Intan terbelalak kaget, dia tidak mengira kalau Ishita akan dengan tegas mengatakan hal itu. Padahal selama ini dia terlanjur bahagia yang tiada tara, akan mendapat tiga bayi mungil sekaligus.
"Apa maksutmu, Ishita?" tanyanya tak percaya.
"Mbak Intan menginginkan satu anak dari saya kan, saya akan berikan. Bukan tiga!" hardiknya.
"Tapi kamu hamil kembar tiga anak suamiku, Ishita. Tidak mungkin kamu mengasuh dua anak dari suamiku kan? Dia tidak akan membiarkan itu terjadi!" hardiknya.
"Memangnya kenapa, apa mbak Intan lupa kalau aku adalah ibunya....apa Mbak Intan lupa kalau Kak Ahem suamiku?" hardiknya balik.
Plag!
Tamparan yang tiba-tiba mendarat di pipi Ishita dengan kerasnya.
"Dasar sundel!" umpatnya berteriak.
"Intan?" pekik Indrayana dan istrinya. Papa dan mamanya terbelalak kaget dengan apa yang dilakukan anak semata wayangnya. Mereka tidak menyangka Intan bisa emosi dan senekat itu.
"Kendalikan emosimu, Intan!" hardik mamanya.
"Sayang, ini bisa kita bicarakan baik-baik kan?" sahut Indrayana.
"Apa maumu sekarang? Uang? Kamu minta berapa, 2M....3M....? Katakan!" Bentaknya dengan emosi.
"Tidak semua bisa dibeli dengan uang Mbak!" jawabnya pelan menahan sakit karena tamparan di wajahnya. Kedua tangannya menutup wajahnya karena tamparan itu membuat pipinya yang putih merah dan panas.
"Sombong sekali ternyata anak ini....muak aku! Perlu kamu ingat... suamiku tidak akan membiarkan anakku terpecah belah, tau?" bentak Intan geram.
"Sayang kendalikan emosimu!" kata Indrayana sambil menarik tubuh Intan ke dalam pelukannya. "Aku akan membuat bayi itu menjadi milikmu semua, serahkan semua kepada papa!" bisiknya kemudian di telinga Intan." Kendalikan dirimu sayang, ini mudah bagi papa. Biarkan dia bicara apapun, jarum suntik yang akan menjawabnya.....tunggu saatnya tiba!" lanjutnya menenangkan Intan.
Kemudian Intan menarik diri dan menatap Indrayana dengan tersenyum licik.
"Saya permisi dulu!" pamit Ishita dengan menahan kesal dan beranjak pergi.
"Tunggu Ishita, biar Hamid mengantarkanmu pulang!" teriak Intan.
"Tidak perlu aku naik taksi," jawabnya ketus.
"Ayolah Ishita jangan marah! Oke aku minta maaf, aku terlalu emosi!" pintanya memohon.
"Tidak perlu minta maaf, aku naik taksi saja, tidak usah terlalu masuk ke dalam kehidupan ku. Aku bisa menjaga diriku sendiri dengan baik!" ujarnya ketus dan berlalu pergi meninggalkan ruangan itu.
"Dasar wanita udik...keras kepala juga dia!" umpat Intan kesal.
"Sayang, biarkan dia bicara apapun, aku pastikan ketiga anakmu akan menjadi milikmu. Itu janji papa padamu, sayang!" bisiknya.
"Terima kasih papa!" ujar Intan tersenyum puas.
"Hati-hati Pa!" sahut istri Indrayana.
"Mama jangan khawatir kita masih punya banyak waktu, santai saja!" jawabnya tersenyum licik.
Ishita melangkah ke halaman rumah sakit, menunggu taksi yang di panggil lewat aplikasi. Dari seberang jalan terparkir mobil Ahem sedang mengawasi Ishita. Ternyata dia tidak bisa terlepas dari memikirkan Ishita.
"Kenapa kamu naik taksi, dimana Hamid? Intan pasti masih ngobrol sama papanya." Pikir Ahem.
Taksi membawa pergi Ishita keluar rumah sakit dan menuju ke tempat kos. Ahem dengan penasaran mengikutinya. Sampai akhirnya taksi itu membawanya masuk gang kecil dan berhenti di depan rumah kosnya. Setelah taksi itu pergi, baru mobil Ahem masuk gang. Dia terkejut sekali mengetahui istrinya tinggal di tempat yang tidak seharusnya. "Kamu Cinderella ku, seharusnya mendapatkan perlakuan yang istimewa dariku, apalagi kamu mengandung anak-anakku, Ishita." Pikir Ahem sambil turun dari mobil mewahnya.
