Puluhan –atau mungkin ratusan laki-laki bertubuh tegap dan mengenakan atasan hitam senada dengan bawahannya terlihat memenuhi stasiun. Mereka membentuk sebuah lingkaran dan seorang dengan tubuh kekar dan menjulang terlihat berjalan di tengah. Sebuah bross berbentuk sulur putih tampak disematkan di sebelah kanan atasan yang mereka kenakan.
Emrys mempercepat langkahnya saat dia mengetahui akan segera bertemu Isabelle. Anak buahnya sudah memberi tahu mereka jika Isabelle aman dan masih berada di dalam stasiun, dekat dengan sebuah ruangan bekas staff yang tak lagi digunakan. Namun walau mereka mengatakan Isabelle aman, tetap saja Emrys tidak bisa menutupi bias bersalah dari wajahnya.Orang-orang segera menyingkir begitu melihat kerumunan berpakaian serba hitam melintas di dekat mereka. Penduduk di kota Norfolk sudah mengetahui jika ada beberapa kelompok atau geng tertentu di kota mereka, yang biasanya dipimpin oleh orang-orang yang berpengaruh. Persaingan demi persaingan membuat hanya kelompok yang benar-benar kuat dan diakui saja yang tetap bertahan. Dan jika ada kerumunan orang dengan pakaian serba hitam seperti ini, mereka lebih memilih menyingkir daripada terseret masalah.“Belle ...”Emrys langsung berlari begitu melihat Isabelle berdiri menunggunya di balik tembok. Adik kecilnya itu tampak ketakutan, namun wajahnya juga menunjukkan ekpresi wajah yang melegakan begitu melihat Emrys. Dengan erat Emrys langsung membawa Isabelle ke dalam pelukannya dan mengelus rambutnya dengan lembut. Emrys bahagia, namun ada siratan luka di bola matanya karena Isabelle sempat hilang dari pandangannya.Dan saat pertama kali melihat Emrys, ada sebuah desir perasaan aneh dalam diri Valerie. Perawakan jangkung Emrys dengan tinggi di atas seratus delapan puluh senti dan tubuh berotot, membuat Valerie hanya terpaku padanya. Emrys memiliki ketampanan wajah yang khas, yang tidak pernah ditemui oleh Valerie sebelumnya. Berbeda dengan Isabelle, kulit Emrys terlihat tidak terlalu putih, namun lebih ke arah kecokelatan tapi tetap sangat bersahaja. Rambutnya hitam dengan garis wajah yang sangat tegas cenderung dingin serta sepasang bola mata berwarna cokelat terang.“Sepertinya dia sudah aman.” bisik Zach pada Valerie, membuyarkan lamunan Valerie tentang Emrys. “Kita bisa melanjutkan kembali perjalanan kita.”Valerie mengangguk setuju. “Aku juga masih punya keperluan lain. Sebaiknya, kita tak usah berpamitan. Biarkan mereka saling melepas rindu dulu.”Zach menggumam seraya menganggukkan kepalanya. Valerie membereskan kopernya dan mendorongnya meninggalkan kerumunan secara diam-diam. Sementara itu, Zach kembali menengok ke belakang. Ada perasaan yang bercampur aduk di dadanya saat akan meninggalkan tempat itu. Dia seakan masih ingin di sana dan tak rela pergi, namun dia juga menyadari jika dia hanya seseorang yang kebetulan bertemu dengan Isabelle. Sambil menarik nafas panjang, Zach menatap Isabelle sekali lagi.Isabelle, semoga kita bisa bertemu lagi lain hari.“Maaf aku tidak bisa menjagamu.” Emrys melepas pelukannya, menatap Isabelle dengan penuh rasa bersalah. “Tapi aku berjanji, tidak akan ada kata lain kali untuk peristiwa ini.”“Aku tahu. Laki-laki itu memang sedikit psycho. Tapi aku sudah kembali dan baik-baik saja sekarang. Ngomong-ngomong, aku ingin mengenalkanmu dengan orang yang membantuku. Jika tak ada mereka, mungkin aku ... ”Isabelle berhenti bicara saat dia tidak bisa menemukan keberadaan Valerie dan Zach. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut stasiun, namun sepertinya Valerie dan Zach benar-benar sudah pergi.“Ke mana mereka?” gumam Isabelle dengan suara sedikit tertahan karena sedih. Melihat kedua orang yang menolongnya menghilang begitu saja membuatnya sedikit kecewa. “Aku bahkan belum mengucapkan terimakasih dengan benar pada mereka berdua.”