Share

Bab 3. Sakit.

Penulis: Azzahra Nafezza
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-03 09:04:54

“Bagus ya, jam segini baru keluar kamar. Udah kayak nyonya aja,” sindir Puspa, tangannya bersedekap sementara tubuhnya bersandar di dinding, tatapannya tajam menelusuri sosok Vita yang baru melangkah keluar.

Vita menundukkan kepala, suaranya lirih. “Maaf, Bu. Aku lagi gak enak badan, makanya baru sempat keluar.”

Puspa mendengus, matanya menyipit tajam. “Ah, alasan. Kalau udah malas, selalu aja ada yang dijadiin dalih.”

Vita menunduk, menekan napasnya yang terasa sesak. Perkataan Puspa menusuk, tapi ia memilih diam. Rasa nyeri di dadanya semakin kuat, tapi ia tahu, membalas hanya akan membuat semuanya semakin keruh.

Puspa mendecak, lalu melangkah mendekat dengan tatapan meremehkan. “Gak usah pura-pura sakit. Kalau memang istri yang baik, meskipun gak enak badan tetap bangun pagi, beresin rumah, nyiapin sarapan suami. Bukan malah enak-enakan tidur sampai siang.”

Vita mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, menahan gejolak di dadanya. Ingin rasanya membela diri, mengatakan bahwa selama ini dialah yang selalu mengurus rumah, bahwa baru kali ini ia benar-benar tidak sanggup. Tapi percuma, apa pun yang ia katakan pasti hanya akan dianggap alasan.

“Maaf, Bu,” hanya itu yang keluar dari bibirnya. Suaranya hampir tak terdengar, seperti sisa tenaga terakhir yang ia miliki.

Puspa mendengus, melayangkan pandangan sinis sebelum akhirnya berbalik, melangkah ke dapur sambil menggerutu, cukup keras agar Vita tetap mendengarnya.

“Punya menantu kok rasanya kayak tinggal sama tamu. Gak ada gunanya sama sekali…”

Vita menghela napas panjang, tangannya mengusap dadanya yang terasa sesak. Matanya terpejam sejenak, mencoba meredam perasaan yang berkecamuk.

“Ya Allah, sabar... sabar...” bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri daripada siapa pun.

Tapi hatinya tetap terasa nyeri, seolah setiap kata Puspa tadi masih menggema di telinganya.

“Cepat kerja! Ngapain berdiri mulu seperti itu, mau jadi patung kamu?” tegur Puspa tajam, melirik Vita yang masih terpaku di tempat.

Vita menggigit bibirnya, menelan keluh kesah yang hampir meluncur. Tanpa banyak bicara, ia segera melangkah ke dapur, berusaha mengabaikan perasaan yang semakin menekan dadanya.

“Kerja yang bener, jangan sok pasang muka sedih begitu,” ujar Puspa, matanya menyorot tajam, seakan mencari alasan lain untuk mengomentari menantunya.

Vita menelan ludah, tangannya gemetar saat mulai merapikan meja. Ia berusaha mengatur napas, menahan diri agar tidak menunjukkan betapa hatinya semakin remuk.

Setelah melontarkan kata-kata tajamnya, Puspa berlalu pergi tanpa menoleh sedikit pun.

Vita menghela napas panjang, matanya mengikuti kepergian sang mertua. Dadanya terasa berat, seolah menanggung beban yang kian menumpuk hari demi hari.

“Moga aja aku gak stres menghadapi ibu yang dari dulu seperti itu,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

**

Vita yang baru saja duduk di samping ranjang langsung menegang. Ponsel di tangannya terasa lebih berat dari biasanya.

Ia menghela napas, menatap lurus ke depan tanpa niat membalas. Padahal baru saja ia berniat mengambil jeda sebentar sebelum mandi, tapi bahkan itu pun terasa seperti kesalahan di mata Puspa.

Di luar kamar, suara Puspa masih terdengar jelas, bernada kesal. “Dasar, kalau disuruh kerja lambatnya minta ampun, giliran ngilang cepat banget.”

Vita mengepalkan tangan di pangkuannya. Dadanya kembali terasa sesak, tapi ia hanya menunduk, berusaha menenangkan diri. 

Seperti ini terus… sampai kapan aku kuat?

