"Aku juga merasa ada yang mengikutiku sore itu saat aku kembali naik ke kereta api.”
Lewat sambungan telepon, Valerie dan Zach bertukar kabar dan Valerie segera memberitahu Zach soal apa yang dialaminya tadi malam. Valerie menuang susu segar yang diambilnya dari dalam kulkas ke dalam sebuah gelas.Dia kembali mengintip dari celah jendela ruang tengah dan orang-orang suruhan Emrys masih di sana. Sambil menumpukan pinggulnya ke sisi meja, dia meminum susu di gelasnya beberapa teguk.“Lalu, bagaimana caramu menghindar?” tanya Valerie penasaran.“Apa lagi? Aku berhenti di pemberhentian yang bukan tujuanku. Aku buru-buru keluar secepat mungkin, berusaha berbaur dengan kepadatan penumpang lalu kembali naik ke kereta api di arah yang berlawanan.”“Berarti kamu harus naik turun sebanyak empat kali?”“Benar sekali.”Valerie tersenyum. Ide yang sangat bagus. Dibandingkan dirinya yang langsung melengos pulang, Zach jauh lebih mempersiapkan semuanya. Selama hidup Valerie memang tidak pernah berhubungan dengan hal-hal seperti penculikan atau bermasalah dengan beberapa kelompok tertentu di kotanya. Itu sebabnya dia tidak memperhatikan hal besar seperti dibuntuti pulang dan merasa jika hidupnya aman-aman saja.“Jadi Tuan Emrys secara khusus mengirim anak buahnya untuk menjagamu?”“Sepertinya ... ya, bisa dibilang seperti itu.” gumam Valerie. “Tapi bisa jadi Isabelle yang berteriak minta tolong padanya. Jadi, hal itu tidak bisa dikatakan khusus, bukan?”“Apa bedanya?” sahut Zach. “Intinya Tuan Emrys yang memerintahkankan mereka. Walaupun itu karena Isabelle, tetap saja dia memerintahkannya secara khusus.”Sebuah tawa melengkung di wajah Valerie, namun tiba-tiba raut wajahnya berubah saat Lissa muncul di ambang pintu. Dia sempoyongan, rambutnya masih acak-acakan dan bau alkohol langsung menguar begitu dia masuk. Sambil meracau soal hal-hal yang tidak jelas, Lissa melepas sepatunya begitu saja dan meninggalkannya tanpa menyimpannya di rak.“Zach, aku akan menghubungimu kembali nanti. Aku ada urusan sebentar.”Valerie meletakkan gelas susu dan ponselnya di atas meja. Sepatu Lissa diletakkannya kembali ke rak sepatu yang terletak di sisi pintu. Valerie membuntuti Lissa hingga wanita paruh baya itu tiba dengan aman di kamarnya. Lissa tampak merangkak menuju tempat tidur dan dia masih mengatakan banyak hal yang sama sekali tidak dimengerti oleh Valerie.Setelah tiga kali percobaan, akhirnya Lissa bisa naik ke atas tempat tidurnya dan langsung tidur dengan posisi telungkup. Valerie mendesah, lalu menutup pintu kamar Lissa segera. Dia langsung kembali ke dapur. Seperti biasa, dia akan menyiapkan larutan untuk menghilangkan pengar Lissa, juga air hangat untuk membersihkan tubuhnya.Setelah larutan yang dia buat dari irisan jahe jadi, dia langsung membawanya ke dalam kamar bersama sebuah ember kecil berisi air hangat. Valerie meletakkan gelas di atas nakas dan mulai naik ke atas tempat tidur. Dia membalik tubuh Lissa agar tidak tidur telungkup. Setelah itu dia membasahi kain lap nya dan mulai membasuh anggota tubuh Lissa.Valerie memindahkan sejumput rambut Lissa yang menutupi wajahnya. Dalam keadaan tidur seperti ini, wajah Lissa sangat teduh dan masih sangat cantik. Valerie tersenyum sembari mengelus wajah Lissa, teringat ketika Dad dulu begitu memuji-muji kecantikan Lissa muda.