Setelah puas bergulat di atas ranjang, Jiwa dan Ayuda jatuh ke alam mimpi. Paginya Ayuda terjaga dengan kepala yang terasa berputar, dia melihat pria yang baru saja merenggut kehormatannya masih terbaring di sampingnya. Ayuda masih mencoba berpikir apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa pria ini menyebut kata bayaran, kabur dan juga hamil. Ayuda tak menyangka dia akan mengalami hal semacam ini di hidupnya, padahal dia datang ke Indonesia untuk melakukan pekerjaan di perusahaan papanya yang sedang mengalami krisis.
Beberapa menit kemudian Jiwa nampak bangun, pria itu menatap dingin Ayuda yang duduk menekuk kaki di atas sofa.
“Aku akan datang lagi untuk membawamu ke dokter, jadi jangan melakukan hal-hal yang akan merugikan dirimu sendiri,” ancam Jiwa. Dia bangkit dan memunguti pakaiannya yang berceceran. Pria itu mengenakannya kembali tanpa peduli dengan perasaan gadis yang dia renggut kehormatannya dengan paksa itu .
Ayuda hanya diam dan masih mencerna semuanya, dia bahkan harus rela merasakan mahkotanya sakit. Ia sampai harus menghirup udara dan menghembuskannya lewat mulut untuk mengurangi rasa ngilu, Ayuda mencengkeram erat sisi bajunya lalu berucap lagi-
“Brengsek! Apa kamu pikir akan lolos dengan mudah? Apa kamu pikir aku akan membiarkanmu begitu saja?”
Mendengar ucapan Ayuda, Jiwa pun menoleh. Ia merasa bahwa gadis itu sangat arogan dan berani. Jiwa kembali mendekat dan hampir mencengkeram rahang Ayuda tapi kali ini ditepis dengan kasar oleh gadis itu.
“Jauhkan tangan kotormu itu dariku!” Ayuda melotot membuat Jiwa mengernyitkan dahi.
“Sejak kapan kamu menjadi berani? Apa orang-orang yang membawamu ke sini memukul kepalamu sampai cidera?” Jiwa tersenyum menghina, dia memutar tumit hendak keluar dari kamar lantas berkata lagi, “Ingat! kami sudah membayar mahal jadi ka …. “
PYAR
Jiwa tak bisa melanjutkan kata, Ayuda lebih dulu mengambil vas bunga dari atas nakas lalu menghantamkannya ke begian belakang kepala Jiwa.
“Pria sialan! kamu pikir sedang berurusan dengan siapa, Ha?” Ayuda mundur ke belakang, di saat yang bersamaan terdengar suara berisik dari luar.
“Tuan Jiwa apa semua baik-baik saja?”
Ayuda tersenyum dengan sudut bibir lalu menyindir, “Jiwa, jadi namamu Jiwa? Nama panjangmu pasti sakit Jiwa!”
Jiwa yang merasakan kepalanya sakit memilih mendiamkan Ayuda, dia bahkan menyentuh bagian yang terkena pukulan dengan tangan lalu memastikan apakah kepalanya terluka. Jiwa membuka pintu sedangkan Ayuda masih menatap nyalang.
“Apa yang terjadi Tuan?” tanya pria yang membawa Ayuda ke sana tadi.
“Gadis itu baru saja memukulku dengan vas bunga,” jawab Jiwa. Ia sentuh lagi belakang kepala dan ternyata ada cairan yang membasahi tangannya.
“Tuan Anda berdarah,” ucap pria yang lain dengan mimik muka panik.
“Jangan sampai dia keluar dari sini!” Titah Jiwa. Pria itu berjalan sambil terus memegangi kepala.
“Sebaiknya kita ke rumah sakit Tuan,” ucap satu pria yang mengikuti langkah kaki Jiwa, sedangkan yang lain menutup pintu kamar dan menguncinya.
Ayuda berlari mendekat, dia berteriak kembali dengan suara lantang penuh kemarahan. “Pria laknat, lepaskan aku! keluarkan aku dari sini! akan kubunuh kalian nanti!” umpatnya berkali-kali.
