“Kak Lily, aku harus bagaimana?”
Begitu Murni pergi, Ayesha sontak bertanya pada Lily–berharap wanita itu dapat membantunya.
Ayesha benar-benar tidak bisa membiarkan kesuciannya terenggut di tempat menjijikan ini.
Lily tersenyum lembut. “Kau pakai baju ini dan ikut denganku, ya?”
Ia menyerahkan dress merah hati pada Ayesha.
“Tidak! Aku ini berhijab, mana bisa aku pakai baju terbuka ini. Aku tidak mau!”
“Ayesha, dengar aku. Ini kesempatanmu untuk keluar dari tempat ini.”
Lily menoleh ke arah pintu dan memelankan suaranya. Takut Murni atau dua pengawalnya itu mendengar.
“Setelah ini, aku akan mengantarmu pergi ke alamat pria itu. Di perjalanan, jika ada yang lengah, kau harus lari secepat mungkin.” Lily berbisik pada Ayesha dan menyerahkan gaun itu.
Ayesha menatap Lily bimbang.
Apa dia harus menggunakan gaun itu dan berlari di tempat umum?
Ironis sekali, hijab inilah yang melindungi harga dirinya dan menjauhkannya dari pasang mata jahat agar tidak bisa melecehkannya. Namun, sekarang dia harus melepas hijab ini untuk bisa menghindari pelecehan pada dirinya pula.
“Kak? Bagaimana jika aku tidak berhasil?” tanya Ayesha kembali memikirkan seandainya rencananya gagal.
“Ayesha, kita usahakan yang terbaik. Tapi jika tidak berhasil–” Lily terdiam beberapa saat sebelum kembali berkata, “Maaf, Ayesa. Mungkin, kau harus mengikuti jalannya takdir.”
Mata Ayesha sontak berkaca-kaca. “Ya Allah, Kak!”
Ayesha menggelengkan kepalanya masih belum bisa terima dengan semua ini.
Dia besar dengan baik meskipun sejak remaja kehilangan orang tuanya. Bahkan, dia sudah memiliki pekerjaan tetap, sebagai guru.
Membayangkan pekerjaannya malam ini, dia merasa malu.
“Kalian sudah siap?!”
Teriakan Murni kembali terdengar–menyadarkan keduanya dari pikiran masing-masing.
“Ayesha, kita harus segera bersiap. Mami pasti akan menyiksamu lebih kejam jika kau menolaknya,” ucap Lily.
Ayesha terdiam sebelum mengambil gaun itu dan memakainya.
Dia yakin pasti ada jalan untuk melarikan diri. Atau kalau tidak, dia akan mencoba memberi tanda minta tolong saat di tempat umum pada orang-orang yang ditemuinya.
Tak lama, dia pun keluar kamar mandi setelah berganti.
“Maaf, Kak Lily! Tapi, apa boleh aku melapisi dress ini dengan bajuku sendiri? Nanti, aku akan melepaskan bajuku jika sudah sampai di tempat pria itu. Aku harap Kak Lily tidak keberatan dan bisa membantuku.”
Dalam diam, Ayesha menyusun rencana.
Jika di perjalanan nanti, dia bisa melarikan diri, setidaknya tidak mempermalukan diri dengan pakaian yang terbuka itu.
Sementara itu, Lily pun mengangguk. “Baiklah! Sekarang biar aku bantu merias wajahmu, ya?”
Ayesha pun setuju.
Sembari merias tipis wajahnya, Lily bercakap-cakap dengan Ayesha.
“Aku berharap, pria yang akan kau temui adalah pria yang baik,” ujarnya.
“Mana ada pria baik yang membayar wanita di rumah pelacuran untuk menemaninya, Kak?” ucap Ayesha cepat.
Lily menggelengkan kepala. “Aku pernah menemani suami orang, ternyata dia tidak meniduriku. Tapi hanya butuh mengobrol dan bercanda sesaat. Dia bilang sedang stress karena istrinya terus menguji kesabarannya.”
Ayesha terdiam. Dia tidak tahu banyak tentang dunia kelam ini.
Seperti Lily yang sebenarnya terpaksa, pasti ada banyak alasan pula mengapa wanita-wanita penghibur itu rela menjajakan harga dirinya.
Ayesha sadar bahwa dia hanya manusia biasa dan tidak sepantasnya memandang rendah orang lain.
Hanya saja, selagi dia bisa menolak keadaan ini, Ayesha akan berusaha mempertahankan harga dirinya.
*****
“Apa-apaan ini?!” Murni yang baru datang begitu naik pitam kala melihat Ayesha mengenakan dress panjang lengkap dengan hijab.
“Kembali dan gunakan gaun yang aku suruh!” teriaknya lagi.
“Mam, Ayesha sudah memakainya. Namun, dia bilang akan melepasnya setelah sampai ke tempat pria itu,” bela Lily.
Murni lantas menaikkan alisnya.
Setelah memastikan ucapan Lily benar, Murni bernapas lega. Dia tentu tidak bisa membiarkannya menggunakan pakaian seperti itu untuk melayani kliennya. Mana ada orang yang akan tertarik dengan wanita yang serba menutup diri?
“Ingat, Ayesha! Kalau kali ini kau berhasil menyenangkan pria itu, maka aku anggap hutang-hutang pamanmu lunas. Jadi kau bisa bebas. Tapi ingat! Jika aku mendapat komplain dan kau tidak melakukan tugasmu dengan baik, maka kupastikan seumur hidupmu akan membusuk menjadi wanita pelacur dan hina di sini!”
Ayesha berkaca-kaca.
Ucapan Murni sungguh membuatnya menciut.
Dia sudah berniat melarikan diri, tapi kalau wanita ini ternyata berhasil menemukannya lagi?
Maka hidupnya akan lebih sulit…
Akankah melayani pria itu malam ini adalah keputusan terbaik agar Murni melepaskannya dari tempat yang terkutuk ini?
“Ya Allah, berikan hamba-Mu ini petunjuk,” batinnya pedih.
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer