“Tuan ... aku mohon, maafkan ibu. Jangan laporin ibu ke polisi. Tuan bisa marah sama aku aja, keluarin semua amarah tuan ke aku. Tapi jangan laporin ibu,” ucap Alesha untuk yang kesekian kalinya dalam hari ini.
Cukup muak Arsen mendengar penuturan Alesha sejak tadi. Dengan tegas dia menatap Alesha sambil menggebrak meja.“Berulang kali saya bilang, bukan kamu yang salah! Jadi stop untuk mihak ke ibu kamu! Mihak ke orang yang udah nyakitin kamu. Kamu tahu sendiri keadaan kamu yang sekarang juga karena ibu kamu. Jadi, tolong ... berhenti bersikap baik ke orang yang udah jahat sama ibu kamu.”Alesha tersentak hingga terjatuh ke lantai.Tubuhnya gemetar dan ia kembali menangis. Alesha malu, sungguh. Karena dia sudah memperlihatkan sisi menyedihkannya ke orang asing yang memaksa masuk ke hidupnya. Tapi Alesha tidak bisa apa-apa. Ini reaksi tubuhnya secara refleks, mengingat ini pertama kalinya dia merasa seperti ini.Dibentak, dimarahi oleh seorang laki-laki dan itu menyakiti hati mungilnya.“Kalau tidak karena ada hal genting, saya juga tidak akan menikahi kamu. Bahkan detik ini aja saya benci fakta karena sudah menikah sama perempuan asing. Karena apa?!”Alesha menggeleng tak mengerti.“Karena setelah kamu masuk ke hidup saya. Hidup saya jadi berantakan. Banyak masalah yang datang dan saya pusing melihat kamu setiap waktunya cuman menangis, melamun, seperti nggak ada gairah hidup.”“...”“Kasihan? Tentu saya kasihan sama kamu. Mau bagaimana juga kamu paling tersiksa sama pernikahan ini. Tapi sungguh saya sudah berjanji sama diri saya sendiri setelah menikah sama kamu, saya enggan mengurus kamu. Kita bisa hidup masing-masing. Walaupun tinggal di satu atap yang sama. Tapi saya rasa kita harus bisa mengurus diri sendiri tanpa melibatkan satu sama lain. Mengingat pernikahan kita yang memang terjadi bukan karena alasan umumnya.”“...”“Tapi apa ... rencana hanyalah rencana. Belum satu hari menikah, ibu kamu malah mengulah dan sungguh, apa yang diperbuat ibu kamu bukan hal kecil. Melainkan hal besar karena dia membuat saya melakukan hal yang seharusnya nggak saya lakukan!”Rintihan malam itu kembali teringat di benak Alesha dan perempuan itu semakin diam dan mencengkram kuat bajunya yang menghujam kulitnya secara tidak langsung.“Saya pusing Alesha! Bagaimana kalau perlakuan saya waktu itu malah menghidupkan seorang anak yang nggak saya inginkan? Dan saat ini saya sedang was-was, takut kalau hal itu terjadi.”Alesha mengangguk setuju.“Tapi ... Saya sudah membaca jurnal, untung saja kemungkinan lumayan kecil kalau kamu itu langsung hamil disaat kita melakukan yang pertama kali. Tapi tetap saja saya harus waspada dan saya juga nggak akan tinggal diam. Sama orang yang membuat kita ada di kondisi saat ini. Yaitu ibu kamu. Jadi wajar dong kalau saya memberi hukuman sama orang yang udah jahat sama kita?”Alesha merenung, masih terduduk di lantai tapi pikirannya berkelana ke banyak hal.“Jadi ... saya sungguh penasaran. Kenapa kamu masih bisa baik sama ibu yang bahkan menjual kamu? Bahkan saya melihat kamu tersiksa atas kejadian ini. Tapi kenapa sekarang kamu malah meminta saya untuk memaafkan ibu kamu?”Alesha menarik napas dalam. Memberanikan diri untuk menatap Arsen.