Feby menggenggam erat gelas minumannya sembari menatap sendu pemandangan yang menyesakkan itu. Bagaimana tidak, pria yang ada di sana tengah duduk di samping seorang wanita cantik. Apa boleh dia cemburu?
“Jangan terus dilihat kalau hanya akan membuatmu sakit hati.” Suara barusan membuat Feby menoleh cepat. Dia lantas bergumam pelan lalu bertanya, “Sudah berapa lama Mas Ares ada di kota ini?” “Kau tidak berhak bertanya, Feb,” tukas pria tersebut dengan nada dingin. “Pak Ares akan mengabarimu kalau memang sudah waktunya.” Feby pun berdecak pelan. “Kau itu hanya kacungnya Mas Ares. Jangan sok memerintahku!!” “Aku tahu diri. Kuharap kau pun sadar, Feb. Kau juga hanya wanita simpanan.” “Tutup mulumu, Angga! Aku juga istrinya,” sanggah Feby tak terima. “Walaupun … istri kedua.” Pria bernama Angga tersebut malah tersenyum miring. “Oh ya?? Orang bisa dikatakan sebagai istri kedua kalau diketahui yang pertama. Sementara kau? Statusmu dirahasikan. Dengan kata lain, hanya istri simpanan.” “Kau—” Ucapan Feby terpotong saat Angga bergerak mendekat. Pria itu menghalangi pemandangannya seketika. “Pergilah! Atau kau akan semakin sakit lagi nantinya.” Setelah mengatakan kalimat barusan, Angga lantas meninggalkan Feby yang masih membeku. Sama sekali tak ada niatan untuk mengikuti saran dari asisten pribadi suaminya tersebut. Benar. Angga tidak bercanda memang. Tak sampai lima menit kini beberapa orang turut bergabung di sana. Membuat Feby semakin dilanda perasaan iri luar biasa. Terlebih begitu melihat para bocah perempuan yang muncul dengan berbagai hadiah di tangan mereka. Feby tersenyum getir. Jauh di dalam hatinya sangat memimpikan momen tersebut. Namun, apakah mungkin bisa terjadi di dalam kehidupan nyata? Sepertinya mustahil karena bahkan sampai sekarang tidak ada yang tahu siapa dirinya untuk seorang Ares Dwi Pranata. “Hei, Cantik!” “Eh, lagi bunting tuh! Masih aja lo godain!!” Langkah kaki Feby yang hendak tiba di area parkiran berhenti. Dia melirik sebentar ke arah samping kanan untuk memastikan siapa sang penggoda barusan. Senyumnya pun terbit usai melihat dua orang pemuda seumuran dengan adiknya tersebut. “Maaf, Mbak. Enggak tahu kalau lagi hamil. Sorry ye!” celetuk salah satu di antara mereka. Feby tak merespon lewat kata-kata. Dirinya hanya mengibaskan tangan ke udara. Lantas kembali melanjutkan langkah. “Ki, menurutmu … umurku sekarang berapaan?” tanya Feby tiba-tiba. Adiknya yang sedari tadi fokus pada kemudi pun mengerutkan dahi. “Dua lima. Memangnya kenapa sih?” Wanita berbadan dua itu berdecak sebal. “Jangan lihat dari tahun lahirku, Ki. Ya … kalau kau lihat sekilas.” Zaki malah mengendikkan bahu. “Mana kutahu.” “Aku memang cantik karena makeup atau apa sih?” “Ckck. Apaan sih, Kak?” Zaki pun terbahak. “Tumben kau tanya-tanya segala. Kalau kau jelek, Mas Ares mana mungkin bisa tergoda. Eh? Bu-bukan.” Zaki langsung gelagapan karena merasa salah bicara. Pria lulusan SMA itu bahkan sudah menepuk-nepuk bibirnya berulang kali. Namun, apa yang terucap tidak bisa ditelan kembali. Jadilah yang ada hanya penyesalan saja. Sementara Feby kini tersenyum getir. Terlebih setelah mendengar kalimat terus terang dari adiknya tadi. “Aku mau nyetir sendiri, Ki. Tolong berhentiin mobilnya di simpang sana ya.” “Lah?!” Zaki pun semakin ketar-ketir. “Maaf, Kak Feb. A-aku tadi keceplosan.” “Udah dimaafin!” “Aku jangan ditinggal ya, Kak?” Feby yang sudah terlanjur kesal tak bisa mengubah keputusannya. Dia lantas mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan meletakkannya di atas paha Zaki. “Ini cukup buatmu untuk beli baju baru sama naik ojek!!” “Kak!!” Apa Feby peduli? Jawabannya tidak. Wanita itu kemudian lekas memasang sabuk pengaman lalu mengemudikan mobil mewahnya dengan kecepatan tinggi. Salah satu hotel bintang lima yang ada di kota adalah tujuannya saat ini. Pulang ke rumah pun percuma. Yang ada sang ibu kemungkinan akan mengusik ketenangannya. Itulah yang ada di benak Feby sekarang. [Makasih ya, Honey untuk surprise hari ini. Kirain lupa sama hari anniversary kita. Hehe.] Postingan di akun media sosial tersebut mulai dibanjiri komentar oleh para netizen. Tampaknya mereka