Fakta yang baru di dengar Alesha benar-benar membuat perempuan itu terkejut. Selanjutnya ia hanya diam mengikuti tarikan laki-laki itu. Sampai pernikahan selesai dan mereka tiba di hotel juga Alesha hanya diam, merenungkan semua masalah yang terjadi.
Alesha baru tersadar saat suara pintu hotel yang terbuka.“Alesha ...”Perempuan itu mendongak dan menatap pria berjas hitam yang mendekati dirinya dengan wajah datar. Alesha meremang, aura laki-laki itu sedikit membuatnya takut.“Sebelumnya saya mau mengatakan peraturan yang harus kamu lakuin selama menikah sama saya. Karena saya tidak mau keberadaan kamu mengganggu hidup saya.”Alesha menunduk, “terus kenapa kamu menikahi saya?” tanya Alesha mencengkram ujung kerudungnya. “Kenapa kamu nggak cari perempuan lain yang lebih berhak sama tuan? Kenapa harus saya? Saya beneran tidak mau menikah. Saya tidak mau.”“Arsen, panggil saya Arsen. Tidak perlu tuan seperti tadi. Saya tidak segila hormat itu,” jelas Arsen sambil membuka dasi kupu-kupu dan melipat kemeja lengan putihnya. “Dan kalau kamu tanya saya, saya harus tanya siapa? Sementara ibu kamu sendiri yang menjual ke saya. Jadi silahkan kamu tanya ke ibu kamu.”“...”“Kamu juga harus ingat sama kewajiban yang seorang istri lakukan,” sentaknya membuat jantung Alesha berdegup cepat.Alesha terdiam.Pintu kamar mandi di banting membuat Alesha tersentak. Perempuan itu beringsut ke pojokan kasur. Alesha melipat kakinya sambil menggeleng. Ia tidak mau kalau nanti malam melakukan kegiatan suami istri sama laki-laki yang tidak ia cinai.“Tolong hamba, Ya Allah ...”***Arsen keluar dengan bathrobe yang melingkari tubuhnya. Ia berjalan mendekati Alesha membuat perempuan itu melangkah mundur. Arsen menatap bingung dan semakin mendekati Alesha. Alis laki-laki itu terangkat, ia mengangkat bahu dan terus mendekati Alesha yang semakin panik.“JANGAN!” teriak Alesha sambil menyilangkan tangan di udara. Matanya terpejam, tapi Alesha tidak merasakan apa-apa.Setelah merasa aman, Alesha membuka matanya dan melihat wajah Arsen tepat di depannya. Tapi Alesha melihat Arsen hanya mengambil barang yang ada di belakangnya lalu pergi meninggalkan dirinya yang masih sangat panik itu.Alesha berusaha memahami keadaan dan ia berakhir malu sendiri. Ia menutup wajahnya, merasa malu karena sudah memikirkan ke arah sana. Padahal suaminya sendiri tidak bermaksud seperti yang dia pikirkan itu.“Saya tidak akan pernah melakukannya dengan kamu, tenang saja. Tidak usah panik, saya hanya melakukannya sama orang yang saya cintai.”Alesha menghembuskan napasnya lega. Setidaknya Alesha akan lebih tenang kalau seperti ini, dia tidak perlu risau sama hal yang dia takutkan lagi.“Duduk di sana, saya mau bicarakan peraturan yang harus kamu lakukan.”Alesha menurut dan duduk di hadapan Arsen.Suara bel yang terdengar tiba-tiba membuat Arsen menghela napas kecil dan langsung bangkit. Ia membuka pintu dan ternyata ada pelayan yang mengantarkan minuman untuk mereka. Arsen mengucapkan terima kasih dan kembali menutup pintu kamar.Laki-laki itu meletakkan minuman yang baru diantar. “Minum dulu, tenangkan diri kamu. Saya tahu kalau kamu terpaksa menjalankan ini semua. Tapi, saya tidak bisa apa-apa karena ada rencana yang harus saya lakukan dan pernikahan ini menjadi cara yang paling tepat untuk mewujudkan rencana saya.”Alesha berusaha menenangkan diri dan mengangguk.Keduanya memilih minum air putih tersebut dan merilekskan diri. Tidak ada yang berbicara sama sekali. Hanya terdengar suara ponsel dari arah Arsen. Laki-laki itu sibuk mengurus kerjaannya. Sekalian ia ingin memberikan waktu untuk Alesha yang sepertinya masih terkeju sama pernikahan tiba-tiba ini.Selang satu jam,Arsen mulai merasakan pusing menyerang tubuhnya. Entah kenapa ia mulai merasakan panas dan gerah. Tanpa sadar tangannya membuka tali bathrobe yang ia kenakan. Tangannya mengusap leher dan mengelusnya pelan. Napasnya semakin memburu. Arsen mendongak dan terkejut melihat Alesha yang sudah meringkuk di sofa. Tubuh perempuan itu meliuk indah membuat pandangan Arsen semakin buram.Arsen berusaha menyadarkan kesadarannya. Dengan langkah tertatih, Arsen mendekati Alesha dan menggoyangkan tubuhnya dengan ujung telunjuknya.