Share

Bab 5. Mantan suamiku

last update Last Updated: 2025-05-03 09:06:49

Begitu tiba di rumah, Gibran mengernyit melihat mobil asing terparkir di depan.

"Siapa yang datang?" gumamnya, mempercepat langkah menuju pintu.

Dari dalam, terdengar suara ibunya, bercampur dengan suara wanita lain—suara yang tak asing, tapi sudah lama tak didengarnya.

"Ah, Gibran! Akhirnya pulang juga. Sini, duduk." Puspa menyambutnya dengan antusias, langsung menarik tangannya sebelum ia sempat menolak.

Begitu duduk, matanya langsung mengerjap. Perempuan yang duduk di hadapannya tersenyum lembut, seolah perpisahan bertahun-tahun tak pernah terjadi.

"Claudia," ujar Gibran dengan suara rendah, rahangnya mengeras.

Claudia tersenyum ramah. "Hey, Gibran. Lama tidak bertemu."

Gibran menoleh ke ibunya, menuntut penjelasan. "Bu, ini maksudnya apa?"

Puspa tersenyum puas. "Claudia baru pindah tugas ke kota ini lagi, dan mulai sekarang dia akan tinggal bersama kita."

Dada Gibran bergetar menahan amarah yang mulai merayap. "Apa?"

"Dia tidak punya siapa-siapa di sini, Gibran. Aku tidak bisa membiarkannya tinggal sendirian," ujar Puspa berucap ringan, seolah tak paham dampak dari keputusannya.

Gibran mengepalkan tangan di pangkuannya, rahangnya mengatup rapat. "Bu, ini bukan keputusan yang bisa Ibu buat sendiri."

Claudia masih tersenyum, tenang seolah tak menyadari ketegangan yang menguar di ruangan. "Aku hanya butuh tempat sementara, Gibran. Bukan masalah besar, kan?"

Matanya menajam. "Bukan masalah besar?"

Puspa menepuk punggung tangannya, mencoba meredakan ketegangan. "Gibran, dia butuh bantuan. Lagipula, kalian dulu pernah dekat kan? Mungkin kalau kamu nggak buru-buru nikah sama Vita, kalian masih bersama. Jadi nggak ada salahnya kan kalau dia menginap di sini?"

"Itu justru masalahnya, Bu," Gibran mendesis, menahan frustrasi. "Kalau Vita tahu Claudia itu mantanku, dia pasti bakal cemburu. Aku nggak mau ini jadi masalah dalam pernikahan kami."

"Alah, kamu itu terlalu khawatir. Istrimu juga terlalu lebay, gitu aja cemburu," ujar Puspa, tampak tidak peduli.

"Bu, wajar. Kalau dia cemburu, seharusnya ibu senang, bukan malah sok nggak peduli seperti ini," protes Gibran.

"Cukup, Gibran!" Puspa menatapnya tajam, suaranya mulai meninggi. "Kalau istrimu nggak suka, dia bisa pergi dari sini. Ini rumah ibu, dan ibu berhak menentukan siapa yang bisa tinggal di sini."

Gibran terdiam, matanya memerah menahan amarah. Namun, ia tahu tidak ada gunanya melawan ibu yang keras kepala ini. Dengan suara lebih rendah, ia berkata, "Baik, Bu. Tapi ingat, aku nggak akan diam kalau ini jadi masalah nantinya."

Gibran yang sudah terpancing emosi pun berlalu pergi, langkahnya berat menuju kamarnya. Pintu ditutup dengan keras, menandakan betapa kecewanya dia. Ia duduk di tepi ranjang, meremas rambutnya. Semua yang baru saja terjadi terasa seperti bom waktu yang siap meledak.

Dia hanya berharap, seiring berjalannya waktu, semua ini tidak akan menimbulkan masalah yang lebih besar—terutama dengan Vita. Tapi, rasa cemas itu tetap menggelayuti benaknya.

"Hah! Semoga saja yang aku takutkan nggak terjadi," gumam Gibran pelan, menggigit bibirnya.