“Aku akan mengurus mereka. Akan ku undang mereka ke rumah kita sebagai ucapan terimakasih. Jangan khawatir."Isabelle mengangguk. Dia menggenggam tangan Emrys saat kakaknya itu memberi gestur untuk pergi meninggalkan lokasi itu. Masih belum yakin Valerie dan Zach benar-benar pergi, Isabelle kembali mengengok ke belakang, namun tak menemukan dua orang yang sedang dicarinya.*“Bodoh kalian semua, bodoh.”Cassiel Clement membanting ponselnya ke lantai hingga terbagi dua setelah menerima laporan bahwa anak buahnya gagal membawa Isabelle ke penginapan yang sudah disediakannya. Dengan nafas memburu, dia duduk di tempat tidur berukuran king size miliknya. Matanya memerah menahan marah dan kecewa. Kecintaannya pada Isabelle Lysander tak bisa lagi ditahannya. Namun Emrys, laki-laki sialan itu justru tak mau memberi kesempatan padanya untuk membuktikan jika perasaannya pada Isabelle benar-benar murni rasa cinta.Laki-laki itu membuat perasaannya tertahan. Bahkan Isabelle pun seolah ikut tak memberinya jalan untuk mencintainya. Pujaan hati yang selama ini tinggal di dalam hati Cassiel, menolaknya secara perlahan dan Cassiel tentu saja tidak terima.Walau Dex Clement, Ayahnya sudah memperingatkan Cassiel soal anak gadis satu-satunya keluarga Lysander, Cassiel tidak terlalu peduli. Dia tidak peduli pada kekuasan Emrys, dia tidak peduli dengan peringatan Dex. Baginya, Isabelle adalah hal mutlak yang harus dimilikinya dengan segera. Semua orang juga tahu, sosok Isabelle cukup terkenal di antara para laki-laki walau gadis itu masih belia. Dan Cassiel tidak akan mau kalah walau selangkah pun dari mereka, dan akan melakukan semua cara agar Isabelle jatuh ke dalam pelukannya.Cinta itu kelak bisa dibangun. Hal pertama yang harus dia rasakan adalah perasaan cintaku yang tulus. Tidak ada yang bisa menolakku. Siapa pun dia, tidak seorang pun boleh menolakku.“Aku pulang.”Valerie membuka pintu rumah dan seperti biasa dia disambut oleh pemandangan yang setiap hari dilihatnya sejak dia kecil. Barang-barang berserak di lantai, pakaian tercampak ke mana-mana. Setiap sudut rumah itu penuh dengan benda-benda yang seharusnya tidak berada di sana. Valerie menarik nafasnya, kelelahan.Dia baru saja keluar dari masalah pelik yang hampir saja membuat nyawanya melayang. Seharusnya dia bisa istirahat di kamarnya dan meminum teh camomile untuk menenangkan pikirannya. Namun bukannya ketenangan yang didapatnya setiba di rumah, melainkan pekerjaan yang menumpuk.“Minta uang!”Momnya, Lissa Stuart berdiri di depannya dengan penampilan urakan. Rambut sebahunya berantakan karena nyaris tak pernah disisir atau dibersihkan. Sebatang rokok yang masih menyala terselip di antara kedua sudut bibirnya. Dia mengenakan atasan tank top dan celana pendek di atas lutut yang membuat Valerie sedikit tidak nyaman.“Aku baru saja kembali dari pemakaman Granny. Aku tidak pun
Setelah selesai mengerjakan seluruh pekerjaan rumahnya dan juga membersihkan dirinya sendiri, jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam saat Valerie merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia menatap langit-langit kamarnya, merenung dengan kehidupan yang seolah tidak berpihak padanya. Saat masuk ke dalam keluarga Riven, usianya hanya enam tahun. Dan sekarang dia sudah berusia sembilan belas tahun. Itu artinya dia sudah kurang lebih tiga belas tahun menjalani hidup yang tak manusiawi seperti ini.Valerie memejamkan matanya saat tiba-tiba wajah Emrys membayang di otaknya. Valerie segera membuka mata, duduk sembari menggelengkan kepalanya.Astaga, kenapa aku bisa membayangkan wajahnya begitu aku memejamkan mata? Aku hanya sekilas menatapnya, bagaimana bisa dia langsung diam dalam memoriku?Saat ponsel yang diletakkannya di atas nakas berbunyi, Valerie hampir saja melompat karena kaget. Dia sedang terhanyut dalam angannya sendiri tentang Emrys saat benda pintar itu berdengung.
