Seketika dadaku bergemuruh panas, ada yang nyeri di ulu hati.
"Dek, kamu sudah bangun?"
Aku berusaha menetralkan rasa, agar mereka tak tahu kalau aku tengah cemburu.
"Sini Mas, biar aku saja yang suapin istriku," lanjutku sembari mengambil piring darinya.
Bang Panji masih menatapku tajam. Begitupun Lili, dia hanya memandang kami secara bergantian.
"Wajahmu kenapa, Mas?" tanyanya dengan lirih.
Senyumku mengembang mendengar perhatian dari Lili, dia masih mengkhawatirkanku.
"Tidak apa-apa, dek. Ayo makan dulu."
"Aku gak mau mas," tolaknya.
"Tapi dari tadi kan belum makan."
"Sini, biar aku saja yang nyuapin adikku makan."
Bang Panji meraih piring itu dariku.
"Kalian pergilah keluar dulu, kami mau bicara empat mata," tukas Bang Panji.
Bang Panji pasti ingin mengorek informasi tentang Lili saat berada di rumah. Duh, mampus aku kalau Lili mengadukan semuanya.
Dengan berat hati, kutinggalkan adik dan kakak itu berdua. Perasaanku was-was dan juga khawatir. Apa yang akan Lili adukan?
"Kenapa kau jalan mondar-mandir seperti itu? Duduklah," tegur teman Bang Panji.
Aku menoleh ke arahnya lalu tersenyum simpul.
"Oh iya mas. Ngomong-ngomong mas sudah kenal keluarga Bang Panji berapa lama?"
"Dari kecil," jawabnya singkat.
"Oh, teman masa kecil Bang Panji?"
"Ya, sama Lili juga."
"Kok aku baru tahu ya kalau Lili punya teman kecil laki-laki."
"Aku sudah merantau lama di luar pulau. Sekarang memang lagi pulang. Ada proyek pekerjaan dengan kakak iparmu."
Aku manggut-manggut mengerti. Ternyata dia teman masa kecil Lili, pantas saja mereka sudah saling kenal.
"Ngomong-ngomong nama mas siapa?" tanyaku b**a-basi.
"Panggil saja Raffa."
"Salam kenal Mas Raffa, aku Azzam. Dulu waktu kami nikah, Mas Raffa gak dateng kan? Soalnya aku baru lihat."
Dia tersenyum. "Enggak, aku merantau lama kok, baru pulang sekarang."
Aku mengangguk sambil tersenyum. Suasananya kok jadi canggung begini ya.
*
"Bang Panji sama Mas Raffa pulang saja. Lili biar aku yang jaga, dia tanggung jawabku," ucapku.
Melihat dua orang laki-laki itu tampak kelelahan. Bang Panji menyandarkan tubuhnya di kursi tunggu, sedangkan Raffa masih sibuk dengan handphonenya.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Bang Panji menoleh ke arahku.
"Aku takkan mengulangi kesalahan yang sama, meninggalkan adikku dengan orang yang sudah mengabaikannya."
Deg! Lagi-lagi Bang Panji menyindirku. Kalau sudah begini, aku tak mampu mendebatnya lagi. Toh memang benar, dulu aku begitu, kurang respek pada Lili.
*
"Bang, aku titip Lili. Aku pamit mau pulang dulu, ambil baju-baju sama sepertinya aku harus berangkat ke kantor, sudah lima hari izin."
"Ya pulanglah anak mami, kalau bisa gak usah kembali," sahut Bang Panji menyindirku.
Bang Panji pasti sudah tahu semuanya, tentang aku dan sikap ibuku pada Lili.
"Dek, mas pamit pulang dulu, sekaligus langsung berangkat kerja. Kamu gak apa-apa kan ditinggal?"
"Bukankah biasanya juga seperti itu?"
Deg! Jawabannya cukup mengusik hatiku.
"Kalau mau kerja, kerja saja Mas. Gak usah khawatir, biasanya juga gitu kan? Tenang saja disini udah ada Bang Panji dan Mas Raffa," sahut istriku.
Aku mengangguk.
*
Sampai di rumah
"Nak, kamu udah pulang? Itu wajahmu kenapa pada memar begitu? Terus Lili mana?" tanya ibu menyambutku.
"Di rumah sakit."
"Ibu susul dia ke rumah sakit ya!"
"Tidak usah Bu. Disana ada kakaknya Lili."
"Oh."
Masuk ke ruang tengah, kudapati Icha sedang menyantap makanan sambil menonton TV.
"Lho, Bu, kok dia belum pulang juga?" tanyaku dengan nada setengah berteriak.
Ibu menghampiriku sedangkan Icha tampak gelagapan.