“Mom ...” Kali ini tangan Valerie turun ke tangan Lissa, mengangkatnya dan meletakkan telapak tangan Lissa di wajahnya. “Jangan menamparku lagi.” gumam Valerie dengan air mata yang tertahan. “Aku tahu apa yang kamu rasakan. Kepahitan yang kamu bawa selama ini dan semua luka hatimu, aku mengerti. Tapi aku adalah puterimu. Tolong, letakkanlah tanganmu di wajahku untuk membelaiku, bukan menamparku.”Valerie sangat rindu sosok keluarga yang mencintainya. Mungkin itu sebabnya Valerie begitu mengagumi Emrys. Dia sangat tersentuh dengan cara Emrys memeluk Isabelle. Bisa merasakan cinta dari anggota keluarga pasti sangat menyenangkan dan mengetahui ada seseorang yang mengkhawatirkan kita pasti terasa sangat mengharukan. Namun sepertinya Valerie tidak akan bisa merasakannya, kecuali dia bertemu laki-laki suatu hari nanti.Tapi bukankah itu masih sangat lama? Usianya masih sembilan belas tahun. Jadi sepertinya itu hanya angan yang entah kapan bisa terwujud.Setelah selesai membersihkan tubuh Lissa, Valerie meninggalkan kamar Lissa dan menutup pintunya dengan pelan. Begitu pintu tertutup, entah kenapa, Valerie tiba-tiba merasakan kesedihan yang teramat sangat.Seperti dadanya dihimpit oleh sesuatu yang membuatnya sulit untuk bernafas, yang membuatnya tidak sanggup berdiri. Valerie menangis sesenggukan di balik pintu Lissa. Dia masih setia menunggu saat dimana Lissa akan memanggil namanya, atau mungkin saat dimana Lissa akan memeluknya.Walau terdengar hampir tidak mungkin, tapi tidak ada salahnya untuk berharap.*Kediaman Lysander.“Sudah kamu undang mereka untuk makan malam di rumah kita?”Grandpa duduk di sofa khusus miliknya ketika mereka berkumpul di ruang utama. Emrys duduk di sebelah kanannya, seperti biasa mengotak-atik ponselnya untuk mengerjakan sesuatu sementara Isabelle juga melakukan hal yang sama. Namun bedanya, dia mengotak-atik ponselnya untuk sekedar bertukar pesan dengan Valerie dan Zach di sebuah grup yang dibuatnya sendiri.“Aku sudah meminta Ky untuk mengurusnya. Seharusnya mereka sudah menerima undangan dari kita.” Sahut Emrys.“Bagaimana dengan jamuannya? Sudah kamu urus juga?”“Aku sudah berpesan pada Madam Giselle untuk menyiapkan jamuan khusus untuk mereka.” Emrys menegakkan punggungnya, tersenyum pada Grandpa karena terlihat gelisah. “Tenanglah Grandpa. Aku akan mengatur semuanya dan Grandpa sebaiknya istirahat saja. Semuanya akan selesai dan mereka pasti akan merasa puas dengan jamuan kita.”“Kamu selalu memintaku untuk tenang, padahal hal sederhana saja tidak bisa kamu urus.” sungut Grandpa.Emrys dan Isabelle mengangkat wajah mereka bersamaan saat mendengar sungut-sungut Grandpa. Isabelle memicingkan mata pada Emrys dan langsung ditanggapi oleh Emrys dengan mengangkat bahu.“Grandpa, jangan bersungut-sungut. Nanti gula darahnya naik.” Isabelle mengingatkan.“Bagaimana aku bisa tenang? Lihat Kakakmu. Tahun ini, usianya sudah tiga puluh empat tahun dan dia belum juga membawa cucu menantu ke hadapanku.”Isabelle berdecak. “Bukankah kita tadi membahas tentang perjamuan untuk teman-temanku? Kenapa malah membahas usia Emrys?”