"Aku juga merasa ada yang mengikutiku sore itu saat aku kembali naik ke kereta api.”Lewat sambungan telepon, Valerie dan Zach bertukar kabar dan Valerie segera memberitahu Zach soal apa yang dialaminya tadi malam. Valerie menuang susu segar yang diambilnya dari dalam kulkas ke dalam sebuah gelas. Dia kembali mengintip dari celah jendela ruang tengah dan orang-orang suruhan Emrys masih di sana. Sambil menumpukan pinggulnya ke sisi meja, dia meminum susu di gelasnya beberapa teguk.“Lalu, bagaimana caramu menghindar?” tanya Valerie penasaran.“Apa lagi? Aku berhenti di pemberhentian yang bukan tujuanku. Aku buru-buru keluar secepat mungkin, berusaha berbaur dengan kepadatan penumpang lalu kembali naik ke kereta api di arah yang berlawanan.”“Berarti kamu harus naik turun sebanyak empat kali?”“Benar sekali.”Valerie tersenyum. Ide yang sangat bagus. Dibandingkan dirinya yang langsung melengos pulang, Zach jauh lebih mempersiapkan semuanya. Selama hidup Valerie memang tidak pernah berhu
“Aku sudah meminta seseorang menjemputmu.” ucap Isabelle lewat sambungan telepon pada Valerie. “Zach juga sudah ku hubungi. Karena dia sekalian ada urusan di luar, dia menolak untuk dijemput. Dia akan datang sendiri dan aku sudah memberi alamatku.”Valerie tidak menyahut saat mendengar suara Isabelle lewat speaker yang dinyalakannya. Dia menatap isi lemarinya, memilah-milah mana pakaian yang tepat yang bisa digunakannya ke jamuan khusus keluarga Lysander. Namun kapan dia membeli gaun terakhir kalinya? Mungkin sekitar tiga atau empat tahun yang lalu, dan semua isi lemarinya hanyalah pakaian kasual yang jelas tidak pantas digunakannya.Kehabisan ide, Valerie membawa ponselnya ke kamar Lissa. Senja seperti ini, Lissa sudah keluar menuju cafe. Itu sebabnya Valerie bisa masuk ke kamarnya dan mengecek isi lemari Lissa, siapa tahu dia menemukan pakaian yang bisa digunakannya.“Hei, apa kamu mendengarku?” Valerie mendengar suara teriakan Isabelle. Dia tersenyum, lalu menggumam pelan.“Aku se
“Aku tidak bisa menghubunginya.” Isabelle menaiki anak tangga dan nyaris menangis di hadapan Emrys. Dia, Emrys dan Ky berdiri di teras kediaman Lysander saat supir yang diperintahkan oleh Ky memberitahunya jika rumah Valerie kosong. Isabelle menunjukkan isi pesan yang dikirim Valerie padanya yang memberitahu dia jika Valerie sudah di jalan.“Ke mana dia sekarang? Siapa yang membawanya?” Isabelle terlihat sangat panik. “Emrys ...” Dia memegang lengan Emrys yang berdiri diam layaknya patung.“Belle, tenanglah,” ujar Emrys pendek. “Kita akan menemukannya.”“Belle.”Zach yang baru saja tiba berlari menaiki anak tangga dan bergabung dengan Isabelle, Emrys dan Ky di teras. Dia menundukkan kepalanya menyapa Emrys dengan nafas tersengal. Saat Isabelle mengabarinya jika Valerie dijemput oleh orang yang bukan suruhan keluarganya, perasaan Zach langsung tidak enak. “Bagaimana? Apa sudah ada kabar dari Valerie?” ujarnya lagi.Isabelle menggeleng. “Tidak ada. Tapi orang-orang Emrys sudah bergerak