"Nak, biarin aja adikmu disini. Kasihan. Ibu janji, dia gak akan malas-malasan lagi."
"Ckck!"
Berlalu ke kamar, merebahkan diri sebentar, rasanya begitu lelah sekali. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul enam pagi. Gegas aku mandi, mengguyur tubuh yang penat ini dengan air shower. Dingin dan kenyejukkan. Biasanya selesai aku mandi, baju ganti sudah siap diatas tempat tidur, aku tinggal memakainya sambil menghirup aroma wanhi sabun serta parfum di kemejaku. Ah Lili, aku benar-benar rindu saat kamu sehat. Kamu yang melakukan segalanya jadi mudah.
Selesai berganti pakaian, akupun memasukkan baju ganti ke tas ransel. Biar aku tak bolak-balik pulang ke rumah saat Lili dirawat.
Perutku sudah mulai terasa lapar, tapi aku yakin tak ada makanan apapun diatas meja. Tadi saja Icha menyantap mie instan sendirian, dasar anak pemalas itu, sampai kapanpun takkan pernah berubah.
Sejenak saja, hari sudah terang benderang. Jangan sampai aku telat, udah beberapa hari ini aku tak berangkat ke kantor. Walaupun rekan kerja serta bosku tahu kalau aku sedang terkena musibah dan kabar duka, tapi dimana kredibilitasku sebagai seorang pegawai yang rajin? Aku belum siap dipecat, bagaimana kehidupan keluargaku nantinya?
*
Sore harinya sepulang bekerja, kulajukan mobilku membelah jalanan menuju rumah sakit. Tak sabar rasanya untuk menjenguk istri tercinta. Memandang wajahnya, walaupun pucat masih saja terpancar kecantikannya yang begitu kentara. Ah, aku ingin Lili cepat sembuh seperti sedia kala.
Menyusuri koridor rumah sakit, langkahku terasa ringan. Ditanganku sudah ada buket bunga mawar untuk diberikan padanya. Aku ingin memulainya lagi dari awal, mengambil hatinya.
Entah kenapa hatiku berdebar-debar saat sudah di depan ruang perawatannya.
"Assalamualaikum dek, Mas udah pu--" aku mengucapkan salam beserta membuka pintu.
Kosong. Tak ada siapapun di ruangan itu. Aku melenggang masuk sambil celingukan.
"Dek, kamu dimana?"
Aku menuju toilet, ternyata tak ada siapapun disana. Bang Panji dan Mas Raffa pun tak kelihatan batang hidungnya. Duh, kamu dimana sih? Kenapa membuatku khawatir saja!
"Suster, pasien yang dirawat di ruangan ini dimana ya?" tanyaku saat ada perawat yang lewat di depan ruangan.
"Oh, ibu Lili ya?"
"Iya, betul sus. Saya suaminya."
"Ibu Lili tadi siang udah dibawa pulang oleh keluarganya."
"Hah?"
Jadi Bang Panji membawa pulang Lili? Ckck! Aku berdecak kesal. Kenapa sih Bang Panji ikut campur urusan rumah tanggaku.
Pulang ke rumahku, rasanya tak mungkin. Aku yakin pasti Bang Panji membawanya ke rumahnya.
Dengan perasaan kesal, kembali kujalankan stir bundar itu menuju rumah peninggalan orang tua Lili. Lili hanya tinggal berdua dengan kakaknya sedari masa sekolah. Kedua orang tuanya sudah meninggal sejak lama. Sedangkan Bang Panji sendiri, lelaki itu belum menikah. Masih betah melajang, entahlah apa alasannya.
Setelah menempuh satu jam perjalanan, aku sampai juga di halaman depan rumah ber-cat biru itu. Bangunannya masih sama seperti dulu, sederhana. Tapi tampak begitu asri karena dirawat dengan benar. Banyak tanaman hias disisi kanan dan kiri.
Aku turun dari mobil, kembali pemandangan di depanku mampu membuatku terbakar cemburu. Lili sedang duduk di kursi yang berada di teras. Disampingnya Raffa sedang menemani walaupun berjarak karena ada meja kecil di tengah-tengah mereka. Laki-laki itu tampak mengajaknya berbincang, sesekali Lili terlihat tertawa. Tawa yang renyah dan tanpa beban. Ah rasanya sudah lama sekali Lili tak sebahagia itu.
"Dek?"
Mereka berdua menoleh ke arahku. Diam dan seketika hening.
"Kita pulang ke rumah yuk."
