“Kau terkejut bukan??”
“Mana Mas Ares??” Feby sontak menyilangkan kedua tangannya ke depan dada. Sungguh tak menyangka bahwa yang akan datang adalah pria itu. “Kenapa, hah??” Angga tersenyum miring sambil menatap jijik ke arah Feby. “Kau haus belaian ya? Mau bermain denganku?” “Jangan kurang ajar!!” Feby langsung membolakan matanya. Angga menggeram lalu memajukan tubuhnya hingga membuat Feby refleks mundur beberapa langkah. “Aku juga tak sudi menyentuh barang bekas sepertimu!” “Diam! Mau apa kau ke sini??” Angga tidak menjawab. Namun, pria itu segera mengeluarkan sebuah kotak beludru bewarna keemasan di balik saku kemejanya. “Dari Pak Ares untukmu. Hadiah karena kau sudah mengandung anak laki-laki,” gumam Angga begitu datar. Feby menggeleng lemah. Raut kecewa pun mulai muncul dari wajah cantiknya. “Mas Ares ke mana?” Kali ini suaranya terdengar lirih. “Kau masih bertanya juga?? Ck ck. Jelas Pak Ares sedang menikmati kehangatan bersama istrinya. Jangan lupa kalau malam ini adalah hari pernikahan mereka. Aku rasa … kau juga mengabadikan momen itu di kepalamu ‘kan? Kau juga menyaksikan kemesraan pasangan yang sah di mata agama dan negara tersebut.” “Angga!!” Pria itu menyeringai. Dia segera meraih tangan kanan Feby yang tadi masih menyilang di depan dada lalu membuat bagian telapaknya dalam posisi menengadah. Lantas meletakkan kotak persegi empat tadi di sana. “Pak Ares tidak akan datang.” Feby terdiam tanpa berniat membalas ucapan barusan. Terlebih saat Angga menimang-nimang ponsel Ares yang tadi dijadikan sebagai alat komunikasi mereka. Kalau sudah begitu, pupus sudah harapannya untuk mengganggu sang suami. Mau bagaimana lagi. Kali ini Feby memang harus menghabiskan malam sendirian seperti yang sudah-sudah. BUGH!! Kotak keemasan itu terpental begitu saja di atas ranjang. Tampaknya sang empu tak tertarik untuk sekedar melihat isi yang ada di dalam sana. Feby memekik dalam diam. Meledakkan tangis tanpa suara karena tak tahu lagi harus berbuat apa. Kalung cantik nan mewah yang harganya cukup mahal tadi sama sekali gagal mengobati rasa kesepian yang ia derita sekarang. Oh. Sungguh dia sangat tersiksa. “Apa sih, Bu? Aku lagi sama Mas Ares,” ucap Feby yang sedang mengupingi gawainya. Tak pelak dia mengalihkan mode panggilan menjadi video. “Dia lagi di kamar mandi. Ibu mau ngintip memangnya?” [“Oh! Pantesan aja kau susah dihubungi. Ternyata sedang kangen-kangenan. Baguslah! Kirain suamimu itu sibuk terus.”] “Mas Ares tahu kok kapan waktunya ketemu aku. Sudah ya. Aku tutup dulu teleponnya.” KLIK!! Terpaksa berbohong lagi. Mana mungkin Feby mengatakan bahwa ia dan sang suami hampir sebulan tidak bersua. Bisa-bisa dirinya akan terus diteror pertanyaan atau sindiran yang pedas nanti. Jadilah hanya itu yang dilakukan sekarang. Ingin mengusir segala pikiran buruk yang melanda, Feby pun memutuskan untuk turun dan sarapan menggunakan fasilitas hotel. Sungguh dia tak menyangka jika malah kembali menyaksikan sang suami dengan keluarganya lagi. Kali ini jarak mereka cukup jauh. Bahkan nyaris tak akan ada yang menyadari jika Feby memperhatikan mereka dari posisinya yang sekarang. Namun, lagi-lagi asisten berwajah masam suaminya sudah memberikan tatapan penuh ancaman. Jadilah ia terpaksa membuang muka. “Tante, boleh tolong ambilin bubur