Sully menyemprotkan parfum mahal yang ia dapat dari hasil endorse toko online ke leher dan pergelangan tangannya. Rino sebentar lagi datang. Aktor pendatang baru yang ketampanannya dinilai nyaris menyerupai Dewa Yunani itu akan menyambangi apartemennya untuk pertama kali. Mengingat hal itu, Sully terkikik sembari menambahkan parfum ke leher. Ia sudah membayangkan bakal bermesraan bersama Rino sejak pagi. Mumpung Oky asistennya baru akan kembali malam nanti.
Ponsel Sully bergetar pendek-pendek. “Pasti pesan dari Rino,” ucapnya, mengecek bulu mata ekstensi sebelum mengusap layar ponsel dan membaca pesan.
‘Aku udah sampai di lobi. Jemput, ya.’
“Okay, Babe,” ucap Sully seraya mengetikkan balasan. Ia kembali memutar tubuhnya di pintu kamar mandi yang terbuat dari kaca.
Sully merasa langkahnya seringan bulu dan cuping hidungnya mengembang saat beberapa orang wanita di sofa lobi melihat Rino langsung memeluk pinggang dan mengecup pipinya kanan-kiri. “Cantik banget,” kata Rino.
“Kamu juga … ganteng banget.” Sully menggandeng Rino dan menyeret pria itu ke lift untuk menuju lantai sepuluh.
“Kamu tinggal sendiri aja?” tanya Rino, mengeratkan pelukannya di pinggang Sully.
“Aku tinggal bareng Oky. Asistenku yang kemarin ketemu kamu. Oky juga temanku dari SMP,” jelas Sully, membuka pintu kamar dengan kuncinya.
“Ooo … jadi apartemen ini milik kamu?” tanya Rino, mengedarkan pandangan ke tiap sudut unit apartemen dua kamar yang baru dimasukinya.
Sully melepaskan pelukan Rino dengan senyum canggung. Itu adalah kali pertama ia dan Rino berdua di tempat tertutup. Biasanya ia bertemu Rino di café, atau clubbing bersama asisten dan teman-teman mereka. Tidak pernah pergi berdua. Hari itu bisa dikatakan sebagai kencan pertama atau pendekatan hari pertama. Entahlah. Whatever. Sully hanya ingin terlihat sempurna dan keren. Ia tak mau Rino tahu kalau itu adalah apartemen kontrakan. “Iya, ini apartemen aku,” jawab Sully tanpa menatap Rino. Ia meninggalkan Rino untuk membuat minuman di mini bar.
“Ternyata Sully keren banget,” ucap Rino, mendatangi Sully yang sedang berdiri di mini bar membuat dua gelas es teh leci untuk mereka.
Sully terkesiap saat Rino memeluknya dari belakang. Melingkarkan tangan di pinggangnya dengan erat, lalu mengecup lehernya hingga ia setengah terangkat. Isi gelas yang dipegangnya sedikit berguncang. Sully menunduk memandang jemari Rino yang seputih pualam mengusap perutnya dari atas kaus.
“Wangi banget,” bisik Rino, mengecup cuping telinga Sully dengan mata terpejam.
Gerakan Sully mengaduk es teh terhenti. Ia menelengkan kepala menikmati kecupan-kecupan kecil yang didaratkan Rino di lehernya. Kuduknya merinding karena embusan hangat napas pria itu. Sully merasa tubuhnya limbung, lalu Rino menguatkan cengkeraman di perutnya.
Tak sadar Sully mengerang halus dan meletakkan pengaduk ke meja bar. Es teh leci bisa menunggu. Mereka sudah sering meminumnya. Berbeda dengan kesempatan langka bisa bertemu dan bercumbu di luar jadwal Rino yang padat. Saat ia merasa jemari Rino menyusup menyentuh kulit pinggangnya, Sully memutar tubuh. Ia menautkan pandangan pada Rino yang sudah menatapnya dengan sorot sayu.
“Sully memang cantik,” ucap Rino, mengusap pipi Sully dengan punggung jarinya. Pria itu lalu membawa tubuh Sully semakin rapat, kemudian menunduk.
Sully memejamkan mata menantikan ciuman Rino.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan keras di pintu membuat keduanya membuka mata. “Siapa?” bisik Rino, memandang Sully.
Tok! Tok! Tok!
“Lis! Buka!” teriak suara dari luar.
