Sekitar pukul delapan pagi, motor bebek Gaffi berhenti di pekarangan cukup luas sebuah rumah sederhana. Ada dua pohon mangga dan berbagai tanaman bunga yang menghiasi pekarangan itu. Membuatnya suasananya sejuk.“Bang Gaffi?”Gaffi berbalik badan dan menemukan Farhan—adiknya—berjalan mendekat. Remaja enam belas tahun itu masih mengenakan setelan shalat membuat Gaffi menebak, “Baru pulang dari masjid kamu?” tanya Gaffi setelah memberi salam dan dibalas oleh Farhan.Farhan mengangguk. “Ada pengajian, terus lanjut kerja bakti,” jelasnya.Mereka lantas berderap masuk ke dalam rumah. Terdengar suara Aminah dari dalam ketika mereka mengucap salam disusul langkah kaki yang terburu-buru.“Ya Allah ... anak Ibu!” Aminah langsung memeluk Gaffi penuh haru. Matanya sudah berembun. Gaffi membalas pelukan wanita yang sangat dicintainya itu. Sangat hangat dan memenangkan hatinya. “Ibu apa kabar?” tanya Gaffi, pelukan mereka terurai. Gaffi terkekeh kecil melihat air mata Aminah, segera diusapnya air
“Gaffi mau melamar perempuan.”Semua mata memandang Gaffi terkejut. Saking terkejutnya, Farhan yang baru saja memasukkan pisang goreng ke mulutnya nyaris tersedak. Buru-buru dia meraih gelas tehnya.Sementara itu Aminah memandang percaya tak percaya. Dia memang akhir-akhir gencar meminta calon mantu, tapi mendengar putra sulungnya ingin melamar perempuan tetap saja membuatnya tak percaya.“Kamu bilang apa?” Yusuf bertanya, takut telinganya salah dengar. Maklum, usia membuat indra-indranya tidak lagi bekerja secara maksimal.Gaffi menghela napas. Menenangkan detak jantungnya yang bergejolak. Dipandangnya bergantian wajah ibu, ayah, dan adiknya. “Gaffi mau melamar, Yah, Bu,” ucap Gaffi mengulang kalimatnya.“Kamu serius?” Yusuf kembali bertanya, seakan masih ragu. Gaffi tidak pernah membawa dan memperkenalkan perempuan kepada mereka. Laki-laki itu juga tidak pernah membicarakan apa pun. Wajar jika mereka terkejut dan sedikit tidak percaya. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba m
Sekolah masih sepi ketika Gaffi tiba. Di tempat parkir hanya ada dua motor, satu milik satpam dan satunya lagi milik petugas kebersihan sekolah. Dan kini bertambah satu, motor Gaffi.Udara masih terasa begitu sejuk. Titik-titik embun pada daun belum kering. Gaffi menarik napas dalam, menikmati udara segar yang tidak bisa dia rasakan ketika terik matahari mulai menyengat. “Assalamualaikum, Pak.” Gaffi melemparkan salam sapaan sembari tersenyum sopan pada Pak Kodir—satpam sekolah.Pak Kodir yang sedang menyesap kopi di pos lantas mendongak dan ikut tersenyum ramah. “Wa’alaikumussalam. Sudah datang, Mas? Di dalam masih sepi loh, Mas Gaffi.”Masih tersenyum, Gaffi membalas singkat, “Tidak apa-apa, Pak.”“Harusnya Mas Gaffi datangnya tiga puluh menit lagi biar tidak kepagian terus,” ujar Pak Kodir. Gaffi selalu menjadi guru yang pertama kali datang dan itu selalu sebelum pukul setengah tujuh.“Biar tidak kena macet, Pak. Enak juga berangkat pagi, sekalian hirup udara segar.”Pak Kodir men
“Sekarang buka mata lo, Cil!”Perlahan, kelopak mata Larissa terbuka. Pandangannya langsung disuguhkan dengan sesosok gadis cantik dalam pantulan cermin. Dia lalu meraba wajahnya, sedang matanya masih terpaku pada cermin di hadapannya.“Tante ...” lirih Larissa. “Yang di cermin itu beneran Ica? Kok, cantik, sih?” tanyanya, terperangah. Dia berdecak kagum melihat wajahnya sendiri yang tampak lebih cantik dan fresh dengan sentuhan make up ala Korea hasil karya Faezya.“Bukan, itu kalong wewe!” seru Faezya, sewot.Larissa mendelik tak terima. “Enak aja! Udah jadi jelmaan Bae Suzy gini masa dibilang kalong wewe!”“Cantik ketutup dempul aja bangga lo, Cil.”“Enggak papa, dong, cantik bantuan dempul. Make up, kan, emang untuk mempercantik. Yang salah itu cantik berkat ubah ciptaan Tuhan. Namanya enggak bersyukur.” Larissa berceloteh dengan pongahnya. “Pinter ngomong lo sekarang, ya!” Faezya menarik ujung rambut Larissa, kesal mendengar celotehan gadis itu.Mulut Larissa sudah terbuka henda
