Share

Bab 6: Capek

Author: Ana_miauw
last update Last Updated: 2024-02-07 20:14:42

Tanpa Nabila sadari, dia turun dari mobil Dewa dengan mata yang sembab. Dan tersebut disadari oleh teman satu timnya yang kini memberikan sebotol concealer padanya.

“Nabila kurang tidur atau abis nangis?” tanya wanita itu.

“Oh, makasih, Mba.” Nabila terlebih dahulu menerimanya, barulah dia menjawab pertanyaan Risa barusan, “Dua-duanya.”

“Ya, ampun. Mengsad banget, sih.”

Nabila tersenyum sumbang.

“Berat banget ya, masalahnya?”

“Lumayan.” Namun bukannya membaik, mata kurang ajar Nabila malah semakin membanjir. Ya, beginilah memang Nabila yang Dewa kenal, dia memang perempuan yang sangat perasa dan sensitif.

Bayangkan, dia bahkan sudah memendamnya sendiri selama bertahun-tahun.

“Nggak papa, Bil. Puasin aja nggak usah ditahan biar hati kamu lega.”

“Nabila, motormu akhirnya nginap di bengkel. Ternyata bukan Cuma akinya yang—” ucapan Aditya terhenti ketika dia mendapati apa yang terjadi di balik meja bawahannya.

“M-maaf, Pak. S-saya, nggak profesional,” sahut Nabila buru-buru menghapus air matanya. Perasaannya langsung berubah tidak enak.

Sungguh, Nabila tak berniat menjual kesedihan di sini yang dapat membuat teman dan atasannya itu nampak iba padanya.

Tak setuju dengan apa yang Nabila katakan, Risa segera menyanggah karena dia yang memerintahkannya. “Nggak, Pak. Nabila udah berusaha profesional tadi, saya yang nyuruh dia supaya keluarin aja biar lega. Wajar kan, namanya orang hidup pasti punya masalah.”

“Kalau lagi nggak mood bisa dibawa makan dulu, Bila. Udah sarapan belum?” kata Aditya seolah tak mempermasalah hal tersebut.

“Udah kok, Pak. Tadi saya minum roti sama makan susu,” jawab Nabila membuat kedua orang yang ada di dekatnya itu seketika tertawa. “Eh, Ya Allah, aku salah omong, ya?”

“Kamu lagi kacau banget kayaknya, Bil. Istirahat aja dulu deh, ngopi-ngopi dulu di pantri, yuk!”

“Ikut Risa, Bil. Ngopi dulu aja atau cuci muka di atas. Baru nanti kalau udah baikan kita bahas peluncuran produk baru,” kata aditya membuat Nabila mengangguk setuju.

** *

Nabila baru selesai melaksanakan rapatnya yang dihadiri oleh Aditya selaku direktur ADT Media, sekretarisnya, manajer pemasaran, manajer produksi beserta para asistennya.

Rencananya, ADT Media akan meluncurkan produk terbaru dan tentunya, Nabila-lah yang akan menjadi penulis naskah syuting iklan tersebut.

Jadi Nabila diperintahkan terjun langsung ke lokasi untuk mengatur dan memberikan pengarahan pada pemain ataupun pengisi acara. Agar mereka dapat memindahkan secara efektif yang tertulis di dalam naskahnya dalam bentuk visual.

Tidak main-main. Meski perusahaan ini masih terbilang kecil, namun pangsa pasarnya adalah perusahaan-perusahaan besar. Jadi semua karyawannya dituntut untuk produktif dan mampu berinovasi sesuai perkembangan zaman.

Nabila sangat sungguh-sungguh dalam hal ini. Ia selalu totalitas dalam pekerjaannya. Mengerahkan semua tenaga dan pikirannya demi perusahaan.

Hingga tak sampai tiga minggu iklan ini selesai dibuat, Nabila pun mendapatkan apresiasi.

Klien sangat puas dengan kinerja ADT Media. Iklan dari skrip naskah yang Nabila buat, sangat menarik dan sangat memaksimalkan iklan brand mereka.

Sebagai penulis naskah yang baru, Nabila tergolong karyawan yang sangat cerdas. Sebab dengan cepat, dia mampu menguasai bidangnya walaupun belum pernah memiliki pengalaman.

Aditya merasa diuntungkan dengan masuknya Nabila ke dalam ADT Media. Karena dia yakin, Nabila bakal memajukan perusahaannya ke depan.