“Karena ibu menjanjikan suatu hal yang begitu indah di mata aku,” jawabnya sambil tersenyum tipis. “Dari dulu aku udah capek harus nurutin semua perintah ibu dan sekarang ibu nawarin untuk bebasin aku. Jadi ibu nggak ada hak lagi buat nyuruh aku ini itu. Asal tuan mau maafin ibu dan nggak laporin.”"Tuan berubah setelan memiliki mbak."Perhatian Alesha teralihkan saat sedang makan dan menatap bibi yang datang dari arah dapur sambil membawa tambahan lauk karena Alesha yang minta untuk nambah. "Berubah kayak gimana?" tanya Alesha penasaran. "Bibi boleh duduk aja, aku jadi mau tau apa yang biasa tuan Arsen lakuin sebelumnya dan ngomongin tentang hal ini. Karena bibi pasti tahu kan apa yang terjadi di rumah ini?"Bibi tersenyum tipis lalu menarik kursi dan duduk di hadapan Alesha yang masih makan. Maklum, nafsu makannya jadi bertambah karena Arsen sendiri yang memintanya untuk makan. "Bi," panggil Alesha. "Boleh aku dengar apa pun tentang tuan Arsen? pasti bibi udah tahu kan apa yang terjadi antara aku sama tuan Arsen? tentang pernikahan paksa kami karena dari kami nggak ada yang mau tentang pernikahan ini?" tanya AleshaBibi itu mengangguk pelan. "Dulu sekali tuan Arsen sudah tinggal sendiri di rumah ini dan sejak dulu tak pernah ada senyuman sama sekali di wajahnya. Tuan Arsen
Dunia memang tak adil. Tentu Alesha mengetahui itu semua. Tidak semua yang kita mau akan terwujud karena Allah lebih tahu apa yang di butuhkan oleh kita. Terlebih manusia hanya di izinkan untuk berperan bukan untuk menentukan semua takdir. Tapi Alesha tidak tahu kalau peran yang ia laksanakan akan seberat ini. "Sebenarnya ... apa yang terjadi sama aku sih? apa yang pernah aku lakuin di masa lalu, sampai aku hidup segininya banget. Selalu salah dan gak pernah ada yang dukung sama sekali."Alesha menatap jalanan yang tampak basah lantaran habis hujan. Ia termenung dengan tangan yang tak bisa diam, sejak tadi terus mengetuk meja. "Aku gak punya keluarga yang bisa aku jadikan tempat curhat. Aku juga gak punya apa yang aku mau untuk tempat aku mengadukan kesedihan. Aku gak ada teman sama sekali." Perasaan sedih semakin menyelimuti Alesha dan ia hanya bisa memalingkan wajahnya saja. "Bahkan ... sekarang yang punya status sama denganku, gak pernah menganggap aku ada."Dia menarik napas dal
"Sedari dulu aku udah belajar banyak tentang agama. Aku memang bukan orang yang paham banget agama atau agamis banget. Tapi aku tahu kalau pernikahan itu sakral dan bukan main-main."Alesha memainkan ujung jarinya di atas pahanya. Ia melilitkan rok yang ia kenakan, tanda sangat gugup. "Dari awal pernikahan ini, aku menganggap semua ini serius kok. Apalagi pernikahan kita udah sah di mata negara dan agama. Jadi, aku gak ada alasan lagi buat nolak kenyataan ini."Tatapan Arsen memicing, "walaupun kamu dipaksa dalam pernikahan ini?" tanya Arsen dengan penuh penekanan membuat jantung Alesha serasa ditusuk oleh benda tajam hingga ia merasakan sangat sesak di ulu hatinya. Alesha mengangguk. "Kamu ini aneh. Setelah semua yang kamu lewatin beberapa hari ini, kamu masih anggap baik pernikahan ini?""Oh ... dalam agama nggak ada yang namanya main-main, tuan." Alesha memperjelas dengan senyuman tipis. "Kalau tuan anggap biasa aja pernikahan ini, ya itu hak tuan. Tapi enggak bagi aku. Makanya