“Pikirkan bagaimana malunya aku saat teman-temanmu datang dan hanya kita bertiga yang menyambut mereka. Jika Emrys sudah menikah, bukankah wibawa kita makin terangkat?”Emrys menggosok kedua telapak tangannya, memberi kode lewat tatapan matanya pada Isabelle untuk menangani Grandpa. Isabelle membalasnya dengan mata melotot sebagai bentuk protesnya. Selama ini, Emrys menjadikan Isabelle sebagai alat jika Grandpa sudah membahas soal pernikahan. Karena jika dia yang bicara, Grandpa tidak akan mau mendengarnya dan bahkan akan menyuruhnya tutup mulut.Berbeda dengan Isabelle. Gadis itu akan sangat mudah meluluhkan hati Grandpa dan membuat Grandpa tidak lagi membahasnya.“Jangan terus menerus menjadikan adikmu tameng. Bicaralah padaku secara langsung.” Grandpa menunjuk Emrys menggunakan tongkatnya.“Grandpa ...”“Sudahlah. Aku tidak mau mendengar alasanmu.” Grandpa memotong kalimat Emrys dengan cepat.“Tadi Grandpa yang memintaku bicara.” seru Emrys protes.Isabelle tertawa kecil. Dia meletakkan ponselnya dan beranjak duduk di sisi sofa Grandpa. Raut wajah Emrys sudah terlihat kesal dan dia tidak mau membuat masalah ini semakin memuncak. Dengan mengelus punggung Grandpanya lembut, Isabelle berucap, “Percayalah Grandpa. Suatu hari nanti Emrys akan bertemu wanita yang tepat untuknya.”“Aku sudah meminta seseorang menjemputmu.” ucap Isabelle lewat sambungan telepon pada Valerie. “Zach juga sudah ku hubungi. Karena dia sekalian ada urusan di luar, dia menolak untuk dijemput. Dia akan datang sendiri dan aku sudah memberi alamatku.”Valerie tidak menyahut saat mendengar suara Isabelle lewat speaker yang dinyalakannya. Dia menatap isi lemarinya, memilah-milah mana pakaian yang tepat yang bisa digunakannya ke jamuan khusus keluarga Lysander. Namun kapan dia membeli gaun terakhir kalinya? Mungkin sekitar tiga atau empat tahun yang lalu, dan semua isi lemarinya hanyalah pakaian kasual yang jelas tidak pantas digunakannya.Kehabisan ide, Valerie membawa ponselnya ke kamar Lissa. Senja seperti ini, Lissa sudah keluar menuju cafe. Itu sebabnya Valerie bisa masuk ke kamarnya dan mengecek isi lemari Lissa, siapa tahu dia menemukan pakaian yang bisa digunakannya.“Hei, apa kamu mendengarku?” Valerie mendengar suara teriakan Isabelle. Dia tersenyum, lalu menggumam pelan.“Aku se
“Aku tidak bisa menghubunginya.” Isabelle menaiki anak tangga dan nyaris menangis di hadapan Emrys. Dia, Emrys dan Ky berdiri di teras kediaman Lysander saat supir yang diperintahkan oleh Ky memberitahunya jika rumah Valerie kosong. Isabelle menunjukkan isi pesan yang dikirim Valerie padanya yang memberitahu dia jika Valerie sudah di jalan.“Ke mana dia sekarang? Siapa yang membawanya?” Isabelle terlihat sangat panik. “Emrys ...” Dia memegang lengan Emrys yang berdiri diam layaknya patung.“Belle, tenanglah,” ujar Emrys pendek. “Kita akan menemukannya.”“Belle.”Zach yang baru saja tiba berlari menaiki anak tangga dan bergabung dengan Isabelle, Emrys dan Ky di teras. Dia menundukkan kepalanya menyapa Emrys dengan nafas tersengal. Saat Isabelle mengabarinya jika Valerie dijemput oleh orang yang bukan suruhan keluarganya, perasaan Zach langsung tidak enak. “Bagaimana? Apa sudah ada kabar dari Valerie?” ujarnya lagi.Isabelle menggeleng. “Tidak ada. Tapi orang-orang Emrys sudah bergerak