“Shh ... Alesha,” panggilnya mendesisHanya erangan yang Arsen dengar dari mulut Alesha membuat pandangan laki-laki itu semakin kabur.“Tuan— panash,” lirih Alesha berusaha meraih bathrobe Arsen, meminta tolong.“Apa yang sebenarnya terjadi?” bingung Arsen sambil menatap minuman yang baru di antar tadi. Arsen tidak mengerti, tubuhnya terasa semakin tak terkendali membuat laki-laki itu meminta maaf dan menggendong Alesha, melemparnya ke atas ranjang dan menaiki tubuh perempuan itu.Alesha menggeleng kuat dan terus mendorong Arsen. Berusaha sadar di tengah rasa sakit dan panas yang menyelimuti tubuhnya. “Jangan ....”Arsen sudah tidak bisa sadar, tubuhnya yang panas membuat dia tidak peduli kalau Alesha kini sedang menangis.Dengan kasar Arsen menarik tangan Alesha ke atas dan menahannya. Ia lantas menyapukan bibirnya ke atas bibir Alesha. Alesha terus memberonak. Ia berusaha mengatupkan mulutnya sekuat tenaga supaya Arsen tidak berhasil menikmati bibirnya. Tapi Arsen tidak habis akal. Ia menggigit kecil bibir ranum Alesha membuat Alesha mengerang dan tanpa sadar membuka mulutnya.Arsen menyeringai.Ia memasukkan lidahnya ke dalam mulut Alesha yang terasa sangat manis. Arsen terbuai senditi sebab selama ini ia sudah menahannya.Di tengah kesadarannya, Alesha ingin menjerit. Tapi Arsen selalu berhasil membuatnya mengerang sekaligus mulutnya terus saja dibungkam oleh bibir Arsen. Tangan Arsen tidak lupa mengeksplor tubuh Alesha yang mulai polos.Dengan kasar, Arsen merobek sisa baju Alesha. Pakaiannya yang sudah usah sangat mudah di robek dengan tangan kekar Arsen. Alesha terus saja memberontak dan menendang asal ke arah Arsen.“Tuan ... jangan, aku mohon,” ucapnya dengan sangat lirihSekuat tenaga Alesha memberontak, maka semakin kuat juga Arsen akan mengukungnya. Arsen sudah tidak peduli lagi. Dibenaknya hanya terpikir kata mencapai kepuasan. Arsen benar-benar mengabaikan tangisan Alesha. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah memiliki Alesha***“Eungh ...”Terdengar suara lenguhan dari dua orang yang baru saja mencapai puncak kepuasan dan pelepasannya. Setelah mendapatkan apa yang dia mau, laki-laki yang berada di atas Alesha itu memutar tubuhnya dan tiduran telentang sambil menatap langit-langit kamar hotel. Napasnya masih memburu. Pikirannya masih berada di awang-awang. Hanya satu kata yang Arsen pikirkan yaitu nikmat.Sangat berbeda dengan seorang perempuan yang tergelatak lemas dengan mata terpejam. Tanpa laki-laki itu tahu, setetes air mata jatuh dari matanya.“Aku kotor ...”"Tuan berubah setelan memiliki mbak."Perhatian Alesha teralihkan saat sedang makan dan menatap bibi yang datang dari arah dapur sambil membawa tambahan lauk karena Alesha yang minta untuk nambah. "Berubah kayak gimana?" tanya Alesha penasaran. "Bibi boleh duduk aja, aku jadi mau tau apa yang biasa tuan Arsen lakuin sebelumnya dan ngomongin tentang hal ini. Karena bibi pasti tahu kan apa yang terjadi di rumah ini?"Bibi tersenyum tipis lalu menarik kursi dan duduk di hadapan Alesha yang masih makan. Maklum, nafsu makannya jadi bertambah karena Arsen sendiri yang memintanya untuk makan. "Bi," panggil Alesha. "Boleh aku dengar apa pun tentang tuan Arsen? pasti bibi udah tahu kan apa yang terjadi antara aku sama tuan Arsen? tentang pernikahan paksa kami karena dari kami nggak ada yang mau tentang pernikahan ini?" tanya AleshaBibi itu mengangguk pelan. "Dulu sekali tuan Arsen sudah tinggal sendiri di rumah ini dan sejak dulu tak pernah ada senyuman sama sekali di wajahnya. Tuan Arsen