senang dengan foto dan caption penuh bunga tadi. Mungkin hanya Feby sendiri yang sedang terbakar hatinya saat ini. “Menikahlah denganku. Segala yang kau butuhkan akan kupenuhi.” Kalimat enam bulan yang lalu kini kembali terngiang di benak Feby. Pria tampan bernama Ares yang tengah dalam keadaan kacau melamarnya dengan janji yang begitu manis. Jelas dia tak menolak karena kala itu tengah terbuai dengan asmara yang terlarang. Di sinilah Feby sekarang. Tengah berendam di dalam bathub sembari mengenang masa-masa indahnya bersama sang suami. Sayang, malam ini dirinya harus sadar bahwa ia adalah istri bayangan. Jangankan menuntut hak, bahkan perhatian juga sepertinya sangat sulit. TING! Denting ponsel barusan segera membuka kelopak mata Feby yang hendak menutup. Senyumnya merekah usai melihat pesan dari Ares. [Sudah tidur?] Feby yang usil lantas berinisiatif untuk mengirimkan fotonya sekarang. Bermandikan buih di dalam bak dengan pose yang memancing hasrat seorang pria. Tebak apa balasan dari orang di seberang sana? Feby bahkan terbahak ketika mendengarm ponselnya yang berdering tidak karuan. “Hai!” sapanya sambil mengulum senyuman termanis. [“Sayang, kau sedang apa? Dengan siapa? Di mana sekarang?”] Alih-alih menjawab deretan pertanyaan tadi, Feby malah memilih untuk tetap mempertahankan senyum di wajahnya. Membuat sang suami tampan semakin dilanda penasaran. “Menurutmu di mana, Mas?” Feby merengek manja. “Aku kangen. Jadinya pengen ke hotel yang biasa kita singgahi. Apa aku salah?” Ares sontak membelalakkan matanya. Jelas kaget bukan main. Membuat Feby kemudian segera mengerutkan dahi. [“Jangan bercanda, Feb!”] “Aku serius, Mas. Kenapa?” Ares menyugar kasar rambutnya ke arah belakang lalu mengembuskan napas kasar. [“Aku, Widya dan anak-anak juga menginap di sini.”] “Oh.” Hanya itu yang Feby katakana sebagai respon. “Apa masalahnya? Enggak ada yang tahu kalau aku ke sini bersama dengan Mas seperti biasa. Santai sajalah. Malahan … Mas bisa ‘kan main kemari?” [“Feby?”] “Ayolah, Mas. Aku kangen. Udah sebulan kita enggak ketemu ‘kan?” [“Kalau bisa akan kubari. Sudah dulu ya.”] Meskipun belum pasti apakah sang suami akan bertandang, tetapi Feby tetap saja mempersiapkan diri sebaik mungkin. *** Entah jam berapa sekarang. Feby tak peduli walaupun dia tadi sempat memejamkan mata. Namun, yang menjadi fokusnya saat ini adalah benda pipih yang berada di atas nakas. [Buka pintunya.] Mungkin karena malam semakin larut atau suaminya yang masih mengantuk. Jadilah pesan tadi terbaca sedikit datar. Tidak biasanya. Meskipun begitu, Feby tetap melangkah dengan suka cita. Masih mengenakan bathrobe bewarna merah menyala dia pun berjalan menuju ambang pintu. Lantas segera menyambut kedatangan prianya itu. Hingga beberapa detik kemudian … “KAU??”Empat tahun telah berlalu sejak malam penuh bintang itu. Kehidupan memang tak selalu mulus, tapi Feby dan Sandi telah membuktikan bahwa cinta dan kebersamaan adalah kunci untuk melewati segalanya.Pagi itu, rumah mereka dipenuhi aroma wangi kue yang baru dipanggang. Feby sedang menyiapkan sarapan di dapur sambil sesekali tertawa melihat tingkah Kayla yang kini sudah duduk di bangku SD dan sibuk membantu dengan celemek kebesaran. Haikal, yang kini mulai beranjak remaja, duduk di meja makan, menggambar sesuatu di bukunya."Haikal, kamu gambar apa, Nak?" tanya Feby sambil mengaduk adonan kue.Haikal mengangkat bukunya, memperlihatkan gambar sederhana keluarga mereka—Feby, Sandi, dirinya, dan Kayla berdiri di taman, dengan tulisan di bawahnya: Keluargaku adalah rumah terbaik.Feby tersenyum, hatinya meleleh."Bagus banget! Mama bangga sama kamu."Kayla langsung menyela, “Aku juga mau gambar, Ma! Tapi aku gambar rumah kita da
