Ponsel Wira masih bergetar selama hampir semenit baru kemudian kembali senyap. Setelah dua kali menunduk berusaha melihat bentol gigitan nyamuk di kaki Sully, tapi mendapat penolakan dan kibasan tangan dari wanita itu, Wira menegakkan tubuhnya kembali. Ia tak mau jadi pusat perhatian para tamu. “Mas … aku capek,” kata Sully dengan wajah cemberut. “Sabar sebentar lagi, ya …. Pak Mangun sepertinya sudah mau pulang. Itu, lihat. Sudah berdiri jalan ke sini sa Bapak,” kata Wira, menenangkan Sully. Sully ikut melongokkan kepala memandang tempat yang ditunjukkan Wira. Pak Mangun yang berbalut rantai memang sedang berjalan bersisian dengan Pak Gagah menuju tempat mereka. Sully menegakkan tubuh menantikan pria yang katanya paling disegani dalam hal pelaksanaan adat istiadat di desa itu. “Ini menantu saya, Pak,” kata Pak Gagah seusai Wira berjabatan tangan dengan Pak Mangun dan giliran memperkenalkan Sully. “Mmmm … Enggak tahu kalau Tarmiah sudah lama meninggal, ya?” tanya Pak Mangun pada S
Kalau dalam pernikahan normal, sewajarnya malam itu adalah malam pengantin buat Wira dan Sully. Tapi pikiran itu memang tidak ada terlintas dalam benak Wira. Pernikahan yang membawa judul meyakinkan warga desa, hanya berakhir dengan Wira membuka akun sosial media Sully dan berdiam lama di sana. Hari itu, Wira memahami hal baru soal Sully. Pertanyaan orang-orang soal profesi artis yang digeluti Sully, awalnya tidak membawa rasa penasaran apa pun untuknya. Namun, melihat Sully begitu mahir dan menikmati memulas kosmetik ke wajahn, rasa penasarannya tergelitik. Jemari Wira menggulir layar ponsel. Melihat puluhan foto dan video yang kalau digabung jumlahnya ratusan. Tak ada foto atau video yang dilakukan Sully dengan sia-sia. Semuanya selalu bertujuan mengiklankan suatu produk. Sosial media milik Sully, sama sekali tidak menggambarkan kehidupan pribadinya. Semua hanya berisi iklan dan iklan. Bahkan video Sully sedang berolahraga santai pun, di akhir video tetap menyebutkan merek suatu p
Sully keluar kamar dengan maksud menemui Oky. Di dapur, ia malah bertemu Pak Gagah lebih dulu. Pria itu duduk di kursi makan dengan cangkir teh di tangannya. “Bagus baru selesai beresin kayu bakar dari subuh tadi. Belum ada ngeteh, apalagi sarapan. Saya sudah terbiasa mengurus diri sendiri sejak istri saya meninggal. Bagus juga terbiasa mandiri. Tapi sekarang beda. Bagus sudah punya istri. Jadi, memang seharusnya dia diladeni. Setidaknya ada secangkir teh setiap pagi.” Perkataan Pak Gagah yang tanpa tedeng aling-aling membuat Sully membeku di tempatnya. Uang lima juta yang tersimpan di dompet kain tentu saja tidak diberikan cuma-cuma, pikirnya. “Iya, Pak.” Sully tak tahu harus mengatakan apa selain langsung mengiyakan. “Pagi tadi Bagus sudah masak nasi. Itu bumbu dapur semuanya lengkap. Kamu bisa bikin nasi goreng atau apa terserah kamu. Di lemari ada telur. Kalau ada kurang apa-apa yang mau dibeli, bisa dititip ke Bagus. Warung jauh dari sini,” jelas Pak Gagah. “Iya, Pak,” sahu
“Tapi … masa kamu ninggalin aku?” Sully berdiri lesu memegang ember kosong.“Enggak mungkin kita berdua-duaan. Nanti kita enggak bisa balik lagi ke sini. Kehilangan tempat tinggal dan harus keluar biaya makan,” kata Oky. “Kalau perlu kita enggak usah di apartemen untuk sementara ini. Ketimbang 12 juta buat apartemen dua bulan, mending kita cari kos-kosan aja. Pemasukan lagi tersendat.”“Pembayaran dari endorse yang terakhir gimana? Kan, yang kemarin udah kirim video … terus masih ada dua video lagi yang belum, Ky.” Ada nada putus asa dalam suara Sully.“Sisa pembayaran endorse cuma tiga juta, Lis. Kalau ditambah dengan kirim dua video, nambah lima juta. Itu juga kalau langsung dibayar. Kalau enggak … ya uang kita...uang kamu maksudnya, enggak ada lagi.” Oky lalu menoleh ke kanan-kiri untuk mengecek sekitar mereka. “Sekarang kita numpang hidup dan makan di rumah Pak Gagah. Kamu kira kenapa tiba-tiba aku sayang banget sama kambing-kambing Pak Gagah? Ya, karena Pak Gagah menafkahi kita.”