Dia merebahkan diri, menatap langit-langit kamar. Keputusan ibunya kali ini benar-benar di luar dugaannya. Ia hanya bisa berharap, tak ada lagi masalah yang akan muncul, terutama dari Vita. Tapi di dalam hatinya, keraguan terus menghantui.

"Mas, kamu sudah pulang?" tanya Vita, tiba-tiba muncul di pintu kamar, mengejutkan Gibran.

"Kamu dari mana, Sayang? Kok kelihatan capek banget?" tanya Gibran, memperhatikan wajah Vita yang lelah.

"Aku baru selesai bersihin kamar tamu, Mas. Buat tamunya ibu," jawab Vita, sambil menyenderkan tubuh di pintu.

Gibran menghela napas kasar, kemudian matanya berubah sendu. "Maafin Mama ya, kamu jadi harus capek-capek begini. Padahal ini bukan kerjaanmu."

Vita tersenyum kecil, berusaha terlihat tenang. "Gak apa-apa, Mas. Lagian cuma bersihin kamar doang. Aku juga gak enak kalau ibu sampai ngelakuin sendiri."

Gibran bangkit dari tempat tidur, menghampiri istrinya lalu menggenggam tangannya erat. "Tapi tetap aja, Vit. Harusnya kamu gak perlu repot-repot. Apalagi kamu lagi banyak kerjaan."

Vita mengangguk pelan. "Iya, aku ngerti. Tapi Mas, tamu itu sebenarnya siapa ya? Kok kayaknya Deket banget sama Ibu."

Wajah Gibran langsung berubah. Ia menunduk sebentar sebelum akhirnya menjawab, pelan, "Claudia."

Vita mengerutkan kening. "Claudia siapa?"

"Claudia… mantan aku," ucap Gibran, nyaris berbisik.

Vita terdiam. Jemarinya perlahan terlepas dari genggaman Gibran. "Maksudnya… Claudia itu tamunya Ibu? Yang bakal tinggal di sini?"

Gibran mengangguk pelan, menatap istrinya dengan sorot khawatir. "Aku juga baru tahu, dan aku sama sekali gak setuju. Tapi Mama bersikeras."

Vita memalingkan wajah, menarik napas dalam-dalam. "Mas, aku boleh jujur?"

"Selalu," jawab Gibran cepat.

"Aku gak nyaman," bisik Vita lirih, matanya mulai berkaca.

Gibran langsung meraih bahunya, memutar tubuh Vita agar kembali menatapnya. "Aku ngerti, Sayang. Dan kamu berhak ngerasa kayak gitu."

Vita menahan napas, berusaha menelan emosi yang mulai membuncah. "Aku gak marah karena kamu punya masa lalu, Mas. Tapi... tinggal serumah? Itu terlalu dekat."

"Aku tahu, makanya aku tadi udah protes ke Mama. Tapi kamu tahu sendiri, kalau Mama udah mutusin sesuatu..."

"Dia gak peduli perasaan kita," potong Vita pelan.

Gibran mengangguk, tatapannya penuh sesal. "Aku janji bakal jaga jarak. Dan kalau kamu ngerasa gak nyaman sedikit pun, bilang ke aku. Aku bakal lakuin apa pun buat bikin kamu tetap tenang."

Vita mengangguk pelan, meski hatinya belum tenang. Ia tahu, ini baru awal. Dan bayangan Claudia tinggal di bawah atap yang sama, terasa seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

"Vita," panggil Puspa tiba-tiba dari balik pintu, membuat percakapan mereka terhenti seketika.

Vita langsung berdiri. "Iya, Bu? Ada apa?"

"Cepat masak, ya. Bikin yang enak. Kita harus sambut tamu kita dengan baik," ucap Puspa datar, tanpa menoleh, lalu berjalan pergi begitu saja.

Gibran menoleh ke istrinya, ekspresi Vita sudah berubah. Wajahnya datar, tapi matanya tak bisa menyembunyikan kecewa.

"Maaf, Sayang..." gumam Gibran.

Vita tersenyum kecil, dipaksakan. "Gak apa-apa, Mas. Aku masak dulu."

Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah pergi ke dapur, meninggalkan Gibran dengan rasa bersalah yang makin menyesakkan.

Vita menghela napas panjang, menatap wajan kosong di depannya.

"Sabar, Vita... sebentar lagi ibu mertuamu pasti bakal jauh lebih baik," bisiknya pelan, mencoba menenangkan diri.

Kalimat itu sudah seperti mantra, berulang ia ucapkan setiap hari. Tapi sampai sekarang, harapan itu masih belum juga jadi kenyataan. Masih sebatas angan-angan yang terus ia genggam erat, meski mulai terasa getir di dada.

Meski perasaannya campur aduk, Vita tetap menyalakan kompor dan mulai memasak. Suara sayuran yang beradu dengan minyak panas tak mampu menutupi langkah ringan seseorang yang mendekat dari belakang.

Tanpa menoleh, Vita bisa merasakan hawa dingin dari ucapan yang meluncur pelan tapi tajam.

"Ingat, meskipun kamu sudah jadi menantu di keluarga ini, derajat kita beda. Jadi kamu harus tahu diri. Jangan coba-coba pengaruhi anak lelakiku."

Vita terdiam, menggenggam spatula erat-erat.

Dan ucapan berikutnya menghantam lebih keras.

"Satu lagi, aku akan jodohkan Gibran dengan Claudia. Mereka lebih cocok. Dan berharap anak darimu? Lebih nggak mungkin lagi."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Sah Dibuang Pelakor Dibela   Bab 5. Mantan suamiku

    Begitu tiba di rumah, Gibran mengernyit melihat mobil asing terparkir di depan."Siapa yang datang?" gumamnya, mempercepat langkah menuju pintu.Dari dalam, terdengar suara ibunya, bercampur dengan suara wanita lain—suara yang tak asing, tapi sudah lama tak didengarnya."Ah, Gibran! Akhirnya pulang juga. Sini, duduk." Puspa menyambutnya dengan antusias, langsung menarik tangannya sebelum ia sempat menolak.Begitu duduk, matanya langsung mengerjap. Perempuan yang duduk di hadapannya tersenyum lembut, seolah perpisahan bertahun-tahun tak pernah terjadi."Claudia," ujar Gibran dengan suara rendah, rahangnya mengeras.Claudia tersenyum ramah. "Hey, Gibran. Lama tidak bertemu."Gibran menoleh ke ibunya, menuntut penjelasan. "Bu, ini maksudnya apa?"Puspa tersenyum puas. "Claudia baru pindah tugas ke kota ini lagi, dan mulai sekarang dia akan tinggal bersama kita."Dada Gibran bergetar menahan amarah yang mulai merayap. "Apa?""Dia tidak punya siapa-siapa di sini, Gibran. Aku tidak bisa mem

  • Istri Sah Dibuang Pelakor Dibela   Bab 4. Siapa dia?

    "Beres-beres yang bener, sebentar lagi tamuku mau datang. pokoknya aku gak ingin ya kalau ada yang masih kotor, awas aja!" perintah Puspa sambil memberikan tatapan tajam ke arah Vita.Vita hanya mengangguk, menunduk tanpa berani menatap balik. Ia tahu, membantah hanya akan membuat keadaan semakin buruk.Puspa mendengus sebelum melangkah pergi, meninggalkan Vita sendirian di ruang setrika.Vita mengepalkan jemarinya, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Sabar, Vita... Sabar.Dengan langkah pelan, ia mulai bergerak, membereskan rumah sesuai perintah. Meski hatinya remuk, ia tetap menjalankan tugasnya.Sekitar tiga puluh menit kemudian, terdengar pintu rumahnya di ketuk dari luar. "Sana buka pintunya! ingat ya jangan mempermalukan aku, jaga sikap!"Vita buru-buru mengelap tangannya yang masih sedikit basah, lalu melangkah menuju pintu. Hatinya berdebar, berharap tamu yang datang bukan seseorang yang akan membuat keadaannya semakin sulit.Dengan hati-hati, ia membuka pi

  • Istri Sah Dibuang Pelakor Dibela   Bab 3. Sakit.