Vita belum sempat mengumpulkan tenaganya, tapi suara Puspa memaksanya untuk segera bangkit. Dengan napas yang masih sedikit tersengal, ia meletakkan ponselnya, lalu melangkah keluar kamar.

Begitu pintu terbuka, tatapan tajam Puspa langsung menyambutnya. Wanita itu bersedekap, berdiri di tengah ruang tamu dengan ekspresi yang sudah bisa ditebak.

“Bagus ya, bukannya beberes malah di kamar. Ngapain aja sih kamu di dalam?” Nada suara Puspa tajam, penuh ketidaksabaran.

Vita menggigit bibirnya, menekan dorongan untuk membalas. Ia menarik napas dalam, mencoba mengendalikan emosinya sebelum akhirnya menjawab, “Saya cuma istirahat sebentar, Bu. Semua pekerjaan juga sudah selesai.”

Namun, bukannya mereda, Puspa justru mendengus sinis. “Istirahat? Baru kerja sebentar aja udah istirahat. Dasar manja!”

Vita mengepalkan tangan di samping tubuhnya, menahan diri agar tak terlihat lemah. 

"Sudah sana setrika! Setrikaan numpuk. Jangan bisanya enak-enakan aja di rumah," sentak Puspa, kedua tangannya bertolak pinggang. Tatapannya penuh penilaian, seolah Vita adalah beban yang tak seharusnya ada.

"Kamu itu harusnya sadar diri," lanjutnya, suaranya sarat ejekan. "Udah bagus-bagus dinikahi anakku yang pekerja kantoran. Coba aja kalau enggak, mungkin kamu udah hidup kekurangan, sama kayak keluargamu itu!"

Vita menunduk, jemarinya gemetar menahan perasaan yang mendesak di dadanya. Kata-kata itu menghantam harga dirinya seperti palu yang menghancurkan kaca tipis.

“Iya, Bu,” ucapnya lirih, nyaris tak terdengar.

Tanpa berani menatap lebih lama, ia berbalik, melangkah menuju ruang setrika. Langkahnya berat, bukan karena lelah, tapi karena beban yang semakin menghimpit batinnya.

Di belakangnya, Puspa masih saja menggerutu, suaranya tak henti-henti menusuk. “Harusnya kamu itu bersyukur! Udah dikasih hidup enak, malah gak tahu diri!”

Vita menggigit bibirnya, matanya mulai panas. Ya Allah, sampai kapan aku harus bertahan begini?

Vita menguatkan langkahnya, menolak membiarkan lututnya goyah. Jangan nangis. Jangan lemah. Suara hatinya bergema, mencoba menenangkan diri sendiri meski dadanya terasa sesak.

Begitu sampai di ruang setrika, ia menarik napas dalam, berusaha menelan semua kepedihan yang mengganjal di tenggorokannya. Tapi saat tangannya menyentuh tumpukan baju, matanya kembali panas.

"Udah, gak usah nangis," guman Vita pelan, mencoba menegur dirinya sendiri. "Bukannya kamu udah biasa seperti ini? Toh ini bukan kali pertama Ibu kayak gini."

Tangannya dengan kasar menghapus air mata yang nyaris jatuh, seolah menolak menunjukkan kelemahan. Ia harus kuat. Ia harus bertahan. Tapi entah sampai kapan…

 “Ck, begitu aja nangis, dasar anak zaman sekarang lemah,” sindir Puspa yang tiba-tiba datang ke ruang setrika itu.

 Vita yang terkejut menoleh sekilas, lalu buru-buru menghapus air matanya dengan kasar. Agar tidak ketahuan.

 “Kerja yang benar, bukannya cuma bisanya nangis dan nangis mulu kamu. Paling enggak jadi istri dan menantu yang berguna, kalau gak bisa ngasih keturunan paling enggak itu bisa kerja. Bukannya nangis mulu seperti itu,” sindir Puspa.

Vita menelan ludah, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Udara di ruangan terasa lebih berat, seolah menekan dadanya semakin dalam.

"Maaf, Bu," suaranya lirih, hampir tenggelam dalam dentingan jarum jam yang berdetak pelan di sudut ruangan.

Puspa mendengus, matanya menatap sinis. "Kalau cuma minta maaf doang, anak kecil juga bisa! Buktinya, kelakuanmu gak berubah!"

Vita menggigit bibirnya, menahan kata-kata yang ingin meluncur. Percuma. Jawaban apapun hanya akan jadi bahan amunisi baru.

