Share

Istri Siri Tuan Pewaris
Istri Siri Tuan Pewaris
Author: Komalasari

Demi Seratus Juta

Author: Komalasari
last update Last Updated: 2024-04-20 20:49:55

“Tumben kamu telat, Ranum. Memang, kamu dari mana saja, Nak?”

Ranum yang baru saja masuk ke kamar sang nyonya, sontak menunduk dan memilin jari. 

“Maaf, Bu. Tadi, ada telepon dari ibu saya,” jawabnya, menjelaskan.

Gadis 22 tahun itu berdebar kencang, mengira dirinya dalam masalah.

Sungguh, dia sudah terlalu lelah jika ada masalah lain di kerjaanya. Padahal, telepon ibunya tadi sudah meruntuhkan semangat gadis itu.

Namun, ternyata  dia salah.

Nyonya Nindira yang masih duduk di kursi rodanya itu, justru mengembuskan napas pelan. “Ada apa? Apa ada masalah dengan ibumu?” tanyanya lagi.

Ranum yang awalnya menunduk, segera mengangkat wajah. “Saya … saya ingin bicara sesuatu dengan Anda, Bu,” ucapnya ragu.

“Tentang apa?”

“Ibu saya sedang menghadapi masalah keuangan,” jawab Ranum pelan dan sopan. “Sepulang sekolah, adik saya menabrak seseorang. Korbannya mengalami luka berat, bahkan sampai harus dioperasi. Sebagai bukti pertanggungjawaban, ibu saya bersedia membiayai seluruh biaya operasi pendarahan otak yang dialami orang itu. Dia tidak tahu jika jumlahnya sangat besar,” jelas wanita muda, dengan rambut kepang samping itu.

“Astaga.” Nindira kembali mengembuskan napas pelan. “Berapa usia adikmu?” tanyanya.

“17 tahun, Bu,” jawab Ranum, tetap dengan sikap yang teramat sopan.

“Muda sekali! Lalu, berapa biaya yang dibutuhkan?”

“Total keseluruhan biaya adalah sekitar 80 juta. Mungkin bisa lebih besar, andai ada tindakan lain. Saya tidak tahu harus mencari ke mana uang sebanyak itu.”

Mata indah Ranum mulai berkaca-kaca, membayangkan kesulitan serta beban berat yang dihadapi keluarganya.

Sebagai anak sulung, dia merasa bertanggung jawab membantu meringankan kesulitan sang ibunda, yang merupakan seorang janda.

Di sisi lain, Nindira menggumam pelan.

Hanya saja, wanita paruh baya itu tiba-tiba menyungingkan senyum kecil. “Aku akan memberikanmu 100 juta. Bagaimana?” tawarnya.

“Se--seratus juta? Benarkah, Bu?” Ranum segera menyeka air mata yang menetes di pipi.

Untuk sesaat, wanita muda itu merasa bahagia. Namun, raut wajahnya tiba-tiba kembali berubah sendu. “Tapi, bagaimana saya bisa mengembalikan uang sebanyak itu? Entah harus bekerja berapa lama di sini,” pikirnya ragu.

Nindira kembali tersenyum kecil.

Memutar kursi roda, kini dia menghadap pada Ranum. “Jangan khawatir. Aku memberikan uang itu tanpa berharap dikembalikan. Namun, tentu saja dengan satu syarat,” ujarnya tenang.

“Syarat?” ulang Ranum agak ragu. “Apa syaratnya?” Wanita muda itu menatap gugup sang nyonya besar.

Lain halnya dengan Nindira yang tetap terlihat tenang. “Akan kuberitahu besok, setelah kusiapkan uang sebesar seratus juta untukmu,” sahut wanita paruh baya tersebut, diiringi senyum kecil. Dia kembali membalikkan kursi roda, jadi menghadap ke jendela kaca.

Ketenangan Nindira berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan Ranum.

Wanita muda itu tak sabar menunggu hingga esok datang. Pikiran si pemilik rambut panjang tersebut makin tak menentu. Terlebih, setelah mendengar curahan hati ibunya yang mengatakan harus segera melunasi biaya operasi.