Dunia memang tak adil. Tentu Alesha mengetahui itu semua. Tidak semua yang kita mau akan terwujud karena Allah lebih tahu apa yang di butuhkan oleh kita. Terlebih manusia hanya di izinkan untuk berperan bukan untuk menentukan semua takdir. Tapi Alesha tidak tahu kalau peran yang ia laksanakan akan seberat ini. "Sebenarnya ... apa yang terjadi sama aku sih? apa yang pernah aku lakuin di masa lalu, sampai aku hidup segininya banget. Selalu salah dan gak pernah ada yang dukung sama sekali."Alesha menatap jalanan yang tampak basah lantaran habis hujan. Ia termenung dengan tangan yang tak bisa diam, sejak tadi terus mengetuk meja. "Aku gak punya keluarga yang bisa aku jadikan tempat curhat. Aku juga gak punya apa yang aku mau untuk tempat aku mengadukan kesedihan. Aku gak ada teman sama sekali." Perasaan sedih semakin menyelimuti Alesha dan ia hanya bisa memalingkan wajahnya saja. "Bahkan ... sekarang yang punya status sama denganku, gak pernah menganggap aku ada."Dia menarik napas dal
"Sedari dulu aku udah belajar banyak tentang agama. Aku memang bukan orang yang paham banget agama atau agamis banget. Tapi aku tahu kalau pernikahan itu sakral dan bukan main-main."Alesha memainkan ujung jarinya di atas pahanya. Ia melilitkan rok yang ia kenakan, tanda sangat gugup. "Dari awal pernikahan ini, aku menganggap semua ini serius kok. Apalagi pernikahan kita udah sah di mata negara dan agama. Jadi, aku gak ada alasan lagi buat nolak kenyataan ini."Tatapan Arsen memicing, "walaupun kamu dipaksa dalam pernikahan ini?" tanya Arsen dengan penuh penekanan membuat jantung Alesha serasa ditusuk oleh benda tajam hingga ia merasakan sangat sesak di ulu hatinya. Alesha mengangguk. "Kamu ini aneh. Setelah semua yang kamu lewatin beberapa hari ini, kamu masih anggap baik pernikahan ini?""Oh ... dalam agama nggak ada yang namanya main-main, tuan." Alesha memperjelas dengan senyuman tipis. "Kalau tuan anggap biasa aja pernikahan ini, ya itu hak tuan. Tapi enggak bagi aku. Makanya
"Ya ... biasa aja dong tuan."Alesha membawakan masakannya ke atas meja lalu menyiapkannya untuk Arsen. "Tapi, memangnya tuan nggak masalah makan masakan aku? maksudnya kan ini masakan biasa. Takutnya tuan nggak suka lagi. Jadi, nggak usah deh. Tuan makan makanan bibi di sini aja. Kalau mau cicip doang mah boleh deh. Tapi kalau makan nggak usah."Arsen menarik piring di depannya, membuat Alesha melayangkan tatapan protes. "Saya kan udah bilang mau makan ini. Jadi nggak ada masalah sama sekali," ucapnya penuh penekanan. "Lagi pula saya mau melihat sejauh mana skill masak kamu. Skill orang yang selama ini mengaku selalu masak di rumah.""Dih ... masakan aku mah yang penting bisa kemakan. Aku nggak pernah ngomong kalau masakan aku tuh enak. Jadi, tuan nggak boleh protes sama sekali."Alesha mau beranjak tapi Arsen kembali memanggil dirinya itu. "Apalagi tuan?" tanya Alesha yang geregetan. Perutnya udah memberontak minta di isi tapi Arsen menunda terus sejak tadi"Mau ke mana?" tanyany
"Farhan?"Alesha menggeleng pelan. "Aku nggak pernah punya teman laki-laki yang namanya Farhan. Kenapa? tuan kenal sesuatu?"Arsen menghela napas lega dan langsung menggeleng begitu saja. "Enggak ... saya salah sangka. Sudah kamu masuk ke kamar saya. Saya mulai bosan melihat wajah kamu terus."Alesha tersenyum sendu dan mengangguk. Ia meninggalkan Arsen dengan perasaan campur aduk. Tapi janjinya pada diri sendiri untuk bahagia membuat Alesha tidak bisa apa-apa selain tersenyum dan berusaha untuk tidak memikirkan omongan jahat untuk dirinya. Ia mengunci pintu kamar dari dalam dan menaruh kue tersebut di atas meja. "Untuk hari ini, misi aku sukses. Aku bisa tersenyum dan nggak ngeluh sama sekali di depan tuan Arsen!" pekiknya pelan. Sementara itu, di depan sana Arsen buru-buru mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan pesan untuk Farhan. /Dasar pembohong! membuat saya malu saja./***Hari ini, Alesha mulai membiasakan diri untuk tinggal di tempat baru. Ia juga mulai membiasakan diri un