"Ya ... biasa aja dong tuan."Alesha membawakan masakannya ke atas meja lalu menyiapkannya untuk Arsen. "Tapi, memangnya tuan nggak masalah makan masakan aku? maksudnya kan ini masakan biasa. Takutnya tuan nggak suka lagi. Jadi, nggak usah deh. Tuan makan makanan bibi di sini aja. Kalau mau cicip doang mah boleh deh. Tapi kalau makan nggak usah."Arsen menarik piring di depannya, membuat Alesha melayangkan tatapan protes. "Saya kan udah bilang mau makan ini. Jadi nggak ada masalah sama sekali," ucapnya penuh penekanan. "Lagi pula saya mau melihat sejauh mana skill masak kamu. Skill orang yang selama ini mengaku selalu masak di rumah.""Dih ... masakan aku mah yang penting bisa kemakan. Aku nggak pernah ngomong kalau masakan aku tuh enak. Jadi, tuan nggak boleh protes sama sekali."Alesha mau beranjak tapi Arsen kembali memanggil dirinya itu. "Apalagi tuan?" tanya Alesha yang geregetan. Perutnya udah memberontak minta di isi tapi Arsen menunda terus sejak tadi"Mau ke mana?" tanyany
"Farhan?"Alesha menggeleng pelan. "Aku nggak pernah punya teman laki-laki yang namanya Farhan. Kenapa? tuan kenal sesuatu?"Arsen menghela napas lega dan langsung menggeleng begitu saja. "Enggak ... saya salah sangka. Sudah kamu masuk ke kamar saya. Saya mulai bosan melihat wajah kamu terus."Alesha tersenyum sendu dan mengangguk. Ia meninggalkan Arsen dengan perasaan campur aduk. Tapi janjinya pada diri sendiri untuk bahagia membuat Alesha tidak bisa apa-apa selain tersenyum dan berusaha untuk tidak memikirkan omongan jahat untuk dirinya. Ia mengunci pintu kamar dari dalam dan menaruh kue tersebut di atas meja. "Untuk hari ini, misi aku sukses. Aku bisa tersenyum dan nggak ngeluh sama sekali di depan tuan Arsen!" pekiknya pelan. Sementara itu, di depan sana Arsen buru-buru mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan pesan untuk Farhan. /Dasar pembohong! membuat saya malu saja./***Hari ini, Alesha mulai membiasakan diri untuk tinggal di tempat baru. Ia juga mulai membiasakan diri un
"Dulu sekali ..."Farhan sengaja menghentikan ucapannya untuk melihat respon Arsen dan lihat saja bagaimana pria itu yang mengangguk dan menatapnya saksama. Ah, melihat atasannya yang seperti ini membuat Farhan berpikir kalau ke depannya Arsen akan memiliki hubungan yang baik dengan Alesha lalu ninggalin kekasihnya yang tak pernah memiliki itikad baik itu. "Hmmm," deham Farhan dengan sengaja. Hingga sebuah bolpoin terlempar ke arahnya dan spontan Farhan tertawa puas sambil bertepuk tangan. Ia menggeleng pelan dan menatap Arsen. "Katanya nggak peduli sama istri lu. Tapi kenapa sekarang malah penasaran? aneh nggak sih? kalau nggak peduli. Ya nggak peduli aja. Nggak usah tiba-tiba jadi peduli. Hidup tuh harus konsisten," ledek Farhan dengan tidak tahu dirinya. Arsen mencibir. Wajahnya yang putih itu seketika memerah. Tapi gengsinya setinggi langit. Ia pura-pura acuh dan sibuk lagi dengan pekerjaannya. "Hahaha." Farhan tertawa puas hingga perutnya sakit. "Sorry bro ... gue nggak mak