“Aku sampai lupa harus menghubungi siapa lebih dulu. Temanku yang di ibukota atau … Oky duluan, ya? Atau teman sesama content creator yang terakhir kali kontak sama aku? Aku enggak sabar, Mas,” ucap Sully berapi-api. Wira mengulas senyum tipis disertai anggukan. “Terserah kamu mau menghubungi siapa lebih dulu. Kita bisa bicarakan sebelum sampai di sana.” Sully mengeluarkan ponsel. “Sebentar aku lihat dulu. Sebelum aku kabur ke Girilayang … aku ada janji dengan Rachel, terus mau ketemuan sama Atta Petir, terus lusanya aku ada janji ngisi podcast Deddy Buldozer.” Sully sibuk menggulir ponselnya. Melewatkan kebahagiaan kecil yang harusnya ia lihat. Ia tersadar ketika tangannya dicolek Wira. “Semua bisa kamu temui nanti. Lihat itu. Ayah Ibu duduk di bawah pohon. Apa dulunya Ayah juga bisa manjat pohon kelapa? Ayah lihat ke atas pohon dari tadi.” Sully ikut memandang ke sebuah pohon di mana ayah dan ibunya sedang duduk. Ayahnya menengadah ke puncak-puncak pohon kelapa di dekat mereka.
“Sedih?” Wira menatap bagian pipi kanan Sully yang terlihat basah. Wanita itu belum memalingkan wajahnya memandang keluar jendela.Sully mengangguk. “Sedih. Sekarang aku baru sadar kalau aku bukan cuma anak bungsu, tapi juga seorang istri.”Wira mengangguk samar. “Geser ke sini sedikit,” pinta Wira dengan tangan langsung memeluk pinggang Sully. Membawa wanita itu ke dekatnya. Ia ingin bahu dan lengannya dijadikan Sully sebagai tempat bersandar, merebahkan kepala.Yang disukai Wira dari Sully adalah sikap tanggap dan penurut wanita itu. Melakukan sesuatu tanpa banyak tanya. Terlebih hal-hal yang berbau fisik seperti menyentuhnya dengan mesra.“Kita pasti sering-sering ke sini, kan? Aku harus cepat-cepat hamil biar kalau pulang sekali lagi Ayah udah gendong cucu.” Sully menyelipkan tangannya ke bawah lengan Wira. Kepalanya terkulai manja menunggu jawaban.“Kalau kita enggak bisa sering ke sini,Ayah dan Ibu yang kita minta datang.” Wira ikut memandang ke luar jendela. Dagunya bertumpu di
“Kenapa Mas kaget? Mas tahu club itu? Pernah main ke sana? Kapan? Kok, aku enggak tahu?” Sully tak menyadari keberadaan Asmari di antara mereka.Pertanyaan Sully yang penuh selidik membuat Asmari cepat-cepat meletakkan bawaan. Ia tak mau membuat atasannya salah tingkah menjawab pertanyaan yang ia sudah tahu jawabannya.“Mas, aku nanya, lho.” Sully mencampakkan tas tangannya ke sofa dan menyalakan pendingin ruangan. “Reaksi Mas itu kayanya familiar dengan nama club yang aku sebut.”“Mas gerah, Lis. Kulit rasanya lengket. Mas kepengin mandi air dingin. Mas mandi dulu, ya. Nanti kita ngobrol lagi.” Wira melepaskan sepatu, kemudian jaket kulitnya.“Kayanya jawab pertanyaan tadi enggak sulit, deh. Kenapa lama banget? Jangan bikin aku jadi curiga.” Sully menyalakan televisi dan menekan semua tombol di remote untuk mencari saluran yang sudah pasti tak akan ditontonnya.Wira mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Sebuah kamar tidur, kamar mandi, dapur kecil, lalu balkon kecil ya
“Ini juga pesanan Pak Bagus.” Asmari mengangsurkan paper bag besar setelah dua hanger berpindah tangan.“Yang ini apa?” Pertanyaan itu tak sepenuhnya harus dijawab karena Sully melihat dua kotak bertuliskan merek alas kaki dalam paper bag. “Makasih, Pak,” kata Sully pada Asmari yang langsung mengangguk pada atasannya.“Bisa kamu coba sekarang. Kalau ada yang kurang, hari ini bisa ditukar. Tapi Mas yakin kamu pasti suka.”“Dari perancang yang mana? Mas kenapa enggak ngomong ke aku, sih? Aku bisa pilih sendiri. Gimana kalau pilihan Mas enggak sesuai dengan seleraku?” Sully menutup pintu setelah dua hanger pindah ke tangannya.“Nama perancangnya, kan, bisa dilihat di kemasannya. Di pakaiannya juga ada. Masalah pilihan … bisa jadi kamu enggak suka. Tapi bukannya lebih penting Mas yang suka? Kamu lihat aja dulu.” Wira tak mengalihkan pandangannya dari laptop. “Pabrik ini harus segera selesai. Enggak boleh terlalu lama. Petani harus segera punya penghasilan lagi dari kebun arennya.”Sully b
