ログインSiang ini, Nadya bersiap mengantarkan makan siang untuk suaminya. Ia bersemangat karena merasa itu sudah kewajibannya sebagai seorang istri—memberikan masakan lezat untuk suaminya. Seperti kata Serly, ia harus memasakkan makanan kesukaan Bastian agar pria itu bisa luluh kepadanya.
Nadya berangkat dengan taksi online bahkan fasilitas mewah pun tidak pernah diberikan Bastian padanya. Beberapa menit kemudian, ia berdiri di depan gedung menjulang tinggi milik perusahaan suaminya. Wajahnya ceria, senyumnya memancar penuh kebahagiaan. Ia menghela napas panjang, memejamkan mata sejenak, lalu melangkah masuk. Satpam dan karyawan memberi hormat, seolah menyambutnya sebagai nyonya besar—karena semua orang tahu Nadya adalah istri pemilik perusahaan itu.
“Nyonya, Tuan sedang menghadiri rapat penting. Sebaiknya Anda menunggu di ruangan,” ucap sekretaris.
Nadya ragu. Ia tak ingin membuat masalah lagi. Baginya, datang membawa makanan sudah cukup. Ia juga tak mau Bastian marah, mengingat pagi tadi.
“Tidak, makanan ini saya titipkan saja padamu. Saya pamit,” ucapnya sambil tersenyum tipis.
Sekretaris mengangguk. “Baik, Nyonya.”
Nadya segera keluar dan memesan taksi online. Saat menunggu, pandangannya terhenti pada pintu lobi. Senyumannya mendadak memudar. Ia melihat suaminya—Bastian—keluar bergandengan dengan seorang wanita.
Dua bola matanya membeku. Wanita itu cantik, rambut panjang terurai, tawa mereka menyatu. Bastian tersenyum lebar, binar matanya berbeda dari biasanya. Nadya hanya berdiri, tubuhnya kaku, ketika keduanya masuk ke mobil pribadi Bastian.
Beberapa menit kemudian, seorang karyawan keluar sambil membawa kotak makanan. Nadya menajamkan pandangan. Kotak itu—itu miliknya! Nadya mengikuti karyawan tersebut hingga ke belakang gedung.
“Kenapa dibuang?” suaranya parau, matanya berkaca-kaca melihat masakannya tergeletak di tong sampah. Bahkan disentuh pun tidak.
“Dia tidak menyukainya,” jawab karyawan itu dingin, sebelum pergi.
Nadya meraih kotak makan itu, lalu meletakkannya kembali ke tong sampah. Air matanya jatuh. Saat taksinya tiba, ia masuk dengan langkah gontai. Di perjalanan, ia hanya diam, menatap keluar jendela dengan pikiran yang kacau balau.
Malamnya, Bastian tak kunjung pulang, bahkan tanpa kabar. Saat tengah malam tiba, ia akhirnya datang. Nadya merasa lega.
“Tuan, kau ke mana saja? Saya khawatir padamu.” Nadya berdiri tersenyum, mencoba ramah.
“Apa pedulimu padaku!” bentak Bastian. Sorot matanya merah, rahangnya mengeras, tangan mengepal.
“Tuan, saya khawatir… kakek dan mama sering datang ke sini menanyakan kabarmu. Saya sampai harus berbohong, bilang kau sedang ada urusan pekerjaan.”
“Apa urusanmu denganku? Kau bukan istriku, hanya pelayan di rumah ini. Aku tidak pernah menganggapmu keluarga. Jangan pernah membuatku marah!”
“Tuan… kakek dan mama tahu kau pergi bersama seorang wanita. Itu sebabnya mereka—”
BRAK! Tangan Bastian mencengkeram wajah Nadya kasar.
“Apa kau melihatnya? Apa kau melaporkan pada mereka? Licik! Jahat!” teriaknya. Pukulan telak mendarat di wajah Nadya, tubuhnya terhempas jatuh ke lantai. Bibirnya pecah, darah menetes.