Valerie menatap tajam mata Cassiel dengan berani saat laki-laki itu duduk di depannya. Seolah ingin memberitahu Valerie jika hidupnya berada di tangannya, Cassiel terlihat menyibak jasnya, menampakkan senjata api di pinggangnya dengan sengaja. “Untuk ukuran seseorang yang baru mengenal Isabelle, kamu cukup ikut campur terlalu banyak.” serunya lagi.“Aku hanya berniat menolongnya.” sahut Valerie.Cassiel tersenyum mengejek. “Memangnya kamu siapa? Kenapa kamu menolongnya?” Dia berbisik tepat di wajah Valerie.“Walau dia bukan Isabelle, jika seseorang meminta tolong padaku, aku akan menolongnya.” balas Valerie lagi.Cassiel tertawa terbahak-bahak, menoleh ke belakang hingga dua orang dibelakangnya juga ikut tertawa “Benarkah?” serunya. Saat tawanya selesai, maka tawa dua orang di belakangnya juga selesai. “Kamu merusak semua hal yang sudah ku susun dengan rapi.”“Berapa usiamu?” tanya Valerie kemudian. “Isabelle hanya gadis berusia sembilan belas tahun. Tidakkah kamu merasa kamu terlalu
Seperti binatang, Valerie dijorokkan begitu saja ke atas tumpukan daun-daun kering. Valerie berusaha bangkit, namun rambutnya ditarik dan dijambak dengan kuat hingga dia merasa jika kulitnya akan terkelupas. Setelah itu dia kembali dilempar dan wajahnya mengenai batang kayu kering yang melintang tepat di dekatnya.Tetesan darah mulai mengalir dari luka goresan akibat wajahnya terkena batang kayu. Valerie nyaris tidak bisa merasakan apa pun di area wajahnya. Semua rasa sakit itu seperti menyatu dengan harapan Valerie yang mulai pupus dan membuatnya mati rasa.Valerie kembali berusaha bangkit ditengah-tengah tawa menghina yang berkumandang. Air mata Valerie tumpah, seluruh tubuhnya bergetar hebat. Dia merangkak menjauhi mereka namun rambutnya kembali ditarik kencang.“Ikat dia!” Perintah Cassiel.Dua orang yang selalu berada di dekat Cassiel menyeret Valerie dengan menjambak rambutnya menuju sebuah batang pohon yang terletak di tengah lokasi tersebut. Valerie hanya bisa memegangi rambut
Mata Valerie menatap nyalang langit malam di atasnya. Sepi, gelap. Tidak ada bulan, tidak ada bintang di atas sana. Malam benar-benar menunjukkan identitas aslinya saat ini sebagai penguasa kegelapan.Gerimis mulai turun, semakin lama semakin deras. Saat tetesan demi tetesan air hujan itu mengenai kulit tubuh Valerie, dia tidak merasakan apa pun. Seharusnya dia mengigil kedinginan, namun sepertinya tubuhnya sudah tidak bisa merasakan apa pun.Dia sudah mati rasa.Air mata mengalir dari sudut mata Valerie, mengalir terus menyusuri wajahnya hingga ke lehernya. Dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi saat dua orang brengsek itu mencium dan menjilati tubuh Valerie dengan liar.Tubuh John menjulang di atas Valerie bagaikan raksasa jahat yang liar dan penuh hasrat. Tangan Valerie mengepal kuat. Matanya terus menatap lurus ke atas langit malam tanpa mengatakan apa pun. Hingga...Dor...Tiba-tiba Valerie mendengar dua buah bunyi tembakan yang memekakkan telinganya. Untuk beberapa detik Valerie