Ahem berjalan menghampiri rumah itu dan mengetuk pintu.
Tok...
Tok...
Tok...
"Iya sebentar!" teriak Ishita dari dalam. Ahem hafal sekali itu suara istrinya.
Cklek! Suara pintu dibuka dan menyembul kepala Ishita sambil berkata,
"Iya, siapa?"
"Pak Raden...CEO ganteng!" teriaknya dengan senyum lebarnya.
Ishita terbelalak kaget, tidak menyangka Ahem sudah di depan mata. Seketika dia ingat bahwa dia harus tetap bersandiwara bahkan tidak akan berubah sedikitpun.
"Pak Raden, apa yang kamu lakukan disini! Darimana kamu tahu aku kos disini?" tanya Ishita heran.
"Kamu tidak tahu aku? Dinding pun punya mata dan telinga, kamu tidak bisa menghindar sedikitpun dariku." Ujarnya sombong.
"Ada apa Pak Raden? Ini kan belum waktu istirahat?" tanya Ishita penasaran.
"Ayo kita keluar!" ajaknya sambil menarik tangan Ishita.
"Pak Raden, sebentar aku ambil ponsel sama tas." teriak Ishita sambil menarik tangannya.
"Oke aku tunggu di mobil ya?" teriak Ahem sambil berjalan menuju mobilnya.
"Iya suamiku." Jawabnya dalam hati.
Tak lama Ishita menghampiri mobil Ahem dan duduk disampingnya. Mobil pun bergeser melaju ke jalan raya.
"Kita kemana, tuan putri?" tanya Ahem memanja.
"Kok tanya aku, situ yang ngajak, situ juga dong yang tentuin." Ishita merajuk.
"Ceritakan padaku bagaimana hasil cek up tadi? Pasti anak-anak papa sehat semua kan?" tanyanya tiba-tiba seraya tangan kiri Ahem mengelus perut Ishita, karena tangan kanan Ahem pegang setir.
Seketika Ishita mendekap tangan Ahem agar tidak melepas tangannya dari perutnya. Perlahan mata Ishita terpejam dan kepalanya bersandar di sandaran jok. Ahem terkejut dengan sikap Ishita, dia melirik ke arah Ishita. Ada air matanya meleleh membasahi pipinya yang putih kemerahan.
"Ada apa dengan Ishita? Kenapa dia menangis? Kenapa tanganku semakin digenggam erat, ada apa denganmu, Ishita?" batin Ahem.
Tak fokus lagi menyetir, Ahem tak sengaja menginjak rem dengan spontan. Membuat tubuh keduanya terpental.
"Oh maaf Ishi," katanya menyesal. "Kamu dan anak-anak ku tidak apa-apa kan, Ishi?" lanjutnya gugup.
"Tidak apa-apa Pak Raden. Jangan khawatir!" gumam Ishita lirih.
Ahem menatap Ishita penuh perhatian, dia tahu Ishita lagi menangis. Perlahan kedua tangan Ahem meraih pipi Ishita.
"Tataplah mataku, ceritakan padaku apa yang terjadi?" ujarnya sambil menatap tajam Ishita. Tapi Ishita berusaha menunduk dan menyembunyikan wajahnya. Dengan tangan kekarnya dia menghapus air matanya. Betapa terperanjatnya Ahem begitu melihat pipi Ishita memerah bekas tangan.
"Apa ini Ishi? Siapa berani melakukan ini padamu?" hardik Ahem geram.
"Bila aku mengatakan siapa yang melakukan ini padamu, apa mungkin kamu berani memarahinya demi aku? Tidak mungkin kan?" batin Ishita.
"Siapa melakukan ini, Ishi!" bentaknya emosi.
"Mbak Intan." Jawabnya tegas.
"Gila! Kenapa dia melakukan ini padamu, Ishi?" tanyanya tak percaya. Sambil tangan kekar itu terus mengusap lembut pipi Ishita. Membayangkan betapa sakitnya saat tamparan itu mendarat.
