Mereka berpapasan dengan kakak perempuan Dimas tetapi tanpa membawa anak kembarnya. Sebab akan bergantian dengan Pak Darma untuk menjaga sang ibu yang tergolek sakit. “Terima kasih ya, Amira. Sudah menjenguk ibu kami,” ucap kakaknya Dimas dengan wajah berseri. “Sama-sama, Kak.” Amira menjawab dengan perasaan sedih. Menatap wanita anggun itu memasuki kamar rawat inap di paviliun. Berfikir andai kakaknya Dimas tahu dirinya gadis asing dari negara jiran di seberang, apakah masih bersikap ramah? “Apakah di sini tidak ada taksi?” tanya Amira dengan muram. “Kenapa? Aku akan mengantarmu kembali ke hotel, Amira. Aku akan kembali ke sini. Ayah dan keluargaku ingin berbicara denganku. Kuharap kamu mengerti. Maaf ya, ada masalah sedikit dengan ibuku. Kuharap kamu juga mengerti posisiku…,” ucap Dimas terdengar gusar. Amira mengangguk saja, kala menatap Dimas pun, rasa hati jadi sedih. Berpikir lelaki itu sebentar lagi akan menikah dengan gadis lain. Bukan dirinya. Mengingat Dimas adalah lela
Bapaknya Dimas, Pak Darma dengan siaga telah memasangkan kembali selang oksigen yang lembut itu ke hidung sang istri. Meski tidak menunjukkan gejala sesak akut, tetapi untuk berjaga-jaga sebab istrinya terlihat pucat. Khawatir andai kritis lagi. Dimas mengusap-usap kaki ibunya dengan perasan sangat khawatir. Tetapi juga simalakama memandang Amira. Merasa iba dengan gadis itu yang juga pucat dan kebingungan. “Sebentar, Amira, kurasa ibuku masih ingin berbicara.” Dimas tidak tahu lagi bagaimana menyikapi. Bapaknya pun sedang terlihat gelisah dan kini memijat lembut kepala ibunya. “Iya, Mas.” Amira sambil mengangguk. Juga bimbang harus bagaimana bersikap. “Amira … bagaimana jika menunggu di luar dulu? Sepertinya ibunya Dimas ingin berbicara hal lain. Maaf, Amira tidak masalah kan?” tanya Pak Darma tiba-tiba. Nadanya lembut tetapi tegas. Pandangannya hangat dan sedikit tersenyum, membuat Amira tidak mengapa dan merasa berlapang dada. “Baik, Pak. Saya tidak masalah. Mas Dimas, ak
Dimas membuka pintu kamar rawat yang disewa pribadi oleh orang tua setelah mengucap salam dan mengetuk pintunya. Terdengar sahutan dari bapak yang memang selalu siaga di dalam. Ternyata sedang menyuapi si pasien agung dengan duduk di sebelah ranjang. Ibunya menyandar ranjang dengan diganjal bantal di punggungnya. “Eh, siapa ini?” sapa bapaknya menyambut. Menatap Osara tak berkedip. Segera meletak sendok saat Amira mengulur tangan untuk bersalaman. Senyum pria itu terus nengembang hingga calon istri putra tercinta menyungkem punggung tangannya. Merasa senang dengan gadis yang bersikap santun pada orang tua. Sama juga dengan wanita tengah baya yang duduk di ranjang pasien di sampingnya. Tersenyum lebar dengan wajah sumringah meski raganya sedng tidak baik-baik saja. “Nama saya Amira, Pak, Bu.” Amira menyahut lembut dengan senyum mengembang. Cantik yang khas dari gadis negeri seberang. Ayah dan ibunya Dimas mengira jika Amira adalah gadis Surabaya di generasi gen Z milenial yang mod
Untung saja ranjang itu sangat kuat dengan busanya yang tebal dan begitu empuk. Jika tidak, akan sesakit apa punggung atau perutnya saat Amira menimpa bulat-bulat di atas badannya. Bisa juga ranjang itu akan jepluk. Gemas sekali rasanya! “Amira, kamu ini laah. Masa kecil kurang bahagia kamu ya …,” celutuk Dimas bercanda. Tetapi wajah Amira seketika berubah suram. “Memang dari kecil aku tak bahagia. Aku ituuu, dah tumbuh tanpa orang tua.” Amira berkata dengan ekspresi yang sedih. Dimas jadi trenyuh. Dibiarkan saja Amira sejenak. Niat untuk menepikan dari atas tubuhnya pun urung. Sadar membawa dampak negatif yang membuat raganya panas dingin, dia biarkan Amira terus menumpuk di atas perut dan dadanya. Meski bayang dosa tidak putus merongrong, memilih diam saja dan kemungkinan pun tertarik pada bodi calon istri. Biarlah, mungkin ini yang disebut sistem nyicil dan sesat, toh sebatas begini dan tidak ingin melampaui batas lebih lagi. “Lalu, siapa jaga kamu? Ayah dan ibumu di
Sayup adzan subuh terdengar bersahut-sahutan dari kejauhan. Bahkan suara adzan di Masjid Besar kota pun terdengar juga di perkebunan. Penduduk yang jarang dan tidak ada kebisingan kendaraan di sepanjang perkebunan, membuat udara jadi penghantar bunyi yang terbaik subuh itu. Amira terbangun oleh alarm yang hampir kadaluarsa dari masa aktifnya berdering. Tidak berbunyi bising sebab ditindih sendiri oleh tubuh yang berpindah posisi saat tidur. Ponsel yang semula aman diletak jauh pada tepi ranjang di dinding, telah bergeser ke tengah sebab polahnya yang ugal-ugalan saat tidur. Degh Amira sungguh terkejut, menyadari lampu telah Mati dengan suasana temaram. Membawa jantung yang sedang berdetak kencang, dia bangun dan meninggalkan ranjang untuk menekan tombol listrik di dekat pintu masuk kamar agar terang semula. "Bukankah semalam tidak aku matikan?" Amira bertanya-tanya sambil berjalan. Namun…. “Whaaaa!” Rasa jantung seperti sedang meledak sebab terkejut. Sosok hitam besar yang
Mushola yang lengang tanpa satu pun orang di sana dan baru saja dia kunjungi sudah ditinggalnya. Setelah usaha menenangkan diri dengan munajat panjangnya, semakin yakin akan keputusan untuk memilih Amira saja sebagai perempuan yang akan dinikahi. Bukan Yunita yang diam-diam nasih memberi lampu hijau, bukan Mila yang seorang bidan desa, bukan juga Inara yang pegawai koperasi di desa, bukan pula Rina-guru Sekolah Dasar di desa-janda kembang ditinggal mati dan sedang mencari pendamping hidup baru, atau nama-nama lain yang direkomendasikan keluarga padanya. Tetapi yang terus berkelebat kuat di kepala hanya Amira dan tidak satu pun nama lain! Kini Dimas mantap melangkah menuju lift untuk kembali ke rooftop. Berbekal sebuah kunci lagi, yang diberikan resepsionis memang berjumlah dua biji, dia ingin berbicara dengan Amira. Dimas sudah berniat tidak mengetuk pintu sebab semakin banyak orang di rooftop menuju tengah malam. Tidak ingin menimbulkan spekulasi di kepala mereka yang meliha