Sully membelalak dan melepaskan pelukan Rino dari pinggangnya. “Itu asisten aku. Kamu duduk aja. Aku buka pintu sebentar.” Sully kikuk menghampiri pintu seraya merapikan pakaian dan rambutnya. Ia membuka pintu dengan sedikit celah. “Ada ap—” Ucapannya terhenti. Seorang wanita berpakaian batik dan dua orang wanita berseragam polisi berdiri di belakang Oky.
“Di dalam ada Rino, kan? Minta dia pulang sekarang juga. Bilang aku ada urusan yang lebih penting dan perlu pakai ruang tamu. Sekarang juga,” bisik Oky.
Sully menoleh gelisah pada tiga wanita asing di belakang Oky. “Ada masalah apa, sih? Memangnya enggak bisa kamu selesaikan di lobi aja?” Sully melihat ke dalam ruangan. Rino sedang tersenyum manis ke arahnya. “Tunggu ke lobi aja. Aku susul ke bawah sebentar lagi.”
Oky berdecak kesal dan membuka sebuah kantung serut besar yang ditentengnya sejak tadi. “Masalah ini. Kamu ingat?” tanya Oky dengan bisikan bernada tajam. “Kamu jual barang palsu, Lis.”
Mata Sully terbelalak. Ia membekap mulut untuk mencegahnya berteriak. Sebuah tas brand high-end LEMMES yang baru dijualnya seminggu yang lalu pada Istri Kapolda sekarang berada di tangan Oky.
Sully segera masuk ke dalam dan tak lama menyeret Rino ke depan pintu. “Maaf—maaf. Asistenku…Mbak Oky maksudnya baru kasih info kalau hari ini ada jadwal meeting,” kata Sully, meraup bum bag dan kunci mobil Rino dari meja lalu menjejalkannya ke dekapan pria itu.
“Meeting?” Rino menerima semua barang-barangnya dengan wajah bingung. Ia melirik kehadiran dua wanita berseragam polisi bersama Oky.
“Meeting kerja sama mengisi acara ulang tahun Bayangkari. Ini sepatu kamu. Ayo, dipakai,” kata Sully, berjongkok menyodorkan sepasang sepatu Rino, lalu mendorong punggung pria itu agar cepat keluar dari apartemen. “Ayo, ibu-ibu silakan masuk. Ky, tamunya dibawa masuk dulu. Aku antar Rino sampai ke lift.” Sully menelan ludah dan mengangguk pada tiga orang wanita yang menatapnya tajam. Sekejab saja ia merasa tubuhnya tak dialiri darah. Tangannya sedingin es dan keringat membasahi dahinya. Ia bahkan tidak mendengar apa yang dikatakan Rino sebelum mereka berpisah di mulut lift.
“Barang palsu? Barang palsu? Kok, bisa palsu? Selama ini aman-aman aja.” Sully menyugar rambutnya dengan kalut sebelum masuk ke apartemennya.
Sully berdeham pelan dan duduk di sebelah Oky. Seorang wanita memakai pakaian batik duduk di seberang mereka. Sedangkan dua wanita yang memakai seragam tetap berdiri mengawasi.
“J-jadi gimana, Ky?” tanya Sully terbata. Ia tak berani menatap wanita di seberangnya.
“Istri Pak Kapolda minta pengembalian uang segera. Tas ini terbukti palsu. Kamu juga bisa dituntut pasal perbuatan tidak menyenangkan. Katanya sudah membuat malu Istri Pak Kapolda. Beliau merasa dilecehkan di depan teman-temannya. Gimana, Lis?” Oky bicara dengan nada setenang mungkin. Rahangnya terjatuh rapat setelah itu.
“M-maaf, Bu. Saya benar-benar tidak ada maksud mempermalukan beliau. Terakhir kali bertemu kami makan siang dan semuanya baik-baik aja. Itu adalah tas kedua yang dibeli beliau dari saya. Dari supplier yang sama. Saya juga enggak tahu kalau itu palsu. Kalau untuk penggantian seluruhnya, uang saya tidak cukup—”
“Tapi kamu harus bertanggung jawab,” potong wanita dengan baju batik.
Sully tersentak menyentuh dadanya. “Iya, Bu…iya. Saya pasti tanggung jawab. Sekarang saya cuma punya seratus juta,” kata Sully. “Saya pasti kembalikan semuanya. Tapi saya perlu waktu. Saya mau cari suppliernya. S-saya enggak mungkin punya uang sebanyak itu sekarang-sekarang ini,” tambah Sully cepat-cepat.
“Sully pasti tanggung jawab, Bu. Dia juga enggak akan berani macam-macam. Apalagi customernya orang penting,” tambah Oky.