Lili bangkit lalu meraih tanganku dan menciumnya dengan takzim."Mau apa kamu datang kemari?" tanya Bang Panji menghenyakkanku. Tiba-tiba ia muncul dari dalam."Aku mau jemput Lili pulang, Bang.""Tidak. Biar dia disini sama aku. Kamu gak becus jadi suami!""Tapi bang, Lili istriku, dia tanggung jawabku. Dia harus ikut suaminya kemanapun suaminya pergi.""Tanggung jawab kamu bilang? Tanggung jawab macam apa? Kalian tega manfaatin tenaga Lili, udah kayak babu di rumah sendiri! Kemana aja kamu selama ini?!""Maaf bang, tapi aku akan memperbaiki kesalahanku.""Bang, Mas, tolong jangan ribut. Tak enak didengar tetangga," sela Lili menengahi perdebatan kami. Suaranya masih terdengar lemah, tapi mampu membuat kami bungkam.Aku duduk di teras ubin tanpa dipersilahkan. Hatiku benar-benar kalut. Rasanya kecewa, kenapa Lili mau menuruti Bang Panji untuk pulang ke rumah ini, padahal ada rumah suaminya."Bang, kenapa gak bilan
Aku menghela nafas dalam-dalam."Maafin mas, dek. Selama ini mas sudah salah. Tapi yakin kamu gak mau pulang, Dek?"Lili mengangguk. Mataku terasa panas, hampir saja air mata ini luruh, tapi malu pada wanita di hadapanku. Mungkin ia memang butuh waktu untuk sendiri. Pasca kehilangan bayinya, aku yakin Lili sangat terguncang."Ya sudah, kalau kamu gak mau pulang. Mas yang akan ikut tinggal disini."Lili masih terdiam."Mas akan ambil baju-baju Mas dan juga bajumu. Jadi mas pulang dulu, nanti mas kesini lagi."Aku berpamitan dengan Lili dan juga Bang Panji untuk pulang sebentar.***"Zam, kamu udah pulang?" tanya ibu.Ia tersenyum saat menyambutku. Kucium punggung tangannya dengan takdzim. Aku berlalu begitu saja, masuk ke dalam kamar."Zam, tadi ibu ngambil baju di anaknya Bu RT, nanti tolong bayarin ya, duit ibu udah habis," sahut ibu. Tiba-tiba ia muncul dari balik pintu."Ibu ambil baju
"Bu, please! Ibu jangan seperti anak kecil begini. Aku cuma sementara waktu saja ke tempat Bang Panji. Aku ingin memperbaiki dulu hubunganku dengan Lili. Ibu tahu, rumah tanggaku sudah diambang kehancuran. Aku ingin mendapatkan kepercayaan Lili lagi.""Zam, wanita itu gak hanya satu. Banyak wanita yang lebih cantik dan kaya dari Lili, ibu sangat yakin, kamu pasti bisa mendapatkan wanita lebih baik dari Lili.""Cukup Bu, jangan menambah keruh suasana. Kenapa ibu berpikir seperti itu sih! Aku harus mencari wanita lain begitu? Tidak Bu! Bagiku pernikahan cukuplah sekali seumur hidup dan aku akan berusaha setia pada istriku. Wanita di luaran sana memang banyak, tapi yang kucintai hanya Lili, Bu. Aku gak ingin kehilangan dia. Sudah cukup aku kehilangan bayiku," ucapanku terhenti, seperti ada yang tercekat di tenggorokan."Bayiku meninggal, istriku sakit dan sekarang dia memilih tinggal bersama kakaknya. Tapi apa ibu peduli pada kami? Tidak!
Glek! Aku tak mampu berkata-kata mendengar ucapan Lili. Dia terlihat begitu terluka. Bahkan tangannya sampai gemetaran."Maaf dek, mas memang gak bisa mengembalikan anak kita. Tapi mas ingin memperbaiki kesalahan ini. Tolong.""Pergilah, Mas! Pergiii ....! Aku ingin sendiri!" teriak Lili dengan histeris."Ada apa ini malam-malam ribut?"Bang Panji muncul dari balik pintu. Menatapku dengan tajam. Bang Panji langsung mendorong tubuhku hingga ke tembok."Kenapa kau membuat adikku menangis lagi hah?!" bentak Bang Panji, ia mencengkram kuat krah bajuku, sedangkan tangan satunya sudah mengepal kuat hendak melayangkan tinju ke arahku.Aku diam, terserah bila Bang Panji ingin menghajarku lagi habis-habisan. Hatiku lebih sakit memandang Lili menangis tergugu di sudut ranjang. Kedua telapak tangan menutupi wajahnya.Cengkraman Bang Panji terlepas sendiri olehnya. Laki-laki yang lebih tinggi dariku itu mengusap wajahnya dengan kasar.