"Dulu sekali ..."Farhan sengaja menghentikan ucapannya untuk melihat respon Arsen dan lihat saja bagaimana pria itu yang mengangguk dan menatapnya saksama. Ah, melihat atasannya yang seperti ini membuat Farhan berpikir kalau ke depannya Arsen akan memiliki hubungan yang baik dengan Alesha lalu ninggalin kekasihnya yang tak pernah memiliki itikad baik itu. "Hmmm," deham Farhan dengan sengaja. Hingga sebuah bolpoin terlempar ke arahnya dan spontan Farhan tertawa puas sambil bertepuk tangan. Ia menggeleng pelan dan menatap Arsen. "Katanya nggak peduli sama istri lu. Tapi kenapa sekarang malah penasaran? aneh nggak sih? kalau nggak peduli. Ya nggak peduli aja. Nggak usah tiba-tiba jadi peduli. Hidup tuh harus konsisten," ledek Farhan dengan tidak tahu dirinya. Arsen mencibir. Wajahnya yang putih itu seketika memerah. Tapi gengsinya setinggi langit. Ia pura-pura acuh dan sibuk lagi dengan pekerjaannya. "Hahaha." Farhan tertawa puas hingga perutnya sakit. "Sorry bro ... gue nggak mak
Akibat pertengkarannya dengan Selena. Arsen merasa hari ini begitu suram. Entah sudah berapa orang yang membuat emosinya semakin tersulut dan entah udah berapa orang yang mendapat bentakan darinya. Buat sang asisten yang harus kerja dua kali untuk minta maaf sama orang yang jadi sasaran amarah Arsen. "Benar-benar menyebalkan!"Arsen mendengus. Ia melirik pegawai yang baru masuk untuk memperlihatkan data keuangan bulan kemarin. "Memangnya kamu kira saya bisa membaca data se berantakan ini!" seru Arsen membuat laki-laki itu tersentak dan buru-buru menggeleng. "Sudah berapa tahun sih anda bekerja di sini!" tanya Arsen penuh penekanan. Bukannya menjawab, pria itu malah semakin menunduk membuat Arsen semakin marah. "JAWAB!" bentak Arsen sambil menggebrak meja. "MAAF TUAN," ucapnyaArsen berdecak dan melempar file tersebut. "Saya tidak mau menerima file seberantakan itu. Cepat bereskan dan dua jam kemudian semuanya harus udah rapih! kalau masih belum rapih dan belum sesuai dengan krite
/Hallo sayang ... firstly aku benar-benar minta maaf sama kamu, karena belakangan ini sibuk banget dan kita nggak sempet teleponan. Aku beneran sibuk banget. Soalnya bakal ada acara besar gitu di sini dan aku nggak mungkin hilangin kesempatan buat ikutan acara itu dan sayangnya, aku harus merelakan waktu untuk ikut acara itu. Makanya, aku beneran nggak bisa di hubungi sama sekali./Arsen mengangguk, wajah yang selalu datar itu kini tersenyum lebar hingga matanya menyipit. Dan lesung pipinya yang terlihat. "Nggak apa-apa Selena sayang. Seenggaknya kamu sempet ngabarin mas kalau kamu baik-baik aja. Itu lebih cukup di banding apa pun. Jadi, kamu nggak usah panik gitu. Mas memaklumi semuanya."Terdengar helaan napas lega dari seberang sana. /Arsen, aku benar-benar kangen sama kamu. Kamu kangen aku juga kan? Kamu nggak macem-macem kan di sana? gimana sama istri kamu itu? kamu tahu nggak sih, salah satu alesan aku ambil projek ini tuh biar aku nggak mikirin kamu. Lagian siapa yang nggak s
Alesha menutup pintu kamar kosong lalu mengunci dari dalam. Tubuhnya luruh ke lantai di balik pintu dan ia menangis sejadi-jadinya. Ia menutup mulut, tidak mau ada yang mendengar tangisannya. Tangan Alesha terus memukul dadanya yang terasa sangat sesak. Fakta baru yang sangat menyakitkan. "Ya Allah ...," gumamnya di sela-sela tangisan. Alesha merasa bingung harus bereaksi seperti apa lagi. Belum ada satu minggu ia menikah. Alesha udah mendengar banyak fakta yang menyakitkan. Dan ini sangat tidak adil bagi dirinya. Dia menggeleng pelan. "Entah kenapa aku harus ngelewatin ini semua," ucap Alesha pelan. Ia menatap lurus dengan tatapan kosong. Bayangan kisah hidupnya sejak kecil yang tak pernah bahagia membuat pikiran Alesha semakin ling lung. Tangannya terus memukul dadanya, membiarkan tubuhnya merasa sakit. Setidaknya sakit yang diperbuat olehnya nggak sebanding dengan perasaan dia saat ini. Beberapa jam kemudian, Alesha keluar dengan matanya yang super sembab. Bahkan Alesha han