“Tuan… saya tidak…”
“CUKUP!” teriak Bastian.
Nadya menangis, tubuhnya bergetar hebat. Ia mencoba menjelaskan di sela tangis. “Saya hanya melihatmu, tapi saya tidak melaporkannya. Percayalah, bukan saya.”
Bastian meraih rahangnya lagi, mendorong kasar. “Jangan bohong! Kau cemburu, kan?!”
“Tidak, Tuan… saya tidak…”
“BOHONG!” teriaknya lagi, lalu menghempaskan Nadya ke lantai sebelum berbalik naik tangga tanpa menoleh. "Sekali lagi kamu ikut campur, habis kamu!"
Satu bulan kemudian. Nadya meringis merasakan sakit yang amat di bagian perut buncitnya, mungkin sudah saatnya dia melahirkan. Dirinya membangunkan Bastian yang baru saja tertidur karena sejak siang tadi dia menemani Serly berobat ke rumah sakit. Hingga sekarang Bastian baru tertidur pulas, Nadya membangunkan suaminya untuk meminta bantuan karena perutnya sudah merasakan kontraksi yang luar biasa. “Sayang, perutku sakit tolong bawa aku ke rumah sakit.” Rintih Nadya. Ia terkejut karena cairan bening mulai merembes ke seluruh pakaian yang dia kenakan, Bastian dengan sigap langsung membuka kedua mata lalu melihat kondisi istrinya. Di sana Nadya tengah mengelus-elus perutnya sambil menangis karena kontraksi yang dia alami sangat luar biasa. “Kamu mau melahirkan?” Tanya Bastian. “Sepertinya sayang, karena memang sudsh waktunya aku melahirkan.” Ucap Nadya dengan suara terengah menahan rasa sakit. Tanpa menunggu w
Laura malah cemberut dia tetap ingin duduk di kursi yang Nadya duduki membuat Arga jengkel dan kesal. Walau bagaimana pun Laura harus dia ajarkan tatakrama karena ia akan meninggalkannya cukup lama, Arga tidak mau Laura tidak tahu sopan santun apalagi kepada keluarga Nadya. “Laura pengen duduk di sana.” Rengek Laura menunjuk ke arah kursi yang Nadya duduki.Bi Ayu yang melihat dari arah dapur merasa jengkel atas sikap yang Laura perlihatkan, ia merasa anak itu sangat menyebalkan.“Sayang, kamu tidak boleh merebut hak orang lain apalagi kursi itu sudah tante Nadya duduki.” Arga menatap tajam ke arah Laura. “Sudah-sudah, hanya kursi, Laura kalau kamu pengen duduk di sini boleh sayang biar tante duduk di tempat lain.” Ucap Nadya merayu. “Pergilah.” Titah Laura membuat Arga terkejut atas apa yang anak itu lontarkan kepadanya.“Laura.”“Sudah, Arga. Namanya juga anak kecil, kamu tidak boleh bersikap keras, biar nanti aku yang urus.” Ucap Nadya.Nadya hanya bisa menggelengkan kepala ia m
Arga datang malam-malam untuk menemui Bastian dan keluarganya dia ingin meminta maaf atas segala kesalahan yang telah ia perbuat. Malam ini Arga ingin menitipkan Laura kepada mereka karena dia yakin bahwa Bastian dan Nadya bersedia merawat putri kandungnya. Sampai dia benar-benar bisa menerima segalanya, Arga menahan rasa malu dan memutuskan untuk datang ke rumah mereka. “Arga, ada apa ini?” Tanya Nadya terlihat cemas. Arga membawa tas jinjing dan koper berisi pakaian Laura. “Maafkan, aku.” Ucapnya sambil menghampiri Nadya. Koper dan tas ia taruh kemudian Arga langsung mendekati Nadya dan bersujud dihadapannya. Nadya menggelengkan kepala dia tidak mengerti apa yang telah terjadi kepada pria itu, sampai-sampai Arga bersujud di kakinya.“Apa yang kamu lakukan, bangunlah.” Titah Nadya.“Apa yang kamu lakukan, Arga berhenti bersikap seperti itu.” Nadya mulai meninggikan suaranya karena Arga masih bersujud di kakinya.“Maafkan atas segala kesalahanku, aku tahu kalian pasti tidak akan mau
