Kembali ke Pusat Kesehatan Clayton setelah setengah jam, Viona pergi dari sana. Atau tepatnya, setelah Sammy terbangun dari tidur panjangnya.
Saat ini, suasana di ruangan dingin itu cenderung terasa pengap karena kedua pria berbeda usia di sana saling bertukar pandang kesal.
Sammy, dengan wajah merah setelah menangis begitu keras, kini menyilangkan kedua tangannya di dada, menatap tajam ke arah Joe, Papanya. Sementara itu, duda tampan itu terlihat lebih santai, meski tak mau mengalah pada ego anaknya.
“Jadi, kamu masih tidak mau menerima kesalahanmu? Apa kamu masih keras kepala seperti ini?” Joe memecah keheningan mereka.
“Aku tidak keras kepala, Papa. Papa yang salah karena membiarkan Bibi Bee pergi!” Tangis Sammy kembali pecah seiring dengan pengulangan pertanyaannya.
Dia ingin berbicara dengan bibinya lagi setelah Viona siuman dari pingsan, tetapi setelah dia berhasil menelpon Papanya dan membawa Viona ke rumah sakit, obat penenang yang biasa diberikannya untuk mencegah tantrum membuatnya tertidur untuk waktu yang lama.
Sammy kecewa saat terbangun, ternyata Papanya telah melepaskan Bibi Bee. Jadi, kemarahannya yang sempat meledak kini sulit untuk diredakan.
Joe memijat pelipisnya sebelum menjawab, “Papa tidak mengusirnya, Sammy. Wanita itu pergi sendiri.” Ia menjelaskan, ”Dan sekarang seharusnya papa yang marah padamu, kan? Tapi kenapa kamu yang marah sekarang?” lanjutnya meminta kejelasan.
“Kamu yang salah karena membolos dan pergi tanpa seizin papa. Sendirian juga. Tidak kah kamu pikirkan apa yang akan papa lakukan jika kamu dalam masalah?” lanjutnya menceramahi, namun hal tersebut tidak berhasil meredam amarah si kecil.
“Tapi aku sudah bilang kalau aku tidak mau sekolah, kan? Papa terus memaksaku untuk pergi ke sekolah, dan aku tidak mau!”
“Ya, tapi kenapa, Sammy? Berikan alasan yang masuk akal dan jangan terus mengikuti keinginan yang berlebihan seperti ini. Papa tidak suka kamu terus-terusan seperti anak kecil yang suka mengamuk seperti ini.” dengan sedikit meninggikan nada bicaranya yang sudah sangat tegas, Joe membelalakkan matanya, membuat putra semata wayangnya itu semakin ciut.
Rengekan keras Sammy tiba-tiba berhenti, menyisakan isak tangis yang sulit dibendung. Kini anak kesayangan Keluarga Clayton itu menunduk lebih dalam.
“Ada kompetisi Hari Ibu di sekolah. Semua teman aku membawa ibu mereka, tapi aku tidak punya ibu. Apa aku salah kalau aku tidak mau pergi ke sekolah dan pergi ke makam Mama saja?”
Deg...
Detak jantung Joe tiba-tiba melemah. Kesadarannya tiba-tiba dihantam oleh kata-kata Sammy. Perasaan bersalah tiba-tiba menghancurkannya, membuatnya refleks bangkit dari sofa, dan berjalan menghampiri ranjang tempat Sammy duduk sambil menangis.
Joe langsung memeluk putranya yang malang itu, dan mencium puncak kepala Sammy dengan perasaan bersalah yang memuncak, “Kamu tidak salah. Anak papa tidak salah, papa yang salah, Sam. Seharusnya papa yang meminta maaf padamu...”
Suasana yang tadinya tegang karena ego keduanya yang tinggi kini berakhir dengan menyedihkan. Tangisan Sammy membuat Joe menghadapi kenyataan bahwa putranya adalah korban takdir yang sebenarnya yang mengharuskan ibunya meninggal.
***
Sammy kecil tampak murung menatap makan malamnya. Joe dan Ben memperhatikan Sammy yang terus terdiam setelah Viona pergi pagi ini.
“Sammy, kenapa kamu tidak menghabiskan makan malammu? Kamu harus makan banyak agar cepat sehat.” Joe bertanya kepada si kecil. Padahal papanya sudah tahu penyebab diamnya Sammy.
Sammy tidak menunjukkan reaksi atau respon apapun kepada papanya. Joe mengarahkan pandangannya ke arah pria yang wajahnya tidak jauh berbeda dengannya. Dia adalah Ben Clayton-putra kedua dari keluarga Clayton atau adik laki-laki Joe.