"Oh, ada tamu. Kenapa gak masuk dulu?" sela Bang Panji.Ia turun dari boncengan motor Raffa."Panji, aku pulang duluan.""Okey"Motor Raffa menjauh dari halaman. Pria itu mungkin sungkan karena ada keluargaku. Biasanya mereka--Bang Panji dan Raffa usai pulang kerja, akan berdiskusi hingga malam.Sebenarnya aku kesal, kedatangan ibu malah membuat kecanggungan baru diantara kami. Padahal sebentar lagi, Lili bisa luluh padaku. Tapi sekarang? Aaarggghh kacau!Tapi jujur, aku mengapresiasi keberanian ibu yang mau minta maaf dan mengakui kesalahan ibu. Cuma aku tak mengerti, apakah ibu benar-benar tulus meminta maaf?"Kalian mau sampai kapan tinggal disini merepotkan abangmu?" tanya ibu. Nada bicaranya sungguh lembut."Tidak merepotkan kok, ini juga masih rumah Lili," sela Bang Panji.Lili hanya menunduk. Sedangkan Bang Panji masuk ke dalam, tak lama keluar lagi sembari membawa minuman. La
Wajah ibu tampak tegang mendengar jawabanku."Hahaha, bercanda Bu. Kenapa tegang gitu?" timpalku lagi sambil tertawa.Mas Azzam memandangku dengan tatapan bingung.Ya, ini baru permulaan Bu, aku akan mengalah dulu. Takkan kutunjukkan aku berubah secara drastis. Pelan-pelan saja, kita nikmati permainannya. Rasanya ingin juga memberi pelajaran kepada ibu, juga pada adik sepupunya yang tak tahu diri itu. Sebenarnya aku kurang sreg dia ada disini. Walaupun ibu mertuaku bilang Icha sudah seperti anaknya sendiri karena telah mengasuhnya sedari kecil, tapi tetap saja Icha dan Mas Azzam bukanlah mahram.Baiklah, akan kuuji juga ketulusan suamiku, sampai sejauh mana dia mencintaiku dan mau menghargaiku sebagai seorang istri."Ya sudah, karena semua orang capek, mas pesankan makanan di luar saja ya. Kamu gak usah masak, istirahat saja, pungkas Mas Azzam menengahi."Ide bagus, Mas.""Kamu mau pesan apa, sayang?""Emmmhh,
"Apa maksud mbak ngomong seperti itu?""Ya kamu gak mungkin kan selamanya hidup menumpang seperti ini?""Ish! Awas kau mbak! Kulaporkan pada ibu kalau Mbak sudah berani macam-macam."Gadis itu menghentakkan langkah kakinya kasar, menuju ke kamar ibu mertuaku. Pasti ingin mengadu.Tak butuh waktu lama dua orang itu berdiri di belakangku. Raut wajah ibu sudah terlihat tak bersahabat."Ada apa, Bu? Apa ibu mau marah-marah? Gak baik lho buat kesehatan, nanti kena serangan jantung.""Kamu nyumpahin ibu?""Enggak kok, aku cuma memperingatkan ibu saja. Ngomong-ngomong ada apa, Bu?""Hmmm," ibu tampak salah tingkah, mungkin tidak jadi marah gegara ucapanku tadi."Tolong setrikain baju ibu. Ibu mau pergi ke arisan," katanya kemudian."Budhe, aku ikut ya! Males kalau di rumah," sergah Icha.Baguslah kalian berdua pergi. Kesempatan buatku untuk panggil Bang Panji untuk memasang kamera tersembunyi."
Pagi-pagi sekali kulihat Icha sudah rapi dengan kemeja putih serta rok span warna hitam, khas orang melamar kerja."Mas, aku sudah pasti diterima kan?" tanya Icha disela-sela sarapannya."Belum tentu, aku hanya merekomendasikan saja, peluang diterima atau tidak itu atas usahamu sendiri. Makanya saat diwawancarai nanti, kamu harus jawab yang sopan dan bener, jangan slengek'an," sahut Mas Azzam."Dah tenang aja Cha, kamu kan lulusan sarjana. Pasti diterima deh," ibu ikut menimpali.Aku hanya diam memperhatikan mereka bicara."Ya sudah Bu, aku berangkat ke kantor dulu," pamit Mas Azzam sembari mencium punggung tangan ibunya."Aku juga pamit ya budhe, doakan biar sukses ya budhe," timpal Icha."Iya-iya dah sana berangkat," sahut ibu mertuaku itu."Sayang, mas berangkat ke kantor dulu. Kamu baik-baik ya di rumah. Inget, jangan capek-capek.""Iya mas," sahutku sambil tersenyum.Aku mengantar mereka sampai di depan teras