Valerie menatap tajam mata Cassiel dengan berani saat laki-laki itu duduk di depannya. Seolah ingin memberitahu Valerie jika hidupnya berada di tangannya, Cassiel terlihat menyibak jasnya, menampakkan senjata api di pinggangnya dengan sengaja. “Untuk ukuran seseorang yang baru mengenal Isabelle, kamu cukup ikut campur terlalu banyak.” serunya lagi.“Aku hanya berniat menolongnya.” sahut Valerie.Cassiel tersenyum mengejek. “Memangnya kamu siapa? Kenapa kamu menolongnya?” Dia berbisik tepat di wajah Valerie.“Walau dia bukan Isabelle, jika seseorang meminta tolong padaku, aku akan menolongnya.” balas Valerie lagi.Cassiel tertawa terbahak-bahak, menoleh ke belakang hingga dua orang dibelakangnya juga ikut tertawa “Benarkah?” serunya. Saat tawanya selesai, maka tawa dua orang di belakangnya juga selesai. “Kamu merusak semua hal yang sudah ku susun dengan rapi.”“Berapa usiamu?” tanya Valerie kemudian. “Isabelle hanya gadis berusia sembilan belas tahun. Tidakkah kamu merasa kamu terlalu
Seperti binatang, Valerie dijorokkan begitu saja ke atas tumpukan daun-daun kering. Valerie berusaha bangkit, namun rambutnya ditarik dan dijambak dengan kuat hingga dia merasa jika kulitnya akan terkelupas. Setelah itu dia kembali dilempar dan wajahnya mengenai batang kayu kering yang melintang tepat di dekatnya.Tetesan darah mulai mengalir dari luka goresan akibat wajahnya terkena batang kayu. Valerie nyaris tidak bisa merasakan apa pun di area wajahnya. Semua rasa sakit itu seperti menyatu dengan harapan Valerie yang mulai pupus dan membuatnya mati rasa.Valerie kembali berusaha bangkit ditengah-tengah tawa menghina yang berkumandang. Air mata Valerie tumpah, seluruh tubuhnya bergetar hebat. Dia merangkak menjauhi mereka namun rambutnya kembali ditarik kencang.“Ikat dia!” Perintah Cassiel.Dua orang yang selalu berada di dekat Cassiel menyeret Valerie dengan menjambak rambutnya menuju sebuah batang pohon yang terletak di tengah lokasi tersebut. Valerie hanya bisa memegangi rambut
Mata Valerie menatap nyalang langit malam di atasnya. Sepi, gelap. Tidak ada bulan, tidak ada bintang di atas sana. Malam benar-benar menunjukkan identitas aslinya saat ini sebagai penguasa kegelapan.Gerimis mulai turun, semakin lama semakin deras. Saat tetesan demi tetesan air hujan itu mengenai kulit tubuh Valerie, dia tidak merasakan apa pun. Seharusnya dia mengigil kedinginan, namun sepertinya tubuhnya sudah tidak bisa merasakan apa pun.Dia sudah mati rasa.Air mata mengalir dari sudut mata Valerie, mengalir terus menyusuri wajahnya hingga ke lehernya. Dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi saat dua orang brengsek itu mencium dan menjilati tubuh Valerie dengan liar.Tubuh John menjulang di atas Valerie bagaikan raksasa jahat yang liar dan penuh hasrat. Tangan Valerie mengepal kuat. Matanya terus menatap lurus ke atas langit malam tanpa mengatakan apa pun. Hingga...Dor...Tiba-tiba Valerie mendengar dua buah bunyi tembakan yang memekakkan telinganya. Untuk beberapa detik Valerie