Harusnya Rino tidak perlu menyapa Sully lagi, pikir Wira. Ada baiknya pria itu tetap diam. Atau berpura-pura tidak mengenal saja. Apa Rino berpikir kalau ia tidak memberitahukan semua yang terjadi pada Sully? Wira dan Rino bertukar pandang cukup lama. Rino sama sekali tidak mau mengalah. Kilat mata pria itu menunjukkan kebencian pada Wira.“Hei ….” Sahutan Sully pada Rino tenggelam di antara hentakan musik. Tercekat karena terkejut juga khawatir Wira akan tersinggung jika ia menjawab dengan ramah.“Sully Shiny yang selalu cantik dalam tiap kesempatan.” Rino tertawa kecil. Ucapannya adalah pujian murni bercampur sedikit ejekan.“Oh, makasih,” kata Sully yang hanya berani memandang Rino selama sedetik.“Mari kita jumpai tuan rumah acara ini,” ajak Wira. Tak mau membuang waktu dengan Rino.Jika saat itu di desa, memuji istri orang lain bisa berbuntut panjang. Minimal dagu Rino akan sedikit bergeser oleh genggaman tangan suami wanita yang dipujinya. Namun kali itu Wira mencoba mengabaikan
"Kamu maunya apa, sih?" Wira tak bisa menyembunyikan kekesalan dalam suaranya."Aku udah bilang mungkin aja ini yang namanya jatuh cinta pandangan pertama. Mas ke Sully juga belum lama menikah, kan? Aku cuma mau kenal lebih dekat sama Mas Wira. Itu aja. Memangnya enggak boleh?""Enggak boleh. Kamu jatuh cinta dengan saya, atau memang enggak suka lihat teman kamu bahagia sampai-sampai merasa harus mengejar saya sampai ke toilet? Apa yang sedang mau kamu buktikan? Mau membuktikan kalau kamu bisa mendapatkan hal sama dengan yang dimiliki teman kamu?""Mas....""Saya mual. Jangan ikuti saya lagi," potong Wira. "Menyebut-nyebut cinta padahal aslinya cuma enggak bisa lihat orang lain bahagia. Saya enggak nyangka Sully bisa menyebut kamu teman baik. Pergaulan yang aneh.” Wira mengomel dengan nada yang cukup ketus. Ia lalu pergi setelah menyadari kalau Asmari ikut mendengar akhir pembicaraannya bersama Rachel. Wira pergi kembali menuju KTV di mana acara ulang tahun itu berlangsung. Keinginan
“Arrgghh,” erang Rino, meraba punggungnya. “Kamu mau jadi preman di sini? Udah berapa lama tinggal di ibukota? Kamu kira petani bisa hidup di sini? Apa, sih, yang kamu andalkan? Kebun aren satu hektar?” Rino berusaha menutupi kesakitan dengan tertawa terbahak-bahak.Wira tak menjawab. Ia bahkan hanya mendengar ucapan Rino sepintas saja. Perhatiannya malah tertuju pada Sully yang berlari kecil ke arahnya. Dengan sepatu setinggi itu, Wira khawatir Sully tersandung. “Jangan lari. Ayo, kita pulang.” Wira memegangi bahu Sully. Mereka berdua tak menggubris Rino.“Aku mau tahu apa kebun aren cukup buat biaya kamu berobat. Boby! Diaz! Malam ini ada yang mau jadi jagoan!” Rino meletakkan dua tangannya di mulut dan berteriak sekencang-kencangnya memangil nama dua orang pria yang seketika melongok dari ujung lorong.“Rino! Udah, cukup! Enggak perlu diperpanjang.” Sully berusaha sekuat tenaga menyeret Wira menjauhi Rino. “Udah, Mas. Enggak usah diladeni.”“Terlambat kalau kamu ngomong enggak usah
“Mas enggak bercanda, kan?” Sully terkesiap mendengar ucapan Wira. “Padahal aku baru ngomong gitu, tapi Mas langsung mau pulang sendiri.” Sully menatap Wira dengan sengit.“Nanti kita bicara lagi. Mas enggak mau ribut di jalan.” Wira melepaskan genggamannya pada tangan Sully. Sulit tetap menggenggam tangan wanita itu tanpa menimbulkan keributan selama di dalam mobil. Sully terus beringsut dengan wajah cemberut.Tiba di apartemen pun, Sully langsung meninggalkan Wira di ruang tamu. Ia melepaskan sepatunya asal dan menghempaskan tubuh di ranjang.“Mas mau ngomong,” kata Wira, menyusul masuk ke kamar.“Ngomong aja. Aku dengar, kok,” sahut Sully.“Mas mau kita bicara sambil melihat satu sama lain. Ayo, duduk.” Wira duduk di tepi ranjang menunggu Sully bangkit.Sully bangkit dari ranjang dan kemudian langsung berdiri. “Kayanya percuma ngobrol karena Mas udah memutuskan buat ninggalin aku di sini. Mas mau pulang duluan ke Girilayang, kan? Sejak awal Mas memang enggak betah di sini makanya m