Wanita dengan baju batik menarik napas memandang Sully dan Oky bergantian. Dia meraih ponselnya dan mengetik cukup lama, kemudian menunggu beberapa saat.
Lalu ….
“Kita buat surat perjanjian di atas materai. Pelunasan sesuai harga tas paling lama diterima bulan ketiga di tanggal yang sama dengan hari ini. Uang seratus juta tadi bisa ditransferkan sekarang ke rekening beliau. Beliau tunggu sekarang.”
Sully mengambil ponselnya dan menatap Oky dengan wajah merana. Dalam hitungan menit uang seratus juta sudah berpindah tangan dan menit berikutnya ia sudah menandatangani perjanjian pengembalian 700 juta paling lama tiga bulan ke depan.
“Oke, surat perjanjian ini akan saya bawa dan tas palsu ini juga akan tetap saya bawa sebagai barang bukti. Mbak Sully diharap untuk selalu mengupdate kabar terbaru soal progress kasus ini dan saya akan meminta dua anggota saya untuk rutin datang ke sini.”
Sully dan Oky saling pandang dan membisu cukup lama. Sampai dengan semua tamu pulang, Sully menangis sejadi-jadinya. “Ky, aku enggak mau didatangi polisi lagi. Aku pasti bayar, tapi aku enggak mau ketemu polisi-polisi itu lagi.”
“Jadi, gimana?”
“Aku mau pergi dari sini. Ke mana aja. Yang penting enggak ketemu polisi,” jawab Sully dalam isakan.
“Kabur? Lagi?” Oky menendang coffee table dengan putus asa.
To Be Continued
Halo ....Selamat pagi Boeboo tersayang pembaca juskelapa. Semoga semuanya dalam keadaan sehat dan baik-baik saja.Di sini saya mau menginformasikan bahwa novel ISTRI NAKAL MAS PETANI sudah tamat di Bab 280. Apabila kemarin ada penulisan TO BE CONTINUED di akhir bab 280 itu adalah kesalahan penulisan dan error revisi yang terlalu lama. Jangan lupa aplikasinya di-update agar mendapat tampilan terbaru dari GOODNOVEL yang semakin kece ya. Nantinya ISTRI NAKAL MAS PETANI akan diberi bonus chapter di saat kita semua sudah rindu.Kabar gembira giveaway-nya adalah MAS WIRA & SULIS akan memberikan merchandise sederhana untuk 50 orang pertama di peringkat GEMS 1-50. Bagi yang namanya tertera di peringkat tersebut bisa mengirimkan alamat ke :ADMIN JUSKELAPA melalui pesan singkat dengan nomor 0 8 2 2 -5 7 8 5-1 2 3 8 dengan menyertakan tangkapan layar peringkat GEMS (vote).AtauBisa kirim pesan melalui sosial media inssstagram ketik : juskelapa_ di pencarian. Buat yang belum beruntung bisa men
Pak Gagah ikut mengangkat gelas teh dan meneguk isinya hampir setengah. Baru menyadari nikmat bertukar cerita yang selama ini diamatinya pada kaum perempuan ternyata juga bisa ia rasakan. Sungguh Pak Gagah ataupun Pak Mangun tidak pernah menyangka bahwa hal yang mereka anggap sebagai tindakan tercela bisa mereka ubah menjadi sesuatu yang membawa masa depan baik untuk desa. “Kamu memang tidak berniat menjodohkan Bagus dan Ratna, kan, Gah?” Pak Mangun meletakkan cangklong di sudut bibirnya. Pak Gagah menggeleng-geleng. “Tidak…tidak. Aku tahu maksud Effendi menekan Ajeng soal hutang dan sertifikat kebun pasti berkaitan dengan Bagus. Ratna itu mondar-mandir terus di dekat rumah sini. Setiap berpapasan jalan yang ditanya Bagus. Tapi Bagus, kan, di Riau.” Pak Mangun tergelak. “Oh, sekarang aku ingat. Karena Ratna sering ke sini kamu jadi kepikiran ide buat ngomong kalau Bagus dijodohkan dengan Ratna.” “Alasan perjodohan itu ditambah dengan banyaknya petani yang terjerat hutang di Effend