“Aku akan mengusahakan uang itu, Bu. Mudah-mudahan Bu Nindira benar-benar memberi pinjaman. Ibu tenang saja, ya. Jangan banyak pikiran. Nanti malah sakit,” ucap Ranum keesokan harinya, saat berbicara di telepon dengan sang ibunda. Setelah berbasa-basi sebentar, dia mengakhiri perbincangan. Ranum bergegas menuju ke kamar Nindira.

Ternyata, di dalam kamar tak hanya ada Nindira. Di sofa sudut ruangan, tampak seorang pria tampan tengah duduk penuh wibawa, dengan tatapan dingin tertuju pada Ranum yang terlihat kikuk.

Dia adalah Windraya Sasmitha, putra sulung Nindira yang berprofesi sebagai pengusaha.

Entah mengapa, sejak awal pria itu selalu bersikap dingin padanya.

“Bagaimana, Ranum?” tanya Nindira mendadak, menyadarkan Ranum dari lamunan, “Apa ibumu sudah menghubungi?”

“Sudah, Bu. Beliau diberi waktu hingga sore ini, untuk melunasi seluruh biaya operasi dan lain-lain,” jawab Ranum resah.

“Oh, baiklah.” Nindira mengalihkan perhatian pada sang anak, yang belum mengubah posisi duduk. “Bagaimana, Win?” tanyanya.

“Mama tahu aku tidak suka dengan permainan seperti ini,” sahut Windraya datar.

Pria tampan dengan rambut tersisir rapi ke belakang itu menunjukkan raut tak bersahabat. Membuat Ranum berpikir negatif.

“Saya rela bekerja di sini tanpa dibayar hingga bisa melunasi uang pinjaman itu, Pak.” Ranum sebenarnya tidak mengerti percakapan antara ibu dan anak di depannya. Namun, dia memberanikan diri demi biaya pengobatan.

“Aku tidak bicara denganmu!” Windraya, menanggapi dingin ucapan Ranum. “Lagi pula, ini bukan tentang uang seratus juta.”

Pria berkemeja putih tersebut beranjak dari sofa, lalu mendekat pada Nindira. “Mama boleh memberikan pinjaman pada gadis itu, tapi tanpa ada persyaratan macam-macam,” tegasnya.

“Bukankah kita sudah membahas ini semalam, Nak?” Nindira menatap lembut sang anak.

“Mama sudah tahu jawabanku,” tegas Windraya.

“Kamu lihat sendiri seperti apa kenyataannya saat ini.”

“Aku tidak pernah mempermasalahkan hal itu, Ma,” tegas Windraya. “Apa pun yang terjadi pada pernikahanku dengan Mayla, bukanlah urusan Mama. Jadi, tolong jangan ikut campur,” tegasnya lagi, dengan nada teramat serius.

“Ayolah, Win. Ini sudah hampir dua tahun,” bujuk Nindira, tak patah arang.

“Sudah kukatakan bahwa itu bukan urusan Mama,” tegas Windraya lagi. “Cukup untuk pembicaraan ini.” Dia membalikkan badan, bermaksud melangkah ke dekat pintu.

“Mama hanya ingin kamu bahagia, Win,” ucap Nindira lagi, menghentikan gerak sang putra yang sudah akan membuka pintu.

Windraya menoleh, lalu mengembuskan napas berat dan dalam. Dia menggeleng pelan.

“Usia Mama makin tua dan terlihat sangat menyedihkan seperti ini. Tadinya, Mama berpikir bahwa Mayla bisa diandalkan. Namun, kenyataan tak sesuai harapan. Istrimu lebih peduli pada diri sendiri. Apa lagi yang wanita itu lakukan selain pergi berlibur demi menyenangkan dan … apa katanya? Menjaga kewarasan.” Nindira tersenyum kecut, lalu mengalihkan perhatian pada Ranum, yang berdiri dengan raut tak nyaman karena menyaksikan perselisihan ibu dan anak itu.

Meskipun paham dengan apa yang tengah dipermasalahkan mereka, tetapi Ranum tak memiliki wewenang untuk menyimak secara langsung.

“Ambilkan tas itu,” suruh Nindira, sambil mengarahkan pandangan sekilas pada tas jinjing di kasur.

Ranum mengangguk ragu. Dia melakukan apa yang Nindira perintahkan.

“Bukalah,” suruh Nindira lagi.

