Maaf lama update. 🙏
Kutatap lamat-lamat wajah itu, rasanya lidahku hambar menyentuh mi yang masih mengepulkan asapnya. Pesan dari Andeen masih berputar di kepala seolah menggorogoti seluruh rasa penasaranku. “Kenapa?” Suara bariton Pak Zaid menyentakku dari lamunan. Lelaki itu mengangkat satu alis seraya melirik ke arah mangkuk mi yang sejak tadi ternyata hanya kuaduk tanpa memakannya. Menghela napas pelan, perlahan kudorong sedikit ke depan mangkuk yang isinya masih utuh. “Enggak selera,” komentarku seraya menggeleng. Pria dengan alis tebal memayung itu mendengkus sebelum berdiri pergi ke kamar. Melihat tingkahnya membuat perasaan bersalah menyerangku. Menatap nanar dua mangkuk mi yang belum tersentuh, perlahan aku meraih kembali mangkuk mi yang sudah susah payah dimasak sama Pak Zaid. Baru sesendok mi dan kuah kucicipi, lengan sudah dicekal saat satu sendok lagi hendak kembali masuk ke mulut. Sontak aku mendongak, mengernyit mendapati Pak Zaid sudah berdiri di samping dengan celana pendeknya te
Aku tidak tahu apa masalah lelaki itu. Dari pagi diam dan memilih menyendiri di kamar, hanya beranjak saat azan berkumandang atau ketika dipanggil makan. Awalnya aku tidak mau ambil pusing. Lagian hampir seharian juga aku sibuk membantu di rumah Bibi dan baru kembali lagi saat Magrib tadi. “Pak!” Kucoba beranikan diri memulai obrolan dengan Pak Zaid. Laki-laki dengan celana selutut dan kaos hitam itu bergumam. Tatapannya masih lurus, fokus, melotot malah ke HP-nya. Pengen aku banting saja itu barang. Gemas juga lama-lama. “Mas Zaidan!” Kali ini bukan hanya Pak Zaid yang tersentak, tapi aku juga. Berdeham sebentar, kucoba menurunkan volume suara. “Bapak enggak mendadak budeg, 'kan? Aku manggil loh, dari tadi!” Pria itu berdecak, lalu pandangannya kembali ke handphone. Jadi aku beneran dicuekin, nih? Satu alisku benar-benar terangkat. Ini salahku di mana, sih? Tiba-tiba saja dimusuhi begini. Perasaan kami baik-baik saja tadi pagi, bahkan sempat bekerja sama membersihkan rumah, per
“Mas ... Andine hamil?”Lelaki itu menatapku datar, entah bagian mana dari pertanyaanku yang mengundang masamnya wajah itu.“Kenapa tanya begitu? Itu bukuran urusanmu.”Harusnya aku sudah bisa menerka dengan jawaban lelaki itu. Namun, bukan hanya di luar ekspetasi, tapi ucapannya sukses membuatku tertampar.Kayaknya memang aku harus lebih belajar lagi buat tahu diri.Perlahan aku bergerak pelan, keluar dari dekapannya yang menyisakan rasa tidak rela di hati. Agak ngeri melihat ruangan yang gelap ditemani bising hujan, kuputuskan memejamkan mata usai berbalik memunggungi pria itu.Aku capek, entah bagaimana rasanya badan ini dua kali lebih lelah dan itu baru terasa usai melepaskan diri dari pelukan Pak Zaid. “Maaf ya, Pak udah lancang,” lirihku pelan sebelum berusaha masuk ke alam mimpi.***Acara tujuh malamnya almarhum Paman dihadiri banyak tetangga dan keluarga besar dari Bibi dan Paman. Tahlilan kali ini agak dibuat besar membuatku dan para tetangga yang datang membantu bekerja cu
Pagi-pagi alisku sudah dibuat mengernyit melihat senyum Agung yang kelewat lebar. Tumben-tumbennya itu anak pasang muka seramah itu. Biasanya juga kalau bukan senyum sekilas saat berpapsan denganku, dia paling mengangguk sopan.Tidak mau ambil pusing, aku menggeleng pelan melanjutkan langkah menuju dapur. Namun, saat berada dekat dengannya kaki dibuat terhenti mendadak kala mendengar bisikan anak itu.“Cie ... yang keramas pagi-pagi.”Lah, anehnya di mana coba keramas pagi-pagi? Ini aku sudah hampir tiga hari tidak keramas dan kemarin tidak sempat padahal kepala keringetan pas bantuin masak di acara tahlilan.“Apa, sih, Gung! Enggak jelas kamu!” cebikku sambil lalu.Anak itu cuman cekikikan, lalu melenggang dengan handuk di pundak. Beberapa saat aku memeperhatikan gelagatnya saat berpapasan dengan Pak Zaid yang baru keluar dari kamar mandi. Remaja yang hanya memakai celana bola selutut itu melempar senyum dengan alis naik-turun pada Pak Zaid.“Seger ya, Kang keramas pagi-pagi?” katan
