Share

Faezya, kamu apakan saya?

Bersamaan dengan bel istirahat berbunyi, Gaffi segera menyudahi proses belajar mengajar mata pelajarannya. Setelah memberi tugas rumah kepada para anak muridnya, dia bergegas keluar kelas. Sesekali dia tersenyum ramah sembari membalas sapaan beberapa murid saat melewati koridor kelas menuju ruang guru.

Menjadi salah satu guru yang masih terbilang muda di sekolah menengah pertama membuat beberapa anak didiknya tak segan untuk menyapa ataupun melempar lelucon kepadanya. Gaffi pun menanggapinya dengan senyum ataupun tawa kecil. Interaksi seperti itu dia jadikan sebagai sarana pendekatan kepada para anak didiknya yang memasuki usia remaja itu. Dia tidak ingin anak muridnya menjadi canggung atau pun memiliki rasa takut kepadanya. Sebab baginya rasa hormat dan takut itu sangat berbeda.

“Enggak makan lo?”

Gaffi menoleh pada Zaki yang bersebelahan meja dengannya. Keadaan ruang guru kini cukup sepi, hanya ada beberapa guru senior yang duduk dan masih sibuk di meja masing-masing meski telah masuk jam istirahat pertama.

“Sebentar, sekalian makan siang,” jawab Gaffi sembari membuka laptopnya. Sekarang masih sekitar pukul sepuluh dan dia tadi sudah sarapan bubur ayam. Jadi, dia memilih untuk menunggu jam istirahat ke dua sebelum salat Zuhur nanti biar bisa sekalian makan siang.

Zaki mengangguk paham. Dia dan Gaffi telah bersahabat sejak masa kuliah meski berada di jurusan berbeda. Jika Gaffi mengambil jurusan matematika maka Zaki mengambil jurusan bahasa Inggris. Dan mereka bersyukur bisa mengajar di tempat yang sama sehingga persahabatan mereka dapat terus berlanjut.

Untuk sesaat keduanya tampak sibuk  masing-masing sebelum Zaki mengalihkan pandangan dan menggeser kursinya mendekat pada Gaffi. Berdeham sebentar guna menarik perhatian Gaffi. “Fi ....”

Gaffi hanya bergumam, masih fokus pada lembar jawaban para muridnya. Sesekali kepalanya menggeleng saat mendapati masih banyak anak muridnya yang menjawab dengan salah, padahal untuk materi itu dia telah menjelaskannya berulang-ulang. Namun, kesalahan seperti ini bukan menjadi masalah besar untuk Gaffi. Asal mereka mengerjakan dengan jujur tanpa menyontek satu sama lain, Gaffi akan sangat menghargainya. Toh, belajar itu sebuah proses, kan?

“Gimana semalam?”

Pertanyaan Zaki yang terdengar begitu dekat telinganya membuat pergerakan tangan Gaffi terhenti. Dia lalu menoleh pada Zaki. “Apa?”

Zaki mendecakkan lidah, tampaknya Gaffi sedang pura-pura bodoh. “Cewek yang semalam,” jelas Zaki dengan suara pelan agar tidak terdengar orang lain. “Sudah lo pulangin?”

“Dia pulang sendiri.”

Mulut Zaki membulat dan kepalanya mengangguk-angguk. Tapi, setelahnya dia kembali bertanya dengan raut penasaran, “Enggak terjadi apa-apa, kan?”

Gaffi yang hendak melanjutkan pekerjaannya lantas kembali menoleh setelah meletakkan pulpen yang sedari tadi dia pegang. “Maksudnya?” tanyanya, melempar tatapan datar pada sahabatnya itu. Jelas dia tahu arah pembicaraan Zaki yang suka ngawur itu.

“Ya ... lo sama tuh cewek. Bayangin aja, ada cowok-cewek dalam satu rumah cuma berdua doang. Terus ceweknya mabuk, pastilah—”

“Istigfar!” lontar Gaffi, memotong ucapan Zaki. “Otakmu kayaknya butuh dikuras biar kembali suci. Apa saya terlihat seperti laki-laki yang ada di otakmu itu?” Nada suara Gaffi terdengar tegas. Jelas dia sedikit tersinggung dengan dugaan yang Zaki lemparkan. Apa dia sehina itu di mata Zaki yang jelas-jelas cukup tahu bagaimana perangainya selama ini?

Zaki menggaruk kepala sembari menyengir. “Siapa tahu kan lo khilaf gitu.”