“Apa ya, bonus yang tepat buat kamu?” kata Aditya pada Nabila suatu hari, “kalau saya kasih barang, nanti kalau suamimu tau, bisa mikir yang macem-macem. Traktir makan juga udah biasa.”

“Mentahnya aja, Pak,” canda Nabila.

“Oh iya, ya. Saya nggak kepikir.”

“Eh, Pak. Saya bercanda lho, ini.”

“Tapi saya serius. Nggak papa, nanti saya kirim sekalian barengan sama gaji kamu, ya.”

“Terima kasih, Pak, terima kasih,” kata Nabila sangat tulus.

Aditya mengangguk.

Nabila tidak mengambil lembur hari ini meskipun pekerjaannya masih cukup banyak. Dia rindu dengan Zaki yang tadi pagi menangis saat dia tinggal bekerja. Entah apa sebabnya, tidak biasa-biasanya Zaki seperti itu.

“Baiklah, Zaki. Kita sekalian pergi aja ya, Nak. Hari ini Ibu dapat gaji sama bonus, jadi Zaki harus dapat hadiah juga.”

Nabila tiba tepat waktu azdan berkumandang. Dilihatnya, ibu mertua baru saja memandikan sang anak dan seperti biasa, wanita itu pasti mengeluhkan semua kebandelan Zaki hari ini pada dirinya.

Nabila dengan sabar mendengar semua curahan hati Adawiyah. Sebab jika ia sarankan untuk dimasukkan ke daycare saja, Adawiyah malah memarahinya balik.

Mengatakan bahwa Nabila tak menyayangi anaknya sendiri dan lebih mementingkan pekerjaannya. Jadi serba salah, bukan?

Padahal sudah Nabila jelaskan berulang kali. Mau sampai bibir Adawiyah dower pun, Nabila tetap tidak akan mengubah keputusannya.

Nabila akan tetap menggeluti pekerjaan ini sampai semua perencanaan yang sedang disusunnya matang sempurna.

Saat ini, Nabila sudah mengantongi uang senilai 35 juta rupiah dari hasil pekerjaannya selama dua bulan.

Butuh sekitar kurang lebih tiga bulan lagi agar Nabila bisa pergi dari rumah ini. Setelah dipastikan dia bisa men-DP rumah dan mencicil kisaran empat sampai lima juta per bulannya.

Nabila sedang mencari hunian barunya sekarang. Dia berharap, bisa mendapatkannya tak jauh dari kantornya bekerja.

** *

Nabila dan Zaki pulang dari Mall hampir jam sepuluh malam. Mereka menaiki taksi, saat Zaki sudah terlelap di pangkuannya.

“Lihat, Wa. Masa jam segini baru pulang. Anak sampai ngantuk-ngantukan gitu demi nemenin ibunya nyalon sama belanja,” kata Adawiyah setibanya sang menantu di rumah.

Nabila meletakkan satu jarinya di bibir, bermaksud meminta mereka untuk tak berbicara dengan suara keras.

“Habis dari mana saja kamu, Nabila?” ayah mertuanya ikut menegur. Padahal biasanya lelaki itu selalu diam dan tak pernah ikut campur.

“Kami dari Mall, Yah,” jawab Nabila lirih, “maaf semuanya, Bila izin antar Zaki dulu ke atas, ya.”

“Istri kamu itu loh, Wa. Makin lama makin keterlaluan sama mertua. Udahlah nggak pernah ngobrol atau basa-basi lagi sama kita, ngomongnya singkat-singkat. Dia Cuma sibuk sama dirinya sendiri,” Adawiyah semakin mendramatisi keadaan. Menyiram bensin di tengah kobaran api yang menyala-nyala. Hingga membuat panas semakin membara.

“Nggak gitu padahal, Mas. Tiap Bunda lagi ngomong, aku selalu jawab, kok.” Nabila menatap suaminya yang sedari tadi hanya diam saja. Sebelum kini Nabila beralih menatap kedua mertuanya secara bergantian. “Maaf kalau Bila ada salah Yah, Bun....”

“Bun, udah,” sergah Dewa akhirnya bersuara setelah dari tadi hanya menjadi penyimak. “Biarin Nabila tidurin Zaki di kamarnya dulu, kita ngobrol lagi nanti.”

Adawiyah sudah hampir mencerca Nabila lagi seandainya Dewa tak kembali menahannya.

Namun Nabila yang kala itu lelah dan sedang tak memiliki energi untuk berdebat, memilih untuk tak kembali dan justru tidur bersama Zaki.