“Dokter Frans.” Emrys mendekati Dokter Frans. “Tolong lakukan yang terbaik. Aku akan pergi sebentar. Ingat, tidak ada satu orang pun yang boleh masuk ke ruangan ini sebelum gadis ini dibersihkan luka-lukanya dan berpakaian dengan layak. Akan ku minta seseorang mengantarkan pakaian bersih ke sini. Ingat. Siapa pun tidak boleh masuk, sekalipun dia Isabelle.” Tegas Emrys.“Baik Tuan Emrys.”Ketika Emrys membuka pintu, Isabelle langsung berusaha merangsek masuk namun dengan lembut Emrys menahannya. Dia menutup pintu dan segera terdengar bunyi klik dari dalam pertanda pintunya kembali dikunci.“Apakah sangat parah?” Isabelle menatap Emrys dengan air mata yang menggenang.Emrys mendesah lalu perlahan mengangguk. Isabelle menangis tersedu-sedu, tubuhnya semakin lama semakin menunduk hingga dia terkulai di lantai. Tangisannya terdengar hingga ke kamar pribadi grandpa yang menyebabkannya keluar dari kamar.“Ada apa, Emrys?”Grandpa berseru dari lantai bawah. Emrys segera membantu Isabelle berd
Setelah berdebat dengan Dokter Frans, akhirnya Isabelle memilih mengalah. Dia tidak diperbolehkan masuk bahkan untuk menyerahkan pakaian pada Valerie. Dokter Frans hanya menjulurkan tangannya lewat celah pintu yang dibukanya sedikit.Bersama Zach, dia terus menunggu di depan kamar tamu. Sesekali Isabelle kembali mengetuk pintu namun tidak ada sahutan dari dalam sana. Isabelle sudah meminta Grandpa kembali tidur dan berjanji akan menjaga Valerie hingga dia sadar.Keduanya duduk jongkok di depan pintu kamar tamu. Sambil sesekali menengok jam tangannya, Isabelle terus mengucapkan harapan untuk Valerie agar sgera bangun. Hingga Dokter Frans akhirnya membuka pintu, keduanya langsung merangsek masuk.Langkah Isabelle langsung tertahan bahkan sebelum dia tiba di dekat tempat tidur Valerie. Dia menutup mulutnya melihat dari kejauhan kondisi wajahnya yang hampir semua ditutupi oleh perban. Di bagian tangannya juga terdapat beberapa balutan sementara tubuh dan kakinya sudah ditutupi selimut hin
Emrys berjalan tertatih sementara di sampingnya Ky terus mendampinginya. Tampaknya luka Ky tidak terlalu parah karena dia mendarat ke atas tumpukan daun-daun yang mengering. Emrys berhenti. Dia melihat darah terus mengalir dari paha kirinya dan juga lengannya. Sambil menahan rasa sakitnya, dia duduk menyandarkan tubuhnya di sebuah pohon.“Tuan, kita harus ke rumah sakit.”Emrys menggeleng. Dia menelan ludahnya, menatap Ky dengan nafas terengah.“Bagaimana dengan orang-orang kita?”“Ada sekitar sepuluh orang yang mengalami luka serius dan sisanya hanya mengalami luka ringan. Tidak ada korban jiwa dari pihak kita, Tuan.”“Baguslah.” Emrys menelan ludahnya dengan susah payah. “Bawa aku ke rumah Dokter Frans saja. Aku tidak akan ke rumah sakit.”*“Grandpa.”Isabelle terkejut saat menyadari Grandpa sudah ada di dalam kamar tamu tempat Valerie dirawat. Dia ketiduran di samping Valerie karena dia berniat menjaga selang infus yang menetes ke tubuh Valerie. Namun siapa yang menyangka, bahkan