kacang hijau di sana? Aku kesusahan,” rengek gadis berponi usia enam tahunan yang berdiri di samping Feby. “Boleh dong. Sebentar ya.” Feby pun sedikit membungkuk untuk melihat wajah manis anak tersebut. Kedua alisnya mulai bertaut saat menyadari sesuatu. “Kenapa, Tante? Apa buburnya sudah habis ya? Tadi kata Kak Citra memang tinggal sedikit.” Anak itu seketika manyun. Feby kemudian menggeleng sambil tersenyum. “Masih ada. Sebentar. Tante ambilin ke sana.” Beruntung masih tersisa sekitar satu porsi. Feby yang semula berniat hendak sarapan dengan menu yang sama akhirnya mengalah demi sang bocah. Lantas memberikan mangkuk bubur terakhir itu. “Makasih, Tante. Namaku Sesil. Aku duduk di sana dengan mami, papi, Kak Citra dan Kak Tiara. Salam kenal.” “Salam kenal, Sayang.” Baru saja Feby hendak mengelus rambut panjang gadis muda itu, sebuah lengan kekar sudah menghadangnya. “Non Sesil dipanggil mami. Jangan pergi jauh-jauh,” tukas di pria kemudian. “Oke, Om,” sahut sang bocah. Lantas dia tersenyum dan melambaikan tangan pada Feby. “Makasih ya, Tante. Aku pergi dulu.” Feby membalasnya dengan anggukan kepala. “Jangan melakukan tindakan sembarangan, Feb!” sentak pria yang tak lain adalah Angga sendiri. “Kau akan menyesal kalau sampai Pak Ares tahu bahwa anaknya didekati olehmu.” Feby langsung terkekeh. “Kami bahkan bertemu tanpa sengaja. Tadi malam saja dia tidak marah karena tahu aku di sini.” “Kau salah! Kau selamat karena aku tak memberitahu keberadaanmu.” “Oh ya?” Feby malah mencebikkan bibirnya. “Percayalah! Kalau sampai Pak Ares tahu kau melihatnya, jangan salahkan aku kali ini. Jadi pergilah sekarang juga!” “Angga!!” Pria bernama Angga itu menatap tajam Feby lalu lekas berbalik badan untuk menghadap sang atasan. Tak pelak tangannya memberi kode agar wanita tersebut segera pergi. Keseharian Feby hanyalah digunakan untuk berfoya-foya dan bersantai ria. Kucuran dana dan fasilitas mewah yang didapatkan terbilang cukup bahkan berlebihan untuknya dari sang suami. Namun, semua terasa semu karena sejatinya dia kekurangan perhatian dari pria itu. Seperti sekarang. Puas berbelanja koleksi barang mewah di mall seberang hotel, Feby pun menyempatkan diri untuk ke salon. Semua layanan yang dirasa menarik bisa ia dapatkan dengan mudah sejak menjadi istri siri dari seorang Ares Dwi Pranata. “Mbak, hapenya bunyi terus,” ucap sang terapis yang sedang memijat kulit kepala Feby. “Kali aja penting.” “Dari siapa? Tolong bacain dong!” titah Feby yang sedikit kesal kenyamanannya terusik. “Tulisannya …Ibu.” Dengan gerakan malas Feby pun menyambar ponselnya. Dia bergerak sedikit menjauh karena khawatir pembicaraan mereka nanti akan terdengar oleh orang lain. [“Feb, kau masih aman ‘kan?”] “Aman? Kenapa lagi, Bu?” [“Pas jam istirahat tadi ibu lihat berita di TV. Katanya hari ini Bupati Kembang dan istrinya menghadiri peresmian jembatan baru di desa Kenanga. Katamu tadi malam kau dan suamimu menginap di hotel, terus kenapa –“] Feby pun berdecak pelan. “Sudahlah ya, Bu. Jangan berlebihan. Aku enggak kenapa-napa. Jangan panik gitu napa sih?” [“Ya wajarlah ibu panik. Namanya punya anak yang jadi istri simpanan pejabat, Feb.”] “Aku bisa jaga diri, Bu. Setidaknya pernikahanku bukan nyontoh ibu dan bapak.” [“Lancang sekali kau, Feb. Masih untung ibu