Desa Girilayang itu terletak di kaki Merapi. Awalnya desa itu hanya berisi 12 kepala keluarga dengan 34 jiwa. Kakek buyut Pak Mangun dan Pak Gagah disebut-sebut sebagai orang pertama yang tinggal di desa itu untuk pertama kalinya. Secara geografis Desa Girilayang merupakan sebuah punggung bukit yang diisolasi oleh dua jurang di sisi sebelah barat dan timur. Itu sebabnya sebelum pembangunan jembatan seluruh warga desa harus berjalan memutari bukit dan cukup lama berada di jalan untuk bisa sampai ke kota.Pada sebuah peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia Wira pernah menyampaikan pidatonya yang mengatakan bahwa Desa Girilayang adalah tempat di mana semua warganya menjaga adat istiadat yang merupakan warisan leluhur. Juga melestarikan tempat-tempat wisata sejarah berikut pemandangan alam cantiknya untuk mendongkrak kemajuan desa dalam bidang pariwisata.Semua orang setuju dengan apa yang disampaikan Wira dan setuju dengan apa yang dilakukan Kepala Desa Girilayang terpilih itu u
Morning sickness yang dialami Sully berlangsung sampai kehamilannya menginjak usia delapan bulan. Sully mulai kuat terhadap bau-bauan dan bisa makan dalam porsi yang lebih banyak. Jika sebelumnya ia sulit menelan air dingin, masuk bulan kedelapan Sully sudah bisa memanjakan lidahnya dengan es teh manis. Seluruh keluarga besar Pak Gagah ikut senang dengan perubahan baik itu. Sully yang ceria sudah kembali. Pagi hari Sully ikut mendampingi anak-anaknya mandi dan makan. Kerjanya tak hanya bergulung di ranjang saja. Sully sudah mulai rajin seperti biasa. Ia juga mulai menggoda Wira dengan meremas bokongnya atau menggaruk perut pria itu. Wira menyambut bahagia godaan-godaan Sully. Sudah cukup lama pemenuhan kebutuhan batinnya berdasar mood istrinya itu. Menunggu belas kasihan Sully yang mau memberikan dengan sukarela tanpa mulut mengerucut. Memasuki bulan kedelapan mereka sudah kembali bercinta dengan hangat. Kehamilan yang terbebas dari morning sickness, tiga anak laki-lakinya sehat, pa
Kedatangan keluarga Pak Gagah yang hanya berjarak seminggu sebelum pesta pernikahan Oky membuat Pak Anwar menyusun agenda sepadat mungkin untuk mengajak besan berkeliling kampunghalamannya.Hal pertama yang dilakukan Pak Anwar adalah mengajak Pak Gagah melihat kebun kelapa Sully yang dibelikan Wira. Dalam perjalanan menuju kebun itu tak lupa Pak Anwar menunjukkan jalan hasil pengaspalan yang didanai oleh Wira.“Lihat seberapa panjangnya jalan menuju ke kebun kelapa ini, kan? Nah, ini semua Bagus yang mengaspal. Warga yang sudah lama mengharapkan perbaikan jalan bisa ikut menikmati yang dilakukan Bagus. Apa yang dilakukannya ini membawa banyak kebaikan. Bahkan warga yang tidak kenal Bagus secara pribadi malah mengenal namanya. Pernah sekali waktu saya ke kebun kelapa, ada seorang pria yang baru pulang merantau menanyakan soal jalan yang bagus. Orang tuanya langsung mengatakan jalan ini diaspal menantunya Pak Anwar. Namanya Bagus.” Pak Anwar terkekeh-kekeh senang saat menceritakan kisah
Rombongan itu benar-benar ramai. Tiga generasi melalui perjalanan panjang berpindah-pindah moda transportasi. Pak Gagah yang sudah lama tidak melancong jauh bangun paling pagi dibanding yang lain. Pria tua itu mengecek semua bawaan mereka untuk kesekian kalinya.Perjalanan hari itu dimulai dengan Asmari dan seorang supir dari pabrik yang diminta mengantar ke bandara.“Asmari ikut juga, kan, Gus? Masa Hendro resepsi Asmari enggak ikut?” Belum apa-apa Pak Gagah sudah protes karena Asmari yang belakangan dekat dengan Hendro tidak terlihat memiliki tentengan.“Asmari ikut, Pak. Nanti setelah mengantar kita ke terminal keberangkatan dia titip mobil di parkir inap bandara. Asmari berangkatnya satu pesawat bersama Pretty dan ibunya.” Wira baru saja melepas Asmari untuk meletakkan mobil di parkir inap. Pak Gagah yang sedang menggendong Bima pun sepertinya masih punya banyak waktu untuk memperhatikan orang sekitar.“Bapak capek? Bima bisa diletak dulu di stroller. Gantian sama Tika. Dari tadi