Sehingga paginya, Bunda semakin murka karena menurut penuturannya, semalam mereka menunggunya cukup lama.

Lagi-lagi Nabila meminta maaf, tapi ibunda mertuanya yang sudah terlanjur kesal sudah tak lagi menjawab.

Mereka mendiamkannya sampai seminggu berlalu. Meski Nabila sudah berusaha untuk memulai pembicaraan lebih dulu.

Pada suatu waktu, Nabila menemui Dewa untuk menanyakan kejanggalan ini, “Kapan Bunda sama Ayah pulang ya, Mas? Apa renovasi rumahnya belum selesai juga?”

“Nggak tau,” sahut Dewa acuh.

“Kalau boleh jujur, aku udah merasa nggak nyaman. Di diamkan kamu saja aku tertekan, apalagi sampai tiga orang sekaligus. Udah untung aku nggak sampai gila, Mas,” lanjut Nabila dan detik berikutnya, dia menambahkan, “eh, tapi kan ini rumahmu ya, Mas. Mau di sini selamanya juga hak mereka, mereka kan orang tuamu. Yang seharusnya pergi justru aku, aku cuma orang lain yang lagi numpang hidup sama kamu.”

Nabila menjeda kalimatnya. Menunggu tanggapan dari Dewa yang tak bisa dia harapkan.

“Kalau gitu, biar aku aja yang pergi ya, Mas. Mungkin udah cukup tiga tahunnya. Ternyata aku nggak sekuat itu, aku udah capek....”

Ungkapan Nabila barusan membuat Dewa seperti tertusuk duri tak kasat mata.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Nyesek bacanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 125: Tamat

    “Udah ah, Mas. Capek.”Aditya menghentikan langkahnya ketika mendengar Nabila mengeluh. Ditatap nya sang istri yang kini sudah terdengar ngos-ngosan, sedang satu tangannya mengusap perut besarnya. Sembilan bulan usia kandungannya membuat dia menjadi semakin malas-malasan. Hobinya rebahan dan makan-makan camilan. “Baru juga jalan lima menit, Sayang. Kan kata dokter kamu harus lebih banyak jalan biar peredaran darahmu lancar. Kalau kamu mageran baby nggak akan turun-turun panggul kan?”“Aku nggak males, Mas. Tapi emang udah capek aja. Capek banget. Pengen minum, tapi yang manis-manis.”“BB-nya adek itu udah agak berlebih. Tadi pagi kan Bila sebelum sarapan udah minum teh manis. Masa sekarang mau minum yang manis-manis lagi?”“Ini anak kamu yang pengen loh, Mas. Jahat banget sumpah kalau nggak dibolehin.” Nabila langsung ngambek. Astaga... capek sekali loh, Aditya menjaga istrinya dari makanan-makanan yang manis. Ya, anak mereka berjenis kelamin perempuan. Pantas kalau masih di dalam

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 124: Go Public

    Harusnya sih, harusnya. Setiap kali ada karyawan lama yang akan resign, mereka pasti akan mengadakan acara kumpul-kumpul untuk perpisahan. Ya mungkin sekedar untuk makan-makan traktiran, spesial dan terakhir dari orang yang akan resign itu.Tapi karena posisinya berbeda--lebih tepatnya Nabila bukan seorang karyawan yang sederhana nya, disukai oleh banyak orang meskipun dia berprestasi, jadi yang ditraktir makan siang hanya satu orang, yakni Risa.Gadis itu sangat senang setelah mengetahui bahwa ia akan ditraktir sepuasnya. Bahkan diperbolehkan membawa makanannya pulang untuk keluarga di rumah. Nabila bilang, ini spesial untuknya karena hanya dirinya satu-satunya orang yang mendapatkan hadiah tersebut. Dari uang pesangonnya yang masih banyak. “Bukan cuman uang pesangon, Bil. Tapi uang bulananmu dari Pak Bos juga pasti nilainya nggak kecil kan?”“Ya, alhamdulillah...”“Berapa kamu dikasih sama suamimu, Bil? Kasih aku bocoran tipis-tipis lah, aku beneran pengen tahu.”“Dia nggak kasih

