanya Anya