Ranum kembali menuruti apa yang wanita itu katakan. Seketika, jantungnya seperti berhenti berdetak, melihat uang dalam jumlah sangat banyak dalam tas tadi. Dia jadi gemetaran karenanya.

“Uang itu berjumlah 100 juta. Kamu tidak perlu mengembalikannya. Namun, ada syarat yang harus kamu lakukan, yaitu menikah dengan Windraya.”

Deg!

"Me--menikah?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Arif Dana
sama laki-laki
goodnovel comment avatar
AkiraYuki
Nasib jadi orang susah
goodnovel comment avatar
Titik pujiningdyah
minta tambahan lah, Num! jangan mau kalau cuma 100jt
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Istri Siri Tuan Pewaris   Berbuah Manis, Berakhir Bahagia

    Ranum terlihat ragu. Dia masih ingat betul seperti apa sikap Ainur, saat terakhir kali mereka bertemu. Terlebih, setelah wanita paruh baya itu membeberkan jati diri Ranum yang sebenarnya. “Kenapa? Ibumu pasti tak akan berpikir macam-macam lagi. Dia sudah mengetahui siapa suamimu. Aku pernah berbicara secara langsung dengannya,” ujar Windraya tenang. “Saya tidak yakin. Ini bukan hanya tentang status sebagai istri, tetapi juga sebagai anak,” ujar Ranum pelan, seraya menundukkan wajah. Melihat bahasa tubuh sang istri yang dirasa aneh, membuat Windraya menautkan alis. “Ada apa?” tanyanya lembut. Bukannya menjawab, Ranum justru terisak pelan. “Kenapa?” tanya pengusaha itu lagi kian penasaran. “Beliau bukan ibu kandung saya, Pak,” jawab Ranum lirih.“Apa?” Windraya menatap tak percaya.Ranum mengangguk. Tak lama, dia menceritakan semua yang Ainur katakan dulu secara terperinci. Membuat Windraya ternganga tak percaya. “Ibu saya seorang pelacur, Pak. Itulah kenyataannya,” ucap Ranum di

  • Istri Siri Tuan Pewaris   Dari Hati ke Hati

    Ranum menatap sang suami. “Terserah Anda,” ucapnya sambil berbalik, kemudian melanjutkan langkah. “Tunggu, Ranum!” cegah Windraya. Ranum kembali tertegun. Namun, kali ini tak menoleh, meskipun mendengar langkah Windraya yang mendekat padanya. “Ayolah. Kumohon,” bisik Windraya, seraya menyentuh lembut lengan sang istri. “Saya sudah menjawab tadi,” ucap Ranum dingin. “Bukan itu maksudku,” bantah Windraya, seraya berpindah ke hadapan Ranum. Dia mengambil Elok, lalu menggendong sang putri yang ternyata sudah bangun. Windraya mengecup bayi itu penuh kasih. “Aku harus bagaimana lagi?” tanyanya.Ranum tidak menjawab. Dia justru memalingkan wajah. “Sayang,” ucap Windraya lagi, dengan raut setengah memohon. “Aku sudah menceraikan Mayla, yang dinikahi secara sah. Aku masih mempertahankanmu hingga saat ini karena berharap bisa memiliki ikatan yang lebih baik dan kuat.” “Semudah itu?” Ranum yang dalam beberapa waktu terakhir puasa bicara terhadap Windraya, kali ini bersedia menanggapi ucap

  • Istri Siri Tuan Pewaris   Belum Berubah

    Hari berganti. Namun, sikap Ranum tak juga berubah. Dia masih irit bicara terhadap Windraya. Padahal, sikapnya di hadapan orang lain terlihat biasa.Windraya sendiri akhirnya terbiasa dengan hal itu. Namun, dia tak membiarkan Ranum begitu saja. Windraya tetap mengajaknya berbincang, meskipun seperti tengah berbicara dengan tembok.Walaupun begitu, Windraya tak peduli. Pengusaha tampan tersebut bahkan kerap bercerita tentang masa kecil, remaja, hingga segala hal yang sebelumnya tidak Ranum ketahui. “Aku tahu itu gila. Tapi, teman-temanku jauh lebih gila. Jika ingat mereka, rasanya ingin kembali ke masa di mana tak ada hal lain yang kupikirkan selain pelajaran sekolah,” tutur Windraya, sambil duduk bersandar. Dia menoleh beberapa saat pada sang istri, yang berbaring dalam posisi menyamping dan tentu saja membelakanginya.“Banyak hal yang sudah berubah,” ucap Windraya lagi, seraya mengalihkan perhatian ke arah lain. “Jangankan dari masa sekolah. Dalam tahun ini saja, banyak hal terjadi