“Betrand bilang kalau dia sudah mengirimkan profil wanita yang aku cari, tapi terkirim ke emailmu. Cepat, kirimkan padaku sekarang juga,” seru Joe dengan sedikit berbisik.
“Tunggu sebentar. Aku lapar, aku mau makan dulu.” Pria tampan yang 3 tahun lebih muda dari Joe itu terlihat cuek, lebih sibuk menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
“Apa maksudmu?” Joe langsung menatap tajam ke arahnya.
Menyadari tatapan mematikan kakaknya, Ben mendengus sambil meletakkan sendok di atas piring, “Kenapa kau tidak sabar? Aku masih makan, Joe. Aku benar-benar lelah karena aku mengurus kantor seharian. Kau tidak bisa komplain,” Dia menggerutu, “Aku lupa menyampaikan pesan Benjamin di emailmu.”
Melihat adiknya mulai mengutak-atik ponselnya, Joe menurunkan tatapan tajamnya.
“Lambat!” Joe mengomentari, “Kenapa aku punya adik yang tidak berguna sepertimu?” gumamnya lagi. Sakit kepalanya semakin parah ketika menghadapi Sammy dan Ben malam ini.
Joe kembali menatap wajah muram Sammy yang dengan malas memainkan makanannya seperti mainan. Padahal sudah lama Sammy tidak menunjukkan sikap seperti ini, 'Kenapa seperti ini lagi, Sammy? Apa kamu menyukai perempuan itu?” katanya dalam hati.
Joe masih terdiam memperhatikan anaknya, pesan singkat dari Ben membuyarkan lamunannya, “Aku sudah mengirimkannya padamu.” ujar Ben setelah mengutak-atik ponselnya beberapa saat, dan tidak lama setelah menunggu, sebuah nada pendek terdengar di ponsel Joe.
Setelah melihat isi pesan singkat Ben, Joe langsung mengangkat alisnya sebelum melirik lagi ke arah Ben, “Ben, tanah di pinggiran Distrik Kuning itu milik kita, kan?”
“Hmm, benar. Memangnya kenapa?” Ben bertanya dengan acuh tak acuh, mengembalikan fokusnya pada makanannya.
“Kau sudah memastikan semua bangunan toko di sana adalah milik kita, kan?” Joe bertanya lagi.
“Hmm, ya begitu. Apa yang sebenarnya terjadi? Pertanyaanmu benar-benar aneh.” Ben mengerutkan kening melihat sikap kakaknya.
“Oh, baiklah.”
“Hanya itu jawabanmu?” Ben terus bertanya dan sikapnya sekarang terlihat penasaran, tapi yang membuatnya kesal adalah kakaknya hanya mengangguk dan tidak peduli.
“Sammy, apakah kamu mau makan lagi?” Joe mengabaikan Ben dan bertanya kepada Sammy. Mendapat jawaban dengan gelengan singkat dari si kecil, Joe bangkit dan mendekatinya, “Masuk ke kamarmu, ayo. Papa akan membacakan buku cerita untukmu, oke?”
“Joe!” panggil Ben yang berhasil menghentikan langkah Joe, membuat kakaknya menoleh, ”Jawab aku dulu!”
“Aku mau menidurkan Sammy di kamarnya, setelah itu aku mau lanjut kerja. Kau bilang ada banyak pekerjaan di kantor, kan?” Joe menjawab dengan tenang sebelum berjalan kembali menuju kamar Sammy di lantai dua.
“Ada apa dengannya? Pak Duda yang aneh!” gerutu Ben yang kini sudah kehilangan selera makan. Sikap kakaknya yang terkadang membingungkan membuatnya menghela napas panjang.
***
‘The Eye God Tower mengundang Nona Viona Bharadja untuk datang ke kantor utama Menara Dewa Mata lantai 10 perihal WAWANCARA, pada tanggal dan jam berikut ini...'
Kalimat di atas adalah sebagian kecil dari isi pesan dalam email yang masuk ke ponsel Viona, dan itulah yang mengantarkannya ke kantor Presiden The Eye God Tower saat ini.
Suasana hening selama beberapa menit setelah Viona masuk dan dipersilahkan duduk oleh Ben yang juga ada di sana, “Pak, mau diam saja, ya?” ujarnya, berniat memecah keheningan. Dan itu berhasil.
Viona yang sejak awal merasa mendapat tatapan tajam dari Joe, mulai merasa bosan, “Apa salah aku datang ke sini? Aku diundang ke sini untuk melakukan wawancara, kan? Tapi kenapa aku hanya ditatap tajam, Pak Presiden Direktur?” Viona bertanya dengan berani. Aura kemarahannya kembali muncul mengingat kata-kata Joe yang menyakitkan saat itu.