**
Jiwa meringis, dia mendapat dua jahitan di belakang kepala bahkan harus kehilangan sedikit rambutnya. Pria itu mengumpat dan bahkan memegangi kening karena merasa sedikit pusing. Jiwa memilih menelengkan kepala ke arah kiri, mencoba memejamkan mata. Sejatinya didalam lubuk hati, Jiwa sadar perbuatannya salah. Sebagai pria dia merasa sudah mengkhianati istrinya karena sudah menjamah tubuh wanita lain.
Namun, semua ini juga atas persetujuan Wangi. Wanita yang Jiwa nikahi tiga tahun lalu itu bahkan membelikannya obat perangsang, saat dia berkata tidak mungkin bisa melakukan perbuatan itu secara sadar ke wanita lain.
Bukan tanpa alasan dia menjamah tubuh Ayudara tadi. Jiwa terdesak keinginan papanya-Ramahadi yang menuntut untuk segera diberikan cucu, akan tetapi Wangi tidak mau karena karirnya sebagai selebritis sedang berada di puncak. Wanita itu takut kehilangan popularitas dan juga gelimangan materi yang sedang mengucur deras. Padahal Jiwa jelas bisa memberikan segalanya dengan mudah. Namun, Sifatnya yang keras dan tak gampang puas membuat jalan pikiran Wangi berbeda. Dia berniat memberikan cucu ke Ramahadi, dengan cara mencari wanita lain yang bisa mengandung anaknya.
Mereka ingin melakukan program bayi tabung dengan ibu pengganti, tapi di negara ini proses seperti itu hanya dilegalkan untuk pasangan yang telah menikah, tidak diperuntukkan para wanita lajang. Sedangkan gadis yang mereka beli ternyata masih perawan. Dokter yang sudah mereka bayar dengan mahal pun tidak berani, bagaimanapun caranya mereka harus mencari wanita lain. Wangi tak ingin rugi, dia menyukai gadis yang dia beli dari seorang germo dengan harga mahal, menurutnya gadis bernama Arra itu lemah dan mudah untuk diinjak, jadi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dengan mudah bisa dia singkirkan.
Sementara itu, Ayuda masih meringkuk di kamar. Ia melihat noda darah bercampur cairan percintaannya dengan Jiwa di atas ranjang. Giginya bergemerutuk menahan emosi. Meski tinggal di luar negeri, dia sangat menjaga kehormatan, bahkan Ayuda ditinggalkan pria yang sangat dia cintai karena tidak mau melakukan hubungan badan sebelum resmi menikah.
“Aku akan membunuhnya, aku bersumpah akan membunuh pria itu,” gumam Ayuda. Air matanya tiba-tiba membasahi pipi, setegar dan sekuat apapun dirinya, tetap saja perlakuan laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya tadi membuatnya terguncang.
***
Sementara itu, siang kemarin di parkiran sebuah hotel mewah seorang pria terus saja menelepon ke ponsel Ayuda. Dia heran karena sudah mencoba beberapa kali tapi tetap tidak mendapat jawaban. Ia mulai gusar. Menurut cerita, putri tunggal dari bos besarnya itu terkenal keras dan garang.
“Apa sekretaris Pak Affandi salah memberi informasi?” gumam Aldi. Pria berbadan kekar itu memilih turun dari mobil lantas berjalan masuk ke lobi.
“Permisi saya ingin memastikan apakah Nona Ayudara Affandi benar menginap di sini?” tanyanya setelah sampai di meja Front office.
Petugas itu pun bertanya apa keperluan Aldi, karena privasi tamu tidak bisa dengan mudah dibocorkan ke orang lain.
“Saya pengawalnya, saya sudah menghubungi ponselnya sejak tadi tapi tidak jawab, kalau saya tidak boleh naik ke kamarnya, bisa tolong informasikan saja,” pinta Aldi setelah petugas berkata Ayuda memang menginap di sana.