  • Istri Siri Tuan Pewaris   Takut Kehilangan

    Windraya menatap Ranum dengan sorot tak suka. Namun, dia memilih tak banyak bicara. Pria itu mengalihkan perhatian pada Marcell. Sang ajudan berpura-pura sibuk dengan telepon genggamnya. Pengusaha tampan yang kini menyandang status ayah tersebut mengembuskan napas pelan. Dia tersenyum kecil, saat dua orang pelayan datang membawa serta menyajikan makanan yang telah dipesan. “Makan dulu,” ucap Windraya entah ditujukan pada siapa. Ranum yang tengah asyik berbincang dengan Annchi, tak menanggapi. Dia terus berbicara pada gadis kecil itu. Sesekali, suara Bastian terdengar menimpali. Mendengar suara pengusaha yang telah menampung Ranum selama pelariannya, membuat darah dalam tubuh Windraya berdesir lebih kencang dari biasanya. Degub jantung pun jadi tak beraturan. Jika tak sedang menggendong Elok, Windraya mungkin akan langsung merebut telepon genggam yang tengah digunakan video call oleh sang istri. Namun, dalam situasi seperti saat ini, Windraya tak bisa berbuat apa-apa. Dia harus pa

  • Istri Siri Tuan Pewaris   Diam

    Sontak, ketiga pria di ruang tamu langsung menoleh ke sumber suara. Sosok Ranum muncul sambil menggendong Elok. Dia datang ditemani Celia. Ibu muda itu memandang Windraya, dengan tatapan tak dapat diartikan."Ranum?" Windraya menatap tak percaya. Sebenarnya, dia ingin langsung menghambur dan memeluk wanita itu. Namun, Windraya berusaha menahan diri.Ranum melangkah tenang ke dekat Bastian. "Maafkan saya, Pak. Padahal, saya sudah mengatakan akan bekerja di sini sebagai tanda terima kasih. Namun, saya justru ...." Ranum tak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa tak enak yang menyelimuti hati wanita muda itu."Tidak usah dipikirkan, Mbak. Saya memberikan bantuan tanpa mengharap imbalan apa pun. Saya senang karena Mbak Ranum dan Elok sehat," balas Bastian tulus."Bagaimanapun juga, Mbak Ranum harus kembali kepada suami. Apalagi, Elok sudah terlahir ke dunia. Dia membutuhkan sosok orang tua, yang nantinya akan membimbing dan memberikan segala yang terbaik," ujar Celia menimpali."Terima kasih,

  • Istri Siri Tuan Pewaris   Pulang

    “Apa maksudmu berpisah?” Tatapan Windraya menyiratkan rasa tak mengerti. Dia juga tak suka mendengar ucapan Ranum. “Meskipun pernikahan kita tidak diakui secara hukum negara, tetapi Anda tetap harus menceraikan saya —”“Tidak!” tolak Windraya tegas. “Aku tidak akan pernah melakukan itu!”“Saya ingin berpisah, Pak,” desak Ranum tak kalah tegas. Menghadapi sang istri yang keras kepala, membuat Windraya kembali kehilangan kesabaran. Dia meraih lengan sebelah kanan Ranum, mencengkramnya cukup erat. “Sudah kukatan agar jangan bermain-main denganku, Ranum. Kamu tidak akan menyukainya!”“Saya tidak peduli lagi, Pak,” balas Ranum. “Lebih baik Anda pergi dari sini sekarang juga,” usirnya penuh penekanan.“Tidak tanpamu dan Elok,” tolak Windraya tegas.“Tapi, saya tidak bersedia. Saya akan tetap berada di sini.” “Jangan keras kepala, Ranum. Jangan sampai aku memaksamu —”“Itulah yang biasa Keluarga Sasmitha lakukan. Memaksakan kehendak mereka pada orang lain,” sela Ranum. Dia melepaskan ceng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status