Ben mencubit pangkal hidungnya sebelum menjawab Viona, “Kamu tidak salah, Nona. Sepertinya hanya ada kesalahpahaman di sini,” ia mencoba meluruskan sebagai penengah.
“Kuasa begitu, Pak. Aku datang untuk memenuhi panggilan wawancara, tapi aku masih di sini dan masih terlibat dalam masalah anak kecil yang datang ke tokoku kemarin. Aku pikir semuanya sudah selesai, tapi malah jadi sinetron yang berkelanjutan seperti ini.”
“Di mana letak kesalahanku kalau aku menolak tawaran Presiden Direktur kemarin? Aku sudah bilang kalau aku menolong si kecil itu dengan tulus dan semuanya sudah selesai dengan bantuan Pak Dirut yang membawaku ke rumah sakit.” Viona mengulangi inti dari pertengkarannya dengan Joe.
Ben menoleh ke arah kakaknya sambil menggelengkan kepala. Ia mendekati kakaknya sambil berbisik, “Joe, tolong jangan tunjukkan wajah menakutkan seperti ingin memakan manusia. Ekspresimu tidak seperti orang yang ingin membalas budi, tau!”
Ben memperingatkan Joe untuk lebih santai. Setelah menerima decakan pelan dari kakaknya, dia kembali menoleh ke Viona.
“Maaf, Nona, tolong jangan salah paham. Kakakku hanya ingin berterima kasih karena telah membantu anak kami. Dan kami tidak suka berhutang budi kepada orang lain. Kamu harus menyatakan permintaan apa pun dan jangan ragu-ragu.” Ben berbicara perlahan kepada Viona.
“Apa? Aku bukan malu-malu, tapi bingung kenapa kalian terus memaksaku untuk mengajukan permintaan? Apakah kalian mencoba menjebakku, atau apa? Tidak cukupkah hanya dengan mendengarkan penjelasanku kalau aku ikhlas membantu si kecil?”
Joe, dengan ekspresi wajah yang bosan dengan drama ini, berkata singkat, “Tidak cukup!”
"Maaf, aku tidak memiliki kewajiban untuk menjawab pertanyaan yang menurutku bersifat pribadi. Dan lagi, kurasa sikapmu salah, Tuan,""Walau aku tidak mengenalmu ataupun tahu seberapa akrabnya hubunganmu dengan Wakil Presdir, tapi kau tidak dibenarkan untuk duduk di kursinya. Silahkan turun dari sana dan duduklah bersamaku di sofa,"Sikap Milea yang berani membuat Ben menyunggingkan senyumnya, meski kebodohan Milea sangat fatal kali ini. Ia melakukan kesalahan terbesar dengan tidak mengenali atasannya sendiri.Ben hanya tersenyum mengikuti perintah Milea yang sudah memasuki peran sebagai sekretaris Wakil Presdir yang baik. Ben bangkit dari kursi kebesarannya dan berjalan mendekati Milea yang lebih dulu duduk di sofa, tempat duduknya semula.Tapi langkah Ben terlihat aneh karena saat ini bukannya ia seharusnya berjalan ke sofa di seberang Milea, tapi Ben malah terlihat mendekati Milea dan mengurung Milea hingga tersudut bersandarkan kepala sofa dengan tidak nyaman."Untuk nyali seorang
"Kau Milea?" Dita bertanya dengan sedikit bingung saat melihat dengan langsung penampilan Milea saat ini.Benar saja, Milea memang terlihat seperti pria. Ya, pria yang cantik."Ya, benar. Namaku Milea Anandita. Aku yang melamar pekerjaan di perusahaan ini, Nona." jawab Milea panjang."Apa penampilanmu memang seperti ini sehari-hari?" Dita bertanya bingung."Hmm, tergantung, Nona. Aku bisa jadi apa saja sesuai kebutuhan, hehe." jawab Milea setengah tertawa, "Tapi, walau penampilanku aneh seperti ini, percayalah, aku bisa menjalankan tugas sekretaris dengan baik. Dan aku yakin bisa membantu meringankan tugas Wakil Presdir dengan pengalaman bekerjaku, Nona." sambung Milea yakin."Hmm, boleh juga. Baiklah, kurasa aku menyukaimu dan setuju agar kau menjadi sekretaris Wakil Presdir. Tapi—,” ucap Dita setengah menggantung."Kau seorang wanita. Meskipun saat ini kau berpenampilan sebagai pria, di masa depan siapa yang akan tahu apakah kau akan mengubah penampilanmu dan malah berbalik menggoda
