Share

Mereka di Sini!

Setelah selesai mengerjakan seluruh pekerjaan rumahnya dan juga membersihkan dirinya sendiri, jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam saat Valerie merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia menatap langit-langit kamarnya, merenung dengan kehidupan yang seolah tidak berpihak padanya.

Saat masuk ke dalam keluarga Riven, usianya hanya enam tahun. Dan sekarang dia sudah berusia sembilan belas tahun. Itu artinya dia sudah kurang lebih tiga belas tahun menjalani hidup yang tak manusiawi seperti ini.

Valerie memejamkan matanya saat tiba-tiba wajah Emrys membayang di otaknya. Valerie segera membuka mata, duduk sembari menggelengkan kepalanya.

Astaga, kenapa aku bisa membayangkan wajahnya begitu aku memejamkan mata? Aku hanya sekilas menatapnya, bagaimana bisa dia langsung diam dalam memoriku?

Saat ponsel yang diletakkannya di atas nakas berbunyi, Valerie hampir saja melompat karena kaget. Dia sedang terhanyut dalam angannya sendiri tentang Emrys saat benda pintar itu berdengung. Sebuah nomor tidak dikenal melakukan panggilan padanya, dan untuk sesaat Valerie tampak menimbang-nimbang apakah dia harus menerimanya atau tidak. Hingga..

“Halo.”

“Kenapa kalian langsung pergi meninggalkanku tadi di stasiun, hah?”

Valerie bahkan harus menjauhkan ponsel dari telingannya karena suara Isabelle terdengar sangat nyaring.

“Sudah ku bilang tunggu. Aku belum mengucapkan terimakasih pada kalian, aku belum mengenalkan kalian pada Emrys. Apa kalian tahu kalau aku sangat sedih begitu mengetahui kalian sudah pergi? .... "

Valerie tersenyum saat mendengar Isabelle masih menggerutu tentang hal yang lainnya. Bukannya dia dan Zach tidak mau menunggu. Mereka berdua juga masih punya kesibukan lain, dan Zach juga harus segera kembali. Mengetahui jika Isabelle aman bersama keluarganya, maka mereka tidak lagi memiliki hal penting untuk dilakukan di sana.

“Maaf.” ujar Valerie pada akhirnya. “Aku dan Zach harus pergi karena kami juga masih memiliki hal-hal yang harus dilakukan.”

“Tapi kalian bisa menunggu setelah aku dan Emrys selesai bicara.”

“Terlalu lama.” Valerie turun dari tempat tidurnya dan melangkah menuju jendela. “Lagipula tidak enak, seolah-olah kami menunggu imbalan dari keluargamu.”

Saat Valerie melihat ke luar dari jendela kamarnya, tiba-tiba dia melihat seseorang berdiri tak jauh dari rumahnya. Dia hilir mudik di luar sana, sembari mengarahkan pandangannya ke rumah Valerie. Perasaan Valerie mulai tidak nyaman. Dia mengintip dengan menyibak tirai jendela perlahan, dan menemukan jika laki-laki itu masih di sana.

Jantung Valerie langsung berdegup cepat dan dia ketakutan setengah mati, terlebih karena keadaan rumahnya kosong. Ibunya sudah pergi ke cafe dan bakal pulang besok subuh dan hanya ada dia, seorang gadis biasa di rumahnya. Valerie menempelkan dirinya ke tembok sementara dia masih tetap terhubung dengan Isabelle, namun dia tidak begitu mendengar apa yang diucapkan Isabelle lagi.

Setelah beberapa saat, dan jantungnya sudah cukup tenang, dia kembali menyibak tirainya sedikit. Dan laki-laki itu masih di sana, sengaja membuka masker di wajahnya dan menyeringai pada Valerie. Mata Valerie membelalak dan tungkai kakinya segera layu. Valerie duduk meringkuk gemetaran di bawah jendela kamarnya.

“Hei, Valerie ... Apa kamu mendengarku? Valerie ... "

Suara Isabelle yang masih terhubung dengannya terdengar sangat kesal karena mengira Valerie mengabaikan panggilannya. Dia sudah mengatakan banyak hal namun tak satu pun diantaranya yang direspon oleh Valerie. Isabelle tidak tahu, Valerie sedang ketakutan saat ini.

“Isabelle.” Suara Valerie yang gemetaran bahkan nyaris tak terdengar.

“Ada apa? Kenapa kamu terdengar ... "

“Mereka tahu rumahku.” Air mata Valerie mulai menggenang.

"Hah?"

"Yang menculikmu tadi sore. Mereka ada di sini."

Dia mencoba menenangkan dirinya dengan menarik nafas beberapa kali. Namun saat dia kembali membayangkan senjata api yang menggantung di pinggang pelaku penculikan Isabelle, jantungnya justru memacu lebih cepat. Valerie menutup mulutnya sendiri dan menangis ketakutan.

“Valerie, kamu baik-baik saja?”

Walau ponselnya tidak diletak di telinganya, Valerie bisa mendengar suara panik Isabelle.

“Aku takut. Bagaimana ... bagaimana kalau dia ... ” Suara Valerie terdengar putus-putus. "Isabelle, bagaimana ini?”

“Tenanglah. Aku akan ke sana.”

“Tolong segera datang.”

Valerie menutup mulutnya saat mendengar sebuah benda terjatuh di ruang tamu. Dia segera berlari menuju pintu dan menguncinya. Gusar, panik dan ketakutan, Valerie berusaha mengumpulkan tenaganya untuk mendorong meja belajar yang cukup berat untuk menutup pintu kamarnya.