peduli!”] “Sudahlah, Bu. Aku masih banyak urusan.” Feby mengembuskan napas kasar. Lagi-lagi dia tak bisa mengontrol diri saat berbicara dengan sang ibu. Agak merasa bersalah. Namun, enggan mengaku lantaran masih tidak terima dengan sindiran wanita paruh baya tersebut yang mengatakan dirinya pelakor berkedok istri kedua. “Sudah selesai Mbak neleponnya?” tanya sang terapis sambil tersenyum. Feby mengangguk pelan. Lantas kembali ke tempat duduk semula. Matanya mulai terpejam, tetapi masih bisa mendengar suara dari para wanita kaya yang berada di ruangan tersebut. “Aku sih enggak masalah suamiku main sama cewek di luaran sana. Yang penting pulangnya tetap ke rumah.” “Eh seriusan nih??” “Iyalah. Suami-suami kita ini cuma nganggap cewek di sono mainan aja.” “Iya ya. Mana mungkinlah mau nikahin. Rugi dong ya??” “Makanya kita juga harus pinter-pinter cari berondong. Hahaha!!” Gelak tawa pun membahana ke seluruh isi ruangan. Sementara Feby menggeram di dalam hati. Ingin berteriak kalau dia diperlakukan berbeda oleh suaminya.Empat tahun telah berlalu sejak malam penuh bintang itu. Kehidupan memang tak selalu mulus, tapi Feby dan Sandi telah membuktikan bahwa cinta dan kebersamaan adalah kunci untuk melewati segalanya.Pagi itu, rumah mereka dipenuhi aroma wangi kue yang baru dipanggang. Feby sedang menyiapkan sarapan di dapur sambil sesekali tertawa melihat tingkah Kayla yang kini sudah duduk di bangku SD dan sibuk membantu dengan celemek kebesaran. Haikal, yang kini mulai beranjak remaja, duduk di meja makan, menggambar sesuatu di bukunya."Haikal, kamu gambar apa, Nak?" tanya Feby sambil mengaduk adonan kue.Haikal mengangkat bukunya, memperlihatkan gambar sederhana keluarga mereka—Feby, Sandi, dirinya, dan Kayla berdiri di taman, dengan tulisan di bawahnya: Keluargaku adalah rumah terbaik.Feby tersenyum, hatinya meleleh."Bagus banget! Mama bangga sama kamu."Kayla langsung menyela, “Aku juga mau gambar, Ma! Tapi aku gambar rumah kita da
“Rindu kami tidak berarti apapun jika dibandingkan kebahagian Kak Feby,” gumam Zaki dengan tulus.Feby menatap adik bungsunya dengan terkejut, tetapi juga tersentuh. "Zaki. Makasih ya. Kakak enggak akan bisa melewati semua ini tanpa dukungan kalian semua."Sandi yang duduk di sebelah Feby merangkul bahunya. "Benar. Kita sudah menjadi tim yang hebat."Malam itu, di bawah langit yang bertabur bintang, Feby merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Semua konflik yang pernah mengusik hidupnya telah usai. Bella telah meminta maaf, dan mereka telah berdamai.Sementara Ares, mantan suaminya itu telah menghilang dari hidup mereka setelah terlibat kasus korupsi besar, namun Feby merasa kuat untuk membesarkan Haikal dan Kayla tanpa bantuan Ares. Kini, hanya ada cinta dan kebahagiaan di rumah mereka.Di dalam hatinya, Feby tahu bahwa hidup akan terus membawa tantangan. Tetapi, dengan keluarga yang mencintainya dan suami ya