Puspa mendekat, menyilangkan tangan di dada. "Sudahlah, kerja sana! Daripada cuma diam di sini kayak patung, bikin malas lihatnya!"

Tanpa menunggu jawaban, wanita itu berbalik dan melangkah keluar, meninggalkan Vita yang masih berdiri di tempatnya, menunduk, menggigit bibir, menahan perih yang kembali mengoyak hatinya.

 “ck, sebenarnya Gibran dapat istri seperti itu dari mana sih, jadi wanita gak ada gunanya sama sekali, Cuma tambah beban saja,” gerutut Puspa yang masih dapat di dengar oleh Vita.

Vita mengepalkan tangannya erat, kukunya hampir menancap di telapak. Napasnya tersendat, tapi ia tetap diam.

 Sabar, Vita. Sabar.

 Ia menarik napas dalam, mencoba mengabaikan kata-kata yang terus menusuknya seperti duri. Namun, dada tetap terasa sesak.

Puspa masih bergumam di luar, suaranya tak benar-benar berbisik, seolah sengaja agar Vita mendengarnya. "Harusnya Gibran bisa dapat istri yang lebih pantas. Bukan yang cuma bisa ngeluh dan nyusahin!"

Vita menutup mata sejenak. Lelah. Bukan hanya fisik, tapi juga hati.

Vita menghembuskan napas panjang, berusaha meredam gemuruh di dadanya. Tangannya bergerak merapikan pakaian yang belum selesai disetrika, meski pikirannya tak sepenuhnya di sana.

Sampai kapan aku harus terus bertahan di sini?

Ia mengangkat wajahnya, menatap bayangannya di cermin kecil di sudut ruangan. Mata yang dulu penuh semangat, kini tampak redup. Bibirnya tertarik dalam senyum pahit.

Di luar, Puspa masih bergumam, suaranya semakin menusuk. "Coba kalau dia nikah sama pilihan ibu, pasti gak begini jadinya..."

Vita menggigit bibir, menahan gejolak dalam dirinya. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ya Allah, sampai kapan aku harus menelan semua ini?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Sah Dibuang Pelakor Dibela   Bab 5. Mantan suamiku

    Begitu tiba di rumah, Gibran mengernyit melihat mobil asing terparkir di depan."Siapa yang datang?" gumamnya, mempercepat langkah menuju pintu.Dari dalam, terdengar suara ibunya, bercampur dengan suara wanita lain—suara yang tak asing, tapi sudah lama tak didengarnya."Ah, Gibran! Akhirnya pulang juga. Sini, duduk." Puspa menyambutnya dengan antusias, langsung menarik tangannya sebelum ia sempat menolak.Begitu duduk, matanya langsung mengerjap. Perempuan yang duduk di hadapannya tersenyum lembut, seolah perpisahan bertahun-tahun tak pernah terjadi."Claudia," ujar Gibran dengan suara rendah, rahangnya mengeras.Claudia tersenyum ramah. "Hey, Gibran. Lama tidak bertemu."Gibran menoleh ke ibunya, menuntut penjelasan. "Bu, ini maksudnya apa?"Puspa tersenyum puas. "Claudia baru pindah tugas ke kota ini lagi, dan mulai sekarang dia akan tinggal bersama kita."Dada Gibran bergetar menahan amarah yang mulai merayap. "Apa?""Dia tidak punya siapa-siapa di sini, Gibran. Aku tidak bisa mem

  • Istri Sah Dibuang Pelakor Dibela   Bab 4. Siapa dia?

    "Beres-beres yang bener, sebentar lagi tamuku mau datang. pokoknya aku gak ingin ya kalau ada yang masih kotor, awas aja!" perintah Puspa sambil memberikan tatapan tajam ke arah Vita.Vita hanya mengangguk, menunduk tanpa berani menatap balik. Ia tahu, membantah hanya akan membuat keadaan semakin buruk.Puspa mendengus sebelum melangkah pergi, meninggalkan Vita sendirian di ruang setrika.Vita mengepalkan jemarinya, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Sabar, Vita... Sabar.Dengan langkah pelan, ia mulai bergerak, membereskan rumah sesuai perintah. Meski hatinya remuk, ia tetap menjalankan tugasnya.Sekitar tiga puluh menit kemudian, terdengar pintu rumahnya di ketuk dari luar. "Sana buka pintunya! ingat ya jangan mempermalukan aku, jaga sikap!"Vita buru-buru mengelap tangannya yang masih sedikit basah, lalu melangkah menuju pintu. Hatinya berdebar, berharap tamu yang datang bukan seseorang yang akan membuat keadaannya semakin sulit.Dengan hati-hati, ia membuka pi

  • Istri Sah Dibuang Pelakor Dibela   Bab 3. Sakit.