“Rindu kami tidak berarti apapun jika dibandingkan kebahagian Kak Feby,” gumam Zaki dengan tulus.Feby menatap adik bungsunya dengan terkejut, tetapi juga tersentuh. "Zaki. Makasih ya. Kakak enggak akan bisa melewati semua ini tanpa dukungan kalian semua."Sandi yang duduk di sebelah Feby merangkul bahunya. "Benar. Kita sudah menjadi tim yang hebat."Malam itu, di bawah langit yang bertabur bintang, Feby merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Semua konflik yang pernah mengusik hidupnya telah usai. Bella telah meminta maaf, dan mereka telah berdamai.Sementara Ares, mantan suaminya itu telah menghilang dari hidup mereka setelah terlibat kasus korupsi besar, namun Feby merasa kuat untuk membesarkan Haikal dan Kayla tanpa bantuan Ares. Kini, hanya ada cinta dan kebahagiaan di rumah mereka.Di dalam hatinya, Feby tahu bahwa hidup akan terus membawa tantangan. Tetapi, dengan keluarga yang mencintainya dan suami ya
Tiga bulan kemudian …Feby berdiri di depan cermin, mengenakan gaun sederhana namun elegan. Kilauan gaun itu memantulkan cahaya lembut dari jendela, memberi kesan bahwa hari ini adalah hari yang spesial. Meskipun hari ini bukanlah hari besar untuk dirinya, Feby tetap merasakan kebahagiaan yang begitu dalam. Pernikahan Rania—anak tirinya, yang sudah seperti anak kandungnya sendiri—telah membuat segala ketegangan yang dulu menyelimuti mereka berubah menjadi ketenangan."Dulu, rasanya semua masalah tak ada habisnya," gumam Feby sambil tersenyum kecil kepada dirinya sendiri. Gaun itu sempurna, dan semua sudah siap untuk perayaan hari ini.Feby tersentak ketika mendengar suara langkah kaki mendekat dari belakang. Itu adalah Sandi, suaminya. "Kau sudah siap, Sayang?" tanyanya lembut, berdiri di ambang pintu.Feby berbalik dan tersenyum, menatap Sandi yang tampak gagah dengan setelan jasnya. "Siap, tapi aku masih merasa sedikit gugup," jawabny
“SURPRISE!!”Feby tertegun. Di hadapannya berdiri Sukma dan Zaki, adik-adik yang sudah lama tak ia jumpai. Sukma yang kini sibuk dengan pekerjaannya sebagai ASN dan Zaki terakhir kali ia dengar balik dari perantauan, tampak membawa tumpukan kado di tangan mereka. Namun, yang membuat Feby lebih terkejut adalah dua anak kecil yang berlari menghampirinya dengan tawa riang. Siapa lagi kalau bukan Haikal dan Kayla, buah hatinya yang sudah lama tinggal bersama Ares, mantan suaminya."Mama!" pekik Haikal. Tawa mereka menggema, dan seketika hati Feby mencair bersamaan dengan air bening yang menggenang di pelupuk matanya.Feby tersenyum penuh haru, matanya mulai memanas oleh air mata yang tak terbendung. "Kalian... kalian semua di sini?"Sukma mengangguk, menepuk bahu kakaknya. "Tentu saja, Kak. Hari ini ulang tahunmu. Kami enggak akan melewatkan kesempatan buat kasih kejutan."Zaki tersenyum jahil, menyerahkan sebuket bunga mawar merah. "Happy
“Sudahlah, Ran. Jangan dengerin ayahmu. Dia ngawur,” ucap Feby dengan begitu cepat. Rania yang tadinya menggerutu seketika terbahak. Terlebih setelah melihat wajah ibu tirinya yang bersemu merah itu. Dia pun paham maksud dari omongan sang papa.“Iya iya. Ya udah nih!” Rania menyerahkan kotak P3K yang ada di tangannya. “Mbak, hmm maksudku Mbak Feby, eh mama ya? Atau —““Panggil aku seperti biasanya aja, Ran,” potong Feby cepat. Tangannya mengusap lembut pundak Rania dengan penuh kasih sayang. “Kau hanya punya satu ibu di dunia ini dan aku enggak akan bisa menggantikannya. Jadi meskipun aku adalah istri ayahmu, kita masih bisa menjadi teman ‘kan?”“Feby, kenapa gitu?” protes Sandi yang merasa keberatan.Feby terbahak lalu berkata, “Apa s
Feby menelan ludahnya dengan gugup. Udara malam terasa semakin menyesakkan, meski angin dingin menyentuh kulitnya. Sandi menariknya semakin dekat, hingga wajah mereka hanya beberapa inci terpisah.Kini mata Feby bergetar, tidak yakin dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia bisa merasakan napas suaminya yang hangat menyapu pipinya.“Kenapa harus panggil Om, hmm?” bisik Sandi, matanya tajam namun lembut. “Aku ini suamimu, bukan ‘Om’.”Feby mencoba mengalihkan pandangannya, tetapi tidak bisa. Mata mereka saling terkunci, dan dia tahu jika Sandi sedang menantinya. Menunggu sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Perasaan pun menjadi campur aduk, antara rasa canggung, ragu, dan keinginan untuk menyerahkan diri pada momen ini.Dengan lembut, Sandi mengusap pipi Feby menggunakan ibu jarinya. Sentuhan barusan membuat jantung Feby berdegup kencang, begitu keras hingga rasanya bisa terdengar. Perlahan, Sandi menundukkan wajahnya lebih dekat lagi, bibirnya hampir menyentuh bibir Feby ya