    “Bagus ya, jam segini baru keluar kamar. Udah kayak nyonya aja,” sindir Puspa, tangannya bersedekap sementara tubuhnya bersandar di dinding, tatapannya tajam menelusuri sosok Vita yang baru melangkah keluar.Vita menundukkan kepala, suaranya lirih. “Maaf, Bu. Aku lagi gak enak badan, makanya baru sempat keluar.”Puspa mendengus, matanya menyipit tajam. “Ah, alasan. Kalau udah malas, selalu aja ada yang dijadiin dalih.”Vita menunduk, menekan napasnya yang terasa sesak. Perkataan Puspa menusuk, tapi ia memilih diam. Rasa nyeri di dadanya semakin kuat, tapi ia tahu, membalas hanya akan membuat semuanya semakin keruh.Puspa mendecak, lalu melangkah mendekat dengan tatapan meremehkan. “Gak usah pura-pura sakit. Kalau memang istri yang baik, meskipun gak enak badan tetap bangun pagi, beresin rumah, nyiapin sarapan suami. Bukan malah enak-enakan tidur sampai siang.”Vita mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, menahan gejolak di dadanya. Ingin rasanya membela diri, mengatakan bahwa selama i

  • Istri Sah Dibuang Pelakor Dibela   Bab 2. Harusnya gak nikah sama kamu!

    "Di mana-mana itu menantu bangun pagi, nyiapin sarapan suami. Lha, ini punya menantu atau nggak sama aja! Tetap saja aku yang harus masak dan beberes rumah," keluh Puspa, suaranya sarat sindiran. Matanya melirik tajam ke pintu kamar yang masih tertutup rapat. "Cewek malas banget, udah siang bukannya bangun dan nyiapin sarapan suami, malah masih molor!"Ia menghela napas keras, lalu mulai membersihkan meja dengan gerakan kasar. Piring-piring beradu, sendok jatuh berisik, seolah semua itu bisa menyuarakan kekesalan yang berkecamuk dalam dadanya. Sesekali ia melirik lagi ke arah kamar, memastikan apakah Vita sudah keluar atau masih berpura-pura tak mendengar. Kesal karena tak juga ada respons, Puspa melangkah ke rak dan menarik kain lap dengan hentakan. Tangannya sibuk mengelap meja, tapi gerakannya lebih seperti melampiaskan amarah yang tertahan. Sesekali bibirnya mendesis, menggumamkan keluhan yang sengaja dikeraskan.Di dalam kamar, Vita menggigit bibirnya, menatap langit-langit de

  • Istri Sah Dibuang Pelakor Dibela   Bab 1. Mandul

    Gibran menghentikan langkah di ambang pintu, tatapannya langsung tertuju pada ibunya yang baru saja masuk bersama Vita. Wajah keduanya menyiratkan sesuatu—lelah bercampur kesal. Ia menunggu sejenak sebelum akhirnya bertanya.“Ibu sama Vita habis dari mana?” Gibran mencoba mencairkan suasana dengan nada ringan.Puspa melepas sandal dan menjatuhkan diri ke sofa. “Dari rumah Bu Dhe Tutik. Nengok Hani,” jawabnya singkat. Sementara itu, Vita langsung masuk ke kamar tanpa sepatah kata.Gibran mengernyit. Ada yang janggal. “Hani kenapa, Bu?”Puspa menghela napas, sorot matanya terasa berat. “Hani habis melahirkan. Kamu gak tahu?”Gibran menggeleng, duduk di sofa di sebelah ibunya. “Enggak, Bu. Kami jarang komunikasi. Tapi kalau gitu, kenapa tadi Ibu kelihatan... nggak senang?”Puspa mendengus kecil, pandangannya berubah masam. “Senang gimana, Gibran? Di sana tadi semua orang sibuk nanya kapan Ibu punya cucu. Ibu bingung mau jawab apa!”Gibran menatap ibunya, berusaha tetap tenang. “Jawab aja

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status