"Dia meminta ketiga bayiku, Pak Raden. Jelas aku tidak boleh, dia serakah. Dengan sombong dia tawarin aku uang, emangnya semua bisa dibeli dengan uangnya. Dia minta anak, aku kasih satu kan harusnya terima kasih bukannya harus di rebut semua." Ungkapnya kesal.
"Apa yang dia katakan?" desak Ahem.
"Aku tidak perduli dia mau ngatain saya apa. Asal jangan ambil semua anakku. Dia bilang suaminya pasti akan meminta semua bayinya, karena dia tidak ingin anaknya tercerai berai." Katanya sedih.
Bukankah suami dia, adalah suamiku juga? Tapi kenapa suamiku tidak mencari aku dan menolong aku? Tidak tahukah dia bahwa aku sedang merindukannya." pekiknya dengan isak tangis dan tersedu-sedu. Ahem tertegun, kata-kata Ishita begitu menyentuh hatinya. Dadanya terasa perih dan sesak menahan gejolak perasaannya. Bagai sebongkah batu menghimpit dadanya.
Tak kuat lagi menahan perasaannya, diraihnya tubuh Ishita dan direngkuh ke dalam pelukannya. Ahem pun menangis pilu, ketidak berdayaannya menyiksa batinnya. Semakin dalam dan erat Ahem memeluknya. Dilekatkannya tubuh mungil itu ke dalam dada kekarnya.
'Ini dekapan suamiku...yang lama sekali kurindukan. Aroma tubuhnya yang lekat dihatiku, yang tak mungkin bisa tergantikan." Batin Ishita
"Istriku tersayang, kamu dan anak-anak ku adalah cahaya hidupku. Aku takut orang lain akan membuat redup cahayaku..." Batin Ahem.
"Kita cari makan di tempat biasa ya?" tawar Ahem penuh cinta kepada Ishita.
"Iya," jawab Ishita lembut.
'Sudah jangan kamu pikirkan! Aku akan melindungimu selalu." Ujarnya kemudian melajukan mobilnya.
Sebentar-sebentar Ahem melirik Ishita, demikian juga dengan Ishita.
"Ishi, kamu mau bebek presto apa sop buntut? Kebetulan ini sudah dekat." tawar Ahem.
"Kayaknya aku pingin coba sop buntut deh, mungkin segar kali ya?" jawab Ishita lembut.
Tak lama kemudian mobil Ahem sudah parkir di halaman Untung Resto. Ahem bergegas turun dan membukakan pintu mobil buat Ishita. Kemudian merangkul dengan mesra mengajak masuk restoran.
Dia duduk berdampingan menikmati sop buntut pesenannya.
"Bagaimana sop nya enak kan?" tanya Ahem lirih.
Ishita hanya mengangguk pelan. Perasaannya campur aduk tak karuan. Ada sakit dan benci karena merasa di bohongi dan dipermainkan. Ada rasa cinta dan rindu yang makin menggunung. Ada rasa bahagia yang sempat membuat terbang melayang mendapatkan perhatian dan curahan sayang dari suaminya.
Dret...
Dret...
Dret...
Ponsel Ishita bergetar, seketika Ahem dan Ishita saling berpandangan.
"Siapa yang telepon, Ishi? Angkatlah dan nyalakan speakernya!" usul Ahem.
"Ririn?" pekiknya. "Assalamualaikum, Ririn! Ini kan jam sekolah, kamu kok telepon Kakak? Ada apa Ririn?" tanya Ishita penasaran, saat telepon diangkat.
Kak Ishita, ayah masuk rumah sakit lagi. Tadi pagi ayah sesak nafas dan pingsan. Kak Ishita, dari semalem ayah ingin kamu pulang bersama suamimu. Dia ingin bicara sama suamimu! Kakak bisa datang kan? Aku tidak tahu lagi harus berkata apa." Kata Ririn bersedih.
"Iya Ririn, besuk kakak bersama suami kakak akan pulang. Tolong jagain ayah dulu ya?" ujar Ishita.
"Iya kak, betul kakak bisa pulang bersama suamimu, kan?" tanya Ririn tidak yakin.
"Iya." Jawab Ishita kemudian menutup teleponnya.
"Besuk aku antar, Ishi." Tawar Ahem datar.
"Apa kamu yakin Pak Raden?" tanya Ishita tak percaya.
"Yakin Ishi!" jawab Ahem.