Tiga bulan kemudian …Feby berdiri di depan cermin, mengenakan gaun sederhana namun elegan. Kilauan gaun itu memantulkan cahaya lembut dari jendela, memberi kesan bahwa hari ini adalah hari yang spesial. Meskipun hari ini bukanlah hari besar untuk dirinya, Feby tetap merasakan kebahagiaan yang begitu dalam. Pernikahan Rania—anak tirinya, yang sudah seperti anak kandungnya sendiri—telah membuat segala ketegangan yang dulu menyelimuti mereka berubah menjadi ketenangan."Dulu, rasanya semua masalah tak ada habisnya," gumam Feby sambil tersenyum kecil kepada dirinya sendiri. Gaun itu sempurna, dan semua sudah siap untuk perayaan hari ini.Feby tersentak ketika mendengar suara langkah kaki mendekat dari belakang. Itu adalah Sandi, suaminya. "Kau sudah siap, Sayang?" tanyanya lembut, berdiri di ambang pintu.Feby berbalik dan tersenyum, menatap Sandi yang tampak gagah dengan setelan jasnya. "Siap, tapi aku masih merasa sedikit gugup," jawabny
“SURPRISE!!”Feby tertegun. Di hadapannya berdiri Sukma dan Zaki, adik-adik yang sudah lama tak ia jumpai. Sukma yang kini sibuk dengan pekerjaannya sebagai ASN dan Zaki terakhir kali ia dengar balik dari perantauan, tampak membawa tumpukan kado di tangan mereka. Namun, yang membuat Feby lebih terkejut adalah dua anak kecil yang berlari menghampirinya dengan tawa riang. Siapa lagi kalau bukan Haikal dan Kayla, buah hatinya yang sudah lama tinggal bersama Ares, mantan suaminya."Mama!" pekik Haikal. Tawa mereka menggema, dan seketika hati Feby mencair bersamaan dengan air bening yang menggenang di pelupuk matanya.Feby tersenyum penuh haru, matanya mulai memanas oleh air mata yang tak terbendung. "Kalian... kalian semua di sini?"Sukma mengangguk, menepuk bahu kakaknya. "Tentu saja, Kak. Hari ini ulang tahunmu. Kami enggak akan melewatkan kesempatan buat kasih kejutan."Zaki tersenyum jahil, menyerahkan sebuket bunga mawar merah. "Happy
“Sudahlah, Ran. Jangan dengerin ayahmu. Dia ngawur,” ucap Feby dengan begitu cepat. Rania yang tadinya menggerutu seketika terbahak. Terlebih setelah melihat wajah ibu tirinya yang bersemu merah itu. Dia pun paham maksud dari omongan sang papa.“Iya iya. Ya udah nih!” Rania menyerahkan kotak P3K yang ada di tangannya. “Mbak, hmm maksudku Mbak Feby, eh mama ya? Atau —““Panggil aku seperti biasanya aja, Ran,” potong Feby cepat. Tangannya mengusap lembut pundak Rania dengan penuh kasih sayang. “Kau hanya punya satu ibu di dunia ini dan aku enggak akan bisa menggantikannya. Jadi meskipun aku adalah istri ayahmu, kita masih bisa menjadi teman ‘kan?”“Feby, kenapa gitu?” protes Sandi yang merasa keberatan.Feby terbahak lalu berkata, “Apa s
Feby menelan ludahnya dengan gugup. Udara malam terasa semakin menyesakkan, meski angin dingin menyentuh kulitnya. Sandi menariknya semakin dekat, hingga wajah mereka hanya beberapa inci terpisah.Kini mata Feby bergetar, tidak yakin dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia bisa merasakan napas suaminya yang hangat menyapu pipinya.“Kenapa harus panggil Om, hmm?” bisik Sandi, matanya tajam namun lembut. “Aku ini suamimu, bukan ‘Om’.”Feby mencoba mengalihkan pandangannya, tetapi tidak bisa. Mata mereka saling terkunci, dan dia tahu jika Sandi sedang menantinya. Menunggu sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Perasaan pun menjadi campur aduk, antara rasa canggung, ragu, dan keinginan untuk menyerahkan diri pada momen ini.Dengan lembut, Sandi mengusap pipi Feby menggunakan ibu jarinya. Sentuhan barusan membuat jantung Feby berdegup kencang, begitu keras hingga rasanya bisa terdengar. Perlahan, Sandi menundukkan wajahnya lebih dekat lagi, bibirnya hampir menyentuh bibir Feby ya