Hai, sayang-sayang juskelapa. Juskelapa hanya ingin kembali mengingatkan kalau harga koin ditentukan sistem berdasar panjang pendeknya bab. Terima kasih dan salam sayang.
Sebelum Wira masuk ke kamar membangunkan Sully, ia baru saja mendirikan tenda di depan rumah dengan bantuan warga dan di bawah pengawasan bapaknya. “Enggak ada hiburan musiknya kan, Pak?” seorang tetangga yang baru memindahkan meja bertanya pada Pak Gagah. “Enggak usah hiburan-hiburan musik. Berisik. Yang penting sudah melaksanakan kewajiban. Jadi enggak ada tetangga yang keberatan dan terus nanya siapa perempuan yang dibawa Wira.” Pak Gagah berkata sedikit keras dengan maksud menyindir tetangga yang mendekat menonton pemasangan tenda. “Itu yang beli kasur Bapak?” Wira yang duduk beristirahat di tangga teras rumah seketika berdiri melihat mobil pickup mendekat ke pagar rumah. Sebuah kasur baru yang pasti tak murah untuk kantong bapaknya terikat di bak mobil. “Iya. Kasur baru buat kamu tidur di kamar depan. Kasur Bapak sudah diangkut sama Legi. Dia minta buat kamar anaknya. Nanti yang baru ini buat kamar kamu. Bapak pindah ke belakang.” Meski nada bicaranya meninggi dan tegas, Pak
Sully langsung meringkuk setibanya di ranjang baru. “Selimutnya … selimutnya kurang. Masih dingin ….” “Sebentar,” Wira membuka lemari dan melongok tiap rak. Hanya ada setumpuk kain panjang milik ibunya yang tersimpan rapi dan selama ini amat disayang-sayang bapaknya. Melihat isi lemari yang nyaris kosong, Wira teringat bahwa ia belum sempat memindahkan pakaiannya ke kamar depan. “Enggak ada selimut di sini. Sebentar saya cari di kamar lain,” kata Wira, keluar kamar. “Pagi tadi padahal masih bisa ngomong sejudes itu. Sekarang malah demam.” Wira berhenti bergumam saat mengingat kemungkinan penyebab Sully yang meriang. “Mandi pagi pakai air dingin?” Alisnya terangkat. “Pak, aku masuk, ya.” Wira tak menunggu jawaban dari bapaknya dan langsung mendorong pintu kamar. “Maaf ganggu istirahatnya sebentar. Aku mau nyari selimut dan obat. Sulis badannya panas, tapi menggigil.” “Benar-benar sakit?” tanya Pak Gagah dari ranjang. Pria tua itu kembali duduk. Wira berbalik memandang bapaknya. Me
Sully sebenarnya hanya ingin tidur tanpa diganggu sebentar saja. Penyakit yang sering singgah di tubuhnya memang hanya meriang karena masuk angin. Ia pernah muntah-muntah di pagi hari karena keramas tengah malam dan langsung tidur di kamar ber-AC. Ia juga pernah dilarikan ke UGD karena mual dan rasa sakit menusuk di dadanya. Setelah ditanyai dokter di rumah sakit, Sully baru teringat bahwa ia memakan nasi goreng di malam sebelumnya. Dan hari itu badannya panas hanya karena keramas dengan mandi air sedingin es.Sejak tadi Wira mengaduk-aduk kopernya. Sekilas tadi ia mendengar pria itu memintanya berganti pakaian rumah dan bertanya soal daster. Matanya belum sanggup membuka. Saat Sully mengerjap dan membuka matanya yang berat, tangan Wira berada di depan wajahnya mengibaskan lingerie yang ia sembunyikan di bagian bawah koper. Kekesalannya memuncak.Sully duduk dengan susah payah, “Apa, sih, Mas? Kenapa ini yang diambil? Tadi nanya daster, sekarang bongkar koper aku ngeluarin barang-bara
Rasanya Sully baru tertidur beberapa menit saja, pintu kamar kembali dibuka. Ia tak mau membuka mata karena mengira yang masuk adalah Wira. Lalu dirasanya sebuah tangan meraba kepala, memijat lengan, mengusap punggung dan perutnya dengan gerakan cepat. Sully mendelik. Hampir saja mengempaskan tangan itu karena mengira Wira yang terlampau berani.Ternyata wanita tua yang seingatnya mungkin adalah tukang urut yang dikirim Wira. Tak ingin bersikap kasar dengan wanita tua yang terlihat khawatir setelah meraba tubuhnya, Sully mengikuti perkataan wanita itu. Tak ada siapa-siapa di sana. Wira pasti tak akan begitu saja masuk ke kamar karena memanggil tukang urut merupakan inisiasinya.Sully mengerling jendela kamar yang tertutup. Tirainya pun masih tertutup rapat. Setelah melapisi tubuhnya dengan selembar kain sarung, Sully mencampakkan pakaiannya ke ranjang begitu saja. Kedua tangannya memeluk lengan dan tubuhnya menggigil.Dalam bayangannya yang akan menerima pijatan di atas ranjang baru,