Bagaimana suasana pertemuan Ahem dengan Herlambang?
Bersambung....
Ishita senang tanpa diminta Ahem bersedia menemaninya bertemu ayahnya. Sejak Herlambang tersadar dari koma, dia ingin bertemu dengan Ishita dan suaminya. Karena keadaan yang tidak memungkinkan membuat Ishita selalu menghindar. Harus dengan sakit begini, baru bisa terpenuhi keinginannya bertemu dengan putri sulungnya bersama suaminya. Kebetulan mereka belum pernah bertemu. Karena koma, maka pamannya, adik dari ayahnya sebagai wali nikah mereka. "Besuk kita berangkat pagi saja ya, sama jam kantor, agar kita santai di perjalanan." Usul Ahem. "Iya Pak Raden, lebih pagi malah enakan sih udaranya dingin." sahutnya. "Iya ya lebih pagi lagi bolehlah, habis subuhan gitu." Ahem menimpali. "Tapi kalau pagi sekali, gimana cara kamu pamit sama istrimu? Pasti dia akan curiga dan kamu akan kena masalah." Ujar Ishita. "Udah itu urusanku, kamu tidak usah ikut memikirkanny
Ahem sudah satu jam lebih melajukan mobilnya. Ishita benar-benar mulai terlelap dalam tidurnya. Sebentar-sebentar tangan Ahem, membelai rambutnya, kemudian mengelus pipinya. "Kamu imut sekali, sayang!" gumamnya lirih. Kemudian tangannya meraba perut Ishita sambil tersenyum dia berkata, "Apa kalian juga tidur seperti mama? Papa nyetir sendirian nggak ada yang menemani sayang....!" keluh Ahem berbisik. Tapi sontak tangan Ishita mendekap tangan Ahem yang sedang menumpang di perutnya. Tangan besar dan kekar itu di dekap semakin erat dengan kedua tangan Ishita yang mungil. Dan Ahem mulai menyatukan jemari tangannya ke dalam jemari Ishita, sambil tersenyum puas. "Kamu sudah bangun Ishi?" tanya Ahem sambil menatap intens Ishita. Ishita tidak menjawab, dia menikmati genggaman jemari kekar Ahem. Sentuhan tangan Ahem sangat membuatnya nyaman dan bahagia. "Kalau begini aku pergi ke
Ahem terperanjat kaget menerima pertanyaan mengenai orang tuanya. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Ahem berpikir, andai ayah Herlambang tahu aku adalah anak dari orang yang menghancurkan hidupnya, apa yang terjadi? "Papa dan Mama saya ada di Amerika, Ayah. Minggu ini mereka akan pulang ke Indonesia. Karena mereka bahagia akan mendapat cucu." Ujar Ahem menjelaskan. "Ini juga cucu yang pertama buat mereka?" tanya Herlambang. "Iya ayah, ini cucu yang pertama kembar tiga pisan. Papa dan Mama sangat bahagia. "Alhamdulillah..... kembar tiga? Benarkah itu Ishi sayang?" tanyanya tak percaya. "Iya Ayah, doakan Ishita sehat ya Ayah! Ishita takut sekali ayah!" keluhnya bersedih. "Jangan takut sayang, aku selalu disampingmu!" kata Ahem lembut dan sayang. "Untung suamimu sayang sekali sama kamu? Kamu tidak usah khawatir! S
Ahem kembali mematuk bibir merona dan sexi Ishita. Bahkan kali ini dia melumatnya, mencurahkan rasa rindu yang lama bergelora. Jantung mereka berdua berdesir, tangan Ishita menggelayut kuat di leher Ahem. Seolah mengungkapkan bahwa dia tak ingin melepas pagutan itu. Bagai magnet yang saling menarik dan tak mau melepas. Akhirnya Ahem membopong tubuh Ishita masuk ke dalam kamar. Perlahan direbahkan tubuh mungil itu di atas kasur sambil terus menikmati pagutan bibir manis dan lembut itu. Ciuman Ahem turun ke leher yang putih. Kini dia bisa mencumbu istrinya dengan menatap tanpa menutup mata seperti beberapa bulan yang lalu. Tapi Ishita masih menikmatinya dengan memejamkan matanya. Perlahan Ahem membuka resleting di bagian dada Ishita. Begitu resleting itu terbuka nampak bra ungu renda-renda amat cantik dengan gunung putih mungil yang indah berisi. Ahem semakin terbakar gairah birahinya. Seluruh tubuhnya bak teraliri
Akhirnya pagi sekali Afan sudah sampai di kantor. Tak lama kemudian disusul Intan. Tok... Tok... Tok... "Pagi Afan?" sapa Intan setelah mengetuk pintu ruangan Afan. "Kamu? Sepagi ini apa yang kamu lakukan disini, Nyonya Intan?" tanya Afan heran. "Ah udah jangan basa-basi! Ini surat nikah, ini akan membantumu." ujar Intan sambil menaruh dua buku nikah. Afan mengambil dua buku nikah itu dan dibukanya dengan penasaran. "Buku nikah palsu? Aku tidak membutuhkannya, untuk apa ini?" ujarnya kesal. "Kamu membutuhkannya Afan. Bagaimana mungkin pernyataan sepihak tanpa bukti? Nanti dikira omong kosong. Coba lihat mana cincin kawin kalian? Ndak punya kan, siapa yang percaya coba?" ujar Intan menyakinkan.