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 123: Baperan Banget

    Ok, satu persatu persoalan Nabila sudah selesai. Siapa ayah kandung Zaki, bagaimana dulu itu bisa terjadi dan ke mana para pelaku dihukum saat ini, semua sudah dibereskan. “Kecuali satu, Bil. Ya, cuma tinggal satu aja, beresin anggota tim kamu yang rese itu.” “Kayaknya kalau itu nggak usah deh, Mas. Toh, aku juga yang salah karena aku dah wara-wiri nggak masuk kerja. Lagian kalau mereka tau aku udah nikah mereka nggak bakalan ngomong gitu.” “Kamu boleh bilang nggak papa, tapi sebagai suamimu aku nggak suka istri kesayanganku digituin. Tetep aja mereka bakalan kukasih sanksi nanti.” Aditya sama sekali tak goyah dengan ketidak tegaan Nabila. “Kan aku juga udah mau keluar sih, Mas. Besok terakhir.” “Kelakuan mereka pasti nggak akan jauh beda ke anak baru nantinya.” “Belum tentu," sahut Nabila segera, “udahlah, Mas. Aku yakin mereka cuma lagi capek aja kemarin. Sebelumnya nggak pernah, kok. Soalnya aku cuti terus, jadi ya wajarlah kalau mereka marah.” “Biar itu jadi urusanku, Bil.

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 122: Kondusif

    Karena kabarnya Zaki dan Mama Dina ada di rumah Ami Safira, jadi Nabila dan Aditya langsung menuju ke sana. Namun tepat mereka sampai di sana, bukan hanya Mama Dina dan Zaki yang mereka dapati, tapi juga Papa Rudi. “Loh, kok, Papa ada di sini juga?” Nabila tak bisa menahan diri untuk bertanya. “Iya kebetulan Papa ada urusan sama beliau.” Lelaki itu mengerahkan pandangannya pada Ami Safira. “O-oohh?” dari nada suaranya, Nabila terdengar bingung. Anak itu sebenarnya sangat penasaran, ingin bertanya ada apakah gerangan urusan yang dimaksud oleh Papanya. Sebab sebelumnya mereka tidak saling mengenal, baru kenal pertama kali setelah Ami Safira datang ke rumah. Nabila takut Papanya sedang bertindak jauh tanpa persetujuannya lebih dulu--yang pada akhirnya akan merugikannya sebagai seorang menantu. Tapi kemudian buru-buru Nabila menepis pikirannya yang buruk itu. Tidak mungkin lelaki yang selalu memiliki perencanaan sangat matang tersebut, melakukan tindakan memalukan di bawah ha

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 121: Aku Sebenernya...

    “Hayooo, abis ngapain baru dateng langsung cuci tangan?” Sebuah suara dari belakang mengejutkan Nabila yang tengah menyabuni tangannya di depan wastafel.Bukan, bukan karena dia kagetan. Tapi karena pemilik suara itulah yang membuat dia terkejut sekaligus senang setengah mati. Karena salah satu bestie nya sudah kembali ke kantor lagi. Hingga dia bisa berbagi cerita dan bersenda gurau bersamanya. “Oh my God, Risaaa!” langsung saja Nabila memeluknya yang di balas dengan putaran bola mata. “Iyuhh, apaan sih? Lebay amat punya teman. Baru ditinggal sehari aja langsung gila. Awas ah, risih gue dah kaya lesbong aja kita,” ujarnya. Namun bukan teman namanya kalau langsung tersinggung. Perkataan-perkataan nyelekit itu sudah biasa keluar dari mulut Risa. Makanya Nabila sudah tidak pernah kaget lagi jika Risa mencibirnya ratusan kali pun. “Kamu kali yang gila. Lagian dipeluk temen bukannya seneng. Itu artinya kamu dikangenin.”“Males dikangenin sama kamu! Mending dikangenin sugar daddy.”“

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 120: Say Papa

    “Kita nanti main, yuk!”“Mau main ke mana?”“Jaki mau berenang di rumahnya Nainai.”“Boleh ... kapan?” agar Aditya bisa menanggapi secara penuh permintaan Zaki barusan, ia menjauhkan benda yang sedari tadi menjadi fokusnya ke meja, yakni si setan gepeng. “Besok yah?” kedua bola mata Zaki berbinar penuh pengharapan. “Tapi besok Papa sama Ibu kerja, Nak. Gapapa ya, kalau berenangnya cuma ditemenin sama Nainai?”“Hu'um.” Zaki kemudian naik ke atas pangkuan Aditya untuk berbisik, “Boleh tonton spidermen ga, tapi yang anak gede.”Mungkin yang Zaki maksud adalah Spiderman yang versi orang dewasa, bukan kartun. Tapi yang Aditya tahu, Nabila belum membolehkannya karena Zaki belum cukup umur untuk menyaksikan. “Ngga boleh, Nak. Yang gede buat anak gede, kalau anak kecil bolehnya nonton kartun.”“Dikit aja, Om ... eh, Pa?”Berdebar hati Aditya begitu Zaki memanggilnya dengan sebutan Papa. Ini pertama kalinya meskipun Zaki tampak ragu-ragu saat mengucapkannya. “Apa tadi manggilnya? Coba Pa