“Baik, informasi apa yang bisa saya katakan ke Nona Ayudara?” tanya petugas itu.
“Tolong katakan kalau pengawal yang dikirimkan Pak Affandi datang dan ingin bertemu,” jawab Aldi.
Petugas front office mengangguk, lalu mendial nomor kamar Ayuda. Namun, setelah dicoba beberapa kali tetap tidak ada jawaban dari sana.
“Maaf Pak, tidak diangkat. Mungkin Nona Ayudara sedang keluar.”
Pelukan, kasih sayang dan senyuman tulus kini bisa Jiwa rasakan setiap hari. Hidupnya sudah lengkap dengan kehadiran istri yang sangat dia cintai, juga putri cantik yang semakin hari semakin pintar. Jiwa berdiri sambil memegang cangkir kopi di tangan, dia memandang ke arah Nala yang sudah mulai belajar berjalan bersama bik Nini. Sementara itu, Ayuda bertelanjang kaki menemani dengan perut yang nampak membuncit. Nala, dia pasti terlihat seperti saudara kembar dengan adiknya nanti. “Nala pintarnya!” puji Ayuda, putrinya itu tertawa dan memeluk kakinya. Dia sedikit kesusahan untuk mengusap punggung sang putri karena terganjal perutnya yang sudah besar. Dengan bantuan bik Nini, Ayuda akhirnya bisa menggendong Nala. Namun, tak diduga Jiwa langsung berlari dan meminta Ayuda untuk tidak melakukan itu. “Sayang, kasihan adik Nala nanti,”ucap Jiwa. Bik Nini yang melihat tuannya sangat posesif pun tersenyum. Ia bahkan dibuat malu sendiri dengan tingkah Jiwa yang over protective. “Dari pada
Aura pengantin baru terpancar jelas dari wajah Dira. Kembaran Ayuda itu nampak sedang duduk bersama mertua dan saudara-saudara Aldi di teras sambil bercanda. Ibunda Aldi menceritakan bagaimana masa kecil pria itu, sampai aibnya yang masih suka minum susu menggunakan dot meski sudah kelas 5 SD.“Besok kalau kamu hamil banyak-banyak sugesti calon bayimu, jangan sampai kayak bapaknya.”Dira tertawa, dia tak sadar Aldi sedang memandanginya. Pria yang sudah resmi mempersuntingnya itu sibuk membantu merapikan kursi yang dipinjam dari RT untuk acara pengajian.“Lha … gimana nggak kayak bapaknya, Bu? Kalau aku hamil ‘kan memang anak mas Aldi, kalau nggak mirip nanti bisa-bisa malah menimbulkan fitnah,”kata Dira.“Maksudnya sifatnya yang jelek-jelek itu lho, Ra!”“Mas Aldi nggak punya sifat jelek, Bu. Mas Aldi itu sempurna buatku.”Aldi yang mendengar pujian sang istri seketika malu. Pipinya bahkan merona merah sedangkan Dira terlihat sangat santai meski orang-orang bersorak menggoda.“Ya begi
Pernikahan adalah impian setiap wanita, apalagi menikah dengan pria yang sangat dicintai. Begitu juga dengan Sienna, dia tidak pernah menyangka hatinya akan tertambat pada pria casanova seperti Raga. Meski tahu bagaimana sepak terjang pria itu, tapi Sienna yakin, suaminya itu kini sudah berubah. Ibarat panci bertemu tutupnya, mereka saling melengkapi. Membangun pernikahan yang sebenarnya mereka sendiri masih belum begitu yakin.Namun, Raga dan Sienna yakin mimpi-mimpi dan rencana akan mereka temukan seiring berjalannya waktu. Seperti saat ini. Mereka harus menunda bulan madu karena Sienna harus menghadapi ujian semester."Boleh aku bicara serius?" tanya Raga saat mereka berada di dalam salah satu kamar villa milik Ramahadi.Raga teringat akan Ayuda yang mual-mual tadi, setelah ditanya kakak iparnya itu menjawab dia memang belum datang bulan sejak melahirkan Nala. Kata Linda, kemungkinan besar Ayuda pasti hamil lagi."Bicara serius? Apa?"Sienna yang memakai paha Raga sebagai bantalan