Ahem geram dengan kelakuan Afan dan Intan. Dia yakin bahwa Intan yang paling pandai bersiasat. Ahem bisa menduga apa yang sedang dipikirkan Intan. Dengan cara ini dia menjauhkan dari Ishita. Karena dengan pengumuman di kalangan kantor, berarti membatasi Ahem mendekati Ishita. Karena orang-orang kantor tahunya bahwa Ishita istri Afan. Perjalanan sangat jauh dan melelahkan, tapi tidak membuat Ahem kesal justru ini saat-saat kebersamaan yang langka terjadi. Dia memandang istrinya yang lagi pulas tertidur. Dengan tangan kirinya dia membelai pipi yang halus dan membelai rambut Ishita. Kemudian tangannya meraba perut Ishita dan mengelus-elus nya. "Sayang, kalian lagi pada ngapain? Temeni papa ngobrol dong, biar papa tidak ngantuk?" ujar Ahem masih terus mengelus-elus perut Ishita dan hatinya begitu terharu. "Mama pasti capek gendong kalian bertiga...tuh tidurnya pules banget." Bisiknya kemudian mengelus pip
Bersama Wahyu akhirnya mereka survei melihat rumah itu. Salah satu rumah yang ditunjukkan Wahyu masuk kriteria Ahem. Dan akhirnya Ahem membelinya untuk Ishita. Tipe minimalis tapi dengan fasitas yang lengkap serta halaman yang sangat luas. Kebun belakang rumah juga sangat luas. Rencananya Ahem akan menanam aneka buah-buahan di kebun belakang, agar nyaman dan asri serta bermanfaat di rumah. Pasti menyenangkan apalagi kesukaan Ishita makan buah-buahan. Hari itu juga orang kantor datang untuk menyelesaikan pembayaran dan administrasinya dibantu Wahyu. Kemudian setelah semua selesai, mereka berdua langsung menuju bandara. Kebetulan bersamaan itu kedua orang tuanya juga baru saja muncul dari pintu keluar. "Mama?" sapa Ahem sambil memeluk mamanya penuh kerinduan dua tahun sudah mereka tidak bertemu. Menyusul kemudian papanya, dia memeluk erat anak lelakinya. Wahyu membawa dua
Intan datang ke hotel untuk memeriksa persiapan untuk nanti malam. Dirasa semua sudah siap dan hampir tercapai 90 persen. Kini dia ingin menemui Ahem di ruangannya, membicarakannya kepada Ahem. Ahem duduk melamun, dia tidak menyadari kehadiran Intan yang sudah berdiri di depannya. Intan juga melihat kado yang sudah dibuka berserakan di atas meja kerjanya. "Ih melamun, lagi melamun apa sih?" tanya Intan. Dan Ahem terbelalak kaget, dia menjadi salah tingkah. "Bagaimana persiapan acaranya?" tanya Ahem asal karena gugup. "Baik. Semua sudah siap hampir fix." jawab Intan. "Wuih kado dari mana nih?" tanya Intan sambil membuka kado itu karena kepo. Tanpa sepatah katapun Ahem membiarkan Intan melihat isi kado dari Ishita. Dia tidak mau lagi menyembunyikan apapun yang berkaitan dengan Ishita. Dalam hatinya berpikir bahwa Intan harus terbiasa dengan ke