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 119: Sudah Mengetahui Semuanya

    “Dari mana, Bil? Papa sama Mas Ditya pergi, kamu juga,” tanya Mama Dina ketika Nabila baru saja tiba di rumah. “Iya, ada keperluan bentar,” jawab Nabila, “si bocil nggak bangun kan?”“Nggak kedengaran nangis sih.” Mama Dina mematikan kompornya dan memberikan kuah sup daging buatannya pada Nabila untuk anak itu cicipi. “Gimana rasanya? Udah pas? Udah enak? Kurang apa?”“Kurang banyak, Ma. Kurang kalau sesendok doang.”Mama Dina terkekeh. Sebab jawaban itu menandakan bahwa masakannya telah berhasil. “Ya udah kalau Bila mau ya ambil aja. Nggak usah nunggu nanti. Nanti bayimu malah kelaperan.”“Mama sama Ami nih, sama aja. Sama-sama ngebet aku buruan punya bayi. Baru juga seminggu kita nikah.”“Namanya juga orang tua. Nggak sabar liat anak-anaknya bahagia.”“Iya, tapi nggak mau diburu-buruin juga, Ma. Aku juga tadinya pengen cepet, tapi belakangan setelah liat postingan temen yang ngeluh berapa repotnya ngurus baby born, aku baru nyadar kalau punya anak bayi tuh capek. Padahal dulu perju

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 118: Sidang

    “Kamu tahu kenapa Papa ngajak kamu ke sini?” tanya papa Rudi tegas. Sekarang keduanya sudah berada di bengkel, tepatnya di ruangan khusus biasa Papa Rudi mengurus segala rekapitulasi dan evaluasi bengkelnya. Mereka duduk berhadapan, dengan Aditya yang kini menunduk dalam menanti semua rahasia besarnya akan terungkap. Dalam hati ia tersadar, betapa nikmat hidupnya sehari-hari yang selalu bisa bernapas lega, tapi ia tak pernah mensyukurinya. Giliran sudah diberi pelajaran ini saja, dia baru mengaku membutuhkannya dan meminta agar nikmat itu kembali. “Karena Zaki?” jawab Aditya langsung saja. Hingga tak lama Pak Rudi mengangguk, mengiyakan dugaannya. Sudah tak ada lagi pilihan untuk Aditya selain berterus terang. Memangnya kapan lagi dia bisa mendapatkan momen yang pas? “Maaf, Pa, mungkin ini terdengar sangat mengejutkan. Karena orang yang selama ini papa cari-cari, ternyata malah ada di depan mata dan jadi menantu Papa sendiri.” “Papa kecewa sama kamu!” Namun kendatipun b

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 117: Mencurigainya

    Nabila tiba di rumah ketika mendapati Zaki tengah menangis sangat kencang sampai tak bisa terlolong oleh Mama Dina.Ah, kasihan sebenarnya wanita tua itu. Pasti puyeng sekali mengurusi anaknya yang belakangan gampang banget tantruman ini. Bocah itu mengatakan ingin ikut berenang temannya--anak tetangga sebelah. Tapi mamanya tak mengizinkan karena beliau merasa harus meminta izin pada Nabila. “Lagian harus banget sekarang ya, Nak? Kan bisa besok. Ini udah sore, bentar lagi juga magrib. Emangnya nggak takut sama hantu penunggu kolam itu?”“Nggak! Jaki ngga mau ada hantunya!” teriaknya membalas bujukan sang ibunda. “Ya udah, makanya besok aja renangnya.”“Huwaaaaa! Maunya Jaki sekaraaaanggg! Tapi ngga mau yang ada hantunyaaa!" serunya dengan lebih keras. Nabila jadi berang. “Heh, nggak usah teriak-teriak bisa kan?""Biarin?! Ibu jahat?! Jaki ngga suka sama ibuu?!" Brakk!Sebuah mainan terlempar dari tangannya. "Ibu heran ya sama Zaki yang sekarang. Nyebelin kelakuannya yang apa-apa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status