Kantor pusat The Eye God Tower…"Cory, bagaimana dengan penerimaan sekretaris baru yang kuajukan padamu? Apa kau sudah mulai menjalankan perintahku?" tanya Dita pada sahabatnya Cory yang merupakan Manajer Departemen HRD di Eye God Tower."Sudah. Tenang saja. Aku tidak mungkin mengecewakanmu, Dita." jawab Cory santai, "Tapi, aku tidak yakin kau akan menerima wanita-wanita yang melamar ke kantor hari ini." lanjut Cory ragu."Why not? Apa ada yang salah dengan persyaratanku?" tanya Dita bingung."Hmm, entahlah. Aku tidak yakin. Silahkan kau lihat sendiri data-data pemohon pekerjaan itu. Duduklah dulu di sofa, aku akan memanggil bawahanku untuk membawa data mereka," ucap Cory seraya mempersilahkan Dita menunggu dengan santai."Apa ada yang aneh? Sepertinya persyaratan mencari sekretaris handal untuk Direktur sudah cukup standart,” Dita masih bingung."Bukan itu masalahnya. Tunggulah sebentar lagi, kau akan tahu apa yang kumaksud saat ini." ucap Cory.Beberapa menit kemudian, sekretaris Co
Kelahiran si kembar Sophia dan Sean membuat kebahagiaan keluarga Clayton menjadi lebih sempurna. Baik Angie dan bayinya, ketiganya dipulangkan dari rumah sakit dengan keadaan sehat dan bugar.Pasca Angie melahirkan secara Caesar, Joe tentu saja memerlukan banyak waktu luang di rumah untuk membantu istrinya menjaga ketiga anak mereka, karena tidak mungkin Nyonya Neta atau Tuan Royce yang terus berada di rumah mereka.Meskipun mempekerjakan Nanny, tapi Angie dan Joe berusaha memberikan waktu full untuk anak-anak mereka.Dan sudah pasti jika ceritanya seperti itu, maka ada Ben yang menjadi tumbal perusahaan. Tidak main-main, bahkan itu sampai menginjak 6 bulan. Hahaha…Sementara itu, malam hari di kantor The Eye God Tower."Sayang. Cepatlah selesaikan pekerjaanmu! Ini sudah terlalu malam." rengek seorang wanita seksi bernama Dita.Dita Sagala, itulah nama lengkap dari wanita cantik di hadapan Ben yang sudah terlihat bosan menunggu sang pacar.Faktanya, Dita adalah wanita baik dan dari ke
"Angie, kau tidak apa-apa, kan? Bagaimana perasaanmu? Kau butuh sesuatu?” Tanya Ben beruntun pada Angie.Kini Angie sudah berada di ruangan rawat. Sementara si kembar masih di ruang perawat untuk dibersihkan.“I’m OK, Ben,”“Ada yang sakit tidak? Perlu kupanggilkan dokter?” Kini ia bertanya khawatir. Raut wajah pucat kakak iparnya itu jelas sekali dilihatnya.“Tidak perlu. Terima kasih. Kau terlihat kacau,” jawab Angie sambil tersenyum ringan dan sesekali meringis.Kondisi Angie yang tidak memungkinkan untuk melahirkan secara normal mengharuskannya menjalani operasi caesar. Tapi semua itu tidka masalah, yang terpenting Angie dan kedua bayinya sehat. Itulah yang sangat penting bagi mereka semua.“Angie, terima kasih untuk semuanya,” Ben berucap lagi, kali ini wajahnya memerah menahan tangis.“Terima kasih untuk apa?”“Terima kasih karena kau datang ke keluarga kami. Membawa cahaya kebahagiaan bagi Sammy dan kakakku, tentu saj aaku juga bahagia melihat keduanya bahagia,” Ben kini menang
Angie berjalan pelan ke arah tangga sejak kehamilannya mendekati bulan kelahiran. Joe memang sengaja mengganti kamar mereka ke lantai satu, alasannya tentu saja agar Angie tidak harus bolak-balik naik turun tangga.Angie mendongak ke atas. Ini adalah hari minggu Sammy dan Ben sepertinya belum bangun, terbukti mereka yang belum turun ke bawah sejak tadi.Baru saja Angie hendak naik ke anak tangga pertama, wanita itu tiba-tiba memegangi perutnya yang terasa sakit.Angie meringis sambil memegang pegangan tangga supaya tidak jatuh. “Ya ampun, Nyonya! Nyonya tidak apa-apa?” tanya seorang asisten rumah tangga yang kebetulan lewat dengan teh di tangannya. Wanita paruh baya itu menaruh tehnya lalu beralih menghampiri Angie lagi. Dia menahan tubuh Angie agar tidak jatuh.“Bibi, sakit sekali,” lirih Angie.“Tuan Joe, Tuan Ben! Lihatlah Nyonya. Nyonya kesakitan!” Teriak asisten rumah tangga tersebut.Joe yang baru saja keluar kamar dan mendengar suara teriakan langsung berjalan terdesak. Sement