Perlahan-lahan, Valerie mendorongnya hingga benda itu bisa berpindah tempat untuk menghalangi pintu kamarnya. Tiba-tiba dia mendengar pintu kamarnya diketuk.

Dia berteriak, lalu dengan segera menunduk di samping meja belajar. Jantungnya memacu dengan lebih intens, terlebih saat dia melihat bayangan lewat celah sempit di bawah pintu kamarnya. Bayangan itu tampak hilir mudik, terkesan seperti ingin menakut-nakuti Valerie. Namun Valerie tentu saja tidak percaya jika laki-laki itu datang mengawasi rumahnya hanya untuk menakut-nakuti Valerie.

Sial, kenapa aku malah terseret seperti ini? Seharusnya aku lebih hati-hati saat pulang tadi. Seharusnya aku memastikan jika aku tidak diikuti oleh siapa pun. Valerie, bodoh sekali kamu.

“Kamu masih di sana, Valerie?”

Valerie nyaris melempar ponselnya karena terkejut mendengar suara berat laki-laki yang masih terhubung dengannya lewat nomor pribadi Isabelle. Valerie bahkan tidak ingat jika dia masih melakukan panggilan. Karena panik, dia tidak terlalu memperhatikan keberadaan ponselnya lagi.

“Ka-kamu siapa?” ujar Valerie panik.

“Emrys. Emrys Lysander, kakak Isabelle, gadis yang kalian selamatkan tadi sore di kereta api.”

Suara bariton itu terdengar sangat berat dan dingin namun terkesan menenangkan, bukan jenis suara berat yang menakutkan. Bahkan lewat suaranya, Valerie bisa mengukur seberapa dingin sikap Emrys sehari-harinya.

“To-tolong aku. Dia masih di sini.”

“Tenanglah. Anak buahku mungkin sudah tiba di sana.”

Valerie tiba-tiba menyadari jika sudah tak ada bayangan seseorang yang berjalan hilir mudik. Dia naik ke atas meja, mencoba menempel telinganya ke pintu kamar. Ruang tengah rumahnya terdengar sepi dan sunyi, seolah-olah tak ada siapa pun di sana. Tapi bukankah baru saja dia masih melihat bayangan seseorang itu?

“Nona Valerie.”

Valerie terperanjat dan jatuh ke bawah saat mendengar suara pintu kamarnya di ketuk dan seseorang memanggil namanya. Dia mengumpat sambil mengelus pinggangnya yang terasa sakit. Kenapa bisa keadaan yang tadinya sangat tenang mendadak ada suara? Kenapa mereka bisa bergerak tanpa menimbulkan suara apa pun?

“Nona Valerie, Anda baik-baik saja? Anda boleh keluar. Semuanya sudah aman.”

Kembali Valerie mendengar suara dari laki-laki yang sama. “Thanks.” sahutnya sembari berdiri dan mengelus pinggangnya yang masih terasa berdenyut.

Dia mendorong kembali meja belajar yang menghalangi jalannya ke luar kamar. Setelah berhasil mengembalikan meja belajar ke tempatnya, dia membuka pintu kamar, menyembulkan kepalanya untuk memastikan keadaan di luar.

Ada tiga orang laki-laki berdiri di ambang pintu kamarnya, dan dua orang lagi hilir mudik di ruang tengah. Semua laki-laki yang ada di rumahnya mengenakan bross sulur seperti yang dilihatnya di stasiun tadi. Jadi ini tanda pembeda antara satu kelompok dengan kelompok yang lain? Karena mereka semua memakai pakaian serba hitam yang nyaris sama, tentu saja mereka memerlukan sesuatu yang bisa menjadi pembeda, bukan?

“Terimakasih banyak.” gumam Valerie.

“Sama-sama Nona. Tuan Emrys memerintahkan kami untuk berjaga di area rumah anda, jika anda tidak keberatan.”

Tentu saja Valerie tidak keberatan. Dia tidak punya alasan untuk menolak bantuan Emrys. Dia perlu merasa aman di rumahnya sendiri, dan satu-satunya cara mendapatkannya saat ini adalah dengan bantuan anak buah Emrys. Bagaimana mungkin Valerie bisa menolaknya?

Valerie menganggukkan kepalanya. “Kalian bisa melakukan apa pun. Anggap saja ini rumah kalian.” Serunya ramah.

“Terimakasih Nona Valerie, tapi kami akan berjaga di luar.”

“Oh.” sahut Valerie pendek.

Kelima laki-laki tadi menunduk padanya, seolah-olah Valerie kini adalah orang penting. Setelah menundukkan kepala pada Valerie, kelimanya langsung melesat meninggalkan ruang tengah. Valerie tersenyum, lega dan tenang. Dia menutup pintu kamarnya dan mencoba mengintip dari jendela kamar. Kelima orang laki-laki itu terlihat hilir mudik di halaman rumah Valerie dan akhirnya Valerie bisa bernafas dengan sangat lega.

Sambungan teleponnya dengan Isabelle sudah terputus. Valerie naik ke tepat tidur dan mengetik sesuatu di layar ponselnya.

"Terimakasih banyak Isabelle, terimakasih banyak Tuan Emrys!" gumamnya tanpa sadar.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Indah Syi
oh ya Mas Zack
goodnovel comment avatar
Indah Syi
acieeee cinta pada pandangan pertama, trus bagaimana nasib nick atau siapa tuh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status