    “Bagus ya, jam segini baru keluar kamar. Udah kayak nyonya aja,” sindir Puspa, tangannya bersedekap sementara tubuhnya bersandar di dinding, tatapannya tajam menelusuri sosok Vita yang baru melangkah keluar.Vita menundukkan kepala, suaranya lirih. “Maaf, Bu. Aku lagi gak enak badan, makanya baru sempat keluar.”Puspa mendengus, matanya menyipit tajam. “Ah, alasan. Kalau udah malas, selalu aja ada yang dijadiin dalih.”Vita menunduk, menekan napasnya yang terasa sesak. Perkataan Puspa menusuk, tapi ia memilih diam. Rasa nyeri di dadanya semakin kuat, tapi ia tahu, membalas hanya akan membuat semuanya semakin keruh.Puspa mendecak, lalu melangkah mendekat dengan tatapan meremehkan. “Gak usah pura-pura sakit. Kalau memang istri yang baik, meskipun gak enak badan tetap bangun pagi, beresin rumah, nyiapin sarapan suami. Bukan malah enak-enakan tidur sampai siang.”Vita mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, menahan gejolak di dadanya. Ingin rasanya membela diri, mengatakan bahwa selama i

  • Istri Sah Dibuang Pelakor Dibela   Bab 2. Harusnya gak nikah sama kamu!

    "Di mana-mana itu menantu bangun pagi, nyiapin sarapan suami. Lha, ini punya menantu atau nggak sama aja! Tetap saja aku yang harus masak dan beberes rumah," keluh Puspa, suaranya sarat sindiran. Matanya melirik tajam ke pintu kamar yang masih tertutup rapat. "Cewek malas banget, udah siang bukannya bangun dan nyiapin sarapan suami, malah masih molor!"Ia menghela napas keras, lalu mulai membersihkan meja dengan gerakan kasar. Piring-piring beradu, sendok jatuh berisik, seolah semua itu bisa menyuarakan kekesalan yang berkecamuk dalam dadanya. Sesekali ia melirik lagi ke arah kamar, memastikan apakah Vita sudah keluar atau masih berpura-pura tak mendengar. Kesal karena tak juga ada respons, Puspa melangkah ke rak dan menarik kain lap dengan hentakan. Tangannya sibuk mengelap meja, tapi gerakannya lebih seperti melampiaskan amarah yang tertahan. Sesekali bibirnya mendesis, menggumamkan keluhan yang sengaja dikeraskan.Di dalam kamar, Vita menggigit bibirnya, menatap langit-langit de

  • Istri Sah Dibuang Pelakor Dibela   Bab 1. Mandul

    Gibran menghentikan langkah di ambang pintu, tatapannya langsung tertuju pada ibunya yang baru saja masuk bersama Vita. Wajah keduanya menyiratkan sesuatu—lelah bercampur kesal. Ia menunggu sejenak sebelum akhirnya bertanya.“Ibu sama Vita habis dari mana?” Gibran mencoba mencairkan suasana dengan nada ringan.Puspa melepas sandal dan menjatuhkan diri ke sofa. “Dari rumah Bu Dhe Tutik. Nengok Hani,” jawabnya singkat. Sementara itu, Vita langsung masuk ke kamar tanpa sepatah kata.Gibran mengernyit. Ada yang janggal. “Hani kenapa, Bu?”Puspa menghela napas, sorot matanya terasa berat. “Hani habis melahirkan. Kamu gak tahu?”Gibran menggeleng, duduk di sofa di sebelah ibunya. “Enggak, Bu. Kami jarang komunikasi. Tapi kalau gitu, kenapa tadi Ibu kelihatan... nggak senang?”Puspa mendengus kecil, pandangannya berubah masam. “Senang gimana, Gibran? Di sana tadi semua orang sibuk nanya kapan Ibu punya cucu. Ibu bingung mau jawab apa!”Gibran menatap ibunya, berusaha tetap tenang. “Jawab aja

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status