Nadya segera menyusul suaminya di mana Bastian langsung melihat kondisi Serly yang tiba-tiba pingsan. Serly tergeletak di bawah lantai membuat Bastian sangat terkejut dan sedih sekali, padahal tadi pagi Serly baik-baik saja. ”Mamah, bangun, Mah.” Ucap Bastian. Tidak terasa air matanya mengalir begitu deras, hal yang Bastian takutkan akhirnya terjadi kepada Serly di mana kondisi sang Mamah sudah tidak terkendali. Penyakit yang di deritanya semakin parah membuatnya sangat takut kehilangan orang tuanya. Bastian segera menyiapkan mobil untuk membawa Serly ke rumah sakit. “Sayang, bagaimana kondisi Mamah?” Tanya Nadya menghampiri.“Kepalanya berdarah, sepertinya Mamah jatuh dan terbentur.” Ucap Bastian. “Ya ampun, Mamah.” Lirih Nadya. Serly tengah berbaring dengan kondisi sangat mengenaskan padahal Bastian sudah berusaha melindungi orang tuanya. Akan tetapi hal tidak terduga terjadi di mana Serly tidak sengaja terjatuh mengakibatkan dirinya jatuh pingsan.“Aku harus membawa Mamah ke r
Nadya perlahan duduk di kursi lalu memandangi Jeni yang tengah berbaring lemah, dia masih ingin mengandung dan melahirkan. Walau pun penyakit yang dia derita sangat parah tapi Jeni tetap bersikeras untuk melahirkannya.“Nadya, maafkan aku.” Ucapnya dengan suara lemah. Kedua matanya tertutup rapat napasnya terengah. “Kenapa kamu masih mau mempertahankan kehamilanmu, Kak?” Tanya Nadya.Terdengar suara napas berat dari Jeni, dia meneteskan air mata kemudian mulai membuka kedua matanya. Kemudian ia langsung menoleh ke arah Nadya yang kini ada di sampingnya. “Aku tidak mau anakku April tidak memiliki adik, aku tidak mau dia kesepian. Jadi aku putuskan untuk tetap mempertahankan kehamilanku supaya dia memiliki adik kandung. Aku merasakan bagaimana hidup sendiri tidak punya kakak atau adik, itu sebabnya aku ingin mempertahankan kehamilanku. Tinggal menunggu satu bulan lagi aku akan melahirkan anak ini. Nadya, aku percaya kepadamy kau akan menyayangi anakku juga sama seperti anakmu, kan?” T
Beberapa hari kemudian.Nadya mencari-cari ke mana perginya Jeni, sampai-sampai orang yang berada di rumahnya tidak memberitahu bahwa Jeni berada di rumah sakit. Bastian tidak mau terus-terusan seperti ini di mana dirinya membohongi istrinya tentang keadaan Jeni. Semua yang dia lakukan untuk kesehatan Nadya karena dia sedang mengandung. Hari ini Nadya tengah duduk termenung pikirannya sangat kacau padahal sebentar lagi dia akan melahirkan tinggal menunggu satu bulan lagi. Tapi Jeni pergi entah ke mana, dia juga tidak pamit membuatnya sangat mencemaskannya.“Sayang, aku mau bicara sesuatu kepadamu,” ucap Bastian mendekatinya. Nadya masih duduk menatap ke arah jendela hatinya sangat hancur karena beberapa setelah kejadian mereka tidak tegur sapa. Ia enggan mempertanyaan siapa yang membuat suaminya berubah. “Aku tahu kamu pasti marah kepadaku, aku juga tahu kamu menjauhiku. Aku khawatir tentang keadaanmu karena kamu sedang hamil besar.” Ucap Bastian ia duduk tepat di pinggir Nadya la