Gaffi menggeleng tak habis pikir. Ingin rasanya menggetok kepala Zaki dengan tetikus laptopnya. “Astagfirullah, saya masih takut dosa. Mana mungkin saya berani menyentuh seorang putri yang sudah pasti dijaga baik oleh ayahnya.”

 “Gue kan cuma tanya,” ujar Zaki membela diri. Lagi pula sebenarnya juga tidak yakin Gaffi akan melakukan hal-hal yang melanggar agama di saat selama ini, laki-laki itulah yang selalu mengingatkannya untuk selalu ingat kepada Tuhan. “Lagian, ceweknya cakep gitu. Kayaknya cuma lo doang yang enggak tergoda.”

Gaffi kembali geleng-geleng kepala. “Banyak-banyak zikir, Ki,” ucapnya mengingatkan.

“Sayang sih cantik-cantik, tapi doyan mabuk,” ujar Zaki lagi seakan peringatan dari Gaffi hanya angin yang berembus. “Zaman sekarang pergaulan makin keras aja, makin banyak cewek yang enggak tahu menghargai dirinya.”

“Jangan gampang menghakimi orang, Ki. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi besok,” kata Gaffi sembari menyusun lembar tugas yang sudah dia periksa sebelum kembali menghadap ke Zaki. “Hari ini manusia mungkin memandangnya buruk, tapi besok bisa jadi Allah mengangkat derajatnya. Begitu juga sebaliknya, hari ini kita berbangga diri karena merasa lebih baik, tapi bisa jadi besok kita juga turut dalam maksiat yang sama.” Gaffi menghela napas sembari mengucap istighfar dalam hati. “Naudzubillah min dzalik, semoga Allah menjauhkan kita dari maksiat.”

“Harusnya lo jadi guru agama aja, bukan guru matematika. Doyan amat kultum," celetuk Zaki karena selalu saja mendapat khotbah dadakan dari Gaffi. Bahkan sejak mereka baru kenal, Gaffi tidak segan-segan memberikan khotbah saat dia bercerita perihal gadis-gadis cantik idaman para mahasiswa di kampus mereka.

“Bersyukur karena masih ada yang mengingatkan. Barang kali itu bagian dari rahmat Allah.”

“Siap!”

Tak ingin kembali mendapat ceramah dadakan, Zaki menggeser kursinya dan memilih untuk menyiapkan bahan ajar di jam selanjutnya.

Sementara itu, Gaffi kembali meraih kertas tugas yang belum diperiksa. Dia memandang kertas itu hampa, pembahasan Zaki kembali mengingatkannya pada perempuan itu. Tanpa sadar, kedua sudut bibirnya terangkat. Jantungnya berdebar, bahkan hanya dengan mengingat suara ketus perempuan itu. Menyentuh dadanya, Gaffi membenarkan ucapan Zaki. Perempuan itu memang cantik. Sangat cantik.

Kamu apakan saya, Faezya?

“Nah, kan! Senyum-senyum lo!”

“Astagfirullah.”

Gaffi terperanjat, lamunannya seketika buyar. Zaki kini memandangnya penuh kecurigaan dengan pulpen yang terangkat di depan wajahnya.

“Ayo, mikirin apa lo sampai senyum-senyum gitu, hah?” Zaki memicingkan mata, dia tadi sempat melihat ketika Gaffi mengkhayal sembari senyum-senyum tidak jelas.

Alih-alih menjawab, Gaffi kembali beristigfar. Kini dia sadar telah berbuat salah karena telah memikirkan perempuan yang bukan mahramnya. Dia bersyukur keberadaan Zaki menyandarkannya meski dengan cara yang membuat jantungnya hampir nyaris melompat.

“Kalau istigfar gini biasanya sih mikir jorok,” ledek  Zaki. “Ngaku enggak lo?”

Gaffi menurunkan pulpen yang Zaki acungkan di depan wajahnya. “Jangan fitnah.”

Zaki berdeham-deham jahil. “Jangan-jangan lo lagi pikirin cewek—”

Sebelum Zaki menyelesaikan ucapannya, Gaffi sudah berdiri dan langsung berjalan keluar ruangan tanpa kata.

Zaki melotot. “Heh! Mau ke mana lo? Gue belum selesai ngomong! Ngaku enggak lo—” Dia tiba-tiba terdiam ketika sadar akan sesuatu. Kepalanya menengok kanan-kiri dan benar saja, beberapa guru senior memperhatikannya.

Salah tingkah, Zaki menyengir seraya meminta maaf karena telah membuat keributan. Dia lalu segera beranjak dari duduknya dan berlari kecil menyusul Gaffi.

“Gaffi, gue ikut, heh!"

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status