Wira sedang memindahkan ranting kayu yang biasa dijadikan bahan bakar tambahan di dapur luar saat mendengar suara Mbah Urut memanggilnya. Wira meletakkan sisa kayu terakhir dan menutupnya dengan terpal agar kayu itu tak kena air cucuran atap saat hujan.“Ada apa, Mbah? Sudah selesai?” Wira menemui Mbah Urut di depan kamar.“Buat teh manis hangat dengan irisan jahe, Gus. Selesai diurut istrimu biar langsung minum teh. Sebentar lagi selesai. Nanti Mbah panggil,” kata wanita tua itu.Wira mengangguk dan meninggalkan Mbah Urut. Pintu kamar berdebum dan wanita tua itu pasti sedang menyelesaikan pekerjaannya. Di dapur Wira menoleh pisang goreng buatan Sully yang baru dimakan sepotong. Tidak benar-benar hangus. Hanya digoreng asal-asalan. Merasa kasihan dengan pisang itu, Wira kembali menyambarnya sepotong dan memasukkannya ke mulut. Matanya sempat membelalak sedetik menyadari ia belum mencuci tangan seusai mengangkangi ranting kayu.Saat ke luar rumah, ia menyadari kalau ember yang biasanya
Sully melanjutkan tidur di antara berisiknya suara dua orang wanita yang sedang menghias kamar pengantin. Suara pintu kamar yang dibuka tutup berkali-kali mewarnai pendengarannya. Meski begitu ia tak peduli. Sempat dirasanya juga suara Oky berbicara di dekatnya, lalu tangan wanita itu meraba dahinya sambil mengatakan, “Demamnya sudah turun.” Tak tahu pada siapa Oky berbicara. Sully baru terbangun malam hari dengan keringat yang membasahi sekujur tubuhnya. Mimpinya beberapa kali berganti dengan sangat acak. Mimpi hari di mana ia pergi dari rumah, mimpi bertemu Rino pria yang sedang dekat dengannya, mimpi Kokom si distributor tas yang menipunya, lalu polisi yang datang ke apartemen dan terakhir memimpikan seorang pria yang sedang memunggunginya. Dalam mimpi terakhir Sully hanya melihat bahu yang lebar berdiri tak jauh darinya. Pria itu berbalik dan mengulurkan tangan. Tak jelas siapa pria itu, Sully menyambut uluran tangannya. Sully tersentak. “Udah jam berapa?” Pertanyaan yang tidak
Sully sedikit malu karena mengumpat Wira barusan. Mulutnya mengatup sebentar, lalu mencibir. “Ck, pasti ini ada maunya. Biar enggak diawasi mau telfonan sama gadis sederhana? Mungkin sekarang lagi sembunyi-sembunyi biar enggak diganggu.”Seperti baru menemukan air hangat pertama kali dalam hidupnya, Sully menghabiskan seember besar air itu dalam waktu sekejab. Tak peduli kalau ia baru saja sembuh dari demam masuk angin. Pagi itu ia mencuci rambut dan menggosok tubuhnya yang masih beraroma minyak kelapa dengan sabun yang dibelikan Wira kemarin. Usai mengeringkan tubuh dan berganti pakaian, Sully mencuci pakaian bekasnya. Lalu semua pakaian itu, termasuk jaket Wira yang dikenakannya kemarin malam, ia jemur di kawat-kawat yang dipakukan ke dinding kamar mandi dan pohon nangka.“Beres semuanya. Saatnya makan,” gumam Sully.Kalau ada yang mengatakan dirinya tak tahu malu, Sully sudah tidak peduli lagi. Di desa itu ia sudah bersedia menikah dengan Wira dan mendapatkan privelege sebagai mena
Wira berdiri begitu dekat dengan Sully. Meski wajah mereka tidak sedekat kemarin saat ia meresletingkan jaket yang dipakai wanita itu. Tapi ia menangkap sorot berkilap di mata Sully. Ditambah dengan gerakan menelepon yang dibuat Sully, ia paham kalau wanita itu sedang mengancam sekaligus mengolok-oloknya. Sungguh kekanakan. Wira ber-cih dalam hati.“Bapak mau ke rumah Ajeng. Mau lihat kualitas kayu bakar yang diantar tetangganya. Kalau enggak diperhatikan, mereka kadang menyisipkan kayu-kayu bagus yang mereka tebang. Penipu itu selalu ada di mana aja.”Perkataan Pak Gagah sontak membuat tatapan saling mengintimidasi antara Sully dan Wira terputus. Keduanya tersadar karena merasa tersindir. Tatapan keduanya berpindah untuk mengawasi Pak Gagah yang bangkit dari kursi dan meninggalkan dapur.“Bukan cuma soal Mbak Sulis aja atau soal pernikahan ini. Siapa pun yang saya jahati, bisa ngelapor ke Bapak saya. Dari dulu beliau terkenal tidak pandang bulu meski saya adalah anaknya. Saya tetap d