Tadinya Wira berniat mengasah golok untuk membuat takik di pohon kelapa milik Ajeng sore nanti. Apalagi bapaknya mengatakan ada dua tetangga Ajeng yang juga meminta sekalian dibuatkan. Sebenarnya sudah ada alat modern yang bisa dibeli untuk ditancapkan di pohon kelapa sebagai pijakan kaki saat memanjat. Tapi, penggunaannya yang sedikit rumit membuat warga desa masih memilih cara tradisional. Menebas kiri-kanan pohon sembari memanjat hingga ke pucuk adalah cara sederhana, mudah dan juga murah untuk tiba di atas. Sebagai pengaman, biasanya para pemuda membawa kain sarung untuk disangkutkan ke pohon.Sebuah golok yang baru saja Wira ambil dari bagian bawah lemari dapur, ia letakkan kembali. Perdebatan dua orang wanita yang pernah didengarnya tempo hari seakan kembali terulang. Suaranya semakin lama semakin keras. Wira mendatangi asal suara yang tak jauh dari kamar mandi.“Aku udah tebus dengan nikah sama laki-laki yang aku enggak kenal biar kamu juga ada tempat tinggal. Kamu juga bisa a
Sully terdiam beberapa detik. Wajah Wira benar-benar serius. Jelas sudah kalau pria itu mendengar perkataannya di dekat kamar mandi. Wira pasti tersinggung. Perkataannya memang sangat kasar untuk seorang perempuan yang baru diberi uang lima juta dan tinggal cuma-cuma di rumah itu. Ditambah lagi dengan sebuah unit AC yang baru terpasang. Sully merasa dirinya jahat sekali. Usai berbicara, Sully melihat Wira menelan ludah. Wira terlihat berusaha keras mempertahankan posisi tangan di punggungnya. Pria itu pasti berharap ia mendorong dan menjauhkan diri. Wira sedang menambah semen dan bata untuk meninggikan tembok di antara mereka. Pria itu menolaknya dengan membalas perlakuannya.Tapi, Sully tidak mau memberikan kesempatan pada Wira untuk menjauhinya. Oky sebentar lagi pergi ke kota dengan waktu yang tak pasti. Dia akan terlunta-lunta di desa itu kalau Wira mengabaikannya.“Memangnya kenapa kalau aku serius suka sama Mas? Mas yang terganggu?" Sully melepaskan tangan dari belakang tubuh
Angin sejuk dari AC menderu seiring Sully menyadari napasnya kian memburu. Bibir Wira sangat lembut dan empuk. Tadinya dia belum memejamkan mata. Tadinya dia juga mengira kalau Wira hanya mengecupnya sekilas. Nyatanya Wira menyesap bibirnya cukup lama. Dua tangan Wira menangkup wajahnya. Membuatnya menengadah sampai ia harus mencengkeram kaus pria itu demi menjaga keseimbangan tubuh. Saat itu Wira yakin bisa menjaga kewarasannya. Melumat bibir Sully hanya untuk menyadari bahwa dirinya memang tersinggung karena wanita itu membandingkannya dengan sosok pria yang bahkan belum ia lihat. Apa memang dirinya setak menarik itu sampai-sampai Sully mengatakan banting setir kalau sampai menyukai dirinya? Satu sisi dirinya melarang tersinggung dan mengabaikan Sully. Sisi lainnya malah ingin menunjukkan pada wanita itu soal siapa dan bagaimana dirinya. Wira mendengar napas Sully mulai cepat dan rintihan halus keluar dari sela-sela bibirnya. Lumatan bibirnya memang cukup lama. Seakan mereka sedang
Ketika Wira meninggalkannya usai mereka saling memagut bibir, Sully melihat sorot berbeda di mata pria itu. Ciuman itu adalah cara Wira agar ia menjauh. Sorot mata boleh menipu, tapi deru napas tak bisa menyaru. Begitu isi kepala Sully. Ia sudah bisa memperkirakan kalau Wira akan terus sibuk dengan berbagai hal.Memang awalnya itu sudah kesepakatan mereka. Bersandiwara menikah dan kemudian mereka sibuk mengurus urusan masing-masing. Harusnya dia senang karena Wira memberinya ruang dan tak merusuhinya dengan tuntutan apa pun. Tapi tetap saja dia tak mau diabaikan.Siang itu dia berencana akan membuat dua video endorse yang masih terhutang. Satu merek produk suplemen pembesar payudara dan satunya beberapa produk dari toko online yang menjual soft lense impor dari Bangkok. Sully sudah sudah duduk bersimpuh di lantai menghadapi kaca tinggi dan sebuah alat catok yang dicolok dengan kabel sambung. Dan pikirannya yang berkelana ke mana-mana soal Wira membuat tangannya meraih alat catok deng