Menikah tidak hanya perihal ijab yang diucapkan dengan lantang atau para saksi yang berucap ‘sah’. Menikah juga bukan hanya tentang dua orang yang saling mencintai, lalu mengikat janji sehidup semati. Pernikahan lebih dari itu. Tidak sesederhana yang terlihat atau seindah yang dibayangkan. Namun, pernikahan tidak juga seseram yang ditakutkan. Setiap perjalanan memiliki tujuan, begitu juga dengan pernikahan. Ada tujuan yang ingin dicapai bersama. Karenanya, sebelum benar-benar masuk dalam hubungan pernikahan, ada banyak hal yang harus disiapkan dan dipertimbangkan matang-matang dari berbagai aspek. Kesiapan hati dan mental, visi dan misi untuk mencapai tujuan nikah, ilmu perihal rumah tangga, dan yang tak kalah pentingnya adalah kesiapan finansial. Banyak orang yang mengabaikan perihal kesiapan materi atau finansial ketika akan menikah dengan alasan rezeki sudah ada yang mengatur dan dapat dicari bersama. Tidak salah memang, tetapi kenyataannya tidak semua dapat bertahan dalam prose
Alih-alih langsung pulang ke rumah selepas mengajar, motor Gaffi malah berbelok ke salah satu pusat perbelanjaan. Biasanya dia ke sini hanya untuk ke Gramedia mencari buku. Atau kadang ke salah satu toko baju di lantai dasar. Namun, kali ini tujuannya berbeda jauh.Dan di sinilah dia sekarang. Berdiri di salah satu toko perhiasan di lantai tiga. Matanya mengedar pada etalase-etalase kaca besar yang di dalamnya berderet berbagai jenis perhiasan yang berkilau. Tiba-tiba dia merasa sangat gugup.Seorang pramuniaga berpenampilan necis berderap ke arah Gaffi, lalu bertanya dengan sangat ramah dan sopan, “Ada yang bisa saya bantu, Pak? Bapak mau cari perhiasan seperti apa?”“Saya ingin mencari cincin.” Gaffi menjawab dengan gugup, tetapi suaranya tetap tegas.Pramuniaga itu mengangguk paham. “Tepat sekali, kami memiliki cincin model terbaru dan berbagai koleksi best seller lainnya,” katanya. Kemudian dia mengajak Gaffi ke salah satu etalase kaca berisi deretan cincin berbagai model.“Kalau
“Gue suka banget kalau Pak Zaki ngajar. Sumpah, bikin ketawa mulu, kita jadi gak bosen. Apalagi dia ganteng banget, ih!”“Hu’um, gak kayak Pak Rosdi tuh, bikin ngantuk. Ngejelasinnya kayak ngedongeng, kan?”“Masih mending Pak Rosdi, lah Bu Lela? Kita malah disuruh baca sendiri, habis itu langsung kasih tugas!”Telinga Faezya mulai berdengung, kepalanya terasa pening. Suara Larissa dan ketiga temannya benar-benar membuatnya jengkel setengah mati. Tadi dengan seenaknya Larissa mengajak temannya masuk ke dalam mobil dan minta diantar ke rumah salah satu dari mereka untuk kerja kelompok. Mau tidak mau, Faezya harus mengantar keponakannya itu.“Ah, di antara semua guru, gue tetap setia sama Pak Gaffi. Pak Zaki boleh aja bikin ketawa, tapi cuma Pak Gaffi yang bikin hati adem ngalahin minuman panas dalam,” lontar Larissa. Dia yang duduk di kursi samping Faezya harus membalikkan badan agar bisa melihat teman-temannya yang duduk di belakang.Gaffi? Cowok itu?Sesaat Faezya melirik Larissa yang
Keluarga Gaffi tidak hentinya dibuat takjub oleh kemegahan kediaman Faezya yang bergaya klasik Eropa. Farhan—adik Gaffi—sampai dibuat melongo. Bukan hal yang mudah bagi mereka untuk sampai di sini. Ketika akan masuk ke kompleks perumahan ini saja mereka ditanya-tanya dan diminta untuk menunjukkan KTP oleh satpam kompleks. Penjagaannya benar-benar ketat.Tak sampai di situ, mereka juga harus meyakinkan satpam pribadi rumah Faezya jika mereka bukan orang jahat. Untungnya Wirawan berkenan mempersilakan mereka masuk setelah mendapat konfirmasi dari Pak Rudi. Meski dilanda kebingungan, Wirawan dan Yuni menyambut mereka dengan hangat. Buah tangan yang dibawa keluarga Gaffi mereka terima dengan baik. Gaffi dan keluarganya sampai dibuat takjub oleh keramahan orang tua Faezya.“Jadi, boleh kami tahu maksud kedatangan Bapak-Ibu dan keluarga mengingat sebelumnya kita tidak saling mengenal?” tanya Wirawan. “Rasanya tidak mungkin sampai ramai seperti ini jika hanya untuk membahas sekolah Larissa.