“Sayur asemnya enak, Reen?” Pertanyaan Mpok Yanti kubalas anggukan sembari mengulas senyum. Tatapan yang sempat beralih pada wanita yang sedang mengupas buah mangga itu, kini kembali jatuh pada benda pipih yang masih sama layarnya. Tidak ada yang menarik di sana. Hanya layar hitam, menyala ketika masuk notifikasi dari g*ogle atau inst*gram. Namun, mataku nyaris tidak mau berpaling.“Mangganya, Reen.”Sekilas kulirik piring berisi rujak mangga, sambal kacang melumer tampak menggiurkan. Makanan yang tadi pagi membuat Pak Anton—tukang kebun—terpaksa memanjat pohon mangga di belakang rumah kini tidak berselera lagi dipandang. “Kok, malah bengong sih, Nduk?”Tidak enak membiarkan hasil kerja keras Mpok Yanti tidak tersentuh, aku menarik piring mendekat. Anehnya, pas buah asam itu menyentuh lidah, yang terasa malah hambar.“Dia ke mana ya, Mpok? Mereka balik lagi, kan?” Tatapanku kosong ke arah piring berisi potongan mangga dan jambu.“Siapa? Tuan Zaid sama Nyonya Andine?”Mendengar dua
“Siapa ayahnya, hah?!” bentak Zein begitu tiba di depan keluarga yang sedang duduk di sofa.Aura-aura berseri penuh haru tadi, berubah bingung. Namun, bukan itu yang menjadi fokusku melainkan wajah berang perempuan berambut cokelat yang sedang menggenggam tangan Andine.“Ngomon apa kamu, hah?!” Suara Bu Mareta menggelegar, mata perempuan itu menyala-nyala bagai barai api yang siap melalap putra bungsunya.Aku sampai gemetar sembunyi di balik punggung lebar milik Zein. Biar anak itu yang menghadapi berangnya Bu Mareta, siapa suruh buat rusuh. Lagian kenapa dia harus pertanyakan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya? Dasar tukang onar! “Mama, yakin mantu Mama itu perempuan baik-baik?”Belum kapok, Zein justru malah memperkeruh dengan pertanyaan ngaurnya. Setidak sukanya dia dengan Andine, bukan berarti harus membuat wanita itu buruk di mata orang lain apalagi di mata mertuanya sendiri. Andine wanita terpelajar dengan latar belakang keluarga baik-baik. Rasanya tidak etis bila pertanya
“Kalau soal hubunganmu sama mas Zaid sewaktu SMA?”Aku tidak bisa berhenti batuk setelah pertanyaan itu keluar. Hingga air mengalir ke kerongongan barulah aku bisa bernapas lega. Kemudian menatap Andine canggung.“Kamu tahu dari mana kalau—” Pertanyaanku yang terlontar dengan nada ragu terpotong oleh Andine.“Mas Zaid suamiku, Reen. Jelaslah aku tahu.”Jadi secara tidak langsung dia mau bilang kalau suaminya itu yang mengatakannya langsung. Sehebat itu ternyata hubungan mereka sampai hal tidak penting begini pun dibagi juga sama Pak Zaid. Benar-benar suami yang terbuka!“Kami hanya teman sekelas.” Aku mengusap tengkuk yang tertutup jilbab instan saat hanya mendapati anggukan dari Andine. Tidak mau dapat pertanyaan lain lagi, kuputuskan pamit ke kamar karena rasa kantuk juga sudah menyerangku.***“Yang ini mau juga enggak, Mbak?” Aku menghela napas melihat susu kotak yang disodorkan Zein. Sudah ada 10 kotak susu rasa cokelat yang dia masukkan ke keranjang karena sisanya aku kembalika
Helaan napasku berembus pelan usai berberes di ruang kerja Mas Zaid. Ruangan yang kali ini sedikit berantakan.Lelaki itu memang selalu rapi, bahkan ruang kerjanya saja nyaris selalu tampak bersih dan teratur. Namun, di beberapa kondisi ruangan ini bisa berubah bentuk layaknya gudang dengan tumpukan berkas atau kertas yang berserakan hingga lantai dekat kaki meja. Hal itu akan terjadi bila Pak Zaid sampai harus begadang karena kerjaan.“Capeeek!” rengekku setelah menghempaskan tubuh ke kursi di balik meja kerja Pak Zaid. Beberapa hari belakangan, laki-laki itu terlihat sering menghabiskan waktu di rumah. Bila malam menjelang, tempatnya akan berada di sini. Siapa lagi penyebab dia bertingkah begitu kalau bukan karena istri tercinta.Andine sedang hamil muda, kadang wanita itu ngidam macam-macam. Sebagai sosok suami yang baik, Pak Zaid siap sedia. Lelaki itu bak pengangguran nyaris 24 jam berapa di rumah empat hari belakangan.“Aku juga lagi hamil padahal, tapi enggak tuh, diperhatiin