Tiga bulan kemudianHari yang membahagiakan untuk semua orang akhirnya tiba. Ramahadi mengajak seluruh keluarganya pergi ke villanya yang dulu digunakan Ayuda untuk bersembunyi.Raga baru seminggu menikah dengan Sienna. Bulan madu mereka pun tertunda karena Sienna harus menghadapi ujian semester minggu ini. Raga tidak mau kalau sampai kuliah istrinya itu terganggu hanya karena bulan madu - yang sejatinya sudah sering mereka lakukan sebelum menikah.Affandi juga hadir, dia menerima undangan dari Ramahadi dengan penuh suka cita. Awalnya Affandi ingin mengajak Dira ke sana, tapi putrinya itu lebih dulu menerima ajakan dari sang mertua untuk berkumpul di rumah keluarga besar Aldi.Ayuda nampak memangku Nala, dia menyusui putrinya sambil menatap keluar jendela di mana papanya tengah sibuk mengobrol dengan sang mertua. Ayuda menepuk pantat Nala lembut, dia menoleh kaget kala Jiwa keluar dengan membawa buku - yang dulu selalu menjadi teman saat dirinya merasa kesepian tinggal sendiri di sana
Di saat putra putri mereka sedang berdua dan kembali meleburkan asa, Affandi dan Ramahadi duduk bersama. Ramahadi tak menyangka pria yang seumur hidup terus menganggapnya musuh kini mengajaknya bicara. Affandi bahkan mengeluarkan satu kata yang dia rasa mustahil untuk didengar. “Maaf!” Ramahadi tentu tak bisa percaya begitu saja, setelah hampir berpuluh-puluh tahun menganggapnya musuh, kini Affandi mengucap kata maaf dan terdengar begitu sangat tulus. “Aku tahu perbuatanku salah, dan selama ini aku terlalu malu untuk mengakuinya. Mungkin, pertemuan Ayuda dan Jiwa adalah takdir yang memang sudah ditetapkan, hingga akhirnya aku bisa sadar,”ungkap Affandi panjang lebar. Hening, Ramahadi tak langsung membalas permintaan maaf Affandi. Ia mencoba mencerna dulu, menimbang apakah pria itu tulus atau hanya sekadar meminta maaf agar dirinya tak lagi menaruh prasangka. “Aku sudah lelah bekerja, aku ingin menyerahkan perusahaan ke anak-anakku, dan aku ingin hidup tenang bermain bersama cucu,”
Terkesan nakal, tapi begitulah naluri manusia dewasa. Mereka memiliki birahi yang butuh disalurkan. Ayuda tahu perbuatannya membuat Jiwa semakin ingin menerkamnya. Namun, bukankah itu yang mereka inginkan? Ayuda memindai manik mata Jiwa, di sana terlihat penuh cinta, berbeda dengan tatapan mata pria itu saat pertama kali menyentuhnya. Tak ada perasaan hangat seperti ini, Jiwa bahkan mencekoki dirinya obat perangsang agar nafsunya tersalurkan tanpa perlu ikatan seperti saat ini. Jiwa membelai pipi Ayuda, mencium setiap bagian wajahnya seolah setiap incinya tak ingin terlewatkan untuk dia cicipi. Pria itu menghentikan sapuan bibir di hidung bangir sang istri, sorot matanya seolah meminta izin. “Bisakah aku bisa melakukannya jauh lebih dari ini.” Ayuda tersenyum tipis, tangannya menarik tengkuk Jiwa hingga bibir mereka kembali bertaut. Mereka sama-sama memejamkan mata, menyelami setiap perasaan cinta yang membara. Perlahan tangan Ayuda melonggar dan beralih membuka kancing kemeja Jiw